kuliah “fatigue”


Yah betul, ini terkait dengan kelelahan logam (fatigue). Terus terang saya masih belum mantap dengan terjemahan bahasa Indonesia-nya, yaitu  fatik. Secara pribadi, saya merasa lebih mantap jika memakai kata fatig. Konsonan “g” terasa lebih berat dibanding “k”.

Bagi teman-teman insinyur yang bergerak di bidang bangunan gedung tentunya asing dengan istilah tersebut, tetapi tentu tidak bagi teman-teman insinyur di bidang jembatan. Fatig memang suatu hal yang penting di dunia rekayasa jembatan. Oleh karena itu pula ketika Pusjatan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) di bulan Juni ini maka tema itulah yang dipilih. Jadi ketika mendapat undangan khusus untuk menghadiri FGD tersebut di Bandung, maka tentu hal tersebut disambut dengan senang hati.

Karena lama berkutat di dunia rekayasa bangunan gedung maka menghadiri acara tersebut serasa mengikuti kuliah saja. Maklum, materi tersebut rasa-rasanya juga jarang ditemui di perkuliahan di perguruan tinggi. di level S2, apalagi di level S1. Kalaupun ada biasanya hanya berupa “introduction” pada materi struktur baja.

Wah pak Wir, bisa dituliskan di buku struktur baja bapak dong ?

Betul. Jadi seperti pucuk di cinta, ulam timba. Koq pas begitu. Jadi dengan mengikuti kuliah tentang fatig ini maka materi tersebut nantinya dapat lebih mantap dituliskan. O ya, tulisan pada blog ini juga saya buat sebagai bentuk pertanggung-jawaban atas undangan yang diberikan kepada saya, khususnya kepada publik. Seperti diketahui bahwa acara FGD diselenggarakan oleh negara, atas inisiatif Pusjatan (Puslitbang Jalan dan Jembatan) Kementrian PU, yang berpusat di Jl. A.H. Nasution 264, Bandung. Oleh karena merekalah, maka pakar-pakar yang menggeluti fatig berkenan hadir dan mempresentasikan materi tersebut dalam suatu kelas terbatas sehingga dapat dihasilkan suatu diskusi yang menarik. Atas undangan yang diberikan, penulis mengucapkan banyak terima kasih pada bapak Setyo Hardono, ST., MT. dan bapak Redrik Irawan, ST.

Acara FGD-nya sendiri diselenggarakan hari Rabu 26 Juni 2013 dengan judul : “Perancangan Detailing Konstruksi dan Evaluasi Struktur terhadap Beban Fatik”. Sebagai narasumbernya adalah :

  1. Ir. Hendra Safrial, MT. dari PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yang telah mempunyai pengalaman lama (25 tahun) bekerja di bagian fatig dan fraktur untuk perawatan pesawat terbang.
  2. Dr. Eng. Ir. Fauzri Fahimuddin, M.Sc.Eng, yang mengambil riset doktoral tentang fatig di Jepang, saat ini sebagai staf pengajar di PNJ dan baru saja menyelesaikan jabatan Dekan di FT Universitas Pancasila, Jakarta.

Dari presentasi dan hasil diskusi yang dilakukan dalam FGD dapatlah dibuat suatu “introduction to fatigue” yang memberi gambaran apa itu fatig dan pentingnya kita pelajari. Ini rangkuman kuliah yang aku dapat.

Fatig adalah fenomena keruntuhan pada logam atau material daktail akibat adanya beban transient yang terjadi secara berulang-ulang dalam suatu waktu yang lama (relatif). Adapun beban transient yang terjadipun juga spesifik yaitu tegangan tarik. Akibatnya maka pada logam akan terjadi fraktur (retak), mula-mula kecil dan lama-lama membesar dan runtuh atau putuslah logam tersebut.

klip

Untuk membayangkan fenomena fatig, ada baiknya diambil klip kertas dari logam (lihat gambar di atas), pakai tangan anda tentu bisa membengkok-kanya. Jika sekali bengkok maka jelas klip logam tidak putus. Cobalah berkali-kali pada tempat yang sama. Apa yang terjadi, logam bisa putus bukan. Itulah yang dimaksud fatig.

Fatig dapat terjadi pada kondisi tegangan yang relatif rendah, bahkan hanya 30% tegangan leleh, keruntuhan fatig dapat terjadi. Bidang ini menjadi kajian penting pada industri pesawat terbang. Nah pak Hendra Safrial bekerja pada bagian tersebut, beliau yang memastikan bahwa pesawat-pesawat yang diperiksanya tidak beresiko terjadi fatig. Maklum sebagian besar kerusakan pesawat adalah akibat hal ini, dengan catatan tidak ada faktor human error lho.

