Bagi penulis kadang-kadang tidak mengenal adanya hari libur. Maklum di kampus menulis, sekarang ini di rumah (hari Minggu) juga menulis. Bedanya kalau di kampus ketemunya sama murid-murid, sedangkan di rumah sama keluarga. Maklum, menulis itu telah menjadi suatu hiburan juga sih.
Nah saat ini sedang fokus pada Bab 3. tentang “Filosofi Desain Rekayasa”. Ini kalau dibuku-buku struktur baja yang lain, judulnya bisa berupa konsep dasar LRFD atau semacamnya. Buku Segui edisi 1994 ada di Bab 2, judulnya “Concept in structural steel design” , hanya terdiri dari 13 halaman. Kemudian setelah 13 tahun berlalu, yaitu tahun 2007 buku edisi ke-4 Segui terbit lagi. Pada edisi tersebut topik tersebut masih ada pada Bab 2, judulnya masih sama, hanya jumlah halaman bertambah menjadi 18 halaman. Jadi selama 13 tahun tersebut Segui hanya menambah 5 halaman saja. Bagi beliau mungkin Bab 2 tersebut tidak terlalu penting. 🙂
Hanya 18 halaman, emangnya buku Struktur Baja karangan bapak nantinya akan menjadi berapa halaman ?
Aku juga belum tahu, tetapi jika buku Segui itu aku jadikan pembanding, maklum saat ini aku melihat bahwa hampir semua dosen baja di Indonesia banyak yang memakai buku tersebut. Berarti buku itu pasti dianggap buku bagus khan.
Untuk menjawab tentang jumlah halaman bukuku, maka ada baiknya kita tinjau Bab 1 dari buku Segui edisi 2007, yang judulnya “Introduction“, terdiri dari 17 halaman. Nggak banyak juga khan.
Nah untuk buku Struktur Baja versi Wiryanto, yang saat ini telah diselesaikan adalah Bab 1 judulnya adalah “Prospek dan Kendala“, terdiri dari 75 halaman atau 4.4 kali lipat dari isi Bab 1-nya Segui. Berbeda khan. Adapun Bab 2 saya nanti judulnya “Material Baja”, saat ini belum selesai. Tapi isinya sudah punya bayangan sehingga materi tersebut perlu dibuat sebagai bab khusus. O ya, sebagian isi Bab 2 ada yang pernah aku sampaikan kepada pembaca blog. Ini judulnya:
Industri baja nasional dan dunia serta dampaknya
Posted on 20 Mei 2013
Threat di atas nanti aku jadikan intro pada Bab 2, yang jelas 10 atau 20 halaman rasanya nggak cukup lho.
Ok kembali ke Bab 3 dari bukuku, yang di tempat lain (Segui) menjadi Bab 2, yang umumnya hanya sekitar 13 – 18 halaman. Menurut pertimbanganku yang namanya “Filosofi Desain Rekayasa” tidak cukup hanya diungkapkan dalam 13 atau 20 halaman saja. Maklum materi yang biasanya hanya dipahami oleh para senior, embah-embah-nya pakar struktur mestinya bisa lebih dari itu. Bagian buku ini mestinya dapat menunjukkan juga, sampai level embah ke berapa penulisnya. 😀
Adapun bab-bab lain nantinya adalah Bab 4. “Batang Tarik dan Sambungannya”, Bab 5. “Batang Tekan” dan Bab 6. “Balok Lentur”. Rasa-rasanya tidak berbeda dengan buku-buku lain, bukunya Segui misalnya. Hanya saja nanti pada Bab 6 ada perbedaan, yaitu akan aku sajikan perencanaan cara grafis seperti yang biasa dipakai oleh AISC, hanya saja ini versi Indonesia, karya muridku Yeltsin.
Untuk sementara Bab-bab itu dulu yang sampai sekarang sudah ada dalam gagasanku. Sebenarnya aku berhenti sebentar menulis Bab 3 “Filosofi Desain Rekayasa” karena terbentur istilah RISK, dimana menurut pengertianku, terjemahan bahasa Indonesia-nya adalah “resiko“. Hanya saja ada temanku yang mengingatkanku bahwa kata itu salah, yang benar adalah “risiko”. Pusing juga, apalagi kalau cari di internet, kebanyakan mengarah ke “risiko”, maklum itu dikaitkan dengan kata “RISK” dalam bahasa Inggrisnya.
