dosen jualan buku


Aneh nggak sih judul tulisan di atas. Kalau diubah jadi “dosen jualan ilmu”. Aneh juga nggak sih ?

Ok, kalau begitu kata “aneh” pada pertanyaan di atas diubah jadi “halal” atau “legal” atau apa gitu. Jika dikembangkan lebih lanjut maka mirip juga dengan “guru jualan buku”, dan yang terakhir ini banyak yang mengkonotasikan dengan negatif.  Meskipun ada juga yang memberi apresiasi positip. Buku khan ilmu, dari pada jualan ekstasi. Nah lho. :mrgreen:

Kembali ke judul. Saya yakin banyak yang nggak sreg. Apalagi ternyata ada komentar tentang aku dari mahasiswaku sendiri, seperti ini :

dia mungkin berpikir kalo Bapak sengaja berusaha menjual buku bapak agar target omzet penjualannya naik. dan yang menjadi “masalah” ialah Bapak memainkan nilai thd mereka yang membeli atau tidak.

Bagaimana pendapat anda ?

Nggak gampang khan. Meskipun bekerja di wilayah idealisme, bahkan ada yang bilang “pekerjaan mulia“, tetapi ya seperti itu “rambut sama hitam, pendapat berbeda-beda“. Maksud baik bikin buku untuk berbagi ilmu, dan menyarankan mahasiswanya beli karena dipakai materi perkuliahan sehingga tidak cepat kehabisan. Eh, ternyata dianggap “pemaksaan untuk beli”.

Susah khan, padahal mahasiswaku tiap kelas nggak lebih dari 25 anak. Bayangin itu, tukang jualan es juga tahu. Jika punya buku yang harus dijual adalah sebanyak 2500 eks, lalu hanya difokuskan ke mahasiswanya aja yang bisa dipaksa beli maka pengaruhnya khan hanya 25/2500*100= 1% aja dari total target yang harus dijual.

Emangnya nilai seperti itu cukup signifikan untuk menghabiskan stock buku tersebut. Jadi dengan argumentasi seperti itu, apa wajar dosennya punya alasan memaksa beli.

Fakta bahwa buku yang dimaksud belum sampai dua semester, sudah habis dan akan dicetak ulang. Artinya, tanpa mahasiswanya membelipun juga tetap habis.

Ke dua yang paling penting adalah pernyataan mahasiswa yang mengatakan “memainkan nilai” karena mereka nggak beli buku saya.

Ha, ha, alasan apa pula ini.

Ok, mungkin saya perlu cerita dulu latar belakang permasalahannya. Buku yang aku gunakan sebagai buku wajib untuk mata kuliahku adalah buku SAP2000 yang tebalnya sekitar 580 halaman. Cukup tebal khan.  Dalam memberi perkuliahan, saya memberi jiwa dari buku tersebut, ya maksudnya filosofi, atau esensinya. Sedangkan hal-hal teknik, pengoperasiannya sudah ada di buku tersebut. Oleh karena itu dalam ujiannyapun saya bebaskan untuk open book. Hanya buku tersebut. Materi yang aku berikan cukup luas. Jadi tidak cukup dari buku itu saja, tetapi perlu ikut kuliah dan juga latihan mengoperasikan program tersebut. Selain itu, materi ujian selalu berbeda-beda. Meskipun punya buku, tetapi belum paham serta tidak berlatih banyak, maka jelaslah ujiannya pasti akan kesulitan. Jadi bisa dibayangkan, jika mahasiswanya aja nggak punya buku tadi. Bisa apa dia. Lalu nilainya jelek. Paling gampang khan cari kambing hitam, cerita ke papahnya bilang itu karena nggak beli buku dosennya.

Saya kira orang bisa menilai, dimana letak permasalahannya.

Satu sisi, aku mengakui bahwa biaya kuliah di tempatku juga tidak murah. Bagaimanapun institusi kami adalah swasta murni, juga masih relatif baru sehingga masih perlu membangun banyak fasilitas, termasuk juga untuk menggaji kami-kami dosen. Jadi saya mengakui bahwa mahasiswa telah membayar tidak sedikit. Tapi itu bukan berarti dia dapat langsung sukses gitu khan, tanpa perlu usaha sedikitpun. Karena sebenarnya sukses atau tidak, adalah tergantung mahasiswanya sendiri. Kalau malas, nggak mau belajar, baca buku materi yang ditunjukkan dosennya, gimana bisa berhasil. Dosen khan hanya sebagai fasilitator, memberi suasana, petunjuk, motivasi, masukan, nasehat dan lain-lain. Jika itu masuk kuping kiri lalu keluar kuping kanan, maka meskipun sudah membayar mahal. Ya tetap, bodo aja.

Eh, koq jadi ngeluarin uneg-uneg gitu. Kembali ke soal “dosen jualan buku”.

Lho, emangnya bapak jualan buku. Bukan karena mau menjawab komentar miring tersebut.

Ha, ha, sekali mendayung, dua, tiga, pulau terlampaui. Sambil menyelam, minum air, gitu lho.

Memang sih, agar buku bisa terbit, penulisnya harus pintar jualan ke penerbit. Itu kalau nggak mau ngeluarin duit. Jadi harus meyakinkan mereka kalau buku yang kita tulis adalah sip, pasti laku gitu. Jadi bukan hanya baik, karena buku baik bisa aja tidak laku. Jadi agar seorang dosen bisa punya buku yang diterbitkan itu syaratnya adalah “bisa ngejual itu bukunya” dan bukan asal “buku baik“. Gitu lho.

Ngomong-ngomong pak Wir, jualan bukunya kalau laku dapat berapa ?