Pada pesawat terbang, jika ada bagian yang teridentifikasi terjadi gejala fatig maka bagian tersebut harus diperbaiki dan kalau bisa diganti. Jika berhasil, maka kondisi pesawat terhadap fatig bisa seperti baru lagi. Jadi menentukan bagian yang teridentifikasi mengalami fatig adalah hal yang penting, bahkan sangat penting dalam menghindari terjadinya keruntuhan fatig.

Untuk memulai mencari bagian logam yang beresiko fatig tentu saja perlu diketahui faktor-faktor yang bisa memicu. Menurut pak Safrial, adanya impact juga memicu timbulnya fatig, bahkan bird-impact juga perlu diperhitungkan. Tahu sendiri khan, meskipun hanya burung gereja, tetapi kalau tertumbuk pada kecepatan tinggi maka hal itu menjadi hal yang berbahaya. Memang sih, pesawat tidak berlobang ketika menabrak burung, tetapi itu beresiko untuk menimbulkan defect, khususnya jika ketumbuk pada bagian yang paling sering menerima beban transient berulang-ulang.

Beban transient disini adalah beban yang menghasilkan tegangan tarik pada logam. Adanya fenomena retak (fraktur) dan tegangan tarik adalah hal yang sangat penting. Maklum, retak itu jika diberi tegangan tekan maka bisa tertutup kembali (prinsip prestressed). Material menjadi kontinyu lagi. Jadi bisa juga dikatakan bahwa jika suatu material terus menerus hanya menerima tegangan tekan maka resiko terjadinya fatig adalah minim. Pemahaman ini tentu saja dapat diaplikasikan jika ingin suatu struktur terbebas dari bahaya fatig maka gunakan suatu sistem struktur yang selalu menerima gaya tekan saja, seperti misalnya struktur pelengkung yang dibebani dari atas.

Lho koq jembatan pak Wir ?

Yah betul. Kalau berbicara tentang fatig pada pesawat tentu tidak relevan dengan bidang kerja kita, yaitu rekayasa teknik sipil. Struktur yang paling beresiko mengalami beban transient adalah jembatan. Itu tentu saja jika dibandingkan dengan struktur gedung. Nggak tahu kalau struktur lepas pantai, bisa saja lebih relevan untuk diperhitungkan bahkan mungkin sekaligus dengan bahaya korosi. Keduanya bisa saling memperburuk.

Kembali ke struktur jembatan. Berbicara beban transient pada struktur jembatan maka itu dihasilkan oleh beban hidup, yaitu kendaraan-kendaraan yang melewatinya. Jadi bisa dikatakan bahwa beban yang dapat menghasilkan resiko fatig adalah beban hidup, dan bukan beban mati. Nah ini juga salah satu kelemahan baja, sebagai bahan material yang mempunyai rasio  kekuatan dibanding beratnya yang tinggi, maka struktur baja umumnya menghasilkan sistem yang ringan. Jadi bisa terjadi berat sendiri struktur baja dibanding beban hidup yang dipikulnya, tidak seberapa. Bahkan bisa terjadi beban hidupnya lebih besar. Ini kondisinya tentu berbeda dengan struktur beton, yang berat sendiri relatif lebih berat. Akibatnya beban transient yang timbul, menyebabkan struktur baja lebih berisiko untuk terjadi fatig, dibanding struktur beton.

Pak betonnya sendiri apakah bisa terjadi fatig ?

Pertanyaan menarik. Itupun juga aku tanyakan kemarin. Pertama adalah bahwa fatig hanya terjadi pada struktur daktail. Kalau itu terjadi pada struktur brittle, maka ketika terjadi retak, maka langsung rusak, nggak menunggu waktu lagi. Adapun untuk struktur beton, dalam perencanaannya bagian yang mengalami tegangan tarik akan diambil alih oleh baja. Selanjutnya untuk jembatan yang berbentang relatif besar, maka mestinya sudah mengadopsi beton prategang. Jika digunakan full-prestressing maka beton untuk berbagai kondisi (service) tentu dalam kondisi tekan, dan juga akibat berat sendirinya yang relatif besar maka transient yang terjadi juga tidak terlalu ekstrim. Itulah mengapa, fatig sangat penting diperhitungkan pada struktur baja dibanding struktur beton.

