Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit, yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya untuk melakukan tindak kekerasan. Padahal seharusnya, setiap bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa di antara anak manusia di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala cara, menindas manusia-manusia lain. Terhadap manusia-manusia yang sedemikian ini, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya.
Usaha terakhir dari pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali menyimpang dari tuntunan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri. Yaitu kekerasan, perkelahian serta persoalan hidup dan mati.
Pertentangan antara hakikat dari pengabdian diri terhadap manusia sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh cinta kasih, sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya. Disinilah kadang-kadang dijumpai persimpangan jalan antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian, bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan. Sebab dalam hal yang demikian, untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri sebagai puncak pengabdian. Jika demikian itu, apabila segala macam cara dapat dibenarkan maka timbulah fitnah, kebiadaban, kelaliman, kekejaman dan kesewenang-wenangan yang justru menghilangkan nilai tertinggi dari tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigoro, Penembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Karena itulah, maka Penembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk : Orang berjubah abu-abu yang sakti, dan seorang Penembahan yang menjauhkan diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu, Kebo Kanigoro dan Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun di dalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang terusir dari Banyu Biru, dan tentang hak yang sudah terampas dari tangannya.
Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Penembahan Ismaya dapat mengerti. Karena itu, katanya: “Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari cara dan tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak, bahwa seseorang memiliki ketinggian budi, yang tidak sama. Ada orang yang berbudi luhur dan berjiwa besar, dan ada orang berbudi rendah dan berjiwa kecil.
Ada orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan seribu satu macam semboyan. Tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai. Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih untuk mencemerlangkan diri.”
Setelah berhenti sejenak, Penembahan Ismaya meneruskan, “Karena itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya Salaka untuk mengambil haknya kembali untuk mengambil kekuasaannya yang ada di Banyu Biru dari tangan adik atau pamannya.
Sedang kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang selalu baik atau tidak baik. Hampir semua orang di dunia ini menginginkan kekuasaan. Dalam bentuk yang besar atau dalam wujud yang lebih kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula. Namun yang harus dinilai adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakannya.
Akhirnya, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan itulah yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang berada di dalam tangannya. Apakah ia mengbdikan kekuasaan itu untuk nilai-nilai kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”
“Mahesa Jenar,” lanjut Penembahan Ismaya, “Aku harap kau dapat memahaminya. Selanjutnya aku berharap bahwa Arya Salaka akan dapat mendengarnya darimu. Karena kau adalah gurunya, maka aku kira kaulah orang yang paling dekat di hatinya. Kaulah yang dapat memberitahukan kepadanya, bahwa kekuasaan yang berada kembali di tangannya nanti harus menemukan titik sasaran yang benar. Seperti tombak lambang kebesaran Banyu Biru yang dibawanya itu. Tombak itu dapat dipergunakannya untuk melindungi diri sendiri serta orang-orang lain. Namun tombak itu ditangan orang yang tidak bertanggung jawab dapat dipergunakan untuk membunuh kawan seiring.
Nah Mahesa Jenar, pergilah !
Ingat pengabdianmu harus kau tunjukkan kepada manusia. Tidak kepada kedudukan, harta, benda dan nafsu. Dan pengabdianmu itu merupakan unsur terpenting dari kebaktianmu yang tertinggi. Bakti dengan tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa.
dikutip dari cerita silat-jawa “Nagasasra dan Sabuk Inten“,
karangan SH. Mintarja, buku jilid-2, halaman 452-454
Penerbit PT. BP. Kedaulatan Rakyat
Yogyakarta
salam kenal, salut nd jeli mengutip inti sebuah pengabdian mahesa jenar.
SukaSuka
Lho sampeyan ki jebule yo moco Nogososro Sabuk Inten tho ?
Ono sing luwih kudhu digoleki Mas Wir, yaiku sopo tho sakjane Panembahan Ismoyo….. Sopo tho Ki Kebo Kanigoro ( Yo Kamas lan gurune Mahesa Jenar)…..Sing tak karepke fungsine wong loro uwi mau kanggo marak lan kembange urip harmonik gaya wong Jowo ?
SukaSuka
Yen Pamembahan Ismoyo, jenenge asli yo Pangeran Buntoro, yen Kebo Kanigoro Iku adike Ki Kebokenongo Bapake Karebet utowo Joko Tingkir
SukaSuka
Ono sing kelalen Mas Wir,….penjenengan kagungan CD utawa opo wae ( klebu buku lawas) sing nyimpen crita Nogososro & Sabuk Inten ? aku kepengin nularke mring anakku. Yen duwe aku kepareng nggawe kopine ?
Salam kagem Romo Ismartono ? ( dudu Romo Ismoyo lho yha)
SukaSuka
Monggo panjenengan serch sh mintardja…sumangke nongol karya kayanipun..nogo sosro sabuk inte, api dibukit menoreh, lan liyo liyane
SukaSuka