Banyak tulisan-tulisan saya, judulnya memakai ‘tanda tanya’. Padahal menurut petunjuk penulisan yang baik maka tanda baca sebaiknya dihilangkan pada bahasa tulis. Tapi aku tidak peduli, bagiku bahasa adalah alat komunikasi, tanda baca disitu menunjukkan bahwa hal di atas bukanlah pernyataan tertutup tapi masih terbuka terhadap ide lain yang ada. Gimana setuju.

Ke judul di atas. Pertanyaan yang pendek tetapi saya yakin akan menohok dan tidak sederhana dalam menjawab. Jika pertanyaan itu dari kalangan umum, maka kita guru dapat langsung menjawab dengan bangga (?) bahwa

  • menjadi guru adalah pekerjaan mulia, mencerdaskan bangsa
  • adalah pahlawan tanpa tanda jasa
  • karena kita ingin mengabdi agar calon-calon penerus bangsa ini hebat
  • dll
  • dll

Atau mungkin masih banyak lagi alasan atau bisa juga disebut motivasi menjadi guru. Tetapi jika pertanyaan itu diajukan oleh orang terdekat kita, misalnya pacar, bakal mertua: “Apa sih alasan kamu jadi guru“. Maka akhirnya aslinya keluar,   misalnya :”masuk kedokteran tidak diterima sih pak”, wah itu sih mending, bisa juga “saya bisanya masuk ikip sih pak“, atau yang nelangsa lagi “nggak ada pekerjaan lain sih pak“, atau “kesannya keren dibanding jadi buruh pak“.

Wah pak Wir ini koq negatif sih pak. Emangnya seperti itu.

Lho iya itu. Ini saya membaca harian Kompas 18 Desember 2007 dihalaman pertama, paling atas. Itu disebutkan secara jelas bahwa :

Upah buruh bangunan lebih baik dibandingkan dengan gaji guru honorer. Kenyataan : para guru honorer di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sudah mengabdikan diri pada dunia pendidikan, hanya ‘digaji’ Rp 50.000 – Rp 100.000 per bulan, setara dengan 6-12 bungkus rokok. Nasib hidup dibawah upah minimum regional ataupun upah minimum provinsi ini juga dialami guru honorer ditempat lain.

Coba pikir dengan logika, apa ada orang yang waras dan punya kompetensi yang mau seperti itu kecuali karena terpaksa nggak ada pilihan lain. Itu artinya profesi guru adalah pilihan terakhir. Filosofi ‘daripada tidak‘.

Kalau begitu apa yang dapat dibanggakan. Padahal ‘kebanggaan’ adalah kunci agar orang lain bisa termotivasi untuk mengerjakan yang sama. Kebanggaan, rasa puas, syukur terhadap apa yang dikerjakan, dan melihat bahwa hal yang dikerjakan itu adalah suatu pilihan yang terbaik dalam hidup ini maka akhirnya akan menghasilkan aura untuk mempengaruhi orang lain, minimal percaya diri bahwa apa yang dikerjakan baik juga untuk orang lain.

Kondisi gaji di atas khan membuat kesan kita terhadap guru adalah memelas. Bagaimana sebaiknya kita harus berbuat, kalau begitu ?

**mode prihatin on**

10 tanggapan untuk “apa sih bangganya jadi guru ?”

  1. iswarayoga Avatar

    pekerjaan guru adalah mulia pak. walaupun ga jadi guru , seringkali kita harus bisa jadi guru bagi diri sendiri n orang lain (kalo mampu) .

    Di Indonesia jadi guru mungkin jadi pilihan terakhir. Tapi bagaimanapun karakter bangsa ditentukan oleh guru. Guru bukan hanya mengajar kan pak, tapi juga mendidik .

    Mudah mudahan kita tetap punya guru yang mengajar dengan tulus ikhlas walau pun awalnya jadi guru dengan terpaksa.

    Suka

  2. wir Avatar
    wir

    Nasehat dari Mas Iswarayoga tidak salah. Meskipun demikian karena saya juga bagian dari guru, dan bisa merasakan apa itu yang disebut sebagai harga diri maka saya mengingatkan saudara-saudara para guru atau teman lainnya yang senasib:

    Boleh saja anda merasa itu merupakan “pekerjaan mulia”, “upahmu di sorga”, atau sudah senang dengan sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi ingat jika anda sudah berkeluarga maka tanggung jawab anda selaku bapak, suami dan pemegang kendali keluarga adalah lebih utama, dibanding ngurusi anak orang lain (murid). Apa itu. Lha itu mengusahakan kesejahteraan lahir dan batin bagi keluarga, memberi nafkah cukup dan kalau bisa memberikan kebanggaan bagi anggota keluarga anda.

