anak – investasi keluarga


anak – investasi keluarga !

Ini memang suatu judul yang tidak semua orang dapat menerimanya. Tentang hal itu saya ingat kejadian beberapa tahun lalu, ketika anakku relatif masih kecil, yaitu ketika berbincang-bincang dengan seorang ibu yang sekaligus juga adalah teman dosen di kampus tempatku bekerja.

Karena bidang ilmunya tidak sebidang maka tentu saja topik pembicaraannya adalah hal yang umum, kebetulan cocok ketika berbicara soal anak-anak yang dimilikinya. Meskipun dalam segi usia antara kami adalah sebaya, tetapi dalam hal anak, maka kelihatannya aku lebih senior, maklum anakku relatif lebih tua dari anak dari ibu dosen tadi. Menariknya, ketika dalam suatu kesempatan aku mengatakan bahwa memiliki anak itu ibarat sebagai investasi dalam kehidupan ini maka beliaunya agak tersinggung. Komentar beliau : “Anak koq investasi, kayak barang saja. Nggak boleh kita memandang anak seperti itu. Anak khan tanggung jawab kita kepada Tuhan yang telah memberikannya. Kita harus bertanggung-jawab dan tidak boleh hitung-hitungan dengan anak tersebut.

Kaget juga aku mendengar argumentasi yang diberikan. Nggak salah juga sih. Melihat gelagat dan nada bicaranya itu maka aku memutuskan untuk tidak memperdebatkannya. Maklum nada bicaranya jadi ngotot sehingga tidak terlihat celah untuk diskusi. Jadi, ya mengalah saja, membiarkan dia dengan ide tersebut. Padahal jika dia dapat mendengarnya dengan netral, maka tentu aku akan menjelaskan secara terinci apa yang aku maksud dengan kata investasi tersebut.

Diskusi tentang : tidak setujunya anak sebagai investasi di atas, telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Aku masih mengingatnya. Saat ini ibu dosen yang bersangkutan sudah tidak bekerja lagi di kampus tempatku mengajar. Nggak tahu kemana. Anak-anakku juga sudah besar. Satu bahkan sudah menjadi mahasiswi PTN di kota lain, menggeluti bidang yang telah diimpikannya ketika kecil. Satu lagi masih sekolah menengah, meskipun demikian sudah mempunyai impian seperti kakaknya.

Ketika mengingat itu semua, maka aku merenungkan lagi isi diskusi tempo hari dan tetap menyakini kembali bahwa memang benar anak itu adalah suatu investasi, khususnya bagi keluarganya. Tentang komentar ibu dosen temanku yang menyatakan bahwa kepada anak adalah tidak boleh itung-itungan dalam hal tertentu memang ada benarnya. Tetapi pada kasus lain, memang kepada anak : harus dihitung, direncanakan dengan baik, agar anak itu nanti dapat memberikan hasilnya (menguntungkan) khususnya bagi keluarga besarnya.

Konsep “menanam dan dapat memetiknya dikemudian hari” itulah yang aku maksud dengan investasi. Jadi tidak sekedar memberikan sesuatu dan melupakannya, apapun yang diberikan itu. Nggak peduli apakah itu akan menghasilkan atau tidak, karena menganggap bahwa memberikan apa-apa kepada anak adalah tanggung jawab sebagai orang tua. Konsep yang terakhir itu bahkan menurut saya adalah salah, maklum karena kesannya adalah cuek.

Jika konsep investasi yang digunakan, maka setiap pemberian yang kita berikan kepada anak adalah wajib untuk dievaluasi, apakah berguna atau bahkan mendorongnya untuk berbuat tidak baik. Selain menguntungkan bagi anak, juga perlu dilihat juga apakah itu akan menguntungkan bagi pemberinya, yaitu orang tua.

Wah itu kelihatannya seperti pemerasan ya pak. Eksploatasi anak yang menguntungkan orang tuanya. Gitu ya pak ?

