Sudah banyak beredar kabar tentang akan dibangunnya jembatan yang menghubungkan Jawa dan Sumatera melintasi selat Sunda (lihat peta berikut).
Bagi yang belum tahu tentang kabar tersebut, dipersilahkan menengok halaman-halaman web berikut :
- Pembangunan Jembatan Selat Sunda Tunggu Kelayakan
(Berita Antara, 20 Oktober 2007) - Jembatan yang Satukan Jawa-Sumatera
(Kompas, 19 Oktober 2007) - Jembatan Selat Sunda Terganjal Masalah Alur Laut
(Tempo Interaktif, 29 Sept. 2007) - Infrastruktur – Jembatan Selat Sunda Dibutuhkan
(Kompas, 24 Maret 2007) - Selat Sunda Segera Dihubungkan Jembatan
(Kompas, 8 Juni 2005) - Dua Provinsi Akan Bangun Jembatan Selat Sunda
(Tempo Interaktif, 7 Juni 2005)
Kita tidak tahu, itu berita latah sebagai sarana untuk menggembosi permasalahan kemacetan transportasi di sekitar pelabuhan Merak-Bakahune yang selalu memuncak menjelang bulan Ramadhan, atau memang benar-benar akan direalisasikan. Kalau hanya sekedar memberi harapan (agar berkesan tidak tinggal diam terhadap masalah tersebut), wah gawat itu. Mimpi tinggal mimpi.
Ok. Kita harus selalu berpikir positip. Siapa tahu dari mimpi-mimpi tersebut akan bermunculan ide-ide sedemikian sehingga bangsa ini sepakat untuk mewujudkan jembatan tersebut. Juga kita perlu mendukung senior kita, Prof. Wiratman Wangsadinata dan juga Dr. Jodi Firmansyah yang telah berihtiar menanggapi mimpi tersebut dengan mengajukan usulan-usulan jembatan untuk dipertimbangkan dan dikaji, siapa tahu dapat menjadi realita.
Meskipun cukup banyak berita beredar di internet, tetapi detail perwujudan jembatan yang dimaksud tidak gampang dicari. Kebetulan mas Robby Permata mempunyai data artikel teknik tentang hal tersebut yaitu makalah Prof. Wiratman Wangsadinata (1997) dan Dr.Ir. Jodi Firmansyah (2003), yang kebetulan kesemuanya adalah engineer-engineer alumni ITB .
Yah untuk bidang struktur, teman-teman kita di ITB cukup menonjol, moga-moga teman di perguruan tinggi yang lain terpacu dan tidak kalah. Memang harus ada yang berani memulai.
Dari dua usulan yang ada, menarik untuk dibahas karena biaya keduanya berbeda sangat besar. Prof. Wiratman memperkirakan perlu biaya sekitar US$ 7 Billion (atau Rp 16.7 Trilliun, waktu itu tahun 1997 sebelum krisis atau sekarang sekitar Rp 60 – 70 Trilliun). Sedangkan Dr. Jodi memperkirakan Rp. 30 Trilliun tahun 2003. Beda khan !
Kenapa itu terjadi ?
Sebagai engineer, tentu kita tertarik untuk mengetahui latar belakangnya.
Prof. Wiratman Wangsadinata mencoba mendekati berdasarkan kaca mata inovator, mencari penyelesaian yang orisinil, sesuatu yang baru. Beliau beranjak dari state of the art perkembangan terbaru jembatan bentang panjang di dunia ini, bahkan ide beliau bisa menjadikan jembatan selat Sunda ini masuk dalam golongan jembatan terpanjang yang ada di dunia.
Catatan : dalam makalahnya tahun 1997 beliau membandingkan usulan jembatannya dengan jembatan Messina di Itali yang waktu itu memang sedang dalam tahap desain. Kenyataannya, jembatan Messini telah dibatalkan pelaksanaannya pada tahun 2006. Jadi jika jembatan kita jadi dilaksanakan maka akan jadi jembatan bentang terpanjang pertama di dunia. 😀
Untuk berani mengusulkan sesuatu dari sisi seperti itu, rasanya tidak mudah. Mungkin bisa aja sembarang orang menelorkan ide hebat, tapi apakah orang lain kemudian percaya. Wah tidak mudah itu. Ya, tapi itu bagi orang biasa, bagi yang ‘tidak biasa’ alias istimewa seperti halnya Prof. Wiratman maka hal tersebut wajar-wajar saja. Reputasi beliau rasanya tidak terbantahkan. Seperti apa ? Itu yang perlu kita ulas nanti.
Dr. Jodi Firmansyah mencoba mendekati berdasarkan kaca mata praktisi, yang umum, yang biasa dikerjakan berdasarkan pengalaman lapangan.
Apakah ini yang disebut membumi ?
Saya kira itu wajar-wajar saja, beliau cukup banyak pengalaman mengenai pelaksanaan jembatan panjang. Nama beliau saya dengar pertama kali disebutkan oleh kontraktor L&M Indonesia, yaitu sekitar tahun 1996-1997 dimana waktu itu saya banyak terlibat dengan kontraktor tersebut saat membangun silo-silo pabrik semen Kujang di Citeureup, di utara pabrik Semen Tigaroda. Sekarang kedua merk semen tersebut sudah hilang dan menjadi merk asing. Jika pada tahun tersebut saja sudah dikenal oleh praktisi jembatan, maka tentunya saat ini sudah sangat banyak yang beliau tangani. Untuk detailnya saya kira mas Robby bisa menjelaskan.
Pak Jodi mencoba meyakinkan, bahwa masalah dalam pembangunan tersebut adalah pelaksanaan pilar jembatan pada laut dalam, dan hal tersebut teknologinya sudah ada. Sisi lain beliau menekankan bahwa sebaiknya pelaksanaan jembatan selat Sunda memakai teknologi yang sudah dikuasai oleh bangsa ini, khususnya yang berkaitan dengan bentang jembatan yang memang beliau sudah sering kerjakan. Wah cinta negeri nih.