Untuk struktur bajapun juga khusus, yaitu pada bagian yang mengalami tarik. Pada bagian elemen tarik yang mendapat beban bolak-balik adalah bagian yang sangat berisiko mengalami kegagalan fatig, yaitu kerusakan struktur pada beban atau tegangan yang relatif rendah (belum mengalami leleh).

Ada dua hal penting yang memicu terjadinya fatig, yaitu adanya [1] konsentrasi tegangan, dan [2] intensitas tegangan.

Bahkan dapat dinyatakan oleh narasumber, bahwa suatu struktur yang tidak kontinyu akan berisiko terhadap fatig.

Nah bagi insinyur jembatan, faktor adanya konsentrasi tegangan dan struktur yang tidak kontinyu ini pastilah langsung dipahami, yaitu pada bagian sambungan. Kecuali itu, adanya defect bisa berupa cacat bawaan, juga residual stress termasuk dampak proses thermal akibat proses sebelumnya adalah faktor penting yang memicu terjadinya inisiasi fatig. Pada tahap itu, terbentuklah fraktur atau retak pada logam, yang mungkin sangat kecil (micro crack) yang tidak teridentifikasi oleh mata. Jika itu sampai terbentuk, maka ketika mendapat beban transient pastilah keruntuhan fatig hanya soal waktu saja jika tidak dilakukan perawatan atau perbaikan. Maklum, setelah inisiasi fatig timbul retak mikro. Pada retak mikro tersebut akibat intensitas tegangan tarik pada bagian yang rusak maka retak bisa bertambah besar. Khususnya jika tegangan tariknya berupa transient.

Defect akibat thermal yang biasa dijumpai pada konstruksi baja adalah akibat las. Penjelasan dari bapak Fauzri, hasil risetnya beliau di Jepang dulu menunjukkan dari berbagai dampak pengelasan jika sampai dijumpai crack selebar 10 mm, harus di reject. Itu sudah pasti menimbulkan bahaya fatig. Ini di balok I built-up. Dalam penjelasan yang lain, pak Fauzri juga secara tegas menyatakan bahwa 90% kerusakan jembatan baja adalah akibat fatig. Tentu kita yakin, itu data dari jembatan-jembatan di luar Indonesia. Kalau dari Indonesia, khan memang nggak banyak penelitiannya. Bahkan setahu saya, kerusakan jembatan yang baru saja kita dengar tempo hari adalah akibat “lack of knowledge” bukan akibat fatig. Betul khan.

Asumsi bahwa jembatan dengan sambungan las lebih berisiko terhadap fatig menyebabkan banyak insinyur-insinyur jembatan di Indonesia lebih memilih jembatan baja dengan sambungan baut. Meskipun demikian, tidak berarti jembatan dengan sambungan baut tidak berisiko terhadap fatig. Maklum kata kuncinya adalah crack, konsentrasi tegangan dan beban transient (bolak-balik). Dalam diskusi kami kemarin, hal itu belum dibicarakan. Oleh karena itu akan menambahkan.

Dalam sambungan baut maka fatig perlu diperhitungkan dengan baik. Pertama-tama adalah menghindari terjadi konsentrasi tegangan yang tidak perlu. Caranya adalah memakai baut mutu tinggi dengan mekanisme slip kritis. Memang sih, jika mekanisme itu yang dipilih kapasitas pakai baut menjadi lebih kecil, yang berarti bautnya perlu banyak. Nah dengan jumlah baut yang banyak, maka tentu saja tegangan-tegangan yang terjadi juga relatif kecil atau dengan kata lain, jikapun terjadi konsentrasi tegangan, maka intensitasnya relatif kecil. Ingat tadi, yang membuat crack bertumbuh adalah adanya intensitas tegangan.

Jadi jangan heranlah kalau melihat sistem sambungan baut pada jembatan akan lebih banyak dibanding sistem sambungan baut pada gedung. Maklum, bahaya fatig lebih mendominasi.

Jika sistem baut dengan mekanisme slip kritis yang dipilih, maka tidak ada konsentrasi tegangan akibat pertemuan baut dengan permukaan lubang. Jepitan pada baut mutu tinggi menyebabkan gaya friksi pada pelat saling mengalihkan gaya. Kondisi ini tentu berbeda jika mekanisme tumpu yang bekerja, dimana gaya dialihkan akibat pertemuan baut dan pelat (tumpu) dimana terjadi tegangan konsentrasi yang cukup besar. Apalagi adanya slip, perbedaan ukuran lubang baut dan diameter baut, maka jika diberikan tegangan transient bolak-balik maka bisa-bisa terjadi ketukan pada baut tersebut. Itulah mengapa baut yang kendor adalah sangat berbahaya pada jembatan. Keruntuhan hanya soal waktu saja.

