skripsi akan tidak wajib !


Dunia pendidikan tinggi di Indonesia memang sedang berubah, satu sisi terkesan menuju kebaikan. Itu ditunjukkan dengan usaha pemerintah untuk melakukan evaluasi melalui proses akreditasi. Penyelenggara pendidikan yang dianggap baik maka diberikan nilai A, dibawahnya diberi nilai B dan yang ngepas sekali diberi nilai C.

Jika kurang dari nilai di atas, dianggap dibawah mutu, perlu dibimbing dan diarahkan terus. Jika nggak ada perubahan, maka di-delete. (!??!).

Kecuali akreditasi, saat ini sudah mulai banyak yang memperhatikan peringkat perguruan kita dibandingkan perguruan dari luar negeri. Bagaimana posisi tingkat aktivitasinya dalam penelitian.

Wah emangnya peringkat itu perlu pak Wir. Perguruan tinggi kita ini khan hebat. Lulusan S1 saja bisa jadi Presiden, bahkan kecuali hal itu, dari perguruan tinggi di daerah-daerah saja, banyak yang menjadi pejabat dan kaya-kaya lho. Apakah itu tidak menunjukkan alumni perguruan tinggi kita itu hebat. Jadi ngapain perlu dibandingkan dengan negara lain.

Pertanyaan yang menarik. Tetapi apakah itu relevan dengan kualitas perguruan tinggi kita atau tidak, wah itu yang perlu dipertanyakan. Pasti akan ada banyak argumentasi untuk menjawabnya.

Peringkat perguruan tinggi kita terhadap perguruan tinggi di negera lain diperlukan untuk mengetahui bagaimana pengakuan mereka terhadap kita. Untuk itu saya ambil peringkat dari Academic Ranking of World Universities, sebagai berikut.

academic-rangking

Lembaga tersebut mencoba memperingkat perguruan tinggi dari suatu negara di seluruh dunia, mulai dari peringkat 20, lalu turun 100, 200, 300, 400 dan 500 dunia.

Aku sudah cari-cari, yang ada adalah Malaysia, ada 1 perguruan tingginya yang masuk dalam 400 perguruan tinggi terbaik dunia. Bahkan untuk 500 perguruan tinggi dunia ada dua perguruan tinggi Malaysia yang nyangkut. T.O.P begete. Tentang hal ini, tentu ada yang marah bahwa kita, Indonesia yang luasnya lebih 10x lipat, ternyata dalam urusan perguruan tinggi kita kalah dengan Malaysia. Piye ini bapak-bapak yang bekerja sebagai dosen (aku juga termasuk malu lho).

Itu semua menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi kita di mata dunia adalah nothing.

Koq bisa begitu pak, buktinya anak-anak mahasiswa kita itu khan menang di lomba-lomba international, juga banyak yang sukses melakukan studi lanjut di manca negara. Bahkan ada yang menjadi profesor di negeri paman SAM. Jadi perguruan tinggi kita itu hebat juga lho. Kalau tidak hebat, bagaimana bisa mengantar mereka sukses ke sana.

Ini argumentasi yang selalu diajukan orang-orang untuk menunjukkan bahwa perguruan tinggi kita itu hebat. Jadi nggak perlu malu. Bahkan kalau seperti itu, maka aku juga bisa bikin argumentasi lain. Maklum aku ini khan contoh dosen alumni asli dalam negeri. Jarang terlibat secara langsung riset-riset hebat di luar negeri. Betul khan. Nah dengan kondisi seperti itu, buktinya buku-bukuku tentang rekayasa khan laris manis. Pakar-pakar lulusan manca negera yang jadi dosen di Indonesiapun bahkan tidak mempunyai buku yang dimaksud. Tetapi apakah itu suatu fakta yang dapat dikaitkan dengan kehebatan perguruan tinggi lokal. Mikir mode ON.

Oleh sebab itu saya memakai hasil riset dari luar, untuk mengetahui pendapat perguruan tinggi kita. Intinya, kita mau ngotot bahwa perguruan tinggi kita hebat, tetapi selama orang luar tidak mengakui, maka sia-sia saja usaha kita. Paling penting itu adalah pendapat orang lain, khususnya jika berkepentingan dengan orang lain. Kalau kita nggak peduli, dan sudah puas tanpa pengakuan orang lain. Ya sudah, sakarepmu dewe lah. Anggap saja seperti, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. 😀

Lho masalahnya apa pak. Lalu bagaimana kerja menteri pendidikan kita.

