Semua orang tahu bahwa seorang Ph.D atau Doktor dalam penelitian yang dilakukannya harus menghasilkan sesuatu  yang orisinil, yang diharapkan menambah khasanah keilmuan yang sudah ada.

Karena tahun ini aku harus meyakinkan diri untuk menyelesaikan program doktorku maka jelas akan ada penemuan orisinil versi ku. Jadilah judulnya seperti di atas.

Apa itu ? Wah nanti, dulu, kalau sampai aku publikasikan di blog ini berarti di mata profesor-profesor pengujiku dinilai sudah nggak orisinil lagi, karena sudah ada yang tahu. Jadi aku harus hati-hati dalam membicarakannya.

Berbicara tentang metodologi yang aku lakukan. Kemarin terjadi dialog antara seorang doktor dan seorang kandidat (yaitu aku sendiri), yaitu ketika aku menerangkan bahwa rencanaku tahun ini akan menyelesaikan programku.

Doktor muda bertanya: “Perlu dilakukan penelitian eksperimental ya ?

Iya mas, tapi belum, ini kemarin setahun penuh baru aku menyelesaikan penelitian numerikku.“.

Beliau terkaget:” O penelitian eksperimental-nya belum tho ?. Saya dahulu memulai dari penelitian eksperimental pertama kali, karena permasalahannya masih sangat orisinil sehingga harus dilihat hasil eksperimental-nya terlebih dahulu. Baru setelah itu, dicocok-cocokkan dengan hasil numerik !“.

Penjelasannya mantap.

Dheg !. “Koq beda denganku ya !

Terjadi perubahan arah pembicaraan, terlihat kesan kalau beliau yang bergelar doktor tersebut meragukan pernyataanku untuk bisa menyelesaikan tahun ini. Mungkin beliau berpikir “wah masih jauh anda pak Wir, urutan penelitiannya aja salah“.

Sampai disini pembicaraan terputus. Tapi ada suatu pendapat masuk berkaitan dengan penelitian yang aku lakukan, khususnya ada perbedaan dalam strategi meneliti untuk menemukan suatu yang orisinil yaitu urutannya harus dimulai dari eksperimen, baru setelah itu numerik, dan kalau perlu numerik-numerik di cocok-cocokkan gitu.

Aku mencoba merenung semalaman, sebenarnya dialog tersebut perlu dikembangkan lebih lanjut bagaimana bapak bergelar doktor tersebut melakukan penelitian numeriknya. Apakah sama dengan program yang aku pakai atau tidak.  Aku kurang tahu itu, meskipun demikian aku masih mantap saja, bagaimanapun pembimbingku adalah profesor senior dari salah satu institute top negeri ini, mesti wawasannya juga tidak kurang dari profesor promotor yang meluluskan doktor tersebut. Adapun argumentasiku adalah demikian :

  • Hasil penelitian eksperimen adalah fakta yang tidak dapat diganggu gugat, dan itu berbeda dengan hasil penelitian numerik yang hanya merupakan suatu pendekatan. Ini pula yang menjadi alasan mengapa doktor muda tersebut meragukan proses penelitianku.
  • Soal di atas aku setuju, meskipun demikian aku juga menemukan bahwa pada beberapa kasus, ternyata penelitian numerik dengan software khusus dapat mendekatinya, minimal mirip pada suatu tahap tertentu. Itu aku lihat pada jurnal-jurnal teknik terbaru terbitan terkini. Jadi ada fakta publikasi yang mendukung, misalnya jurnal dari Thin Wall Structure (2007) dan hasil proceeding Connection in Steel Structure (2004) di Amsterdam. Jadi jelaslah bahwa pernyataan doktor muda tersebut sudah tidak up-to-dated lagi khususnya untuk menanggapi materi penelitianku. Bahwa ternyata sudah ada hasil penelitian terkini yang dapat dijadikan suatu rujukan berbeda untuk memulai.
  • Untuk mendapatkan hasil numerik yang dapat dipercaya maka semuanya tergantung teknologi. Tanpa itu nggak usah bermimpi. Oleh karena itu, setelah mengarungi lautan informasi, maka aku memilih software ABAQUS untuk memulainya. Jadi dengan program itulah, aku mengandalkan diri untuk menemukan hasil penelitian yang orisinil ini. Sampai tahap ini uraian doktor muda di atas perlu ditanyakan lagi, apakah penelitian numeriknya memang juga pakai program setingkat ini. Kalau nggak , ya sudah terjawab keraguannya.
  • Sebelum memulai penelitianku yang lebih rumit, aku sudah mencoba terlebih dahulu pada penelitian yang kurang rumit, yaitu menyelidiki keruntuhan balok tinggi dan dibandingkan dengan metode strut-and-tie-model yang terkenal itu. Dalam hal ini, aku bekerja sama dengan seorang kandidat doktor yang mengambil Ph.D-nya di New Zealand. Kesempatan itu sekaligus aku gunakan benchmark dengan hasil teknologi yang aku pakai di sini. Hasilnya ternyata bahwa hasil analisis yang kulakukan di Indonesia ini sama persis dengan hasil analisis yang dikerjakan di New Zealand. Puji Tuhan, jadi aku bisa melangkah lebih lanjut lagi. O ya, hasil penelitianku tentang balok tinggi tersebut sudah aku publikasikan di konferensi internasional EACEF tempo hari.

