reaksi GURU terhadap UN


Bagi guru yang berpengalaman lama (senior), tentu dapat merasakan kehormatan menjadi GURU, diGUgu dan ditiRU , yaitu setiap kata ucapannya didengar (diperhatikan / dilaksanakan) dan menjadi teladan. Oleh karena itulah, untuk mempertahankannya maka para guru akan berusaha dan bersikap agar kehormatan tersebut tetap ada. 

Padahal sikap hormat para murid (dan orang tua murid) ada pamrihnya, yaitu agar guru tersebut memberi nilai baik. Jadi ujung-ujungnya, kehormatan seorang guru adalah karena wewenangnya menilai murid. Hal tersebut diketahui benar oleh guru senior. Agar setiap penilaian yang diberikan di-amini maka tentu saja proses pembelajarannya harus benar, jika sampai diprotes dan gurunya ternyata yang salah maka tentu akan menurunkan martabat guru itu sendiri.

Hubungan seperti itulah yang menyebabkan mengapa guru yang gajinya relatif kecil masih diminati.

Tetapi apa yang terjadi dengan adanya UN (Ujian Nasional) ?

Para guru yang telah berinteraksi bertahun-tahun dengan para muridnya akan mengenal betul setiap karakter muridnya, sehingga ketika ujian akhir maka yang akan dievaluasi adalah apa-apa yang telah dipelajari bersama selama itu. Harapannya tentu agar murid-murid semuanya lulus. Yang paling tahu materi yang telah dipelajari bersama, tentu saja gurunya itu sendiri.

Tahu-tahu ada instruksi dari pusat : materi untuk evaluasi bukan dari guru yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran tetapi dari pemerintah berupa UN. Resikonya apa, ya bisa saja materi yang diujikan tidak sama (berbeda fokusnya) dengan materi yang telah dipelajari selama ini. Akhirnya apa.

Terjadi ketidak-sambungan antara proses pembelajaran yang bertahun-tahun tersebut dengan proses evaluasi kelulusan yang hanya sesaat, tetapi menentukan itu.

Kalau anda benar-benar menghayati sebagai guru, tentu akan merasa terhina, bahwa kerja keras anda selama proses pembelajaran tersebut tidak dihargai sama sekali. Eksistensi anda sebagai guru tidak dipercaya lagi.

Lho mengapa materi yang diajarkan berbeda dengan instruksi pusat ? Kalau beda khan itu salahnya guru ?

Itulah pemerintah, yang dengan mudah menyamakan kondisi sekolah, satu dengan yang lainnya, meskipun dukungan dana yang diberikan oleh mereka (pemerintah) belum tentu sama juga. Fasilitas sekolah, latar belakang anak didik dan gurunyapun sudah tidak sama, itu jelas. Tetapi mengapa tetap disamakan ?

Ada ide lain juga : jika UN menjadi kriteria kelulusan seseorang maka kalau begitu sebaiknya pelajaran selama bertahun-tahun disekolah tersebut berorientasi saja pada UN. Mata kuliah lain yang tidak berkaitan dengan UN dihapus saja, gurunya di pecat. Beban sekolah murah, juga nanti waktu UN banyak yang lulus, sehingga dianggap sebagai sekolah unggulan. Gitu khan. Pusing amat.

Jadilah sekolah = kursus bimbingan belajar.

Itulah yang terjadi selama ini. Tentu banyak guru yang merasa meradang dengan adanya keputusan UN tersebut !

Ah, pak Wir ini, guru meradang ? Mana buktinya ? Khan adem ayem aja ?

Iya memang adem ayem aja. Orang Indonesia khan seperti itu, tahu-tahu kalau sudah nggak kuat kan jadi ‘amok’. Pada kondisi-kondisi tertentu, anggap kondisinya masih kuat, sikap guru terhadap UN memang bermacam-macam, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Yang tidak setujupun sikapnya belum tentu sama, ada yang berani menyatakan sikap bahwa ‘dia tidak setuju’ tetapi ada yang diam-diam. Tidak menyatakan sikap ‘tidak setuju’ secara terbuka tetapi tindakannya jelas menunjukkan ketidak-setujuan tersebut. Buktinya : itu yang terjadi pada para guru di Medan, yaitu tetap melaksanakan UN disekolah-sekolahnya tetapi mereka juga memberi tahukan jawabannya. Berita lengkap lihat di http://wiryanto.wordpress.com/2007/04/28/ada-apa-dengan-guru-kita/ .

Mengapa mereka melakukannya, mereka merasa tidak berdaya untuk ber-konfrontasi langsung dengan pusat untuk menyatakan tidak setuju UN (takut dipecat) , tapi kalau mengikuti UN juga takut bahwa anak didiknya banyak yang tidak lulus, yang artinya bahwa gurunya juga dianggap tidak mampu (nanti juga akan dipecat). Jadi karena maju kena dan mundurpun juga kena maka diambillah sikap seperti itu.

Lalu bagaimana dengan guru-guru yang melawan penyontekan seperti itu.

Kalau diperhatikan bahwa yang melawan tersebut adalah guru-guru muda, yang masih idealis, yang melihat suatu masalah dengan hitam atau putih, yang mungkin juga belum merasakan enaknya menjadi guru (sudah bisa menabung).

Akhirnya apa ? yah, cari tahu sendirilah. Bingung juga, karena mereka bisa benar semua. Mungkin yang salah sistemnya ya ?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s