SNI baja terbaru di Indonesia adalah SNI 1729:2015, yang merupakan adopsi utuh dari AISC 360-10. Nah terkait hal itu, mbak Hanna Yuni Hernanti dari Puslitbang PUSKIM di Cileunyi, Bandung, mengirimkan dokumen pendukung lain yang baru, yaitu Petunjuk Teknis Penggunaan SNI 1729Tentang Spesifikasi Untuk Bangunan Gedung Baja Struktural. Dokumen tersebut sejatinya adalah terjemahan dari Design Examples Version 14.1 dari AISC.
Adanya buku petunjuk teknis yang baru di atas menunjukkan bahwa keputusan untuk mengadopsi code AISC adalah telah bulat. Itu berarti semua perencanaan gedung baja di bawah tanggung jawab Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat harus mengacu pada AISC yang merupakan sumber rujukan utama dari SNI kita.
Oleh sebab itu, materi pengajaran Struktur Baja di perguruan tinggi, harus menyesuaikan. Ini penting karena dalam praktiknya, masih banyak dosen yang mengajarkan metode ASD yang lama (AISC 1989). Alasannya masih banyak fabrikator baja yang memakai code tersebut, dibanding code baja yang terbaru (AISC 2010).
Bagi orang awam, alasan di atas tentunya dapat dianggap sebagai alasan yang masuk akal. Tetapi bagiku, tentunya tidak demikian halnya. Menurutku, itu seperti membandingkan antara apel dan jeruk. Bagaimana tidak, insinyur yang bekerja sebagai dosen (gurunya insinyur) tentunya berbeda dengan insinyur yang bekerja di fabrikator baja.
Bagi seorang dosen, agar bisa disebut sebagai guru, adalah penting untuk memberikan yang terbaik, yang state of the art, atau ilmu yang terbaru bagi murid-muridnya. Maklum, sifatnya adalah pendidikan dan pembelajaran, sehingga dianya harus juga memberi teladan bagi murid-muridnya dengan selalu belajar dan menggali ilmu baru. Kondisi itu tentunya berbeda dari seorang insinyur yang bekerja di fabrikator. Tugas utama fabrikator adalah memproduksi konstruksi baja secara aman tetapi ekonomis. Kalau diperlukan pembelajaran tentu tujuannya agar diperoleh keamanan yang dimaksud, dan tetap ekonomis. Jadi yang penting tentunya adalah profit setinggi-tingginya. Cara yang digunakan, bukanlah tujuan. Artinya, jika pakai cara lama masih bisa memberikan profit yang dimaksud, mengapa harus pakai cara baru. Iya khan ?
Jadi jika secara formil sudah diketahui bahwa sudah ada perkembangan terbaru terkait dengan code yang harus dirujuk, maka seorang dosen, yang notabene gurunya insinyur, maka tentunya perlu melakukan penyesesuaian materi yang diajarkan. Jika tetap ngotot pakai materi lama, dengan alasan bahwa ilmu yang diajarkan masih dipakai oleh praktisi. Itu khan sebenarnya dosennya malas untuk up-dated ilmu yang terbaru. Maklum untuk belajar hal yang baru memang perlu enerji khusus.
Pak Wir ini bagaimana, mengapa ASD dianggap kuno. Bukankah di AISC 360-10 (2010) juga memuat cara tersebut lagi. Pada code AISC 2010 tersebut, kita bisa memilih cara perencanaan, apakah mau LRFD atau ASD. Gimana itu pak ?
Nah yang bertanya seperti ini pastilah belum membaca buku karyaku yang terbaru. Termasuk juga belum atau tidak mau membaca secara teliti code AISC 2010 tersebut.
Memang betul AISC (1989) dan AISC (2010) keduanya memuat kata ASD. Tetapi jangan terkecoh, kepanjangan dari keduanya adalah berbeda. ASD yang lama adalah kepanjangan dari Allowable Stress Design, adapun ASD yang baru adalah kepanjangan dari Allowable Strength Design. Sama-sama S, tetapi yang satu stress, sedangkan yang lain adalah strength. Beda banget itu.
ASD yang lama (1989) adalah perencanaan berdasarkan kondisi tegangan elastis material baja. Pada kondisi ini, tidak ada tinjuan adanya penampang plastis atau tidak. Maklum, karena untuk itu ada kententuan tersendiri, yang disebut analisis plastis. Adapun ASD yang baru (2010) adalah perencanaan berdasarkan kondisi ultimate penampang. Itu berarti sudah memperhitungkan adanya momen plastis pada penampang atau tidak.