Ya, dengan argumentasi itu semua, maka aku tetap yakin bahwa proses penelitianku yang dimulai dari numerik dan setelah itu eksperimen adalah masih sah-sah aja. Wong yang namanya state of the art. Memang harus beda sih. Kalau sama dengan yang biasanya dipakai orang wah namanya itu ombyokan gitu.

Jadi dengan tetap PD gitu maka aku besok tanggal 16 Jan 2008 ini akan maju Seminar Kemajuan Penelitian numerikku ini dihadapan dua profesor dan dua doktor. Semoga berhasil. Doakan ya.

Rencana berhasil oleh pertimbangan, sebab itu janganlah berjuang tanpa membuat rencana yang matang.
Amsal 20:18

19 tanggapan untuk “penemuan orisinil 2008”

  1. Musbar Avatar
    Musbar

    Salam mas wir..
    Saya sangat senang membaca tulisannya pak wir, saya setuju dengan kondisi proses disertasi tersebut.

    Pengalaman saya dulu menyelesaikan tesis di ITB juga dengan program numerik, topik tesis saya seputar identifikasi kerusakan struktur balok dengan menggunakan analisis data modal dinamik. Saya menggunakan analisisa pemograman dengan software MATLAB. Sebenarnya Topik tesis saya harus diadu dengan hasil eksperimental untuk mendapatkan sinkronisasi, tapi saya dan pembimbing saya belum menjumpai instrumen yang mendukung untuk melakukan itu (di ITB belum ada waktu itu).

    Pengalaman kawan-kawan kuliah saya bisa dikatakan semuanya menggunakan alur tesisnya seperti saran kawan Doktor nya mas Wir (eksperimental dulu baru numerik), tapi jikalau memang sekarang kondisinya bisa dibalikkan kenapa tidak..?

    Semoga sukses mas wir..

    Suka

  2. tony Avatar

    semoga berhasil

    Suka

  3. rezco Avatar

    tapi apa masih ada ide yg orisinil, pak? bukankah sebatas modifikasi gitu. wah selamat pak, kpn pengukuhan doktornya?

    Suka

  4. watonmuni Avatar

    iya pak..apa salahnya dengan numerik???? 🙂

    Suka

  5. Hartanto W. Avatar
    Hartanto W.

    Mungkin masalahnya begini.

    Ketika kita memulai dengan eksperimental (asumsi saya di sini, semua prosedurnya benar sehingga hasilnya akurat) maka hasil yang didapat adalah yang “benar”. Hasil secara numerik belum tentu, karena bayak sekali asumsi dan modifikasi yang dilakukan untuk memodelkan situasi nyatanya.
    Nah, ketika kita melakukan eksperimental terlebih dahulu, maka jika ada sesuatu yang tidak benar dengan numeriknya, maka segera kita dapat mencari tahu penyebab dan alasannya untuk kemudian kita benahi (jika dapat dibenahi) atau paling tidak kita segera tahu inti permasalahan numeriknya di mana.