Eh hati-hati dengan istilah itu pak. Maklum konotasinya jadi buruk. Untuk menghindari kesan tersebut maka ada baiknya aku ungkapkan dulu cara pikirku akan keluarga. Apa yang dimaksud dengan keluarga bagiku.

Biasanya untuk menceritakan soal itu kepada anak-anakku, maka aku menjelaskannya sebagai bagian dari cita & cinta yang harus kita raih dalam kehidupan ini. Untuk meraih hal itu semua, maka langkah awal yang harus diambil bagi seseorang manusia dalam kehidupan ini adalah mendapatkan bekal, yang berupa pengetahuan, ketrampilan dan metal, untuk dapat hidup secara mandiri.

Salah satu cara yang umum digunakan orang untuk  mencapai hal di atas adalah menyekolahkan anak. Saya kira ini telah diakui secara umum. Jadi bagiku dan juga aku jelaskan kepada anak-anakku bahwa bersekolah itu tidak sekedar mendapat nilai bagus saja, tetapi lebih dari itu. Dengan bersekolah, maka dia belajar untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Bahkan kalau bisa belajar dan berani untuk mulai melakukan kompetisi dengan teman-temannya. Karena menurutku, hidup itu sebenarnya relatif. Jadi harus berani dibandingkan dengan orang lain disekitarnya. Berani berbeda, tentu saja dalam konotasi positip.

Komunikasi di dalam keluarga adalah sangat penting. Bagi bapak dan ibu yang mempunyai anak, apakah anda sudah melakukannya. Sukses atau tidaknya hal itu juga ditentukan bagaimana dia berpikir tentang keluarga. Jadi kalau seseorang berkeluarga (nikah) hanya sekedar untuk menghindari zinah, maka tentunya akan bisa berbeda. Komunikasi akan datang dengan sendirinya jika kita berpikir bahwa berkeluarga (nikah) adalah keinginan dua insan yang saling mengasihi untuk saling bersama-sama ingin membentuk kehidupan baru yang mandiri, damai dan sejahtera dunia-akherat.

Untuk itu maka langkah penting yang diperlukan adalah mempunyai kesamaan visi dan misi. Jelaslah jika sampai berbeda agama, maka tentu akan kesulitan untuk dapat menyamakan visi dan misi. Maklum, dalam pemahamanku selama ini yang namanya pernikahan itu tidak sekedar agar bisa kawin tanpa menjadi dosa (zinah). Perkawinan adalah sesuatu yang suci, karena yang menyatukan adalah Allah sendiri, sehingga kata “cerai” adalah tidak terbayangkan. Adanya pemahaman seperti itu menyebabkan kita yang telah mengambil keputusan berkeluraga harus mengusahakan secara aktif agar nyaman dengan keluarga sendiri yang dibentuk. Agar anak-anak juga mendukung ide tersebut maka visi dan misi seperti itu harus dikomunikasikan kepada mereka, terus menerus dalam berbagai kesempatan tanpa harus membuat mereka bosan.

Tentang keluarga, kadang aku selalu memberi analogi bahwa menjadi suami – istri itu seperti orang yang menaiki tangga, dimana keduanya ibarat ke dua kaki kita, saling membantu ketika yang satu (suami) diangkat untuk naik anak tangga, maka kaki yang satunya lagi (istri) perlu sabar tetap menapak. Tidak saling berebut-rebutan tetapi saling membantu, sabar menunggu dan tidak malu dilangkahi lebih tinggi dan saling menghormat untuk naik menapak tangga (kehidupan) dengan lebih baik. Syarat untuk itu tentu saja ada, yaitu pertama suami dan istri pada dasarnya adalah orang-orang yang mandiri (kompeten). Jadi kawin karena tergantung (secara ekonomi atau hal-hal lain) jelas tidak bisa menerapkan cara saya tersebut. Setelah kemampuan mandiri, maka yang kedua adalah saling hormat satu sama lain. dan modal lain yang penting yaitu yang ketiga adalah harus ada saling percaya satu sama lain.