Oleh karena itu, jembatan yang diusulkan Dr. Jodi terdiri dari beberapa bentang jembatan yang relatif lebih pendek dibanding usulan Prof . Wiratman. Jadi bentangnya sendiri tidak menjadi suatu permasalahan karena sudah pernah dilaksanakan sebelumnya (berpengalaman) , tetapi itu semua memerlukan pembangunan pilar-pilar jembatan di atas laut dalam. Ini masalahnya !. 😦
Tapi apa benar kita sudah menguasai teknologi yang dimaksud, karena jelas lokasi dan kondisi jembatan yang akan dibangun di atas selat Sunda adalah istimewa dari sisi engineering. Tidak hanya dari segi bentang atau panjang jembatan yang akan dibangun, tetapi dalam hal ini beberapa aspek utama yang perlu diperhatikan :
- merupakan wilayah gempa yang cukup ngegirisi di Indonesia
- angin yang kencang, pertemuan laut terbuka (samudera Hindia) dan laut tertutup (laut Jawa)
- arus laut yang kencang
- karena merupakan tempat lalu lintas kapal maka tentu diperlukan ketinggian jembatan yang cukup istimewa
Daerah sekitar Selat Sunda dari sudut geologi merupakan daerah yang labil. Salah satu kunci untuk memahami proses deformasi kerak bumi yang terjadi dilokasi ini adalah dengan cara mengamati dan mempelajari mekanisme sesar Sumatera, khususnya pada segmen sesar Semangko. Adanya gunung Krakatau di Selat Sunda juga erat hubungannya
dengan sesar ini. Sesar Sumatera ini memanjang dari Aceh sampai ke Selat Sunda.
Untuk mengetahui ngegirisi atau tidaknya lokasi tersebut terhadap resiko gempa, maka ada baiknya untuk mengintip terlebih dahulu catatan gempa yang pernah terjadi sejak tahun 1897 – 2001.
Peta Gempa berdasarkan Magnitude Gempa (Jodi 2003)
Berdasarkan data tersebut, gempa terbesar di daerah Selat Sunda yang pernah terjadi di sekitar lokasi proyek tidak melebihi Mw = 7 dengan kedalaman menengah.
Kecuali magnitude maka dapat dilihat juga kedalaman sumber gempa yang terjadi. Seperti diketahui bahwa meskipun secara horizontal dekat tetapi kalau sumber gempa jauh didasar bumi maka pengaruhnya relatif kecil.
Peta Gempa Berdasarkan Kedalaman Gempa (Jodi 2003)
Strategi yang diusulkan Prof. Wiratman
Berkaitan dengan hal tersebut, prof Wiratman mencoba mendekati dari sisi teknologi yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi gempa dan angin, yang merupakan dua faktor paling dominan yang perlu mendapat perhatian dari yang lain-lain.
Mengenai letusan gunung Anak Krakatau tidak disinggung terlalu detail, tetapi dalam makalah pak Jodi disebutkan bahwa hal tersebut bukan merupakan hal yang signifikan karena untuk mendapatkan letusan dahyat, seperti ratusan tahun yang lalu, maka diperlukan periode ulang yang lama sekali (ratusan tahun juga). Jadi pengaruhnya saat ini hanya pada gempa vulkanik saja, dan itu sudah dicover dalam penjelasan prof. Wiratman.
Untuk mengatasi gempa maka strategi prof Wiratman cukup menarik, sepeti diketahui besarnya gaya gempa pada suatu struktur dipengaruhi oleh dua hal yaitu massa dan kekakuan struktur. Semakin kecil massa bangunan dan semakin lentur suatu struktur maka gaya gempa yang diterima struktur tersebut akan semakin kecil. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekakuan dan massa yang relatif kecil maka digunakan sistem jembatan gantung dari baja. Jembatan gantung diusahakan mempunyai bentang yang panjang, semakin panjang maka kekakuan struktur semakin kecil.
Bagi orang awam mungkin penjelasan di atas agak membingungkan, tetapi hal tersebut memang sudah terbukti yaitu sewaktu di California terlanda gempa Northridge sekitar tahun 1994 waktu itu banyak jembatan bentang pendek dari beton prategang ambrol sedangkan jembatan Golden Gate di San Fransisco tidak terpengaruh sama sekali.
Untuk gempa ok, tetapi perlu diingat bahwa efek angin adalah kebalikannya dari gempa. Jadi semakin lentur dan massanya kecil maka pengaruh angin semakin besar. Berkaitan dengan hal tersebut Prof. Wiratman menyandarkan pada teknologi jembatan gantung terkini yang disebutkan sebagai teknologi generasi ketiga.
Sebelum menjelaskan mengenai teknologi jembatan gantung maka ada baiknya membahas terlebih dahulu sejarah jembatan gantung.
Ternyata, bertambahnya bentang suatu jembatan gantung itu ditentukan oleh teknologi dibelakangnya. Seperti diketahui material tarik struktur yang pertama kali adalah besi, sehingga mula-mula sekali jembatan gantung batang tariknya memakai material besi yang berupa rantai (iron chain) . Adanya teknologi yang mendukung maka dimulai pembuatan jembatan bentang panjang , itu dimulai di Inggris seperti terlihat pada jembatan Bristol berikut.
Jembatan gantung di Bristol, England
Selanjutnya dengan berkembangnya material tarik berupa galvanized steel strand 1770 MPa yang berat satuannya 0.076 MN/M3 maka jembatan bentang lebih panjang mulai, yaitu dengan dibangunnya jembatan gantung sungai Menai di UK tahun 1826 dengan bentang 177 m .
Jembatan gantung di sungai Menai di United Kingdom
Sejak itu dimulailah era jembatan bentang panjang, tahun 1883 dibangun Jembatan Brooklyn 486 m di USA, kemudian tahun 1937 Jembatan Golden Gate di San Fransiso USA.