Jadi praktisnya, dengan ASD lama, para perencanaan belum bisa memprediksi tentang perilaku struktur, apakah daktail atau tidak karena tidak membahas sampai terjadi momen plastis pada penampangnya. Adapun dengan ASD baru, karena pada dasarnya sama dengan cara LRFD, yaitu cara ultimate, maka dalam tahap perencanaannya sudah dapat diketahui kondisi keruntuhan elemen yang direncanakan, apakah bersifat daktail atau tidak.
Kemampuan memprediksi perilaku keruntuhan struktur, apakah daktail atau tidak , sangat penting dalam perencanaan bangunan tahan gempa. Itu salah satu alasan mengapa metode perencanaan modern adalah didasarkan perencanaan cara ultimate tersebut.
Pak Wir, jika ASD baru dan LRFD dapat dianggap sebagai cara ultimate. Lalu dimana perbedaan keduanya ?
Perbedaannya adalah pada momen / gaya perlu dan momen /gaya tersedia. Pada LRFD maka momen / gaya perlu adalah dikalikan dengan faktor beban, yang berbeda-beda untuk setiap kasus beban. Lalu di bagian momen / gaya tersedia dikalikan dengan faktor reduksi atau faktor ketahanan yang kita kenal sebagai phi. Adapun pada ASD, maka pada momen / gaya perlu tidak perlu dikalikan dengan faktor beban. Hanya saja, pada momen / gaya tersedia perlu dibagi dengan safety faktor atau omega. Itulah mengapa, dalam satu buku yang sama, yaitu AISC 360-10 dapat diberikan dua metode, yaitu ASD dan LRFD sekaligus. Itu sebenarnnya hanya untuk mengecoh agar para praktisi mau beralih dari ASD (lama) ke ASD (baru). Kesannya, tidak terlalu banyak usaha dibanding jika dari ASD ke LRFD. Gitu . . .
Nah bagi dosen Struktur Baja yang berminat untuk up-dated materi perkuliahan ke yang paling state of the art, yaitu yang mengacu SNI 1729:2015 atau AISC 2010, maka ada baiknya mengacu pada buku merah pada foto berikut.
Sampai saat ini, buku di atas adalah satu-satunya buku teks berbahasa Indonesia yang telah mengacu pada SNI 1729:2015 atau AISC 2010 yang terbaru.
Materinya disusun sudah mencakup 98% untuk proses pembelajaran di S1, yaitu mata kuliah Struktur Baja I, II dan III. Yang belum tercakup, adalah materi analisis plastis.
Untuk membelinya, silahkan order via on-line di http://lumina-press.com.
Yth. Pak Wir,
Terima kasih banyak atas sharing informasinya. Kebetulan topiknya tentang ini. Saya punya pertanyaan, Pak Wir.
Jika diamati di dalam isi dokumen “AISC Design Examples Manual v.14.1”, saya tidak menemukan contoh perhitungan untuk profil single angle,pak. Sekilas terkesan aneh, dari sekian banyak profil yang diberikan contoh perhitungan desainnya, hanya profil single angle saja yang tidak diberikan contohnya.
Jika merujuk pada code AISC 2010, desain kuat tekan profil L (single angle) hanya dipengaruhi oleh Section E5. Namun jika membaca isi Section E5 lebih lanjut, kuat tekan profil L ternyata perlu didesain berdasarkan Section E3 (untuk profil tidak langsing), E4 (untuk b/t > 20), & E7 (untuk profil langsing atau b/t > 12.99, jika diasumsikan nilai E = 200000 MPa, dan Fy = 240 MPa). Di luar itu profil L bisa didesain menurut rumus Section E5(a), E5(b), dan Chapter H dengan syarat kondisi tertentu.
Di dalam buku bapak yang lama dan yang terbaru (hal.298) memang sudah diberikan contoh perhitungannya, namun sayangnya hanya untuk satu kasus persoalan saja, yaitu penggunaan Section E5.a.(i) yang kemudian perhitungan lebih lanjutnya berhubungan dengan Section E3. Untuk kasus lainnya yang berhubungan dengan Section E4, dan E7 sayangnya tidak ada. Padahal jika kita mengecek kelangsingan profil L dari katalog Gunung Garuda, ada 10 profil yang masuk dalam kategori memiliki penampang “langsing”, yaitu profil: L40x3, L60x4, L65x5, L80x6, L90x6, L100x7, L120x8, L130x9, L175x12, & L200x15 (dengan asumsi nilai E = 200000 MPa, dan Fy = 240 MPa).