    Realnya, jika anda dengan gaji yang anda terima “tidak cukup”. Maka hak anda untuk tidak puas, hak anda untuk berpikir lebih lanjut: “apa pantas anda dinilai seperti itu“. Setelah itu jangan langsung protes ramai-ramai, guru bukan buruh pabrik khan. Guru nggak bisa seperti itu, anda harus menjadi contoh.

    Pertama : nilai diri anda sendiri dulu, apakah anda mempunyai kompetensi. Apa yang kuat dan apa yang lemah.

    Kedua: setelah tahu yang kuat dan lemah, maka yang kuat ditingkatkan sedangkan yang lemah diusahakan. Ya tentu saja itu tidak gampang, perlu perjuangan, disinilah mental seorang guru di uji coba: “Apa benar berjiwa guru atau karena nggak ada kerjaan lainnya”, sehingga jika mampu mengatasi maka anda mempunyai mental “mampu mengubah” yaitu dimulai dari diri sendiri dan akhirnya orang lain (murid).

    Ketiga:, jika langkah kedua sudah diatasi lihat ke institusi anda, apakah memberi penghargaan dengan kompetensi anda yang baru. Jika ya, teruslah berkarya, besarkan institusi anda, win-win gitu. Tapi jika tidak, mulailah berpikir untuk keluar dari situasi tersebut. Saya yakin dengan kemampuan / kompetensi maka masih ada institusi lain yang mampu memberi kesempatan lebih baik.

    Salah satu cara sederhana keluar dari suatu situasi yang kurang adalah mengambil sekolah lagi. Memang ini butuh tekad dan juga biaya, tapi kalau mampu ini cukup efektif.

    Dalam memilih sekolah, jangan sembarangan, jangan sekedar cari ijazah formal, tapi carilah lingkungan, teman-teman baru dan suasana baru. Carilah sekolahan yang unggulan, yang dikenal oleh orang lain, paling bagus adalah di luar institusi yang anda geluti sekarang.

    Moga-moga ini berguna bagi guru yang sedang dibayar murah. Terus terang kelihatannya gampang tetapi bagi orang yang mengalaminya ini, saya yakin sangat sulit, karena kemiskinan tidak hanya membelenggu secara ekonomi tapi juga mental, miskin motivasi, miskin jaringan dan wawasan dll.

    Satu hal yang dapat dihandalkan untuk itu semua yaitu Tuhan Allah Bapa di surga, berdoalah maka tidak ada sesuatu yang mustahil.

    “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.

    Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.
    Matius 7:7-8

    Suka

  3. Musbar Avatar
    Musbar

    Salam Wir..
    Saya anggota baru nih,

    Saya cenderung sepakat dengan komentarnya wir, ternyata penghargaan terhadap guru di bangsa kita ini yang katanya terkenal dengan sebuah bangsa yang besar (dari segi jumlah..mungkin??) ternyata sangat rendah, kalaupun ada peningkatan dari segi keuangan (dalam bentuk kenaikan gaji) itupun jumlahnya sangat minimal dan hanya untuk mengikuti tren inflasi pasar saja bukan untuk membuat sejahtera.

    Saya kurang setuju jika profesi seorang guru yang kerap kali dikaitkan dengan slogan-slogan untuk guru seperti : “pahlawan tanpa tanda jasa”, “pekerjaan mulia”, dsb. Karena saya berpikir bahwa pekerjaan apapun yang dilakukan oleh seorang anak manusia di muka bumi ini jika dikaitkan dengan niat yang ikhlas, jujur dan sesuai rambu-rambu hukum tentunya..adalah pekerjaan mulia dan semuanya itu dapat dikegorikan sebagai pahlawan, walau hanya sebagai pahlawan bagi dirinya atau pahlawan di mata keluarganya.

    Slogan-slogan pujian itu saya anggap sebagai sebuah slogan-slogan yang mempunyai makna bias. Saya berpendapat bahwa pejabat-pejabat bangsa kita terlalu banyak mengucapkan kata-kata yang bermakna bias yang hanya sebagai penyejuk hati masyarakat sehingga mengaburkan makna sesunguhnya yang sebenarnya terjadi.