Itulah hasil diskusi FGD di Bandung kemari, semoga berguna.

Dokumentasi :

Dr_Eng_FauzriDr.-Eng Fuazri memberi kuliah tentang fatig

7 pemikiran pada “kuliah “fatigue”

  1. r-son

    Dear Sir
    Membaca thread ttg fatique ini membuat saya teringat masa-masa skripsi dulu. Awalnya saya tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagai materi skripsi saya. Sampai-sampai saya sering “melompat” main ke jurusan T. Mesin untuk berkonsultasi dengan dosen yang menguasai metalurgi di jurusan mesin.

    Dalam perkembangannya saya mentok dengan dana untuk membuat sample, menyewa lab dan non teknis lainnya, maklum saat itu tahun ’99, krisis moneter lagi parah-parahnya. Akhirnya saya mengangkat materi tentang sambungan baut sebagai bahan penulisan skripsi saya.

    Sepintas yang saya ingat tentang fatique ini adalah mirip denga yang telah Bapak ulas di atas, yaitu:
    1. Fatique dapat terjadi pada material baja akibat pembebanan yg bersifat siklik (khususnya beban tarik).
    2. Akibat dari fatique, struktur dapat mengalami keruntuhan meskipun tegangan leleh belum tercapai.
    3. Jumlah siklus pembebanan yang berpotensi menyebabkan fatique +/- 2.000.000 kali pembebanan siklik
    4. Point (3) di atas dapat terjadi dengan asumsi material dalam keadaan baik, tdk terdapat kerusakan maupun initial crack. Bila
    telah terdapat retak-retak awal sebelumnya, maka jumlah sikus yg diperlukan lebih sedikit utk menghasilkan fatique failure
    5. Fatiqu failure dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu jumlah siklus pembebanan, intensitas dan cacat yang timbul (biasanya diawali
    dengan getas pd daerah yg mendapat intensitas tinggi dan jumlah siklus yg besar lalu terjadi initial crack).
    6. Cacat-cacat kecil dalam suatu elemen dapat diabaikan dalam suatu proses desain struktur, namun pada struktur yang
    mengalami beban-beban siklik, maka retakan akan makin bertambah panjang untuk tiap siklus pembebanan sehingga akan
    mengurangi kapasitas elemen untuk memikul beban layan.
    7. Pada proses pengelasan cacat dapat diartikan sebagai takikan pada pertemuan antara dua elemen yang disambung.
    Lubang baut yang mengakibatkan diskontinuitas pada elemen juga dapat dikategorikan sebagai cacat pada elemen tersebut.
    8. Dalam hal ini, mutu baja tidak terlalu mempengaruhi fatique failure.

    Demikian Sir, maaf kalo lebih banyak mengulangi yg telah Bapak tulis di atas.

    Regards

    R-Son

    Suka

    1. wir

      Yup betul R-son, menuliskan kembali apa-apa yang pernah kita dengar atau pelajari dulu adalah strategi sederhana agar pengetahuan itu tidak hilang. Bahkan jika tulisan itu dapat dibaca orang lain, seperti artikel atau komentar di blog ini maka ada kesempatan untuk diperiksa oleh orang lain. Jika memang di-amini, maka tentu saja pengetahuan yang baru itu semakin mantap, tetapi jika ternyata dapat masukan lain maka pengetahuan itu bisa terkoreksi sampai akhirnya diketemukan suatu pengetahuan yang bersifat universal.

      Suka

  2. Ping-balik: masalah dan solusi di Bay Bridge | The works of Wiryanto Dewobroto

  3. Dear, pak Wir.
    Saya ingin bertanya mengenai desain untuk fatik pada SNI 2015. Apabila saya ingin mendesain jembatan girder misalnya, maka tegangan pada balok2nya harus dibawah tegangan izin fatik. Betul, pak?
    Saya bingung ketika menggunakan rumus pada ketentuan (A-3-1) SNI 2015 mengapa rentang tegangan izin Fsr lebih kecil dari Fth. Apa ada yang saya lewatkan, pak? hehe
    Asumsi desain umur jembatan 75 tahun, dengan jumlah truk rata2/hari dalam 1 lajur 500 kend.
    Jika mengacu pada AASHTO Bridge Design Specification 2012, hal yang sama juga terjadi, (deltaF)n < (deltaF)th.
    Terima Kasih.

    Regards
    Irfan

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s