Saya penasaran untuk melihat contoh perhitungan untuk kasus2 lainnya, karena perhitungan desain kuat tekan profil L ini memiliki perbedaan yang cukup unik dengan profil lainnya dimana nilai jari2 girasi yang digunakan sebagai nilai kelangsingan profil diambil dari nilai “rz”, yaitu jari2 girasi minimum yang tergantung dari besar kemiringan sudut terhadap sumbu x-x atau sumbu y-y, bukan dari nilai rx atau ry seperti pada profil lainnya. Sayangnya di dalam buku bapak tidak dijelaskan bagaimana cara mencari nilai rz ini secara perhitungan manual jika penampang profil L adalah berbentuk simetri satu bidang (equal leg) ataupun profil L berbentuk tidak simetri (unequal leg) atau juga penampang profil L dengan ketebalan leg yang berbeda. Padahal nilai rz ini sangat penting untuk diketahui nilainya dalam menentukan nilai kuat tekan profil L ketika kita harus menghadapi kasus dengan bentuk penampang L yang tidak lazim atau tidak ada di dalam brosur profil Gunung Garuda. (Walaupun cara praktis bisa digunakan untuk mendapatkan nilai rz ini dengan memanfaatkan program sap2000).
Pertanyaannya adalah sbb, Pak Wir:
1. Apakah rumus Section E5(a) dan E5(b) dapat digunakan untuk menghitung kuat tekan profil L berpenampang langsing, tidak langsing, ataupun dengan rasio kelangsingan b/t > 20 pak?
2. Jika diamati pada rumus E5-2 dan E5-4 (AISC 2010), nilai kelangsingan KL/r dibatasi tidak boleh lebih dari nilai 200. Apakah ini berarti jika nilai KL/r lebih besar dari 200 rumus section E5 sudah tidak berlaku/ tidak dapat digunakan lagi?
3. Apakah Kz dapat diambil sama dengan Ky atau Kx? Dalam kasus seperti apa nilai Kz tidak dapat diambil sama dengan nilai Ky atau Kx?
Sekian dulu pertanyaan dari saya, Pak Wir. Mohon pencerahannya. Terima kasih.
SukaSuka
Mas Pande, untuk ketentuan b/t>20 pakai ketentuan E4 dan bukan E5. Hal ini sudah diungkapkan di buku saya, di halaman 296. Juga untuk KL/r > 200 maka tentu tekuk elastis akan terjadi, nggak ekonomis. Kz bisa diambil sama dengan Kx atau Ky jika tambatan yang diberikan bisa mencegah puntir.
Moga-moga menjawab.
SukaSuka
Yth. Pak Wir,
Terima kasih atas jawabannya pak Wir. Tapi perkenankan saya untuk bertanya lebih lanjut ya Pak Wir.. 🙂
1. Benar Pak Wir, tapi di pikiran saya masih ada 2 kemungkinan seperti di bawah pak:
a. Karena Section E5 hanya berfungsi untuk mencari nilai KL/r, sehingga untuk perhitungan selanjutnya (setelah didapatkan nilai KL/r berdasarkan ketentuan E5) desain kuat tekan profil L tetap menggunakan rumus Section E3, E4, atau E7, tergantung dari nilai kelangsingan penampang.
atau
b. Jika profil L tergolong kategori penampang langsing dimana b/t > 20, maka desain kuat tekan profil L tidak bisa menggunakan Section E5 dan harus langsung menggunakan Section E7.
Apakah pernyataan a atau b yang benar ya, Pak Wir?
2. Diluar aspek ekonomis, yang menjadi masalah jika menggunakan rumus Section E5(a) atau E5(b) adalah nilai Pn terkunci di nilai KL/r = 200, Pak Wir. Walaupun panjang batang saya tambah panjang sedemikian rupa, nilai Pn tidak berubah karena walaupun aktualnya nilai KL/r saya buat menjadi 500, KL/r yang terhitung dengan ketentuan Section E5 ini tetap diambil 200. Apakah ini bukan berarti Section E5 hanya diperuntukkan untuk kelangsingan profil tidak lebih dari 200, Pak Wir (di luar aspek ekonomis atau tidak)?
Berbeda hasilnya ketika saya tidak mendesain menggunakan Section E5, tapi langsung menggunakan rumus Section E3, E4, atau E7, nilai Pn akan semakin mengecil (tidak terkunci) seiring dengan membesarnya nilai KL/r.
3. Berarti ada kemungkinan Kz tidak diambil sama dengan Kx atau Ky ya Pak Wir? Kalau begitu, bisa saya diberikan contoh tambatan untuk profil L yang tidak dapat mencegah puntir sehingga nilai Kz diambil berbeda nilainya dengan Kx atau Ky, Pak Wir?