Jadi intinya bahwa suatu jembatan bentang besar dapat dibangun jika teknologi pendukungnya memungkinkan.
Berdasarkan teknologi jembatan gantung maka perkembangannya dapat disarikan dalam tiga generasi, yaitu :
**Teknologi Generasi Pertama**
Generasi pertama merupakan jembatan gantung konvensional dan klasik dengan bentang beberapa ratus meter. Beban yang dominan adalah gravitasi, sedangkan beban angin tidak signifikan. Kekakuan geometrik kabel tidak terlalu besar sehinga perlu deck jembatan yang cukup berat dan kaku yang umumnya berupa stiffening truss girder. Jembatan yang dimaksud adalah jembatan Golden Gate (1937) bentang 1280 m, yang memerlukan deck ketinggian 7.6 m.
Golden Gate Bridge L=1280 m di San Fransico
Juga jembatan Verrazano Narrow Bridge (1964) di kota New-Yourk, dengan bentang 1298 m, dan mempunyai ketinggian deck 7.3 m.
Verrazano Narrow Bridge (1964) L=1298 m, New York
Perilaku seismik pada jembatan karena pilon dan deck-nya kaku cukup terpengaruh, jembatan akan mengalami gaya gempa yang cukup besar.
Menggunakan konsep teknologi seperti itu jika bentang ditingkatkan akan kesulitan karena berat sendiri deck semakin besar sedangkan sumbangannya terhadap kekakuan secara keseluruhan tidak signifikan. Ketinggian deck agar kekakuannya cukup besar menyebabkan gaya drag angin bertambah sehingga tidak bisa lagi diatasi oleh kekakuan deck itu sendiri, tetapi harus dibantu oleh hanger, yang selanjutnya ke kabel dan akhirnya berujung ke ujung pilon. Semuanya itu menambah dimensi hanger, kabel utama dan pilon berarti jembatan semakin besar.
Bertambah besarnya pengaruh angin akan meningkatkan pula fenomena buffeting, vortex shedding dan flutter. Konfigurasi deck yang terdiri dari stiffening truss girder tidak dapat menghasilkan kekakuan torsi yang mencukupi oleh karena itu sensitif terhadap terjadinya flutter artinya tidak tahan terhadap suatu kecepatan angin tertentu (atau terbatas).
Vortex shedding adalah fenomena yang menyebabkan gerakan pada arah tegak lurus arah angin. Jika kecepatan angin kritis dari struktur terlampaui maka dapat timbul resonansi.
Fenomena Vortex shedding
Flutter adalah vibrasi yang timbul dengan sendirinya akibat adanya permukaan yang melengkung akibat beban aerodinamis. Akibat permukaan yang melengkung, beban aerodinamis berkurang, sehingga permukaan kembali ke bentuk semula. Karena permukaan kembali kebentuk semula maka jika masih ada angin akan timbul gaya aerodinamis yang mengakibatkan melengkung kembali. Kondisi tersebut berulang-ulang sebagai suatu vibrasi.
Oleh karena itulah mengapa generasi jembatan gantung yang pertama tidak pernah mencapai bentang lebih dari 2000 m. Batas itu ditunjukkan dengan keberadaan jembatan Akashi Kaikyo (1998) dengan bentang 1991 m dengan tinggi stiffening truss girder mencapai 14 m.
Akashi Kaikyo Bridge (1998) L=1991 m Japan
**Teknologi Generasi Kedua**
Untuk mendapatkan bentang yang panjang dan sekaligus ekonomis dalam pemakaian material, maka jelaslah bahwa jembatan harus didesain mengacu hal-hal berikut :
- beban mati harus seminimum mungkin yaitu dengan menerapkan konfigurasi deck yang ringan.
- pengaruh angin dalam bentuk drag (gaya angkat/apung), buffeting dan vortex shedding harus dibikin seminimum mungkin dengan mengadopsi bentuk yang aerodinamis dan mengabaikan ketinggian atau pengaku rangka girder yang berat.
- sensitivitas terhadap flutter harud dibikin seminimum juga dengan mengenalkan konfiguras deck yang bersama-sama dengan konfigurasi geometri kabel memberikan efek pengkaku torsi.
Sebagai jawabannya maka konsep jembatan generasi ke-2 diperkenalkan memakai deck single closed-box yang terdiri dari baja panel pengaku. Berat sendiri deck cukup kecil dan memberikan penampang yang aerodinamis, juga memberikan tahanan drag yang kecil, juga buffeting dan vortex shedding. Penampang box tertutup bersama-sama dengan konfigurasi kabel memberikan kekakuan torsi yang baik sehingga menghasilkan sensitivitas rendah terhadap bahaya flutter, artinya tahanan kritis pada kecepatan angin yang cukup tinggi.
Perilaku gempa pada generasi ke-2 pada deck nggak terlalu tinggi karena relatif flesibel dan hanya berpengaruh pada pilon yang relatif kaku.
Jembatan yang termasuk generasi ke-2 adalah jembatan Severn Birdge (1966) dengan bentang 988 m dan ketebalan deck 3.05 m dan Humber Bridge (1981) dengan betang 1410 m dengan ketinggian deck 3.82 m.
Untuk mendapatkan bentang yang lebih panjang, maka penampang box perlu lebih tinggi untuk mendapatkan cukup kekakuan dan hal tersebut bertentangang dengan prinsip pengurangan berat sendiri dan pengaruh angin. Hal tersebut yang menyebabkan bentang jembatan kesulitan mencapai bentang lebih dari 2000 m. Jembatan Great Belt-Eastern Bridge (1988) dengan bentang 1624 m dan ketinggian deck 4.35 m mewakili generasi kedua jembatan gantung yang mendekati batas bentang yang memungkinkan dilaksanakan.