    Namun ketika kita melakukan numerik dahulu, maka ada satu proses lagi yg kita perlu lakukan, yaitu “retrieval data”. Yang saya maksudkan di sini, kita harus telusuri lagi data yang sudah ada, dan itu tergolong tidak fresh lagi dalam ingatan (dalam contoh Pak Wir mungkin setahun yang lalu) sehingga di sini juga memakan waktu. Belum lagi kalau numerik biasanya juga tidak sekali tembak jadi, jadi mungkin file yg tersimpan ada berpuluh-puluh untuk satu kasus, dan kita harus ulangi “trace” lagi.

    Mungkin sedikit pemikiran Doktor muda tersebut ada dalam tulisan saya (mungkin…).
    Yah, itu sekedar masukan.
    Semoga sukses selalu.
    Selamat tahun baru!

    Salam,
    H.W.

    Suka

  6. wir Avatar
    wir

    Menarik juga khan.

    Yah, intinya semua masih pada kubu Doktor Muda tersebut. Yah, saya kira wajar-wajar saja. Profesor saya juga demikian adanya, pada mulanya tentunya. Tetapi setelah melihat hasil proses numerik dan dibandingkan dengan wawasan dia tentang perilaku struktur maka beliau berani menyetujui usulan saja.

    Yah, waktu setahun tidaklah pendek, juga dalam meng-gol-kan ide tersebut. Bagaimanapun dalam riset numerik yang paling susah adalah menginterprestasikan hasilnyaapakah sudah bisa diterima” atau “masih perlu diupayakan lagi“. Kalau hanya sekedar menyiapkan data, running dan melihat hasilnya sih setiap orang bisa. Yah, paling dalam hitungan minggu, selesai. Ngapain harus setahun gitu. Oya, selain menginterprestasikan hasil maka memilih model yang representatif struktur real-nya adalah sangat penting. Nggak gampang itu, apalagi belum ada publikasi serupa sebelumnya.

    Riset yang akan kami lakukan, bendanya relatif kecil, bagian detail yang diamati adalah sekitar 1 – 2 mm, pemasangan strain-gage di daerah situ tidak bisa karena ada proses clamping, jika dipaksa pasti strain gage tersebut rusak terlebih dahulu. Jadi yang bisa diamati hanya perubahan global memakai LVDT. Selain itu waktu test-nya juga relatif sangat singkat, mungkin dalam hitungan menit, kalau keruntuhannya mungkin juga dalam detik. Jadi pengamatan di lapangan tidak memungkinkan dilakukan.

    Jika dimulai dari riset eksperimental, kita tidak tahu, dimensi / ukuran berapa yang kita pilih, karena dari riset simulasi numerik setiap mm dari struktur tersebut ternyata berpengaruh (khususnya di daerah yang diteliti). Jadi untuk melihat pengaruh tiap-tiap parameter kalau memakai riset eksperimental akan memerlukan sampel yang banyak, itupun tidak bisa diperoleh jaminan bahwa yang diamati adalah sudah teliti.

    Kalau ngotot dengan pendapat lama, yaitu mengandalkan eksperimental, maka jelas dari sisi pemilihan sampel saja bisa trial-and-error. Kalau ngotot maka konsekuensinya adalah jumlahnya harus banyak dan pengujiannya perlu waktu yang lama. Itu tidak jaminan sekali jadi lho, jadi intinya ada keterbatasan dana dan waktu.

    Itulah mengapa saya mendekati dari sisi numerik. Yah mungkin di sini bisa dikatakan terlalu berani karena melanggar pakem-pakem kebiasaan atau kemapanan yang sudah ada ( seperti pendapat Doktor muda tersebut dan juga anda-anda yang lain tentunya).

    Tetapi namanya disertasi, keberanian seperti ini khan mesti harus ada. Kalau nggak ada yang berani dan tetapi bersikukuh pada kemapanan yang ada nanti gimana, nggak ada kebaruan. Karena yang jelas dengan sistem yang aku gunakan ini sangat menghemat dari sisi ekonomi dan hasilnya cukup representatif karena dapat dilakukan pengamatan secara detail yang mana jika dilakukan eksperiment tidak memungkinkan khususnya jika dilakukan di Indonesia.

    Yah gimana lagi, saya sudah survey lab-lab ternama di bandung dan jakarta. Yah seperti itu aja, apa ada kota lain di Indonesia ini yang lebih lengkap lab strukturnya. Rasanya nggak ya, kalau ada tolong dong diberitahu.

