Tridharma Perguruan Tinggi selalu dijadikan acuan untuk mengajak atau bahkan menegur dosen dalam kaitannya dengan produktivitasnya dalam meneliti dan menulis makalah / jurnal ilmiah. Tetapi itu hanya ampuh untuk yang benar-benar menggeluti karir dosen, khususnya untuk kategori dosen tetap perguruan tinggi. Apalagi saat ini dapat dikaitkan langsung dengan kelancaran menerima Tunjangan Profesi Dosen dari Pemerintah yang undang-undang terbaru adalah PERMENRISTEK DIKTI RI No.20 TAHUN 2017.
Sayangnya, tunjangan yang dimaksud belum diperuntukkan pada semua dosen tetap, ada kuota yang tertentu (terbatas). Jika “dosen tetap” saja ada yang tidak menerimanya, maka jangan ditanyakan jatah untuk “dosen tidak tetap”. Oleh sebab itu, untuk dosen tidak tetap maka penghasilannya tergantung dari jumlah mata kuliah yang diajarnya saja per semester. Oleh sebab itu membicarakan tentang Tridharma Perguruan Tinggi pada dosen tidak tetap, adalah tidak berguna secara materi. Apalagi bila dosennya tidak mempunyai jenjang akademik atau sudah sepuh usianya.
Ada juga tipe “dosen tidak tetap” yang tidak peduli Tridharma Perguruan Tinggi maupun jumlah mata kuliah tiap semesternya. Dia tidak mencari uang dari mengajar, bagi mereka yang penting adalah masih terdaftar di perguruan tinggi, sehingga di CV-nya dapat ditulis “pengajar perguruan tinggi”. Bagi mereka itu sudah cukup, ada yang mengajar karena hobby untuk terhibur, ada juga yang menganggapnya pekerjaan sambilan untuk mendapatkan status sosial positip, untuk melengkapi brand image-nya.
Oleh sebab itu terkait Tridharma Perguruan Tinggi maupun Tunjangan Profesi Dosen maka tanggapan antara tiap individu dosen, bisa berbeda-besa. Apalagi bagi masyarakat awam. Pada kasus ini, penulis berstatus dosen tetap, dengan jenjang akademik dan mendapatkan tunjangan profesi. Oleh sebab itu, apa yang ditulisnya bisa menjadi gambaran bagaimana kondisi profesi dosen di perguruan tinggi Indonesia, khususnya perguruan tinggi swasta.
Adanya tunjangan profesi dosen jelas sangat membantu dalam meningkatkan citra diri. Dosen adalah suatu profesi yang tidak saja terhormat dari segi moril karena membantu orang lain untuk berkembang, tetapi juga terhormat dari segi pendapatan. Tentu saja ini jangan dibandingkan dengan pengusaha. Ini penting, apalagi institusi perguruan tinggi tempatnya bekerja sejak awal telah mempunyai kebijakan bahwa dosen adalah profesi profesional sehingga tentu saja perlu dibayar secara layak. Itu yang menjadi alasan mengapa saya tetap menjadi dosen sejak 1998 sampai sekarang, hampir 18 tahun lamanya.
Adanya rasa syukur akan profesi yang digelutinya, juga keinginan pengakuan diri bahwa dirinya adalah dosen yang betul-betul profesional maka unsur-unsur yang terdapat pada Tridharma Perguruan Tinggi dicoba untuk benar-benar diterapkan. Cara yang dipilihnya untuk itu adalah bahwa selain unsur mengajar, maka kegiatan menulis mencoba dijiwainya. Blog ini menjadi salah satu pelapiasan kegiatan yang dimaksud, sehingga dapat menjadi sarana untuk melatih diri menulis. Maklum tulisan di blog seperti ini, tidak ada harganya dalam perhitungan kum sebagai dosen. Tanpa hobby, ini tentu suatu pekerjaan sia-sia, yang akan menghabiskan waktu.
Menulis di blog telah aku mulai sejak tahun 2006, oleh sebab itu kasusnya seperti “pucuk dicinta, ulam tiba“. Ketika tahun 2008 mulai diadakannya sertifikasi dosen, dan dilanjutkan adanya tunjangan profesi dosen maka kasusnya adalah menguntungkan bagi orang-orang seperti aku, menggeluti ketrampilan mengajar sekaligus menulis. Menguntungkan karena kriteria penilaian kinerja dosen yang tersertifikasi adalah produktivitas mengajar sekaligus jumlah tulisan atau publikasi ilmiah yang dibuatnya. Jadi untuk menulis tanpa perlu peer-reviews maka cincailah, karena tulisannya akan mengalir begitu saja. Apalagi sudah ada penerbit yang memastikan diri untuk selalu menerima dan menerbitkan buku-buku karyaku, yaitu LUMINA Press. Saya yakin, dosen yang seperti ini di Indonesia sangat langka. Hal ini pula yang membuatku menjadi semakin mantap dan percaya diri bekerja sebagai dosen, buku-buku karya-karya tulisku diterima dengan antusias oleh pihak akademisi maupun praktisi. Memang sih, bukuku tersebut di toko buku umum, tidak tersedia. Adanya hanya via on-line saja. Maklum dicetak terbatas, dan harganya relatif mahal dibanding buku-buku setara lainnya di Indonesia.