Great Belt Eastern Bridge (1988) L=1624 m Denmark
**Teknologi Generasi Ketiga**
Untuk mendapatkan bentang jembatan > 2000 m maka perlu dikembangkan sistem baru dalam perencanaan jembatan. Jika yang sebelumnya adalah teknologi generasi ke-2 maka perlu dikembangkan konsep perencanaan generasi ke-3. Berat sendiri dipertahankan tetap ringan memakai sistem box rendah. Untuk menghasilkan kekakuan torsi yang tinggi maka beberapa box dijajarkan. Setiap box tunggal mempunyai perilaku aerodinamis yang cukup baik sehingga masalah drag, buffeting dan vortex shedding dapat diminimalis. Kekakuaan torsi yang mencukupi juga menghasilkan sensivitas rendah terhadap flutter sehingga mempunyai ketahanan terhadap kecepatan angin yang cukup tinggi.
Karena bentang jembatan yang sangat panjang maka pilon jembatan juga semakin tinggi dan langsing, yaitu untuk mempertahankan bentang kabel. Karena pilon yang langsing juga deck yang lentur maka beban gempa yang diserap kecil, bahkan menurut Prof. Wiratman karena kelenturan pilon maka efeknya seperti base-isolation untuk mencegah perambatan getaran gempa dengan demikian pada saat gempa, deck akan tetap stabil.
Sebagai pembanding jembatan generasi ke tiga adalah jembatan selat Messina di Itali yang memang pada saat ide ini dilontarkan (1997) sedang dalam tahap perencanaan.
Karena jembatan Messina di tahun 2006 dibatalkan dilaksanakan maka sampai saat ini belum ada jembatan generasi ke-3 yang dibangun.
Sedangkan jembatan bentang terpanjang saat ini adalah jembatan Akshi Kaikyo (1991 m), jembatan gantung dengan teknologi generasi pertama.
Penampang deck jembatan gantung
(a) Akashi Kaikyo Bridge (1998), first generation bridges
(b) Great Belt-East Bridge (1988), second generation bridges
(c) Messina Strait Bridge (?), third generation bridges
Perkembangan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia
1996 Membramo (235 m) 1st generation
1997 Barito (240 m) 1st generation
1998 Mahakam II (270 m) 1st generation
1998 Batam-Tonton (350 m) 2nd generation cable-stayed
(?) Bali Strait 2100 m 3rd generation
(?) Sunda Strait > 3000 m 3rd generation
Usulan Prof. Wiratman W. (1997)
Alignment jembatan ditentukan sedemikian sebagai hasil feasibility study untuk mendapat harga yang paling ekonomis antara bentang dan kedalaman pondasi jembatan.
Tahun 1992 Prof. Wiratman menyelidiki tiga alternatif bentang jembatan dan menemukan bahwa kombinasi dua jembatan gantung (generasi ketiga) dengan bentang tengah 3500 m memberikan biaya yang paling ekonomis. Alignment yang dimaksud adalah
– P. Jawa – P. Ular : viaduct 3 km
– P. Ular – P. Sangiang : 7.8 km jembatan gantung
– P. Sangiang : 5 km jalan dan rel kereta api
– P. Sangiang – P. Prajurit : 7.6 km jembatan gantung
– P. Prajurit : 1 km jalan dan rel kereta api
– P. Prajurit – P. Sumatera : viadut 3 km
Tampak Samping Jembatan Gantung Selat Sunda (Wiratman 1997)
Setelah beberapa waktu berlalu, banyak orang yang mempelajari usulan prof. Wiratman dan akhirnya dalam suatu seminar di tahun 2003 ada usulan baru sbb.
Usulan Dr. Jodi Firmansyah (2003)
Dr. Jodi memberi alternatif jembatan selat Sunda yang sedikit berbeda, relatif konservatif berdasarkan jembatan yang pernah dibangun di Indonesia dan yang menarik adalah harganya yang sangat murah.
Seperti biasa, di Indonesia kalau ada barang murah, wah pasti heboh. Apalagi di discount. 🙂
Tapi mempelajari makalahnya ada catatan penting. Bahwa itu semua dapat dilaksanakan jika pelaksanaan pilon di atas laut dalam dan yang mempunyai arus deras dapat dilaksanakan.
Padahal dari pengalaman sebelumnya, di dunia ini belum ada yang pernah membangun pilar dengan kedalaman yang kira-kira sama untuk jembatan selat Sunda ini. Dalam asumsi ini, manusia (engineer) dapat melakukan sedikit improvement terhadap teknologi konstruksi laut dalam yang ada. Lha disinilah yang perlu diperhatikan. Apakah harga yang ditawarkan (yang lebih murah tersebut) dapat meng-cover ketidak-pastian biaya konstruksi laut dalam tersebut.
Kemampuan pelaksanaan di atas laut dalam dan berarus kencang, merupakan titik kelemahan usulan Dr. Jodi. Itu juga masih tergantung pihak asing, dalam hal ini menurut pak Jody memberi contoh pihak asing yang dianggap mampu yaitu engineer Jepang, yang berhasil membangun jembatan Akashi Kaikyo (1999 m) dan yang sampai sekarang memegang rekor jembatan terpanjang di dunia. Tapi ingat, itupun kedalamannya lebih kecil dibanding yang untuk selat Sunda.
Usulan jembatan dilihat dari sisi Sumatera hingga ke Pulau Sangiang diusulkan menggunakan 3 tipe jembatan, yaitu jembatan Balance Cantilever dengan bentang utama sepanjang 180 m dan kedalaman sea bed sekitar –30 m. (disebut segmen I)
Segmen I
Selanjutnya adalah segmen II yaitu terdiri dari jembatan Cancang (Cable Stayed) dengan bentang utama 750 m dan kedalaman sea bed sekitar –40 m, jembatan Gantung (Suspension) dengan bentang utama 2500 m dan kedalaman sea bed sekitar –80 m.