    Saya teringat kata-kata Ibu Herlien D Setio (Dosen Teknik Sipil ITB) ketika kuliah dulu, beliau mengatakan bangsa kita lebih banyak mengenang dan mengucapkan yang baik-baik dan mengaburkan kenyataan yang sebenarnya. Sebagai contoh, kita sering mendengar salah satu lagu yang dinyanyikan oleh group koes plus dengan bait kurang lebih..bukan lautan tapi kolam susu..bait ini hampir bisa dikatakan sebagai motto bangsa kita di beberapa waktu yang lalu.

    Negara kita mengembangkan pola pikir anak-anak negeri dengan slogan-slogan yang manis seolah-olah tanpa adanya kesusahan, inilah bedanya dengan negara maju yang mengembangkan pola pikir anak-anak mereka dengan slogan-slogan kenyataan yang sebenarnya ..

    Kembali ke guru, saya berpendapat untuk meningkatkan kualitas guru, maka yang harus dilakukan adalah mensejahterakan guru tersebut sehingga pekerjaan guru dapat menjadi pekerjaan idaman sehingga dengan sendirinya akan menciptakan kompetensi yang tinggi untuk dapat meraihnya.

    Suka

  4. wir Avatar
    wir

    Salam kenal mas Musbar,

    Saya senang sekali dan cocok dengan pernyataan anda, yang saya ulang sebagai berikut:

    Negara kita mengembangkan pola pikir anak-anak negeri dengan slogan-slogan yang manis seolah-olah tanpa adanya kesusahan, inilah bedanya dengan negara maju yang mengembangkan pola pikir anak-anak mereka dengan slogan-slogan kenyataan yang sebenarnya ..

    Pemahaman seperti itu saya rasakan ketika itu di Stuttgart, waktu itu menjelang pergantian dari musim dingin ke musim semi, pagi-pagi melihat petugas tata kota menanam bunga-bunga di taman kota.

    O ternyata bunga indah itu bukan dari sononya to, ternyata hasil dari orang yang sengaja menanamnya. Artinya diusahakan gitu. Jadi suasana taman yang indah itu bukan apa adanya tapi hasil kerja keras seseorang, dan itu setiap tahun.

    Kalau kita khan cenderung, mungkin di awal-awal rajin, lalu berikutnya terlantar. Nggak pernah dipikirkan bagaimana itu maintenance gitu.

    Jadi kita mungkin harus rubah pola pikir kita, bahwa “tidak ada makan siang gratis”, bahwa semuanya itu perlu diusahakan, jangan pasrah apalagi bilang itu nasib, ya gimana lagi itu sudah kehendak Tuhan. Nggak benar itu, kita diciptakan untuk memuliakan Tuhan, untuk berguna bagi sesama dan tentunya itu juga bagi diri sendiri sebagai ciptaan Tuhan.

    Untuk bisa memuliakan dengan baik tentunya harus membanggakan. Jadi gimana bisa bangga, kalau gajinya sebulan habis untuk satu minggu aja, lalu tubruk sana dan tubruk sini. Akhirnya akan menimbulkan rasa kasihan orang. Itu bisa malu-maluin Tuhan yang mencipta, iya khan.

    Suka

  5. donaldessenst Avatar
    donaldessenst

    Halo Musbar apa kabar?. Baru ikutan nimbrung nih. Pak Wir, Musbar ini teman saya waktu ambil S2 di ITB. Dia dosen di Aceh.

    Kapan rencana lanjut S3 Mus?..

    Suka

  6. Wisnu Kusumoaji Avatar
    Wisnu Kusumoaji

    Halo Pak Wir

    Baru sempet gabung lagi nih
    mau ikut ngomentarin masalah ini..

    Saya juga baca permasalahan guru honorer itu, ngenes banget..

    Walaupun kadang saya gak ngerti (kok ada ya yang gaji segitu?) mungkin karena belum pernah nemuin secara langsung masalah yang kaya gitu.

    Tapi walaupun belum pernah nemuin bukannya saya tidak tau lho masalah perguruan..
    Saya sendiri berasal dari keluarga guru, bapak saya guru SD negeri.sampai pensiun Agustus kemarin pun masih guru SD negeri.