Maaf ada pertanyaan tambahan dari saya ya Pak Wir:
4. Rumus praktis untuk mencari nilai rz untuk penampang dengan tebal leg yang berbeda bagaimana ya Pak Wir? Untuk saat ini saya baru mengetahui rumus praktis untuk menghitung nilai rz untuk profil equal leg dan non equal leg dengan ketebalan leg yang sama.
Mohon maaf jika pertanyaan saya terlalu banyak, Pak Wir.
Mohon bantuan jawabannya sekali lagi ya pak. Terima kasih.
SukaSuka
Yth. Pak Wir,
Terima kasih atas jawabannya pak Wir. Tapi perkenankan saya untuk bertanya lebih lanjut ya Pak Wir.. 🙂
1. Benar Pak Wir, tapi di pikiran saya masih ada 2 kemungkinan seperti di bawah:
a. Karena Section E5 hanya berfungsi untuk mencari nilai KL/r, sehingga untuk perhitungan selanjutnya (setelah didapatkan nilai KL/r berdasarkan ketentuan E5) desain kuat tekan profil L tetap menggunakan rumus Section E3, E4, atau E7, tergantung dari nilai kelangsingan penampang.
atau
b. Jika profil L tergolong kategori penampang langsing dimana b/t > 20, maka desain kuat tekan profil L tidak bisa menggunakan Section E5 dan harus langsung menggunakan Section E7.
Apakah pernyataan a atau b yang benar ya, Pak Wir?
2. Diluar aspek ekonomis, yang menjadi masalah jika menggunakan rumus Section E5(a) atau E5(b) adalah nilai Pn terkunci di nilai KL/r = 200, Pak Wir. Walaupun panjang batang saya tambah panjang sedemikian rupa, nilai Pn tidak berubah karena walaupun aktualnya nilai KL/r saya buat menjadi 500, KL/r yang terhitung dengan ketentuan Section E5 ini tetap diambil 200. Apakah ini bukan berarti Section E5 hanya diperuntukkan untuk kelangsingan profil tidak lebih dari 200, Pak Wir (di luar aspek ekonomis atau tidak)?
Berbeda hasilnya ketika saya tidak mendesain menggunakan Section E5, tapi langsung menggunakan rumus Section E3, E4, atau E7, nilai Pn akan semakin mengecil (tidak terkunci) seiring dengan membesarnya nilai KL/r.
3. Berarti ada kemungkinan Kz tidak diambil sama dengan Kx atau Ky ya Pak Wir? Kalau begitu, bisa saya diberikan contoh tambatan untuk profil L yang tidak dapat mencegah puntir sehingga nilai Kz diambil berbeda nilainya dengan Kx atau Ky, Pak Wir?
Maaf ada pertanyaan tambahan dari saya ya Pak Wir:
4. Rumus praktis untuk mencari nilai rz untuk penampang dengan tebal leg yang berbeda bagaimana ya Pak Wir? Untuk saat ini saya baru mengetahui rumus praktis untuk menghitung nilai rz untuk profil equal leg dan non equal leg dengan ketebalan leg yang sama.
Mohon maaf jika pertanyaan saya terlalu banyak ya Pak Wir.
Mohon bantuan jawabannya sekali lagi pak. Terima kasih.
SukaSuka
Maaf ada kesalahan ketik, Pak Wir. Kalimat benar untuk poin 1.b =
b. Jika profil L tergolong kategori penampang langsing dimana b/t > 20, maka desain kuat tekan profil L tidak bisa menggunakan Section E5 dan harus langsung menggunakan Section E4.
SukaSuka
Pertanyaannya panjang banget. Saya mencoba untuk menjawab ya.
Begini, ketentuan E5 untuk siku tunggal adalah dimaksudkan untuk penyederhanaan hitungan. Memang betul hanya mencari KL/r pengganti, yang hasilnya harus lebih besar sehingga kapasitas tekannya jadi kecil. Mengapa begitu.
Nah ini yang perlu diketahui. Batang siku tunggal sangat populer digunakan untuk tower energi dimana untuk mendapatkan sistem struktur yang ekonomis maka sambungannya hanya pada satu sisi saja. Ini kata kuncinya. Kalau ndak salah, cerita ini sudah saya tulis di buku saya lho.