Segmen II
Selanjutnya adalah segmen III, yaitu dari Pulau Sangiang ke Pulau Jawa diusulkan dua buah jembatan Cancang dengan bentang utama 700 m dan kedalaman sea bed sekitar –40 m, jembatan Gantung dengan bentang utama 2500 m dan kedalaman sea bed sekitar –80 m.
Segmen III
Yang terakhir setelah jembatan gantung maka masih diperlukan sekitar 25 buah jembatan Balance Cantilever dengan bentang utama 180 m dan kedalaman sea bed sekitar –40 s.d. –10 m.
Segmen IV
Yah, ternyata setelah melihat kedua usulan sistem jembatan di atas. Ternyata kedua-duanya masih mengandung ketidak-pastian karena ada hal-hal yang baru.
Untuk jembatannya Prof. Wiratman, maka masalah utamanya adalah di struktur atas, yang akan menjadi bentang jembatan terpanjang di dunia, sedangkan untuk Dr. Jodi masalah utamanya adalah konstruksi struktur bawah, pondasi pilon di atas laut dalam berarus kuat yang belum pernah ada sebelumnya untuk kedalaman yang diperlukan.
Sedangkan seperti kita ketahui secara umum bahwa masalah bawah (tanah) masalah ketidak-pastiannya adalah lebih tinggi dari masalah struktur atas. 😦
Jadi ?
Baiklah, memang masalah desain dan pelaksanaan jembatan bentang panjang merupakan salah satu masalah yang state of the art di dunia rekayasa teknik sipil. Tidak setiap engineer (apalagi orang biasa) yang mengerti masalah khusus apa saja yang perlu menjadi pertimbangan dan harus dicari solusinya. Tidak banyak juga buku-buku yang membahas masalah tersebut, salah satu buku rujukan bagus untuk memulai belajar tentang jembatan bentang panjang adalah buku berikut:
Niels J. Gimsing.(1997). “Cable Supported Bridges : Concept and Design“, (pages 471), John Wiley & Sons, Chichester
Meskipun hanya buku, tapi di Amazon harganya sampai $382.50 (3.4 juta rupiah). Mahal sekali ya ! Padahal hanya 471 halaman, coba bandingkan dengan buku karyaku terbaru yang hampir 600 halaman, harganya cuma 82.5 rb doang. Ya, meskipun demikian syukurlah kalau perpustakaan pusat UPH di Lippo Karawaci mempunyainya satu. 😀
Bagi yang nggak sempat membaca, ini saya ada beberapa jurnal berkaitan dengan pengaruh angin pada jembatan bentang panjang kiriman dari mas Robby Permata (trim ya), sebagai berikut:
-
Frederick R. Rutz and Kevin L. Rens. (2007).”Wind Loads for 19th Century Bridges: Design Evolution, Historic Failures, and Modern Preservation“, Journal of Performance of Constructed Facilities, ASCE, V 21/ 2, April 1, 2007 (down-load PDF 758 kb)
-
Toshio Miyata .(2003). “Historical view of long-span bridge aerodynamics“, Journal of Wind Engineering and Industrial Aerodynamics, Elsevier, 91 (2003) 1393–1410 (down-load PDF 614 kb)
-
Tony Fitzpatrick et. al. (2001). “Linking London: The Millenium Bridge”, Royal Academy of Engineering (down-load PDF 799 kb)
<<<< up-dated Sept. 2009 >>>>
Dari statistik dapat diketahui bahwa artikel ini masih saja menjadi rujukan meskipun ini sudah ditulis lama yaitu sekitar tahun 2007 yang lalu, bagaimanapun juga artikelku diatas masih relevan untuk membahas tentang jembatan tersebut. Dalam perkembangannya, ada beberapa dijumpai juga artikel-artikel lain yang berkaitan dengan jembatan selat sunda. Oleh karena itu ada baiknya saya kumpulkan link-nya untuk melengkapi tulisan saya di atas.
- Jembatan Selat Sunda bakal Terpanjang di Dunia
Kompas, Senin, 19 Mei 2008 | 11:09 WIB - Tahun Depan, Pembangunan Jembatan Selat Sunda Dimulai
Kompas, Senin, 19 Mei 2008 | 11:44 WIB - Rp 100 Triliun Dibutuhkan untuk Bangun Jembatan Selat Sunda
Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009 | 02:21 WIB - Menkeu Belum Bisa Pastikan Jembatan Selat Sunda
Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009 | 15:31 WIB - INFRASTRUKTUR – Terowongan di Selat Sunda Jadi Salah Satu Opsi
Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009 | 09:24 WIB - KEGEMPAAN – Selat Sunda dan Jembatan
Kompas, Sabtu, 12 September 2009 | 03:44 WIB
Par Wir,
It is a very educational article. Semoga jembatan ini bisa diwujudkan dalam waktu dekat.
Saya kebetulan seorang insiyur jembatan yang bekerja di california sejak tahun 1999. sekarang lagi ngerjain proyek http://baybridgeinfo.org/
jembatan ini cukup unik karena hanya punya satu tower (self anchored suspension) yang didesain oleh TYLin. Jembatan ini adalah generasi type kedua dengan bentang yang menengah dan punya orthotopic deck box girder. kebetulan saya lagi di shanghai kerena jembatan ini lagi di manufacture di http://www.zpmc.com.
kalau udah jadi jembatan ini akan menyaingi golden gate karena letaknya yang sangat dekat.
Salam,
Sanny Khow
alumni Unpar angkatan 1996
SukaSuka
Bissmillahirohmannirahim……..
Aku bangga dan senang jadi anak Indonesia skg…
Dengan akan di bangunnya Jembatan Su -Tra…
Tangkap Para Koruptor Negara Truzz Uangnya digunakan Buat Sarana dan Prasarana Negara….
Merdeka…dan Tetap Jaya Indonesiaku…..