Ya harus meningkatkan mutu. Ini memang pernyataan abstrak, setiap orang kalau mengatakan hal tersebut pasti benar adanya. Lulusan SD-pun kalau ngomong seperti itu sama dipercayainya dengan seorang Profesor yang ngomong seperti ini.

Jadi kalau ingin mendapat pembenaran umum, maka untuk menghadapi situasi masalah di atas, maka yang paling gampang adalah teriak : Ayo, jangan kalah dengan perguruan tinggi luar negeri, mari kita ramai-ramai meningkatkan mutu pendidikan kita. Titik.

Pasti deh, nggak ada yang mendebat, semua pasti mengangguk-angguk senang. Diam, terlena, dan kembali ke masing-masing tempat. Tenang, . . . dan lupa akan masalah. 😀

Untuk mengatasi situasi di atas, maka yang perlu dilakukan adalah tindakan nyata.

Masalah di depan mata yang tempo hari kemarin ditemukan adalah kasus ijazah palsu. Tindakan nyata yang dilakukan pak Menteri adalah sidak ditempat. Lalu memeriksa catatan administrasi pengajaran yang dilakukan. Ketemu deh, ada perguruan tinggi di Bekasi yang terbukti hanya jual ijazah. Dari 144 sks, maka mahasiswa yang baru mendapat 8 sks langsung dapat ijazah. Tuduhannya, jualan ijazah.

Ok deh, apapun usaha beliau , terkait hal itu saya angkat jempol. Bagus. Meskipun dari sisi lain, itu perlu ditanyakan. Ngapain perlu sidak, bukankah setiap perguruan tinggi khususnya swasta di negeri ini, termasuk UPH, juga wajib lapor setiap semesternya. Jadi harusnya, tanpa sidakpun mestinya sudah ketahuan. Jadi ngapain harus ada sidak, dan baru ketahuan. Emangnya sistem yang ada sekarang ini tidak bisa mendeteksi masalah. Kalau tidak bisa, lalu apa gunanya sistem yang ada, kalau bisa lalu apa maksudnya sidak-sidak yang dilakukan kemarin, pencitraan ?

Ah itu khan urusan birokrasi. Hal-hal seperti itu memang tugas birokrat untuk membentuk persepsi positip (dalam hal ini biar dianggap ada kerja nyata). Bagi perguruan tinggi, nama atau persepsi itu sangat penting. Tanpa ada pengakuan maka bisa habis bisnis perguruan tinggi. Tanpa ada persepsi positip terhadap buku-bukuku, maka mana ada orang mau membelinya. Betul nggak. He, he, nitip promosi ya.

O deh, argumentasi tambahannya dihilangkan (delete). Aku angkat jempol atas sidak kemarin. Yah gimana lagi, pencitraan khan perlu. Minimal tidak ada persepsi negatif.

Puas dengan tindakan nyata kemarin, tapi kaget dengan rencana keputusan beliau berikutnya. Lihat dan baca pernyataan beliau di bawah ini.

302683_menristek-muhammad-nasir_663_382

Info lengkap berita di atas, ada di sini.

Sebagai dosen yang pernah membimbing skripsi/thesis dari level S1 dan S2 (he, he S3 belum sih) dan merasa mendapatkan banyak manfaat untuk proses-proses riset atau publikasi berikutnya maka mendengar rencana pak Menteri di atas jadi agak kaget.

Lebih kaget lagi atas pernyataan beliau yang akan aku kutip berikut.

VIVA.co.id – Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti), Muhammad Nasir, mengaku akan menerapkan aturan bahwa tugas akhir skripsi untuk mahasiswa setingkat S1 menjadi sebuah pilihan atau opsional. Jadi, nanti bukan lagi bersifat wajib sebagai syarat kelulusan.

Hal ini, lanjut Nasir, dilakukan untuk menanggapi munculnya kecurangan dalam bentuk pembuatan ijazah palsu, sehingga ada mahasiswa yang membeli skripsi layaknya hukum ekonomi, ada permintaan dan penawaran.

O jadi ini tindakan nyata ke-2 setelah dilakukan sidak ke perguruan tinggi abal-abal di Bekasi itu. Tentang tindakan yang dipilih pak Menteri ini . Saya pikir hanya mimpi. Terus terang, ini profesor ke dua yang aku jumpai dengan logika berpikir seperti di atas.

