Bagi pendukung konsep demokrasi, apalagi yang berkeyakinan bahwa demokrasi adalah tujuan, maka jelas bahwa adanya PILKADA saat ini adalah suatu kemenangan. Kalaupun itu menghabiskan dana sampai trilyunan rupiah, ya wajarlah, meskipun kenyataan bahwa rakyat jelata banyak yang memelas. 🙂
Oleh karena itu, wajarlah jika saya menyebut era Indonesia saat ini sebagai era demokrasi dan bukan era pembangunan. Gimana lagi, duit Rp 200 trilyun (kebayang nggak) hanya habis untuk suatu tujuan yang bagi orang awam seperti saya ini, nggak bisa nglihatnya hasilnya. Coba kalau itu (dana tersebut) dijadikan untuk membangun jalan transportasi atau irigasi, atau untuk membuka lahan pertanian baru untuk ditanami kedele, tentunya dapat secara langsung dilihat dan dirasakan manfaatnya. Iya khan.
Engineer koq bicara politik ?
Iya, bahkan bicara tentang demokrasi dan pilkada, kalau tidak salah ini sudah yang ke tiga kalinya lho, yang pertama ini, yang kedua ini . Benar khan !.
Orang-orang yang mengagung-agungkan demokrasi, tidak salah. Bagaimanapun, tentunya mereka punya keyakinan bahwa itu membawa hal yang baik. Tahunya darimana. Ya pasti dari buku-buku gitu, dari membaca uraian-uraian para ahli yang membawa ilmu dari ‘luar’ yang negaranya yang sukses, dan yang kebetulan memakai konsep demokrasi itu. Iya khan.
Lho koq pak Wir bilang uraian ilmu dari luar ? Emangnya nggak ada ilmunya dari dalam ?
Kalau ahli di dalam negeri, ya banyak. Itu dengan asumsi jika bergelar Ph.D langsung bisa dikonotasikan dengan ahli. Hanya aku bilang ilmunya mengacu fenomena luar. Kalau dari dalam negeri, khan belum ada itu era seperti sekarang ini. Era yang mau menukar Rp 200 trilyun dengan keyakinan akan sukses dengan itu yang namanya demokrasi.
Lho khan buktinya Amerika pak, yang menganut kebebasan demokrasi. Jadi mestinya kita kalau demokrasi bisa seperti mereka.
Bisa juga kamu. Jadi kalau peragawati pakai baju XX tampak cantik, itu berarti jika kamu pakai baju XX tersebut juga cantik juga. Gitu khan maksudnya.
Saya sih pada prinsipnya juga setuju dengan demokrasi, tapi orang-orang kita pada umumnya belum siap. Jika level penduduk Indonesia sudah seperti Amerika atau negara lain, saya yakin bahwa demokrasi memang baik dari yang lain. Tapi sekarang khan lain, bahwa bagi mereka itu yang namanya demokrasi adalah identik dengan demontrasi. Jadi kalau mereka dapat berdemontrasi maka itu adalah demokrasi. Lho iya khan, katanya kebebasan berpendapat. Massa berkumpul, itulah demokrasi, meskipun kadang-kadang berakhir dengan anarki (mobil rusak …).
Jadi ?
Ya itu tadi, saya tidak melihat korelasi langsung PILKADA dengan demokrasi secara umum. Apalagi dengan uang yang sebesar Rp 200 trilyun itu. Jadi ketika organisasi NU menghadap President untuk meminta agar PILKADA pada level pemerintahan daerah dihapus (Kompas hari ini), saya menyatakan SALUT ! 🙂
Pengurus NU seusai diterima presiden, dari kiri ke kanan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua PBNU SAid Agil Siradj, dan Wakil Rois Am PBNU Tolchah Hasan.
Alasan NU yang menyatakan bahwa PILKADA di level pemerintah daerah adalah memakan biaya sangat besar dan juga menimbulkan konflik horizontal serta tidak membuat polarisasi di antar kelompok di masyarakat. Saya sangat setuju, bagaimanapun anggota NU adalah masyarakat kebanyakan jadi itu tentu dapat dimaklumi. Untuk level menengah tentang konflik horizontal dsb pasti tidak akan banyak terasa (kecuali kalau duitnya gede).
Hanya saja permintaan NU tadi jelas tidak mudah. Gimana lagi, jika ada orang dibayar Rp50 rb aja mau lepas baju muter-muter kota, maka jika ada duit sebanyak Rp 200 trilyun pasti akan banyak yang mempertahankan dan itu tidak sekedar lepas baju. Masalahnya sekarang adalah duit, duit dan duit !
Nggak peduli dengan namanya demokrasi, yang penting DUIT !
So do it!
Memang, melihat hasil pelaksanaan Pilkada selama ini, nampaknya kita memang belum saatnya berdemokrasi secara benar.
Hak asasinya harus selalu dipenuhi, walau harus melanggar hak asasi orang lain.
Ini gimana ❓
Apa harus back to Orde Baru.
Pencipta Orde Barunya saja mau back to heaven or ….
SukaSuka
Bagaimana kalau kita melihat demokrasi ini sebagai kegiatan ekonomi, industri demokrasi. Kayaknya sektor ini perputaran uangnya besar sekali. Mungkin kalau kita punya produk bagus bisa ikut bermain, ada ide Pak ?
Produk bagus, maksud saya, produk bagus beneran. *serius*. Siapa tau cara memperbaikinya kita harus pandang dari sisi itu. Tawarkan sesuatu yang bagus yang mereka butuhkan dengan harga yang cocok.
SukaSuka
Demokrasi lagi ?
Semenjak negeri ini mendengungkan demokrasi. Senyum hilang dari negeri ini, yang ada hanya intrik, dengki, iri, tidak mensyukuri nikmat yang ada, sehingga negeri ini dijauhi dari berkah. (Malaysia saja mencanangkan kedatangan 20 juta wisatawan ke negri mereka. Sementara kita mencapai 10 juta juga tidak).
Padahal dulu negeri ini sangat dikenal dengan senyum dan keramahannya. Dan saya sudah berjalan dari Batam sampai Wamena, negeri ini sangat indah dan dahsyat kekayaannya. Aneh ya kita susah maju ?.
Balik yook ke Pancasila (Pancasila meniadakan dominasi mayoritas yang dicari adalah musyswarah untuk mufakat, bukankah lebih baik dari demokrasi, demokrasi selalu mengandalkan voting, ya sudah tentu mayoritas selalu menang).
Terima kasih.
SukaSuka