Buktikan….pada anak cucu kita.
Bangga…….Amin …amin Ya rabbal alamin.ok
Putra UDINUS 2000
SukaSuka
Salam hormat saya sama bapak2 diatas, bikin bangga orang indonesia. karena punya kemampuan dan cita2 yg besar.
saya ini orang bergaji rendah dan dari daerah pula. Dengan segala hormat, produk Engineer ini biayanya menyesakkan dada. jadi ingat jalan trans papua belum ada, gambut sejuta hektar gagal, pelaksanaan kepres 2003 seenaknya panitia, moda transportasi nasional belum jelas apa lagi ditambah maraknya roda dua, DLL.
kalo resource engineering kita diarahkan pada masalah sederhana di atas, mungkin biayanya tidak sampai 100T. tantangan engineering kita pada implementasi yg sederhana dan tidak terpusat di jakarta saja
SukaSuka
Salam sejahtera,
Sebaiknya dibuat dulu Master Plan dan tata ruang pulau Jawa dan Sumatra dimasa datang pasca jembatan tsb selesai dibangun utk antisipasi makelar tanah.
saya prihatin pulau Jawa sbg lumbung padi sudah penuh sesak, akankah harapan kita pulau sumatra sbg penghasil perkebunan yg dapat menunjang sektor perkebunan nasional sbg salah satu sumber devisa akan pupus oleh para makelar ( siapapun punya potensi ini apalagi oknum pejabat ).
maaf kalau saya katakan bahwa kita belum sadar akan artinya tata ruang dan tata fungsi lahan utk masa depan generasi kita kelak.
JSS nanti dululah, sekarang bagaimana kita mengatasi laju konversi lahan subur dan hutan yg semakin cepat. sudahlah kita sudah punya Istiqlal,Borobudur,Monas,Bandara Soekarno-Hatta dll.
Letak permasalahan bukan harus ada jembatan, tapi fungsi Jakarta sebagai kembang gula harus dipindah ke Kalimantan atau ke Batam sebagai kota perdagangan internasional. Jakarta kita jadikan LandMark sbg Capitol City saja, krn sbg kota besar daerah sekitarnya makin tergerus lihat saja Kab.Sukabumi/Cianjur dsb, pemilik tanahnya banyak beralih ke orang Jakarta. Rakyat kecil dan Petani sudah mulai kehilangan tanah. JSS lebih menguntungkan buat orang berduit jika tata ruang belum kita rencanakan.
Lebih baik biaya JSS kita gunakan utk membangun tata ruang nusantara: Sumatra utk perkebunan, Jawa utk pertanian, Kalimantan utk Industri, Irian utk Pertambangan dan relokasi penduduk. ini sbg acuan saja tentunya disetiap pulau pasti ada industri dan pertanian, tapi yg saya maksud adalah spesialisasi setiap pulau.
Suatu saat kelak JSS akan kita bangun setelah kita sebagai bangsa yg besar sudah siap dgn kekayaan alam dan potensinya dapat kita manage serta tata ruang yg kita jaga serta UU tentang Lingkungan Hidup sudah dapat kita tegakkan dan sudah benar-benar terpatri dalam setiap sanubari anak bangsa.
(perut anak bangsa harus tetap terisi agar otak cerdas, perlu lahan, hutan, laut sebagai milik bersama anak bangsa)
Saya lebih bangga jika kita dari generasi kegenerasi tetap konsisten menjaga alam karunia Tuhan yg harus kita wariskan ke anak cucu kelak.
Wassalam.
SukaSuka
terima kasih kepada pak wiryanto informasinya.
sebetulnya saya masih minim ilmu teknik sipil tapi tetap masih giat mencari ilmu dan perkembangan teknik sipil. melihat rencana pembangunan jembatan selat sunda mengingatkan saya akan daerah saya di madura. kemarin saya ikut diklat bina marga tentang jalan dan jembatan oleh widyaswara di diklat wilayah IV surabaya.
pertanyaan saya pak wir, apakah di aerodinamika pada teknologi generasi ke 3 jembatan gantung/suspensi berpengaruh pak wir ? karena mengingatkan saya akan video jembatan tacoma hanya dengan kecepatan angin 60 km/jam mampu meruntuhkan jembatan itu. kalo boleh mungkin pak wir punya perhitungan rumus2 aerodinamika pada jembatan generasi ke 3 pak wir.
oya pak wir menurut yang saya dengar, membangun mudah dan merawat sulit…. nah cara2 untuk merawat jembatan suramadu gimana pak wir….
saya sebagai teknik sipil masih butuh bimbingan, dan saya punya foto2 dimana saat ini di suramadu banyak baut2 yang sudah mulai berkarat,besi pembatas yang berkarat dan tidak di cat lagi yang paling parah beton ada yang sudah pecah gara2 di bongkar pasang sehingga sudah tidak nyaman lagi bagi pengendara sepeda motor. makasih atas infonya….
salam dari kami bappeda bangkalan,pu bina marga bangkalan dan cipta karya bangkalan.
SukaSuka
Selamat pagi pak Wir, salam sejahtera..
Bagaimana kabar JSS sekarang ini pak Wir?
Apakah benar kalau JSS sudah dalam tahap perencanaan dengan konsultan luar negeri, dan kontraktor dalam negeri BUMN-BUMN “karya” ikut andil dalam pembangunan tersebut.
mantaplah kalau JSS segera direalisasikan..
terima kasih.
