Meskipun dididik , ditraining dan dihidupi dengan kompetensinya dibidang rekayasa (civil engineering, computer programming) tetapi tidak menganggap bahwa bahasa adalah sesuatu yang sepele, bahkan mempunyai pemikiran bahwa pelajaran berbahasa itu lebih penting dari pelajaran matematika. Begini maksudnya, jika seseorang disuruh memilih pertama-tama kali dalam hidupnya, pelajaran mana yang harus dikuasai terlebih dahulu maka dipilihlah bahasa yang utama, baru setelah itu yang lainnya.
Jadi saya termasuk salah satu engineer yang berpikir bahwa penguasaan bahasa adalah sangat penting, sangat berguna karena satu-satunya cara untuk mengungkapkan ide atau opini yang dipunyainya. Bahkan selalu getol mengajak mahasiswa, engineer dan orang lain untuk mempraktekkan kemampuan berbahasa tadi dengan sering menulis, misal ini, ini, ini juga setiap hari diusahakan untuk mempunyai kebiasaan menulis di blog ini. Ya seperti ini.
Meskipun demikian melihat kebijaksanaan-kebijaksanaan berbahasa yang ada di negeri ini saya cukup prihatin.
Mengapa ?
Kita lihat bagaimana usaha departemen pendidikan, dengan lembaga ikip-nya, berusaha mencetak guru-guru bahasa Indonesia, dan agar mereka mendapat lapangan pekerjaan maka kurikulum di tingkat pendidikan menjadi suatu yang utama, sejak SD, SMP, SMA (yaitu 12 tahun) bahkan sekarang ingin mengambil porsi perguruan tinggi (3 sks) bahkan bidang engineering sekalipun. Latar belakang mereka karena kita berbangsa, dan bernegara Indonesia yang cinta negeri ini maka mengikuti pelajaran bahasa Indonesia adalah WAJIB. Mengenai bidang ilmu itu sendiri. Wah gampang, itu nanti lah. Emangnya penting ?
Itu satu sisi yang kita lihat di tingkat pendidikan. Sorry, saya tidak menyalahkan guru-guru Bahasa, karena saya juga guru, jadi saya nggak mau jeruk makan jeruk . Ok. 😀
Tapi di sisi lain, melihat produk budaya bahasa kita, mulai dari iklan-iklan, juga tabloid-tabloid yang beredar. Saya sering melihat tulisan berbahasa Indonesianya seperti nulis sms, juga tidak kalah ramainya adalah sekarang sering beredar novel-novel remaja dengan bahasa gaul-nya. Asal nulis, tetapi karena gaul maka banyak yang beli. O ya, perlu ditambahkan, bahwa materi berbahasa yang diterbitkan dan dijual di toko-toko buku kebanyakan adalah produk dari budaya masyarakat yang notabene di luar pendidikan itu. Sedangkan dari yang dari pendidikan sendiri, jarang menelurkan produk sebuah buku yang sifatnya mencerahkan. Ada juga sih buku-buku yang diterbitkan dari kalangan pendidik tersebut, tapi isinya instruksional, kaku jadi males, kecuali jika itu disyaratkan guru / dosen sebagai materi ujian.
Jadi tidak adanya link-and-match antara teori (di dunia pendidikan) dan praktek (di dunia nyata) maka jelaslah meskipun para lulusan ikip tersebut ngotot mengajarkan bagaimana berbahasa yang baik maka ya seperti ini hasilnya.
Terus terang aku bisa produktif dalam menulis ini setelah lama lulus dari SMA koq. Saya sendiri lupa, apa waktu di UGM dulu juga belajar bahasa Indonesia. Rasanya tidak. Tapi buktinya bisa nulis juga ya.
Jadi sebenarnya menurutku agar bangsa ini mampu dan bangga berbahasa Indonesia maka strategi kebijaksanaan berbahasa tidak hanya tanggung jawab mendiknas aja, harus terintegrasi penuh dengan yang lainnya. Bahkan kalau perlu ada sistem pengawasan di penerbitan atau semacamnya, bagaimana produk yang dikeluarkan.
Jika itu tidak ada, dengan alasan kebebasan berpendapat, maka nggak ada gunanya ngotot menjelaskan kaidah-kaidah perbahasaan di tingkat pendidikan kita. Toh kalau di luar itu nggak laku. Bahkan ada pendapat bahwa memakai bahasa asing lebih keren. Dengan memaksanya sebagai salah satu kurikulum muatan wajib, khususnya di tingkat pendidikan lanjut, maka content kompetensi yang seharusnya dipunyai oleh seorang lulusan S1 jadi berkurang, ujung-ujungnya alumni kita tidak berkompeten di dunia profesional, kecuali memang kompetensi yang diambil memang berkaitan dengan komunikasi atau bahasa gitu lho.
Ya, itulah keprihatinanku dengan kondisi berbahasa di negeri ini.
Secara jaman sekarang bahasa gaul lebih penting trutama untuk pdkt pak hehehe.
Saya daripada nambahin sks bhs Indonesia yang udah mother tounge kita mending nambah bhs inggris jadi 6 sks deh.