    Dalam melakukan riset numerik tersebut, aku juga melakukan langkah-langkah yang hati-hati. Artinya tidak langsung meloncat ke permasalahanku, aku memulai dari fenomena yang sederhana yang sudah terbukti berhasil, aku rubah parameter-parameter, sampai akhirnya pada model yang aku teliti. Nggak gampang itu, perlu puluhan kalau tidak mau menyebut ratusan kali analisis.

    O ya sebagai gambaran untuk setiap analisis kira-kira perlu 53 rb nodal, 46 rib element dengan lama proses sekitar 2 jam (efektif), itupun setelah dilakukan optimasi. Sebelumnya model yang terdiri dari 105 rib nodal, 81 rb element perlu waktu proses sekitar 27 jam. Nggak linier gitu, yah mungkin sama seperti namanya yang analisa non-linier ya.

    O ya, ada yang lupa. Itu aku proses dengan mesin Intel Core 2 Duo 6300 @ 1.86 Ghz, memory 2 Ghz (full-slot), hardisk 250 Gb.

    Jadi kalau strategi-ku ini berhasil, wah bisa menghemat sangat banyak sumber daya lho. Itu khan cocok untuk negara ini yang sekarang sedang kesulitan ekonomi.

    Terobosan. Gitu lho.

    Suka

  7. djunaedird Avatar

    Memang banyak orang tidak ingin ada orang (apalagi) muridnya yang (nampak) lebih pintar darinya.
    Jual mahal, kalee 😛

    Suka

  8. wir Avatar
    wir

    Kepada pak Djunaedird,

    Promotor saya lain lho pak, beliau benar-benar bisa berlaku sebagai promotor, benar-benar bisa membimbing untuk menghasilkan sesuatu yang maksimum.

    Beliau bahkan memberikan kepercayaan penuh kepada saya untuk menuangkan ide-ide baru dan tidak membatasinya. Yang penting bisa mempertanggung-jawabkan secara ilmiah.

    Lha mengenai soal mempertanggung-jawaban secara ilmiah tersebut maka kadang-kadang menghabiskan waktu cukup lama 1-2 jam hanya sekedar diskusi. Menarik lho, saya kira nggak gampang itu nyari waktu untuk diskusi seperti itu, apalagi dengan profesor senior. Asik lho.

    Suka

  9. Mardies Avatar

    Saya numpang lewat saja. Soale nggak ngerti apa yang Pak Wir tulis 🙂

    Terlalu ilmiah, terlalu memusingkan

    Suka

  10. saniroy Avatar

    Mas Wir Yth.
    Tak ada orang yang tahu bagaimana karakter detil riset yang tengah kita lakukan, kecuali diri kita sendiri. Tak juga pembimbing kita (sebenarnya). Jadi asal masih beralasan dan terbukti (dipertanggungjawabkan, diterima) secara ilmiah misalnya lewat publikasi, maka ya “show must go on”. Mudah2an rencananya lancar Mas Wir. Selamat dan sukses.
    Maaf dan nuwun, MSR

    Suka

  11. Paijo Avatar

    Selamat berjuang pak, semoga sukses.

    Suka

  12. Funkshit Avatar

    semoga cepet jadi dokter nya.. eh doktor

    Suka

  13. Rr. M.I. Retno Susilorini Avatar
    Rr. M.I. Retno Susilorini

    Orang pintar… minum ….
    (apa hubungannya yach??)

    Pokoke mak nyuss sajalah buat Seminar Kemajuan Penelitian 1 nya…
    Sukses selalu! Percaya diri itu penting dan jadi modal utama buat meraih gelar Doktor seperti yang dulu saya lakukan…
    Ngomong2, saya dulu juga melakukan analisis numerik dengan finite element modeling, baru pergi ke eksperimental… Jadi Mas Wir tidak sendiri…. kan promotor kita sama…..

    Yok!Met Taun Baroe 2008!

    Wir’s responds: Siip pokoknya mantep !
    Tahun baru juga ya mbak.
    Wah beritamu nang ITB wingi apik lho mbak. Sukses ya.

    Suka

  14. mathematicse Avatar

    Saya pikir apa yang dilakukan Pak Wir benar, tidak perlu khawatir dengan sebuah pernyataan (yang belum tentu benar) walau dari seorang doktor sekalipun.