    Tapi kok ya sepertinya ga pernah nemuin masalah kaya gitu, saya bangga lho dengan bapakku yang guru SD bisa nyekolahin semua 5 anaknya sampai lulus S1 semua (kalo S2 sih bayar sendiri – sendiri).

    Mungkin karena kasus tadi di daerah kali ya..
    Nah setau saya,kalo di daerah emang agak2 bengal, mungkin karena sudah otonomi daerah.
    Pengalaman seperti istri saya yang ditugaskan ke Pulau Bangka (PNS sebagai dokter),gaji yang diterima tidak full lho,pasti ada aja dana siluman yang dipotong.
    Apa iya mentalnya semua begitu?setiap meja motong..

    Balik lagi ke masalah guru,yang dibahas disini mungkin guru negeri ya,saya sendiri pernah lama jadi guru,walaupun cuma guru les privat SMA.Penghasilan saya lumayan waktu itu (sekitar tahun 2002) bisa sampai dapet 4 juta sebulan sehari paling cuma 4-5 jam 5 hari seminggu..Memang sih rating lumayan tinggi waktu itu dan promosi dari mulut ke mulut.

    Tapi saya menganggap profesi guru rasanya bukan pilihan terakhir ya,saya sendiri masih pengen kok jadi guru, apalagi katanya sekarang jadi guru yang bersertifikat gajinya gede ya?(katanya ada peraturan baru)

    Enak Lho Jadi Guru..

    wir’s responds : pokoknya kalau nggak ada masalah dengan ‘itu’ (itu lho yang diatas yang jadi topik artikel ini) memang koq jadi guru (dosen) itu menyenangkan. Itu mengapa aku juga tetap hidup jadi guru. :mrgreen:

    Ini kenyataan lho.

    Suka

  7. Robby Permata Avatar
    Robby Permata

    saya jadi ingat perkataan P Johand Dimalouw, mantan vice president Caltex :

    “kalo negara ini mau bener, maka orang2 paling pintarnya harus jadi guru. kemudian orang pintar level 2 nya harus jadi ekonom dan ahli hukum. yang jadi engineer itu cukup yang level 3 atau menengah saja..”

    lumayan provokatif sih, dan tentu saja debate-able.

    tp kalau diliat dg kondisi sekarang mgkn ada benarnya juga :
    – pendidikan teknik masih menjadi incaran para siswa SMU yang pinter2, passing grade jurusan teknik selalu termasuk yang tinggi di perguruan tinggi (selain kedokteran tentunya).
    – setelah orang2 pinter ini (katakanlah begitu 🙂 ) lulus dan bekerja, sebagian dari mereka akan frustrasi melihat negara yg acakadut karena para ahli ekonomi dan hukum yang harusnya mengelola negara gak banyak yg benar2 qualified (buat yg kuliah di hukum dan ekonomi, maaf2 aja ya.. hehe, ini hanya opini ala warung kopi kok)
    – akhirnya terjadilah brain drain, makanya banyak orang Indonesia yg ternyata bisa berprestasi di luar negeri, atau malah jadi researcher di perguruan tinggi asing.
    – coba kalo orang2 pinternya pada jadi guru, mungkin level kualitas pendidikan akan lebih baik. dan jika ekonom dan ahli hukumnya hebat2, negara bisa terkelola dengan baik. Mungkin awal2nya akan tidak mandiri secara teknologi karena untuk kebutuhan engineer masih tergantung negara asing, tapi jika negaranya udah teratur maka langkah berikutnya untuk mengembangkan bidang engineering harusnya lebih mudah dilakukan.

    bener gak? btw, tulisan di atas jangan terlalu dipikirin serius deh, karena sy nulisnya juga sambil iseng aja.. hehehe..

    -Rp-

    btw, politisi harusnya termasuk golongan pinter juga kan? tp skrg ini kok malah banyak yg mantan preman, makin gak jelaslah negara ini.. 😦

    Suka

  8. dicky ns Avatar
    dicky ns

    Wah…bener itu Pak Rob, biasanya murid tidak lebih pinter dari guru-nya..lha kalo guru-gurunya tidak pinter/bukan orang pinter, lha murid bisa dapet pinternya dari mana??
    kalo muridnya nanya karena penasaran ingin tahu yang lebih jauh sedangkan gurunya gak tau, paling-paling si guru juga cari alasan supaya ketidak-tahuannya tidak kelihatan…

    Tapi saya ada tambahan pendapat, Pak Rob…selain gurunya harus pintar, guru juga harus bisa menyampaikan ‘kepintarannya’ kepada murid-muridnya. Percuma saja jenius kalo mengajari muridnya terlalu ‘text-book’ gitu, tidak aplikatif/praktis…”Pokoknya rumusnya begini…pokoknya rumusnya begitu…” gimana muridnya mau tertarik??