Yang membuat pusing itu adalah keyakinanku selama ini bahwa yang benar adalah “resiko“. Itu yang aku selalu pakai dalam setiap buku-bukuku. Karena bab 3 ini banyak membahas risk dan probabilitas maka tentu kepastian apakah “resiko” atau “risiko” harusnya sudah fixed. Betul khan.
Dengan keyakinan yang benar adalah “resiko” maka aku mulai mencari data pendukung. Ketemu, yaitu “PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN” yang ditanda-tangani oleh Hasan Alwi sebagai Kepala Pusat Bahasa (tahun 2000). Sudah punya belum, jika belum silahkan di down-load di sini.
Kesimpulan yang didapat bahwa pada pedoman tersebut tidak dikenal istilah “risiko”, yang ada adalah “resiko“. Kata itu dibuat untuk melengkapi contoh sbb:
Perlombaan senjata membawa resiko pecahnya perang dunia.
Contoh kalimat tersebut terdapat di halaman 16 dan 89, berarti bukan kebetulan. Dengan demikian untuk istilah RISK (bahasa Inggris) maka padanannya dalam bahasa Indonesia adalah RESIKO. Ini penting aku ungkapkan karena banyak yang menulis di internet itu bahwa yang benar adalah risiko dengan argumentasi berdasarkan kata bahasa Inggrisnya.
<< up-dated pk 21.15 tanggal 2 Juni 2013 >>
Komentar yang masuk semuanya mengarah pada kata RISIKO, padahal keyakinanku selama ini adalah resiko. Bagiku komentar-komentar yang masuk hanyalah pertanda bahwa ada sesuatu dengan keyakinanku. Maklum selama ini aku sering mendapat komentar yang berbeda dari keyakinanku yang lain. Nggak masalah itu, bahkan biasanya aku dapat dengan bangga menyatakan, ya memang benar itu adalah yang versi Wiryanto. Intinya percaya diri saja, berbeda juga nggak apa-apa.
Tapi keputusan tentang istilah tentu saja tidak bisa seperti itu. Maklum, itu khan alat komunikasi. Jadi kalau pakai suatu istilah tertentu, yang tidak dipahami dengan benar oleh orang lain, maka tentu saja dapat terjadi mis-komunikasi, kesalah-pahaman. Tetapi seperti biasa, untuk mengubah keyakinan hanya atas dasar pendapat orang lain, adalah tidak biasa bagiku. Untuk itu aku memerlukan sumber-sumber rujukan lain. Pertama-tama aku akan mencari buku-buku yang dianggap sebagai referensi. Ini yang aku dapat :
- Kamus Jerman Indonesia (Adolf Heuken SJ), Cetakan VI : Maret 2000 oleh Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Pertama-tama karena kamusnya dari Jerman ke Indonesia, maka aku cari sinonim kata jerman dari bahasa Inggris, yaitu risk. Ternyata risk (Inggris) = risiko (German). Nah dari kata risiko (German) itu maka aku cari padanannya dengan kamus karangannya Adolf Heuken tersebut, ketemu di halaman 408 sebagai berikut : Risiko n (-s;-sl . . . ken) risiko, kemungkinan bahaya. Cetakan pertama kamus romo Heuken adalah pada tahun 1987, lebih lama dari Pedoman Umum di atas. Jadi kata risiko sudah diketahui dengan benar saat itu sebagai padanan dari risk (Inggris) maupun risiko (German).
- Teknik Bendungan (Ir. Soedibyo), Cetakan pertama tahun 1993 oleh penerbit PT. Pradya Paramita Jakarta. Pada halaman 246 bapak Soedibyo memakai istilah risiko untuk menguraikan rumus risiko terjadinya banjir. Bukan resiko !
Dari dua rujukan tersebut maka penggunaan istilah risiko jelas akan mendapat banyak respons positip daripada istilah resiko, yang ternyata ketika dicari dengan Google Translate adalah istilah bahasa Jawa (Javanese), bahasa waktu kecilku dulu. Pantas, aku mantep sekali dengan kata resiko, . . . wong jowo. 😀







Tinggalkan Balasan ke joetomo Batalkan balasan