guru bersertifikasi = guru berkualitas


Tidak jelas, apakah kata-kata di atas adalah suatu pernyataan atau pertanyaan.

Bagi Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, itu jelas merupakan pernyataan, bahwa “guru yang bersertifikasi adalah yang berkualitas“. Hal tersebut telah ditindak lanjuti, yaitu dengan mengeluarkan anggaran biaya untuk memproses sertifikasi, dan itu telah mulai dilaksanakan. Kira-kira ada 2,7 juta guru dan mereka akan disertifikasi dalam 10 tahun ke depan, demikian penjelasan Kepala Subdirektorat Pendidikan Profesi Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, bapak Sederhana Sembiring [Kompas 28 Jan 08].

Bagi saya, itu masih merupakan pertanyaan. Bahkan kualifikasi institusi yang memberi sertifikasi saja, masih perlu dipertanyakan.

Menurut pendapat saya pribadi, lembaga-lembaga yang memberi sertifikasi atau semacamnya itu masih semrawut. Jangankan kepada guru yang 2,7 juta orang, kepada dosen yang relatif lebih sedikit saja, masih ngaco ngurusnya. Terus terang pernyataan saya ini didasarkan oleh pengalaman pribadi saya sendiri.

Ini pengalaman pribadi ngurus jenjang di DIKTI

Seperti diketahui, bahwa dosen perlu pengurusan birokrasi untuk pengakuan profesinya, tepatnya jenjang akademik gitu lho. Bagi saya sebenarnya tidak menjadi suatu tuntutan penting, tetapi karena keperluan institusi, dan juga katanya akan meningkatkan honor, maka saya ikuti. Mungkin karena sudah lama berkecipung di dunia pendidikan, waktu mahasiswa dulu juga jadi asisten, lalu ketika muda dulu sudah dapat surat tugas mengajar di UNTAR. Jadi kalau dihitung dari situ maka sudah terekam lama status sebagai guru (dosen) jadi ketika mengurus jenjang sudah dikategorikan sebagai senior (sebelumnya sudah punya jenjang Lektor 300).

Jadi ketika ngurus yang kedua maka berkas-berkas penilaian dan dokumen tidak hanya diserahkan ke kopertis, tapi juga ke Dikti pusat. Nggak terasa dokumennya segunung, ada sekitar 25 terbitan termasuk buku aku sertakan. Waktu itu karena waktunya mendadak (karena disamakan jadwalnya dengan teman-teman lain) ada buku asli yang nggak sempat aku copy, wong katanya memang harus copy full. Yah meskipun dari universitas kum yang aku submitt sekitar 930 kum, dan mereka memotong sebesar 30% sehingga hanya disetujui sekitar 670 kum, aku masih OK saja. Tapi yang aku sesalkan dan merasa dilecehkan oleh mereka adalah bahwa dokumen-dokumen yang berupa buku dll yang sekitar 25 terbitan tersebut yang menggunung tersebut tidak dikembalikan alias hilang

Bayangkan saja, DIKTI yang ngurus jenjang dosen level Lektor Kepala saja, yang relatif tidak terlalu banyak,  kacau (buktinya bahwa berkas dokumen-dokumenku tidak kembali), mau diterapkan ke 2.7 juta guru. Kayak apa itu. Pasti itu jadi sumber birokrasi lagi, dan ujung-ujungnya pasti DUIT.

Kecuali itu, apakah sertifikasi adalah suatu jaminan. Apakah kalau aku punya jenjang Lektor Kepala atau nantinya Profesor adalah suatu jaminan ?

Bagi orang awam atau juga insitusi pendidikan, mungkin bisa, karena sekedar memenuhi persyaratan formalitas belaka. Ada sertifkatnya koq pak !

Saya bisa ngomong seperti itu, karena pengalaman dulu sebagai sekretaris jurusan , ketika harus mencari dosen, indikasi keahlian hanya didasarkan oleh adanya sertifikat, baik itu ijazah atau lainnya. Tapi ketika masuk pada level doktoral, nyari pembimbing dan para ahli, jelas sertifikat atau jenjang aja tidak bisa aku jadikan patokan.

Bagi seorang akademisi, keandalan atau kompetensi seseorang dalam bidang akademiknya selain diukur dari gelar tertinggi (dan jenjang kepangkatan) juga dikorelasikan dengan publikasi ilmiahnya. Bahkan publikasi ilmiah memegang peranan yang utama. Jadi pada suatu tahapan tertentu pepatah luar yang berbunyi “Publish and Perishmemang cukup berkhasiat.