Nah, karena hanya disambung pada satu sisi maka jelas gaya-gaya internal yang masuk ke elemen tersebut menghasilkan eksentrisitas, yang menimbulkan momen. Ingat ketentuan E adalah untuk gaya aksial yang centris. Itu berarti bukan lagi kolom aksial murni, tetapi elemen dengan gaya aksial dan momen. Oleh sebab itu untuk menghitungnya maka selain memakai ketentuan E (aksial) juga perlu ketentuan F (lentur) dan dikombinasikan keduanya dengan ketentuan H. Hitungannya jadi ribet.
Itulah makanya dibuat ketentuan E5 agar perencanaan siku tunggal dapat dihitung sebagai batang aksial saja, agar lebih sederhana. Oleh sebab itu kapasitasnya lebih kecil karena untuk mengantisipasi terjadinya momen oleh adanya eksentrisitas. Itu mas.
Tentang batasan KL/r 200 berdasarkan literatur AISC yang lama itu sudah tidak cocok untuk batang tekan utama.
Begitu penjelasan saya, kalau ternyata pernyataan di atas ternyata tidak ada di literatur lain, mohon maklum. 😀
SukaSuka
Yth. Pak Wir,
Terima kasih banyak atas jawabannya, Pak Wir. Walaupun tidak semua pertanyaan dijawab.. 🙂
Hanya sekedar informasi pak; Saya menghitung nilai Pn profil L60x60x6 dengan menggunakan rumus Section 5 (b) lalu dibandingkan dengan hasil Pn (dengan nilai K dan L yang sama) dari rumus Section E3, hasilnya nilai Pn menurut rumus Section E3 malah lebih kecil. Rangkuman perhitungannya seperti di bawah:
Profil bracing = L.60x60x6
rx = ry = 18.47 mm
rz = r.min = 11.79 mm
K = 1 (restraint kedua ujung diasumsikan sendi-sendi)
L = 2200 mm
Nilai Pn dengan menggunakan rumus Section E3:
KL/r.min = 186.53
Fcr = 49.75 MPa
Pn (E3) = 34.03 kN (saya cek di Sap juga mnghasilkan nilai yang sama)
Nilai Pn dengan menggunakan rumus Section E5 (b) :
L/rx = 119.13
KL/r = min (45 + L/rx , 200) = 164.13
Fcr = 64.26 MPa
Pn (E5) = 39.56 kN
Kesimpulan: Pn (E3) < Pn (E5)
SukaSuka
Hasil dari E5 bisa lebih besar karena kondisi tumpuan yang berupa tersambung pada satu sisi dengan las atau baut (minimal 2) adalah tidak serta merta bisa kita modelkan sebagai sendi-sendi tetapi memakai rumus baru yang diusulkan AISC. Pemakaian dengan K=1 adalah asumsi terjelek yang menghasilkan nilai yang konservatif. Sangat aman karena ketentuan E5 lebih besar.
Mana yang dipilih tentu diserahkan oleh insinyur perencananya. Jika insinyur luar memilih memakai ketentuan E5 yang lebih ekonomis, maka tentunya tidak ada yang memasalahkan karena sesuai ketentuan yang ada. Kalaupun ngotot pakai K=1, maka itu juga tidak bisa sepenuhnya benar.
Jadi untuk membuktikan dari dua cara tersebut yang benar, maka satu-satunya cara adalah melakukan pengujian atau riset terkait hal itu. Tanpa ada itu, maka sifatnya subyektif. Nah AISC unggul dalam hal riset dan semacamnya. Bahkan keraguan di atas bisa kita kembangkan untuk mengetahui apakah E5 itu dapat terus dipakai atau harus pakai E3. Saya tidak bisa menjawab secara mutlak tanpa adanya dukungan riset aktual.
SukaSuka
Yth. Pak Wir,
Terima kasih banyak atas jawaban2 dan penjelasannya, Pak Wir. 🙂
SukaSuka
Yth. Pak Wir,
Saya menemukan kesalahan tulis di buku bapak yang terbaru, yaitu pada hal 303, Subbab 5.8.4, poin no 2. Rumus ketentuan “a ≤ 0.75 x (KL/r) profil gabungan” seharusnya adalah “K x a/ri ≤ 0.75 x (KL/r) profil gabungan”. Sekian, terima kasih.
SukaSuka
terima kasih atas masukannya. Setelah saya pelajari di halaman 303, memang betul ada yang membingungkan karena tertulis a < 0.75 (Kl/r) . Untung penjelasan di depannya sudah betul, sebagaimana diperlihatkan pada contoh penyelesaian di halaman 307 dan 308. Sudah betul.
Pada cetakan berikutnya, yang membingungkan di atas akan diperbaiki sesuai saran pak Made, agar tidak membingungkan..
SukaSuka