SukaSuka
jembatan ini 1km 1 trilyun 30 km 30 trilyun kira2 penyebrangan mobil 30.000.motor 15000 truck 5 ton 50.000 15 ton 150,000 kapasitas jembatan sampai 50tons
SukaSuka
salut…..Pak Wiryanto…saya usul….bagaimana kalo dilakukan riset utk perencanaan kota banda aceh – pulo aceh – pulo weh (sabang) yang terletak di Nanggroe Aceh Darussalam dan hasil riset di usulkan ke Pemerintah Provinsi Aceh…seperti yang Bapak katakan diatas bahwa
thanks pak…
SukaSuka
Pada pembangunan proyek besar ini, biasanya pemerintah kita belum punya uang untuk investasi. Mau tidak mau harus mencari negara donor maupun bank2 asing sebagai investor. Nah, biasanya mereka pun mensyaratkan main contractor ataupun pemeran utamanya dari negara asing. Jadi memang baik nya pak Wiratman dkk tidak hanya mengandalkan tenaga lokal asing saja, coba bangun networking dengan expertise manca negara, jadi bila salah satu dari mereka menjadi konsultan / kontraktor utama nya, PT W bisa tetap diajak.
SukaSuka
Ping-balik: Tweets that mention jembatan selat sunda | The works of Wiryanto Dewobroto -- Topsy.com
STOP DULU DEH BOS,JANGAN MIKIRIN JEMBATAN DULU. KALAU MAU JALAN JALAN DULU DIBENERIN DEH,, JANGAN KAYAK KUBANGAN/EMPANG IKAN AJA. SAYA PIKIR MENDINGAN BANYAK BANYAK BIKIN PELABUHAN LAH… COBA DEH LIHAT TUH KAPAL CARGO DI PEL CIWANDAN CIGADING AJA ANTRI,PEMASUKAN UANG NEGARA JUGA CUKUP TINGGI KAN DARI HASIL PELABUHAN. APALAGI KALAU BARANG IMPORT,BM,PPN,PPH AJA SAMPE PULUHAN MILYARD PEMBAYAR ANNYA DALAM I DOCUMENT AJA.SAYA TAKUTNYA JANGAN JANGAN RENCANA JSS SAMA UJUNGNYA DENGAN RENCANA PROJECT PELABUHAN BOJONEGARA,GIMANA TUH ???? DANA NGUTANG KAN ? PENGHASILAN JEMBATAN BRP SIH/HARINYA ?
SukaSuka
saya endro suwarto teman dekat pak jootje massie, kalau bicara masalah jembatan bentang panjang, kenapa tidak menggunakan sistem bailey yang biasa dipakai pihak zeni angkatan darat. saya kira dengan memakai bailey biaya dapat lebih ekonimis dan dapat dikerjakan oleh bangsa kita sendiri.
SukaSuka
Ah pak Endro, apa bisa jembatan seperti itu untuk menyambung selat sunda. Silahkan deh dibaca dulu apa itu Sistem Bailey, ini ada link-nya:
http://en.wikipedia.org/wiki/Bailey_Bridge
SukaSuka
@endro suwarto
maaf, ini pak endro yg dr Adhi Karya ya? kl pake jembatan bailey kasihan ama pak jootje ntar, kabelnya gak dipakai.. hehehe *becanda doang* 😀
regads,
Robby
SukaSuka
Pak, kemarin waktu saya di jkt sempat ke artha graha presentasi ttg self anchored suspension, ketemu dirut pak Agung. tapi saya ngak banyak tanya ttg JSS.
SukaSuka
kalau pondasinya seperti yg saya usulkan ini http://forum.detik.com/jembatan-selat-sunda-jembatan-sanghyang-t239908.html
lebih tahan gempa tidak dan lebih mahal tidak yah ?
SukaSuka
itu sudah banyak mas diusulkan dan bukan barang baru, dan mmg tentunya ada ide kearah itu kalo seandainya dibutuhkan. Tp jgn lupa semuanya itu kembali ke UUD (ujung-ujugnya duit), jd semua pasti bisa jd alternatif nanti akan dipilih yg palin glayak dari sisi teknik dan ekonomis.
SukaSuka
saya lebih sepakat apabila anggaran buat jembatan dipake buat ngerenovasi pelabuhan merak dan bakau heuni. masalah struktur saya kira udah tuntas, efek lain kalau seandainya jembatan ini jadi berdiri malah cenderung membuat sentralitas jawa sebagai pusat industri makin keliatan, niat memeratakan pembangunan jadi ga teralisasi.
SukaSuka
puyeng saya bikin kajian nih jembatan..
ada palungnya lagi.
mumet…
SukaSuka
saya yang awam dengan konstruksi mendapat pencerahan pak,..terimakasih informasinya,..artikel yang layak dapat jempol…
SukaSuka
sepertinya bakal jadi proyek yang “basah” bagi pejabat2 kita :p
SukaSuka
Sebagai orang baru yg ingin berkecimpung di dunia teknik sipil, blog ini menambah dan memacu motivasi saya untuk mempelajari seluk beluk dunia teknik sipil khususnya bidang jalan dan jembatan..trims…
I 😀 civil engineering
SukaSuka
jembatan terlalu mahal krn konstruksi perencanaan kurang tepat yang bagus dan benar yaitu mendirikan menara atau tower di p.dua dan, p.panjurit sisi sumata jarak 1,5km ke [.sumatra dan 1,5 km ke p. tpanjurit atau kabel dan gantungan kmd dii p.ular menara dan 3 km ke p.ular menara terapung atau tetap kalau bisa dan sisa 5,8 km di bagi dua dengan 1,5 km jembatan kabel jadi 2.8km gantungan ditengah p.panjurit sisa 5,6 km di buat jembatan kabel 1,5 km masing2 dan gantungan 2,6 km saja ditengah jadi kombinasi di p.anjurit saja dan 3 km dari p.sangiang pajai fundasi tetap atau terapung jadi 4 menara bisa tapi ada pilar terapung penyangga jarak 1.5 km di p dua arau terapung antara p,ular ke merak dan ditengah bentang masing2 1,4km pada 5,6 km span atau 1,45n 5,8 km.