Profesor pertama dulu mempunyai pendapat serupa tetapi alasan yang mendasarinya berbeda. Waktu itu masalahnya terjadi di fakultas ekonomi. Tahu sendiri, ini khan fakultas favorit di Indonesia. Saking banyaknya murid yang masuk maka rasio murid dan dosen menjadi sangat tinggi. Bisa-bisa 1 dosen menangani 50 atau lebih mahasiswa. Nah masuk pada mata kuliah tugas akhir atau skripsi. Beban dosen pembimbing menjadi sangat banyak. Nah di sini bedanya antara perkuliahan dan penulisan skripsi. Kalau hanya dilihat dari sks mungkin tidak kelihatan. Dosen memberi kuliah 50 atau lebih mahasiswa adalah tidak mahasiswa, tetapi kalau disuruh membimbing sampai sejumlah itu. Itu masalah. Nggak bisa seperti itu, dosennya pasti kewalahan. Akibatnya ada mahasiswa yang terbukti melakukan copy-and-paste dan ketahuannya baru sudah akhir-akhir, bahkan banyak yang mungkin tidak ketahuan. Situasi ini kalau sampai diketahui orang luar, tentu akan memalukan perguruan tinggi di maksud. Bisa cemar nama perguruan tingginya.

Kalau usulan solusinya sih gampang-gampang saja. Jika orang luar tahu, pasti akan dengan mudah mengusulkan agar dosen pembimbingnya ditambah, sekaligus dievaluasi kompetensinya jika kurang dapat ditingkatkan untuk bagaimana cara mendeteksi kecurangan yang dimaksud. Selesai deh.

Itu solusi ideal kalau dikaitkan mutu dan tidak mempermasalahkan profit (biaya). Tetapi kalau itu dipilih, maka masalah kedua muncul. Ini yang biasa terjadi di perguruan tinggi swasta, yaitu biaya. Maklum, untuk mencari dosen yang dimaksud tentu perlu menambah anggaran operasional pendidikan. Dari mana itu. Tahu sendiri khan, kalau perguruan tinggi swasta dana operasionalnya khan juga dari murid yang membayar. Jadi kalau itu dilaksanakan maka keuntungan bisnis penyelenggaraan bisa berkurang dong. Ini khan seperti buah simalakama.

Nah Profesor pertama yang aku jumpai dulu memberi usulan jitu, untuk mengatasi masalah yang timbul. Sebagai seorang Profesor (juga jadi birokrat perguruan tinggi) maka langkah pertama adalah mendeskripsikan masalah terlebih dahulu. Apa sebenarnya yang paling urgent untuk ditangani.

Beliau menyimpulkan, bahwa yang paling urgent ditangani adalah menghindari adanya copy-and-paste atau bahkan plagiat pada waktu penyelesaian tugas akhir atau skripsi. Argumentasi beliau, jika itu sampai terjadi dan bocor ke publik, maka reputasi universitas bisa hancur. Bisnis habis.

Masalah itu timbul karena adanya tugas akhir berbentuk skripsi. Jika itu tidak ada, maka tentu risiko tersebut tidak akan ada. Nah mengacu pada peraturan formal yang ada, maka penghapusan skripsi adalah suatu pilihan yang logis. Persyaratan formal terpenuhi dan risiko reputasi universitas jemblok terhindari.

Itu yang terjadi. Ngak tahu sekarang ini apakah keputusan itu diberlakukan atau tidak. Jikapun berlaku, maka tidak ada peraturan yang dilanggar. Buktinya pak Menteri juga menyatakan, ini saya kutip lagi.

”Skripsi diopsionalkan atau pilihan, karena pertimbangannya satu, menulis itu untuk S1 apakah sudah menjadi kewajiban atau belum. Ada bentuk lain disebut independent studies, atau pembelajaran mandiri. Bisa bentuk penulisan juga, tapi bukan berbentuk skripsi,” ujar Nasir di kediamannya, Jumat 22 Mei 2015. Sumber di sini.

Nah kalau begitu memang nggak ada masalah to pak Wir. Jadi apa keberatan bapak.

Keberatan. Siapa bilang saya keberatan. Itu khan memang tugas pak Menteri untuk mengambil keputusan. Dianya pemimpin tertinggi di lembaganya, dan semua perguruan tinggi di Indonesia tunduk kepadanya. Apalagi itu dipilih resmi oleh Jokowi yang tempo hari aku pilih juga. So apa keberatan yang aku masalahkan.

Pada titik seperti itu, memang aku tidak bisa berperan apa-apa, tetapi kalau membaca ulang peringkat perguruan tinggi kita, yang ternyata tidak ada satupun tercantum di daftar list 500 besar universitas dunia. Kalah oleh Malaysia, maka aku dapat memaklumi. Orang yang dianggap terbaik di negeri ini, bergelar Profesor mewakili UNDIP lagi, ternyata tidak bisa memahami apa pentingnya skripsi atau semacamnya bagi lulusan perguruan tinggi.