    Dalam hal ini saya paling setuju jika diberlakukan sertifikasi guru seperti yang idenya sedang diapungkan. Saya pikir ini bisa juga lho mereduksi alasan alasan “daripada tidak” yang dipakai banyak orang untuk jadi guru seperti yang disampaikan Pak Wir. Guru yang bersertifikat harus dihargai lebih layak. Dengan begitu, orang yang sebenarnya tidak layak jadi guru, akan pikir-pikir jika nekat jadi guru. Sebaliknya, orang-orang pinter tidak melulu menerjuni dunia yang lebih menjanjikan lapangan kerja, karena dengan jadi guru, masa depan anak-anaknya juga bisa terjamin dan dia akan tenang mengajar. Setulus-tulusnya guru pasti tetep ingin punya penghasilan lebih lo, untuk keluarganya..

    Sertifikasi guru harus melalui seleksi komplit baik kedalaman kemampuan akademisnya, maupun kemampuan menyampaikan ide-idenya. Guru harus bisa merangsang murid untuk berfikir, menggunakan logika…bukan menghafal rumus-rumus. Dengan terangsangnya murid untuk lebih ingin tahu, maka guru bisa membimbing murid untuk mengetahui lebih jauh, atau bahkan jika yang di -ingin tahu- i oleh murid tersebut tidak diketahui guru, guru harus dengan jiwa besar mengakui ketidak tahuannya dan membantu murid belajar lebih jauh…
    Jika ini yang terjadi, bukankah ini adalah hal yang positif??

    Jika sertifikasi ini mengancam nasib banyak orang (yang tidak lulus sertifikasi), apa boleh buat?? saya pikir ini juga untuk kebaikan. Kalo dengan sertifikasi ini guru jadi langka (karena banyak yang tidak layak mengajar), bukankah akhirnya akan banyak juga orang pintar yang ingin menjadi guru?

    Oh ya, tambahan lagi sedikit….20 % anggaran pendidikan jangan lupa terus diperjuangkan….

    salam buat sesama alumni UNMER Malang . . . .

    Suka

  9. Robby Permata Avatar
    Robby Permata

    Salam kenal utk P Dicky..

    Bapak saya (yg kebetulan adalah seorang dosen alias guru ekonomi di Unand Padang), pernah ngasih cerita waktu saya masih kecil :

    Ketika Jepang hancur lebur setelah Perang Dunia 2, maka konon Kaisar Jepang terlibat diskusi dengan salah seorang staf nya. si staf melaporkan bahwa bangsa Jepang telah kehilangan harga diri, kehilangan ribuan nyawa warga dan tentaranya, kehilangan ratusan warship yang dibanggakan sebelumnya (termasuk kapal Yamato yg sangat dibanggakan), kehilangan ribuan pesawat tempur, industrinya hancur, singkatnya hampir bisa dikatakan kehilangan segala2nya..

    Namun mendengar itu, sang kaisar bertanya : “bagaimana nasib warga negara yang berprofesi sebagai guru? Kita boleh kalah perang dan negara hancur, namun jika para guru kita masih banyak, maka Jepang pasti akan bangkit lagi !

    Saya ndak tau cerita itu benar atau nggak, hehe.. namun moral of the story-nya jelas : pendidikan adalah syarat mutlak untuk suatu negara yg mau maju …

    -Rp-

    Suka

  10. ulfimiyah Avatar
    ulfimiyah

    Assalaamu’alayku,
    Saya Ulfi, saya senang membaca artikel plus sharing ini karena saya adalah mahasiswi FKIP yang sekarang sedang menempuh semester 4.
    Profesi guru memeng mulia, namun banyak yang memandangnya sebelah mata. Dulu pun saya demikian. Namun setelah mengetahui sendiri jumlah guru yang qualified, saya jadi berpikir untuk benar benar menjadi guru yang diharapkan bangsa. Mudah mudahan keinginan saya ini diridoi Allah dan saya bisa melaksanakannya. Amin
    Wassalam

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com