Ah mau tahu aja nih. Tapi baiklah, siapa tahu ini menjadi informasi penting bagi penulis lain. Buku saya yang terakhir di jual sama penerbit Rp 82.5 rb, dicetak waktu itu hanya sebanyak 2500 eksp, jadi omzet penjualannya sekitar 206.25 jt. Banyak atau sedikit itu. Ya, tetapi itu yang dapet untung si penerbit. Penulis hanya dapet royalti sebanyak 10% aja. Bayangin sendiri lha. Kalau bukunya banyak, lumayanlah. Tapi nggak gampang khan.

Kalau bukunya udah kayak gini yang dijual. Itu lumayan.

 

Itulah serba-serbi dosen jualan buku. Moga-moga puas.

11 pemikiran pada “dosen jualan buku

  1. wir

    eh, pak Ersis, kalau Bapak yang ngomong percaya deh, selain ngedosen, juga ngebikin buku. Jadi kalau nggak bantu ngejualin, siapa lagi ya pak.

    Tapi, terus terang pak, saya belum pernah langsung jualan buku dari door to door. Mentalnya kayaknya nggak cocok, nggak PD. Bahkan punya pikiran “para salesman itu hebat ya mentalnya”, ngejualin punya orang aja bisa mantap, ini bikinan sendiri aja koq nggak PD. 😐

    Suka

  2. Butterfly And Wind

    eh maaf pak, itu komentar saya bukan dari mahasiswa bapak lho..

    saya sendiri bukan kuliah di UPH (di Binus), temen saya itu juga kuliahnya di Untar(Ekonomi).
    cuma kebetulan temen saya itu pernah cerita kayak gitu, jadi saya cuma iseng nebak aja sapa tau mirip. tapi itu mah untuk kasus mahasiswa yang males kuliah. cuekin aja, pak.

    jadi belum tentu mahasiswa bapak yg complaint berpikir seperti itu. 😛

    the world is created by mindsets of people, teaching and writing are the important first mover of change.

    semangat pak!

    Suka

  3. wir

    to …fly and Win,

    makasih udah ngasih wacana, diskusi di atas juga sebagai pembelajaran bersama siapa tahu bisa dipetik hikmaknya. 💡

    sukses juga untuk kalian ya, di Binus maupun Untar, kita coba dari sisi akademik saling menyumbang pemikiran positip bagi pengembangan diri, keluarga dan akhirnya bangsa ini. 😎

    Gimana, semuanya harus dimulai dari diri sendiri. Iya khan.

    Suka

  4. yanti

    saya malah pengen banget buat buku belum jadi jadi.. 😀 salut buat pak wir yang udah jadi penulis oke. terus berkarya ya pak.. kapan nih buku barunya terbit lagi?

    Suka

  5. wir

    to bu Yanti,
    nulis itu memang harus ‘disengkake’ (jw = diupayakan dengan keras dan penuh semangat) karena kalau nggak begitu, nggak ada yang pressure.

    Motivasi aja bu, kalau nulis itu pekerjaan yang hasilnya abadi. Maksudnya kalau hasilnya dapat dipublikasikan dan disimpan di perpustakaan-perpustakaan. Ayo bu, kapan lagi, mumpung dosen khan ada kesempatan.

    Buku baru. Ha, ha, sebenarnya udah beberapa ide, hanya aja ini untuk menghormati pesan promotor “agar fokus disertasi dulu, dan jangan nulis”. gitu bu. Ya udah untuk sementara pelariannya blog ini aja. :mrgreen:

    salam

    Suka

  6. Jerry

    Wah siapa yang komplain nih? Baru denger nih. Tapi saya sebagai mahasiswa Sipil UPH lebih setuju bahan kuliah dibuat buku. Alasannya:

    Pertama, buku lebih abadi daripada diktat kuliah. Dari pengalaman diktat kuliah itu abis lulus mata kuliahnya cuma jadi kertas2 bekas di dus.

    Kedua, diktat kuliah tidak bisa dibuat referensi untuk tugas akhir.

    Ketiga, buku Pak Wir kan harganya masih terjangkau. Sama kok harga yang dikeluarkan untuk fotokopi dengan harga beli buku. Kalo mau diitung, buku pak wir kan 580 halaman, kalo difotokopi selembar Rp 100 aja uda Rp 58 rb, cm beda 20rban dr harga buku. Mending beli buku lah.

    Tenang aja pak, yang komplain pasti ga bisa ngitung. :mrgreen:

    Suka

  7. kikih

    pak wir…
    saya tinggal dijogja, sedang studi teknik sipil sekarang, tapi sayang buku SAP2000 nya habis pak, dan setelah konfirm ke penerbit emang habis, belum dicetak ulang,
    kira-kira kapan pak bukunya dicetak, teman-teman jogja sudah menunggu…
    Thks…

    Wir’s responds: ha, ha, ha, posisi saya juga seperti anda, pasrah. Maklum yang punya modal khan penerbit, tempo hari sih editornya kontak bahwa buku tersebut mau dicetak ulang. Kenyataannya … 💡
    Ya saya juga berharap, jadi penulis dan calon pembaca juga menunggu. Ok. :mrgreen:

    Suka

  8. handoyo

    Kalau dicetak 10 juta examplar x 82.500 dan laku 825 milyar, 10 % nya kan 82.5 miliar bisa kaya raya loh Pa. Selamat buat Pa Wir dan semoga sukses selalu.

    Suka

  9. handoyo

    Sorry Pa Wir jangan marah ya, saya cuma bercanda aja. Menurut kaset motivasi yang banyak beredar, tiada yang tidak mungkin terjadi bila kita berpikiran positif. Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s