Perdebatan tentang penting atau tidaknya memang bisa berkepanjangan. Tetapi analogi bahwa mengajar 50 mahasiswa adalah dimungkinkan, tetapi membimbing skripsi 50 mahasiswa pastilah dosennya akan kewalahan adalah petunjuk sederhana bahwa proses pengerjaan skripsi adalah berbeda daripada mengikuti perkuliahan. Tolong yang punya pendapat lain bisa berkomentar.

Selain itu juga perlu diketahui, bahwa pada level tertinggi pendidikan, misalnya doktor maka proses yang dipilih adalah penulisan disertasi (semacam skripsi juga) dan bukannya mengikuti kelas. Itu berarti, jika berorientasi pada mutu maka skripsi adalah pilihannya.

Adanya skripsi maka mahasiswa dapat dituntut untuk memformulasikan masalah yang ingin dibahas, sekaligus mengkomunikasikan hal tersebut kepada dosen pembimbingnya. Proses ini memang sangat personal, kedua belah pihak perlu berpikir dan saling mempertanggung-jawabkan. Ini nggak segampang proses pengajaran. Selanjutnya juga, dalam proses penyelesaian skripsi perlu melakukan penulisan, belajar mengolah kata agar dapat mengkomunikasikan ide dan dipahami orang lain.

Nah proses di atas pastilah tidak diperoleh ketika mengikuti kelas pengajaran. Jadi meskipun skripsi bobot sksnya adalah 6 (enam) maka itu tidak berarti dapat digantikan oleh 2 mata kulah lain berbentuk pengajaran yang masing-masing berbobot 3 sks. Nggak bisa seperti itu. Jadi meskipun secara numerik, formal itu ok, tetapi secara mutu jelas berbeda.

Jadi aku yakin sekali (ini sangat personil) bahwa keputusan bapak profesor yang menteri ini jika dilakukan maka janganlah banyak berharap bahwa perguruan tinggi di negeri ini akan terdapat pada list universitas bereputasi dunia seperti di atas. Mau setuju silahkan, nggak setuju anggap saja tulisan ini angin lalu. Salam dari saya yang bukan seorang Profesor.

7 pemikiran pada “skripsi akan tidak wajib !

  1. Selamat pagi Pak Wiryanto,

    Revised
    Sedang hangat dibicarakan tema ini.
    Share Informasi bahwa beberapa PTN atau PTS di Indonesia sudah ada yang mengimplementasikannya jauh hari sebelum beliau menyatakan pendapat di atas. bahkan sebelum beliau jadi menteri. Termasuk ada yang tidak melaksanakan KKN, ada juga yang mewajibkan mengambil mata kuliah KKN.

    Sukses Buku Bajanya pak, Jogja Kewalahan menghadapi peminat, buku masih kami nanti kedatangannya.

    salam,

    Faqih Ma’arif

    Suka

  2. Tulisan yang sangat menarik. Pak Wir, saya menangkap argumentasinya sebagai berikut: bagaimana mungkin bisa mengejar perguruan tinggi (PT) luar negeri kalau kita menghapuskan skripsi? (maaf jika saya terlalu menyederhanakan atau salah tangkap)

    Yang ingin saya tanyakan: sepertinya banyak (saya tidak tahu persis proporsinya) PT di negara-negara peringkat tinggi (misalnya: australia, usa, uk,…) yang tidak mewajibkan lulus dengan skripsi (by courses?). Apakah ada hubungan antara wajib skripsi dengan kualitas PT? Hubungan kausalitas atau korelasi? Mohon pencerahannya.

    Suka

  3. Ping-balik: skripsi itu emangnya penting ? | The works of Wiryanto Dewobroto

  4. saya sekarang berada dalam posisi sedang mengerjakan skripsi dan akan mengikuti meja hijau dalam 3 minggu lagi..
    seperti pengalaman saya, skripsi hanyalah sebuah tugas mengenai PENELITIAN..
    jadi menurut saya pribadi, pendidikan itu penting untuk masa kedepannya, TETAPI harus lihat juga kualitas pendidikannya. Nah dari sini saya ingin mengatakan kalau skripsi itu tidak begitu penting, karena yang ingin kita hadapi itu dunia nyata, bukan dunia pendidikan..
    toh kalo kita mengarungi pendidikan setinggi langit tapi tidak diterapkan dalam kehidupan nyata,, apakah berguna itu pendidikan?? coba pikirkan lagi,,
    makanya dari situ, saya menyimpulkan kalo skripsi itu bukanlah hal yang wajib untuk anak kuliah

    capek juga ya ketik panjang-panjang..

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s