Meskipun menulis bagiku adalah sesuatu yang biasa aku kerjakan, tetapi untuk menulis makalah ilmiah dengan peer-review aku harus banyak meluangkan enerji. Tidak bisa dikerjakan sebagai hiburan, tetapi harus dicermati dan diusahkan dengan serius. Apalagi jika makalah yang dimaksud harus ditulis dengan bahasa asing. Wah itu bisa menjadi beban pikiran dan bisa menimbulkan stress untuk mengerjakannya.
Jujur saja, jika tidak terpaksa, maka menulis di jurnal ilmiah international adalah suatu yang tidak terbayangkan dan kalau bisa dihindari saja. Saya yang termasuk produktif menulis, baik di blog maupun buku, ternyata merasa keder juga untuk menulis di jurnal ilmiah international. Untunglah, pengalamanku pernah mengambil program S3 dengan pembimbing yang dapat dibanggakan, yaitu Prof Sahari Besari, membuatku merasa percaya diri. Oleh sebab tuntutan kewajiban jika ingin meraih guru besar, maka di bulan November kemarin, terpaksa mau tidak mau, aku harus menulis jurnal ilmiah yang dimaksud. Itupun bisa terjadi karena mendapatkan kasus menarik, suatu penyelesaian permasalahan yang kata orang adalah cukup inovatif dan mengandung kebaharuan pada salah satu proyek besar konstruksi di Indonesia.
Sampai di sini, bisa ketangkep maksudku, bahwa menulis di jurnal ilmiah international yang bereputasi, adalah tidak gampang. Kalau aku tidak sering menulis, bukan berpendidikan S3, juga tidak mempunyai topik menarik yang mengandung kebaharuan, maka sangat-sangatlah susah kalaupun tidak mau dikatakan muskil untuk dikerjakan. Bagiku masih lebih mudah untuk menulis buku daripada jurnal ilmiah international bereputasi. Mendapatkan materi yang bersifat inovatif dan mengandung kebaharuan, adalah memerlukan persyaratan yang tidak sedikit, baik itu berupa infrastruktur maupun sumber daya manusianya. Sebagai contoh, institusi perguruan tinggi yang memiliki program pascasarjana baik S2 dan S3, maka dosen-dosen di dalamnya tentu akan lebih mudah untuk terinspirasi membuat karya ilmiah berupa jurnal international, daripada yang hanya memiliki program S1. Juga bila didukung oleh infrastruktur laboratorium yang baik, ini khususnya program studi teknik, maka tentunya dapat dilakukan percobaan yang lebih banyak dan lebih baik, daripada jika dosennya harus menyewa di tempat lain. Jelas itu tidak sekedar biaya, tetapi waktu yang menjadi kendala.
Oleh sebab itu membaca salah satu persyaratan baru dalam mendapatkan tunjangan profesi, yaitu sbb:

Ini menjadi persyatan bagi Lektor Kepala yang masih ingin mendapatkan tunjangan profesi. Padahal yang namanya Lektor Kepala belum tentu berpendidikan S3, sehingga kompetensinya dalam membuat penelitian serta menulis karya ilmiah untuk level jurnal dengan peer reviewer, tentu masih dipertanyakan, apalagi sampai level international.
Oleh sebab itu menurutku, adanya peraturan di atas sukses dijadikan sebagai upaya penghematan anggaran negara. Maklum, para Lektor Kepala tentu akan malu untuk menagih akan tunjangan profesi karena membuat karya ilmiah yang dimaksud tentulah suatu beban yang berat. Bisa-bisa daripada mendapatkan stress berat, ada baiknya kembali ngobyek sana, ngobyek sini saja. Apalagi bidang ilmu teknik sipil, mroyek saja. Jelas akan dapat tunjangan yang dimaksud. 😀
Untuk level profesorpun, saya kira tidak mudah. Tidak banyak profesor yang mampu membuat tulisan berskala international. Kalau tidak percaya, coba masukkanlah nama profesor yang anda kenal di situs Scopus ini. Check apakah ada tulisannya yang terindeks secara international. Kalau ada syukurlah, profesor anda memenuhi kriteria. Untuk maksud yang sama, saya coba juga masukkan nama author Muhammad Nasir. Memang ada sih publikasinya dengan nama tersebut, hanya saja bukan nama negara kita. Jadi apa itu artinya.







Tinggalkan Balasan ke Nusantara Adhiyaksa Batalkan balasan