Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, 3-14 Desember, yang juga mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, prof Emil Salim tersinggung, untuk tidak mau memberi penjelasan di depan forum CSF (Civil Society Forum), Jumat 7/12 kemarin.Penyebabnya adalah ulah pemuda dari beberapa LSM yang tertampung pada CSF yang berkali-kali meneriaki “ΘΛ¿Ψ“ kepada Prof. Emil Salim.
[Kompas, Sabtu, 8 Desember 2007]
Berita kecil di halaman 13, bayangkan seorang yang secara formil dianggap kompeten tentang lingkungan dan mewakili negara ini, ternyata dipermalukan oleh komponen bangsa sendiri yang membawa bendera LSM.
Bagaimana pendapat anda ?
Saya kira banyak pendapat yang berbeda mensikapi hal tersebut. Ada yang mungkin kayak gus Dur: “Gitu aja koq pusing” atau yang lainnya. Ada juga, yang mungkin berpendapat :”Ini khan negara demokratis, jadi jangan tersinggung ya !“, sambil ngedumel. Yang sok suci bijak bisa aja: “Jangan mudah tersinggung, kita harus lapang dada“.
Pak Wir sendiri gimana pendapatnya ?
Ya, mungkin karena latar belakangku adalah dosen, dan mengajar adalah tidak semata-mata mencari duit tetapi juga adalah aktualisasi diri, bagaimana mencoba yang terbaik yang dapat dilakukan. Dengan latar belakang itu, maka aku menyadari bahwa tindakan prof Emil Salim untuk tersinggung adalah benar adanya. Itu hak beliau, seperti halnya hak LSM tetapi tidak pada tempatnya itu. Syukur ketersinggungan beliau tidak dibalas dengan menyumpah-nyumpah. Tanggapan beliau untuk pergi meninggalkan tempat tersebut adalah tepat.
Sikapku di kelas juga sama, jika kelas ramai, maka aku bilang : “Siapa hayo yang mau mengajar !”, “Bila ada acara lain di kelas ini silahkan di luar kelas dan jangan mengganggu yang lain, nanti ada koq waktunya untuk bertanya atau diskusi”.
Jadi intinya kita (dalam hal ini juga prof Emil) akan dengan senang hati berbicara (memberi penjelasan) kepada mereka yang membutuhkannya, tapi bagi yang menolak (seperti pemuda LSM) itu kita tahu diri koq. Kita juga nggak ngemis koq minta ditanggapi. Inti saling membutuhkan gitu.
Tentang pemuda LSM yang berteriak-teriak itu gimana pak ?
Aku sebenarnya lebih prihatin lagi. Tapi psst adakah diantaranya mahasiswa atau muridku di UPH ini. Moga-moga tidak ada. Kalau ada, tambah prihatin lagi.
Kenapa pak ?
Coba perhatikan bayi, jika dia butuh sesuatu atau ingin sesuatu, apa yang mereka lakukan. Nangis khan. Kalau nangisnya pelan belum ada responds dari ibunya maka sibayi akan nangis keras-keras. Cari perhatian. Selanjutnya karena ibunya sudah tahu kebiasaannya tersebut, apa minta makan, atau ingin jalan-jalan maka dilakukannya itu sehingga bayinya diam.
Bagaimana jika bayi itu semakin gede, jadi anak besar. Apa yang dia lakukan jika ingin sesuatu, maka dia akan mencoba berkata-kata. Demikian seterusnya, semakin dewasa orang tersebut maka dianya semakin pinter meminta dengan memberi argumentasi sehingga keinginannya itu bisa tercapai. Semakin pandai maka dia bisa mengungkapkan dengan semakin baik, bahkan dengan bahasa tulis sehingga tidak hanya orang tertentu saja tetapi bisa pada khalayak banyak.
Pak apa kaitannya bayi itu dengan pemuda LSM tersebut ?
Kamu ini koq masih nggak tahu aja, saya sebenarnya khan mau memberi analogi bahwa pemuda-pemuda yang ngakunya LSM tersebut sebenarnya belum dewasa karena bisanya hanya teriak-teriak. Nggak jelas apa sebenarnya yang ingin diungkapkan.
Ini merupakan bukti lagi, yang semakin banyak. Tidak hanya tentang protes Malaysia, tentang lingkungan, tentang TKI, juga tentang buruh, masalah tanah untuk TOL (yang kayak di BSD itu). Bisanya hanya dengan teriak-teriak dalam bentuk massa. Coba kalau sendirian, disuruh mengungkapkan apa yang dia mau, kenapa, lalu bagaimana, dll-nya.
Pasti “ðÅ↑…”.
Iya khan ? Atau bisa juga mungkin dari masyarakat udah berani berbicara sendiri dengan baik-baik. Tetapi aparatnya karena tahu hanya seorang aja maka lalu nggak peduli. Jadi akhirnya ada kesan kalau mau diperhatikan permasalahannya maka harus dengan massa.
Jadi saya mau mengatakan jika setiap persoalan dalam masyarakat ini hanya bisa diselesaikan dengan jalan “mengerahkan massa” maka sebenarnya ada yang tidak benar dengan intelektualitas kita. Kita bukannya semakin mengandalkan otak (akal) tetapi lebih kearah okol (kekuatan fisik).
Jadi bangsa ini sebenarnya pelan-pelan mengalami kemunduran !
Salam kenal kembali
Maaf, apa sudah libur ya. Tulisan anda tampak lebih santai.
Pak Wir, dulu saya juga dosen, tapi sekarang sudah tidak, saya bekerja di developer.
Saya melihat semenjak orde reformasi bangsa kita lebih lebih banyak banyak NATO , no action talking only. Dulu di jaman ORBA, kita juga sudah dikenal NATO, dijaman REFORMASI ini lebih lebih NATO . Jadi jangan heran kalau jaman sekarang, maaf orang sudah tidak punya malu atau sopan sebagai orang timur, demi mencapai tujuan (demokrasi katanya ?).
Ex Perdana Menteri Inggris, Si Kupu-Kupu Besi pun geleng2 kepala, beliau bilang Orang Indonesia suka merusak dirinya sendiri.
Sungguh saya sangat kecewa dengan jaman ini, lihat saja di SEA Games, hari ini masih dibawah Laos.
Terima kasih
SukaSuka
Ketersinggungan bisa saja terjadi pada siapapun dan apapun statusnya , apalagi jika ada teriakan2 yang diluar konteksnya, atau intimidasi…
Tapi kearifan dalam setiap masalah tetap diperlukan !
SukaSuka
Analogi yang bagus Pak. Memang kebanyakan orang-orang di negeri kita masih mengandalkan teriak-teriak secara fisik ketimbang teriak-teriak lewat argumentasi yang baik (dengan tulisan, misalnya). 😀
SukaSuka
Sayangnya, yang jadi aktivis LSM biasanya mahasiswa atau kalangan akademisi, sisanya yang sekedar cari “kesenangan”. Jadi sangat tidak cerdas kalau bertindak dan berkata-kata kasar, teriak-teriak doang atau yang semacam itu.
SukaSuka
Sayang sekali ya… Gimana bangsa ini mau maju kalo semua orang bisanya cuma mencerca n mencela orang. Apa yang akan disumbangkan untuk kemajuan bangsa ini kalo bisanya cuma berteriak?
Daripada berteriak menghabiskan tenaga, lebih baik menyumbangkan sesuatu yang baik agar Indonesia ini lebih baik. Lakukan apa yang bisa kita perbuat sesuai dengan kemampuan kita.
SukaSuka