    Justru penelitian yang dimulai dari kerangka teoritis (dalam hal ini perhitungan/numeric) bisa jadi lebih baik. Kenapa? Kita hampir sudah bisa memprediksi kemungkinan yang bakalan terjadi. Nah, perkara nanti pas experiment ada perbedaan, justru itu menariknya! Ketimbang dari experiment terus dicocok-cocokkan dengan perhitungan (ini seolah-olah ada pemanipulasian… ). 😀

    Suka

  15. Herianto Avatar

    Saya jadi teringat dengan debat antara keutamaan aspek rasional dan realita.

    Rasional dimotori (ditopang) oleh kemajuan bidang matematik dan Realita didukung (didominasi) oleh kubu teknik (dan kalangan eksprimental lainnya).

    Bukankah prinsip ilmiah memadukan kedua aspek di atas.
    —————————————–
    Hemat saya, dalam hal ini menurut pandangan IT, software2 numerical sekarang semacam MAtlab tsb memang semakin rapat pendekatannya terhadap kondisi realita [yg sesunggunya].
    Akhirnya memang mudah muncul debat semacam ini, akibat semakin mampunya metoda (tool) rasional (numerik tadi) melakukan pendekatan semirip mungkin terhadap realita yg sesungguhnya. 🙂

    Wir’s responds: ABAQUS sudah jauh lebih spesifik dibandingin dengan Matlab, telah menjadi alat utama dalam riset-riset kelas dunia. Hanya di Indonesia aja belum terlalu familiar. Biasa khan.

    Suka

  16. angga Avatar
    angga

    Semoga sukses buat tgl 16-nya nanti di Seminar Kemajuan Penelitian, sir.

    Suka

  17. Oki Avatar
    Oki

    P. Wir Kalau sudah lulus pakai abaqus tolong dibuatkan buku untuk memakai program abaqus dari yang mulai sederhana sampai yang sangat kompleks

    Suka

  18. Winsy Avatar
    Winsy

    Pak Wir dan doktormudanya sama benernya. tergantung point of researchnya apa. kalo emang dimulai dari analitik dulu bau didekati lewati numerik, ya no problem…i think. tetapi kalo dibalik , thats ok juga.
    Pak kalo saya juga mau studi lanjut, lantas topiknya tentang numerik, saya pengen diskusi. Boleh kan? Oh ya…buatin dong buku tentang ABAQUS. Pengen belajar juga sih. THANKS. GBU……….

    Suka

  19. wir Avatar
    wir

    sdr Winsy,

    Pak Wir dan doktormudanya sama benernya

    Tidak saudara Winsy, setelah semakin berjalan, maka saya semakin yakin bahwa urutan penelitian yang bener adalah sbb:

    perumusan masalah –> studi literatur yang terkait dengan masalah tersebut –> apa betul masalah tersebut cukup berharga berdasarkan literatur penelitian orang lain –> jika ya –> dapat disusun hipotesis –> strategi penelitiannya gimana agar mendapat bukti bahwa hipotesis benar –> bisa pakai numerik (jika tahap ini dipakai maka sifatnya masih hipotesis, belum menjadi fakta) tapi pada tahap ini sudah punya bayangan tentang masalah tadi lebih jelas-> baru setelah ada uji empiris ini jadi fakta, tapi pengambilan data terbatas, jadi –> dijadikan kalibrasi untuk numerik –> numerik mendukung empiris.

    Itu yang benar, sedangkan yg doktor muda, karena utk nguasai numerik nggak gampang, maka langsung empiris, bisa sih bisa, tapi hipotesisnya terbatas. Untuk str-str besar mungkin dapat dengan mudah dinalar, tapi ada yang nggak gampang, utk mengatasi hal tersebut perlu trial-and-error yang lebih banyak. Banyak sampel gitu. Konsekuensi nya mahal.

    Dengan cara saya, karena trial-and-error dengan numerik maka lebih efektif.

    Karena yang doktor muda itu memang sebelumnya, maka yang baru memang harus pakai cara baru. Kalau ngeliat diskusi dengan profesor itu, maka disertasiku ini memang beda dengan yang sebelumnya.

    Ya namanya aja, disertasi, harus beda. Kalau sama mah namanya koden. 😛

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com