Bahasa itu kan buat komunikasi bukan buat baku2an selama orang yang kita ajak bicara mengerti ya gak masalah. Kalau orang teknik sipil nulis jurnal dalam bahasa apapun yang baku tapi yang baca orang kedokteran ya gak akan ngerti2lah bgitu juga sebaliknya. Tapi bahasa gaul yang ‘indoversal’ itu kan mayoritas ngerti. Sbg contoh saya baca di Kompas, dubes Amerika untuk Indonesia yg lama Wolfowitz pernah bilang kalo kata KRISMON udah harus masuk kamus bahasa Indonesia karena udah jadi baku walaupun sebetulnya itu singkatan. Tapi tentunya jangan coba2 pake bahasa gaul buat nulis buku hehe yah itulah gunanya editor.
SukaSuka
Eh, tapi dari pengalaman, ketahuan juga lho bahwa editor itu belum tentu tahu semua lho, contohnya saya pakai kata feature, apa coba bahasa indonesianya, bingung khan. Saya pakai fitur, itu di kamus belum ada, tapi di bahasa gaul udah umum, jadi pakai aja di buku. Nggak ada yang protes tuh. 😐
Juga tentang element , itu lho untuk njelasin element SHELL, saya pakai ‘elemen’ atau ‘element’. Kalau pakai ‘elemen’ seperti yang umum dipakai di bahasa Indo khan artinya bagian, komponen, padahal khan nggak seperti itu maksudnya. Jadi saya pakai ‘element’ aja di buku ke-4. Lagi-lagi nggak ada masalah. Kalau gitu yang bloon yang nulis atau yang mbaca ya.
SukaSuka
Betul pak setuju blom tentu editornya lebih ngerti.
Saya aja masih bingung bagaimana membedakan element dan member. Kalo diartikan secara normal element -> elemen dan member -> anggota..tapi kita rasanya kita selalu bilang elemen balok bukan anggota balok padahal di textbook inggris itu beam, column, slab kadang disebut member.
Saya baru tau kalo fitur gak ada di kamus bhs Indonesia hehe padahal rasanya sudah “Indoversal”..yah berarti ahli2 bahasa kita sudah harus merumuskan ulang apa standar bahasa yang baku itu.
Kalo saya seperti Gus Pur aja, langsung adopsi bahasa lain…gitu aja koq repot.
SukaSuka
Kita ini memang lucu.
Apa mungkin karena kita ini memang ‘bangsa besar’, atau karena ‘sombongnya’ minta ampun, atau lainnya misalnya kita ini harus cinta negeri. Atau apa gitu yang lain, saya kurang tahu alasannya, tapi yang jelas peraturan-peraturan kita (di bidang rekayasa, misal SNI dsb) saja maunya harus disesuaikan dengan kondisi sini jadi tidak bisa diterjemahinnya langsung tapi perlu ‘diolah’ terlebih dahulu.
Malu kalau nerjemahin langsung, atau alasannya “wah perlu disesuaikan dengan kondisi disini”, berbahaya kalau langsung mengadopsinya. Lalu apa yang terjadi, peraturan diedit ulang, ditata ulang, disesuaikan dan jadinya : membingungkan. Iya khan.
Kenapa malu nerjemahin langsung gitu. Jepang aja waktu nerjemahin peraturan bajanya dia pakai AISC langsung, selanjutnya setelah banyak riset yang dilakukan sendiri dan ternyata berbeda maka baru direvisi itu peraturan nya. Indonesia, boro-boro riset yang baik, dia hanya compile literatur aja. Jadi pantes itu sudah ada peraturannya tapi nggak pernah di implementasikan, masalahnya publikasi sosialisasinya kurang sih.
Kalaupun ada, itu paling dari anggota panitia yang berinisiatip menyelenggarakan seminar atau apa gitu. Sedang bagi kita-kita yang serius maka belajarnya langsung dari sumber sononya. Iya khan. Peraturan kita hanya sekedar buat formalitas belaka, gitu khan.
SukaSuka
Saya dari SNI beton cuma liat kombinasi beban, faktor reduksi. Karena saya tau SNI beton pada dasarnya terjemahan ACI jadi saya yakin rumus2nya sama saja jadi tinggal pake ACI 318-M saja.
Kecuali mungkin gempa SNI 1726 pak, tapi tetap saya tidak menerima mentah2 kata2 yang ditulis sampe bener2 paham masalahnya dan yang saya suka lakukan itu membandingkan antar code2 itu dan saya yakin kalo kita ngerti basicnya mau code apa aja kita pasti ngerti tinggal masalah bahasa.
Dari semua memang American Code bisa dibilang paling mudah dibaca dan dipahami tapi syaratnya ya itu bahasa inggris pak. Kalo bhs inggris udah jadi momok ya lupakanlah.
SukaSuka
Kenapa peraturan standar untuk dunia konstruksi/sipil tidak langsung saja merujuk ke peraturan asing? tapi ada diubah2 dikit dulu, seolah2 itu adalah hasil bikinan asli dalam negeri?
Karena memang ada ANGGARAN untuk membuatnya.. hehehe..
masa’ anggaran habis tapi isinya cuma terjemahan? bisa jadi temuan pas pemeriksaan dong. kalo memang bikin sendiri dari nol, boro2.. risetnya jarang banget. Kecuali untuk peraturan gempa, yang mana peta gempanya memang hasil bikinan para ahli dalam negeri.
Jadi biar anggaran habis dan seolah2 memang telah banyak bekerja (tapi risetnya minim), maka dibuatlah peraturan yang terjemahan tapi seolah2 bukan terjemahan. hehehe..
Negara kita memang aneh…
-Rp-
SukaSuka