Banyak orang yang meremehkan predikat guru, khususnya terhadap penghasilan yang diperolehnya. Meskipun bagi yang tahu, mereka pasti heran, dan lalu mengatakan: “hebat ya !”.
Adalah fakta bahwa ada sekolah-sekolah tertentu yang ternyata mencari guru yang ternyata tidak ada di Indonesia sehingga perlu mengimpornya, meskipun untuk itu mereka harus membayar mahal. Tapi ternyata institusi tersebut mampu dan tidak perlu menunggu anggaran belanja pemerintah, yang jika menunggu-nunggunya akan keburu ‘kempot’.
Ini orang-orang kita saja yang pada nggak tahu. Guru juga ada kelas-kelas sendiri. Jadi jangan diremehkan untuk guru-guru seperti itu. Ibarat seperti ‘makanan sate’ yang banyak kita kenal, ada yang kelas pinggir jalan, di daerah kumuh, tapi ada juga yang luks (seperti satay house senayan), juga tersedia secara anggun pada pesta-pesta di istana kepresidenan.
Jadi ingat kalau datang kondangan dengan istri, pasti yang dicari terlebih dahulu adalah menu sate ayamnya, yang ternyata juga sudah penuh diserbu kondangan lainnya.
Jadi intinya, jangan remehkan profesi seseorang. Pastikan bahwa anda dengan profesi yang digeluti sekarang ini dapat menikmatinya tanpa menjadi beban, tanpa diburu-buru waktu dead-line, tapi menjadikan anda sebagai tuan bagi diri anda sendiri. Istilahnya dapat bekerja yang sekaligus merupakan hobby (mungkin terlihat bagi orang luar sebagai workaholic). Jika itu semua ditunjang dengan penghasilan darinya yang mencukupi, baik untuk diri sendiri dan keluarga sehingga tidak takut menyongsong hari esok. Wah namanya “mak nyuss” hidup tersebut.
Benar khan ! Apa sih yang dicari di hidup ini. Toh, ketika mati nanti, harta berhektar-hektar nggak ikut dibawa ke liang kubur. Untuk anak cucu ? Ya kalau dia memahami, kalau nanti dipakai foya-foya lalu kena AIDS, khan berabe. Silahkan ingat, orang kaya yang telah mati yang tidak punya tinggalan tertulis, apa yang dapat anda ceritakan. Nggak ada khan. Kecuali anda mengenalnya secara emosi personal, misalnya karena hubungan keluarga, atau karena selama ini adalah donatur anda dll.
Jadi nggak usah pusinglah.
Kembali ke guru.
Dibandingkan dengan orang kaya di atas, yang mungkin hanya akan diingat keluarganya yang kecripatan kesejahteraan. Seorang guru mungkin masih ada yang mengingat, yaitu muridnya. Jadi bayangkan jika setiap tahun mengajar secara efektif 50 orang aja dalam tatap muka langsung, jika dia kerja 10 tahun aja maka minimal ada 500 orang yang kenal secara langsung. Kalau dia kasih nilai kadang ada yang 0 dan kadang ada yang 100, maka tentu biasanya yang dapet o akan mengingat si guru tersebut, yang dapet 100 biasanya dia lupa. Itu ekstrim-nya. Apalagi kalau guru tersebut punya tinggalan ide tertulis, ya seperti ini.
Nggak baik seorang guru itu kalau mengeluh. Meskipun setiap hari hanya punya setelan sama terus menerus, setiap tahun. Tapi masih ok-ok aja. PD gitu lho.
Enaknya lain, biasanya jika anak-anak sekolah libur, maka guru juga libur. Jadi liburan seorang guru jelas lebih panjang dari seorang bisnisman. Jadi bisa saja seorang bisnisman punya duit yang banyak, tapi waktunya nggak ada. Ya kapan menikmati hidup ini. Iya khan.
Itulah guru yang hidupnya lebih ‘nyantai’.
Catatan :
-
Ingat ! ‘Nyantai’ itu nggak ada hubungannya dengan produktifitas lho. Kerja keras karena kemauan sendiri dan mendapat nikmat darinya bisa lho dikatakan nyantai, nggak stress. Tapi bisa saja kerja yang kelihatan ringan, tapi bukan kemauan sendiri atau terpaksa, bisa stress lho. Misalnya “anda disuruh pakai baju dasi lengkap, tapi pakai celana kolor berdiri di perempatan lampu bangjo minta dukungan / dana untuk AIDS“.
-
Ide nulis ini diperoleh karena ternyata waktu liburnya di bulan desember ini cukup lama juga, yaitu mulai hari raya kurban sampai senin minggu depan. Hampir setengah bulan, dan gaji bulanannya tetap. Itulah guru.
-
Fakta baru setelah membaca ulang naskah ini, yaitu bisa nulis blog setiap hari. Itulah alasan utama kenapa blog ini produktif diisi. Guru gitu lho. 😆
Eh ternyata idenya masih ada, diteruskan ya.
Jadi bagi mereka yang sudah bosen sekolah (sudah dapet Ph.D, tentunya) , juga mereka yang sudah bosen bisnis (sudah jadi konglomerat, tentunya), mari rame-rame menjadi guru untuk menikmati hidup ini. He, he, he ….
Kalau sudah begitu, saya yakin profesi guru akan menjadi salah satu cita-cita anak-anak bersekolah di Indonesia. Jika sudah demikian, saya yakin pendidikan di Indonesia akan maju dan orang luar negeri akan berbondong-bondong bersekolah di sini.
Jadi selama profesi guru masih diremehkan, masih dianggap sebagai asesori pendidikan yang katanya yang lebih penting adalah modul belajar, sistem dll atau gedungnya. Saya yakin, meskipun “anggaran belanja yang 20% itu turun” juga akan tetap sama saja. Nggak berubah. 😦
Pokoknya hidup guru Indonesia, kita harus berbangga menjadi guru.
Siapa takut jadi GURU !
Note : GURU = waGU tur kuRU







Tinggalkan Balasan ke Medolina Batalkan balasan