SukaSuka
1,45 km pada span 5,8 km sisi p.sangiang ke p.sumatra
SukaSuka
Pak Wir, saya baru mampir lagi ke blog bapak. beberapa bulan terakhir saya sibuk dengan jembatan saya yang baru. kali ini dari prestressed box girder dengan geometri yang cukup rumit. Ini memang keunikan dari konstruksi jembatan yang tidak ada dalam bangunan, yaitu kadang geometri jembatan dalam ruang tiga dimensi yang rumit. Tentu geometry control bakal jadi salah satu tantangan untuk jembatan selat sunda. adanya horizontal curve, vertical curve, camber, superelevation membuat tantangan ini cukup menarik. nah kalau ada yang mau kerja di jembatan selat sunda persiapkanlah diri anda dengan pengetahuan autocad 3 dimensi atau solid works. Bisa juga ditulis dalam program atau dalam excel.
SukaSuka
salam kenal pak wir, saya ingin tanya jika pylon semakin langsing dan tinggi apakah tidak memerlukan kajian mengenai vortex sheding pada pylon? untuk mencegah terjadinya flutter kita bisa merancang bentuk deck yang aerodinamis sehingga dapat meminimalisir terjadinya vortex pada dek jembatan.
SukaSuka
maturnuwun…
SukaSuka
Mas Wiryanto, saya sarwings pingin iseng sithik arep mbangun jembatan tapi cedhak karo 2012 piye kuwi mas…?, sekedar info buat anda, saya di chc pernah mengerjakan box girder dengan kabel prategang multistrand, tapi bentangnya tidak panjang, cuma 8om saja, apa cocok konstruksi seperti itu dipakai untuk JSS….?, mas wir…momen kejut iku opo sih….bikin artikelnya dhonk .
Isih duwe proyek ora….? seperti dulu itu…..!
SukaSuka
Mas wiryanto, aku njaluk ijin yo artikelnya saya pasang pada blog saya .
SukaSuka
Monggo wae mas Sarwing. He, he, kelingan nang Depok mbiyen yo. Saya sekarang sudah nggak punya proyek kayak dulu, dadi guru ae, karo mbantu konco sing ana masalah, sebagai pemikir doang mas Sarwing. Yah luwih nyantai secara pekerjaan fisik atau koordinasi, lebih banyak kepada pekerjaan perenungan. 🙂
SukaSuka
matur nuwun sanget mas wiryanto, wah sakniki sampun dados priyayi staf ahli konstruksi, mantap …siiiplah, mas wir…blognya kok nggak buat cari duit to, padahal blogger wordpress podo kenceng golek duit ning internet, tapi harus top level domain, postingnya keren-keren mantep, pasti laku keras .
salam buat keluarga dirumah .
SukaSuka
Wah ngeri, baru bikin jembatan Kukar II yg bentangnya 270 m (terpanjang di Indonesia) aja roboh, koq mau bikin yg bentangnya 2500 m.
SukaSuka
Bagus sekali hal-hal seperti ini dilempar ke diskusi publik, terlepas yang terlibat engineer atau bukan dan semua saran seaneh apapun tetap dapat dianggap sebagai “sumbangan” pemikiran.
Ada hal yang menarik yang kiranya dapat menjadi sumber studi lanjut para engineer indonesia yang berhubungan dengan JSS, Dari segi konstruksi bangunan atas maupun bawah, studi tentang aspek structural dynamic menjadi sumber kajian yang sangat dibutuhkan, Terlebih aspek ini juga berhubungan langsung dengan masalah integrasi struktur (Fatique- fracture).
Yang tidak kalah pentingnya adalah studi tentang aspek struktur lepas pantai yang nanti akan banyak berhubungan dengan metode konstruksi yang dipilih dan dikembangkan.
Disertasi saya yg belum tuntas tapi terpaksa dianggap selesai (aturan 5 thn) menemukan hal-hal yang menarik yang berhubungan dengan interaksi struktur dengan fluida (air laut) pada struktur anjungan lepas (fixed structure) pantai yang berdiri diatas seabed dgn kedalaman yg lumayan (60 m).
Belum banyak studi seperti ini dilakukan para peneliti, bahkan dari negara dengan kultur riset yg tinggi sekalipun. Tantangan JSS bisa jadi peluang bagi engineer kita untuk mempunyai keunggulan komparativ, cukup pada satu sub bidang dalam rangka menyiasati segala keterbatasan yang ada.
SukaSuka
Niels J. Gimsing, “Cable Supported Bridges: Concept and Design”
John Wiley & Sons Inc | 1984 | ISBN: 047190130X | 410 pages | PDF | 25 MB
Link nya :
http://uploading.com/files/84c72aee/047190130XCableBridges.rar/
Syallom..
SukaSuka
wah, saya banyak mendapatkan ilmu dari membaca halaman ini, beserta komentar-komentar yang masuk. terima kasih 🙂
SukaSuka
tambah berwawasan,..
SukaSuka
Terima kasih Pak Wir atas kiriman Artikel ini, sangat bermanfaat sekali ………. !!! Apakabar Pak ??? Lama ngga jumpa, …. Kita pernah sama-sama di Proyek Galangan Kapal di Bojonegara CILEGON yang lalu ….. !!
SukaSuka
Ping-balik: my study | blitza85
dkmpus saya jurusan teknik sipil nya gk maju pak wir ..dosen ny jg tidk pernah mengajk mhsiswanya untk terjun lgsung kelapangan ….prktek jg jrgg ..jd saya bingung mau kmna arrah tujuan saya ilmu ini ..mana dosen jrg msuk …..tlong kasi solusi ny pak wir ..gmna saya bisa jd seseorang enginer yg mampu diandalkan di lapangan kerja 😀
SukaSuka
Ping-balik: yok ikutan meminta jatah setoran dari proyek jembatan selat sunda senilai Rp 180 trilyun | Maya Chitchatting's Blog
Ping-balik: masalah dan solusi di Bay Bridge | The works of Wiryanto Dewobroto