Dengan latar belakang keluarga seperti itu maka ketika berbicara bahwa anak adalah suatu investasi maka tentu tidak ada keberatan satu sama lain. Tentang masalah itung-itungan sebenarnya juga tidak ada masalah, maklum karena itu terkait dengan semakin besar yang dapat diinvestasikan maka tentu keuntungan yang dapat diraih harapannya akan semakin besar. Jadi kalau orang tuanya mengeluarkan biaya besar untuk menyekolahkan anaknya maka kedepannya tentu akan lebih baik dibanding jika tidak disekolahkan (tanpa keluar biaya khusus).

Eh pak Wir, kalau anak putri apa harus begitu. Khan yang penting dapat suami yang kaya dong pak, nggak perlu sekolah tinggi-tinggi.

Kesannya begitu ya. Jika sudah dapat suami yang diharapkan seperti itu, maka ya gimana lagi. Kalau si anak juga sudah cocok, ya silahkan saja. Terserah orang-tuanya. Tapi itu bukan untuk anakku lho. Untuk anakku maka aku akan bicara lain. Maklum, pandanganku bahwa suami-istri dalam berkeluarga itu ibarat seperti orang naik tangga kehidupan. Jadi untuk itu diperlukan kemampuan mandiri masing-masing, baik suami atau istri. Karena dengan kemampuan yang sama, maka mereka mau tidak mau akan saling menghormati pada setiap kesempatan. Sehingga kepercayaan dapat saling bertumbuh. Karena jika tidak sekolah, hanya sekedar mengandalkan suami yang kaya, maka itu khan ibarat “nebeng”. Bisa-bisa suatu saat tidak saling menghormati lagi, bisa-bisa dilecehkan. Siapa tahu.

Dengan menyekolahkan anak, maka kompetensi juga secara tidak sadar akan meningkat. Selain itu, dengan sekolah maka dianya akan masuk pada lingkungan yang lebih baik. Sehingga ketika mendapat suami dari lingkungan tersebut tentu akan lebih baik. Jadi sekolah juga sebagai usaha meningkat posisi tawar dalam mendapatkan suami untuk berkeluarga.

Wah panjang juga ya, uneg-uneg tentang anak dan keluarga. Untuk sementara ini dulu ya diskusi di luar bidang engineering. Maklum keluarga adalah dunia lain dalam kehidupan kita yang perlu dijaga agar bisa diwujudkan rasa damai dan sejahtera di dalamnya.

Semoga dapat menjadi pemikiran dan perbandingan untuk menjadi kelurga kita lebih baik lagi. Tuhan memberkati kita semua.

 

2 pemikiran pada “anak – investasi keluarga

  1. Anwar

    Pak. Wir, ya saya setuju sih pak. Pada dasarnya, anak dan anugrah yang diberikan Tuhan kepada kita dan harus dipertanggungjawabkan dengan menajadikan dia anak yang baik dan berguna dan takut akan Tuhan. Sehingga dia bisa hidup mandiri kelak.

    Suka

    1. wir

      Syukurlah pak kalau begitu. Meskipun negara kita semakin maju, tapi nilai-nilai seperti yang saya maksud relatif jarang terdengar, apalagi di televisi. Kecuali jika para orang tuanya dapat menjadi contoh, lalu darimana nilai-nilai tersebut dapat dipahami dan diamini oleh anak-anak jaman sekarang. Lihat saja, sekarang banyak orang sukses (secara materi) yang bahkan dengan bangganya punya istri muda dan yang istri tua ditinggalkan begitu saja (meskipun untuk itu telah dicukupi harta). Juga tidak adanya rasa malu pamer harta, meskipun itu hasil korupsi.

      Jadi di jaman sekarang ini, ditengah desingan informasi yang membabi buta isinya itu, maka tugas kita (para oran tua) untuk berkejaran memberikan nilai-nilai positip bagi anak-anak kita agar kedepannya mereka bisa siap.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s