Untuk level dosen, hal tersebut sedikit banyak sudah dimasukkan sebagai kriteria utama, dimana nilai kum sebagian besar dari hasil publikasi. Kalau hanya mengajar aja, yang bobotnya 1 atau 1/2 kum untuk setiap perkuliahan setiap semesternya, sampai kapan aku bisa mengumpulkan kum awal sebanyak 930 (he, he, meski dipotong 30% oleh diknas, siapa takut). Catatan : itu saja baru saya kerjakan sejak 2002, sejak dikirim ke Stuttgart, sebelumnya nol publikasi. Nggak percaya, lihat daftar publikasiku.

Juga ada pertanyaan, sertifikasi tersebut apakah berjenjang, seperti level dosen, dan juga dilaksanakan terus menerus, atau hanya sekali. Moga-moga jangan hanya sekali. Jika hanya sekali, apakah itu tidak melecehkan keberadaan Ijazah dari tiap guru, yang mana untuk memperolehnya diperlukan waktu lebih lama. Apa tidak lebih baik untuk meningkatkan mutu bagi guru adalah dengan memberi kemudahan bagi mereka untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Itu memang dengan asumsi bahwa institusi pendidikan di Indonesia tidak diragukan lagi dalam meningkatkan kualitas seseorang. Padahal kita sendiri meragukan pendidikan kita. Wah pusing ya. Kalau gitu sekolahin aja ke luar negeri. 😀

O ya, mungkin maksud diadakan sertifikasi tersebut adalah untuk menggolongkan guru sebagai mahluk profesional, seperti engineer begitu.

Ya, boleh-boleh aja. Tapi khan jelas beda, kalau engineer dengan sertifikasi tersebut maka dia ada kemungkinan untuk ikut pada proyek-proyek, yang mana sifat proyek adalah dinamik, berubah-ubah dari waktu ke waktu, jadi sertifikasi itu semacam saringan masuk untuk berkiprah.

Jelas itu tentu berbeda dengan guru, guru diharapkan tidak keluar masuk institusi, lebih kearah meniti karir yang panjang disitu. Oleh karena untuk melihat mutu mereka maka cenderung melihat produktivitas sepanjang waktu karir mereka dan tidak oleh adanya sertifikasi yang sifatnya tetap di awal semacam karcis masuk.

Ya begitulah, keragu-raguanku terhadap upaya peningkatan mutu guru dengan sertifikasi. Masih belum ada upaya yang menurutku tuntas.

Tapi yang jelas, bahwa dengan sertifikasi tersebut pasti disambut gembira oleh perguruan tinggi yang terkait memberikan sertifikasi itu. Jelas, itu proyek yang ada duitnya. Siapa yang nggak mau duit. Tahu aja khan, semua naik, ….., untunglah ada proyek SERTIFIKASI :mrgreen:


Kualitas seorang guru. 😆
Tanya:”mana sertifikasinya ?

6 pemikiran pada “guru bersertifikasi = guru berkualitas

  1. Achmad Basuki

    iya, saya sependapat pak Wiryanto…… mestinya lembaga kependidikannya yang mesti ‘dinilai kualitas’ – saya yakin kalau lembaga yang nyetak guru sudah berkualitas akan dihasilkan lulusan guru yang berkualitas. bagi saya kok buang-buang anggaran untuk akreditasi (bayangkan berapa biaya akreditasi per orang).

    Suka

  2. Robby

    Pak Wir, saya fresh graduate Teknik Sipil nih. Hehe..Waktu lihat di lowongan kerja, saya lihat ada yang minta sertifikat keahlian. Yang saya mau tanya: bagaimana ya cara dapatkan sertifikat keahlian? Syarat-syaratnya apa aja Pak Wir? Saya tunggu jawabannya ya Pak Wir, Thank’s a lot. GBU

    Wir’s responds:
    menurut anda, saya ini ahli apa hayo ?
    apakah anda melihat itu berdasarkan sertifikat yang saya punyai ? Rasanya saya nggak punya sertifikat seperti itu lho. Paling-paling itu SK dari Depdiknas tentang jabatan akademik Lektor Kepala. Yang lain saya nggak punya, jadi nggak bisa cerita. Iya khan.

    Suka

  3. riantriandy

    saya kira cukup menarik komentar tentang sertifikasi guru. akan tetapi akan lebih baik lagi kalo pendapat / kritikan itu tidak hanya mengkritik saja. tapi harus kritik yang membangun. artinya coba berikan komentar selain sertifikasi ada konsep baru gak ? yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. terus yang mana sih lembaga yang cocok menangani masalah sertifikasi, kalo sertifikasi ini terus di lakukan..?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s