Ini kasusnya Erink :
pak Wir, saya sarjana usia 25 tahun, lulus 2007, tapi saya merasa tidak memiliki keahlian dan kemampuan. Saya merasa otak saya kosong ! Saya seperti tidak tahu apa-apa !.
Sekarang ini, saya bekerja sebagai tenaga laboran teknik sipil di salah satu kampus di kaltim.
pak Wir, saya juga ingin seperti orang-orang, sukses dalam karir, punya keahlian dan menjadi engineer sejati, tapi saya bingung harus mulai dari mana dan bagaimana.
pak Wir…tolong beri saran kepada saya apa yang bisa saya lakukan…
terimakasih sebelumnya.
Sepucuk surat, eh, email, yang membuatku prihatin, khususnya jika itu dihubungkan dengan berita keberadaan sarjana pengangguran di Indonesia, yang jumlahnya ribuan tersebut.
Lho, tapi sarjana yang menulis email itu khan bukan pengangguran khan pak !
Memang sih, bukan itu yang aku prihatinkan, tetapi karena orang tersebut meskipun sudah mendapat gelar sarjana (belum lama sih) tetapi mengapa mengeluh bahwa “merasa otaknya kosong, seperti tidak tahu apa-apa”.
Jadi kalau seorang sarjana saja masih mengeluh seperti itu, lalu bagaimana keluhan seorang non-sarjana. Itu khan dengan asumsi bahwa seorang sarjana adalah lebih baik dari yang belum sarjana. Seperti yang sekarang ini terjadi dengan keberadaan guru-guru di Indonesia, dimana pemerintah merasa belum baik karena tidak semua guru yang ada adalah sarjana. Betul nggak !
Jika seorang sarjana berpikiran seperti itu, kira-kira pekerjaan apa yang cocok baginya. Apakah bisa tipe pekerjaan yang mengandalkan otak. Padahal seperti diketahui bahwa yang namanya sarjana, itu khan lebih diharapkan pada transformasi cara berpikir. Sedangkan jika yang ditargetkan adalah ketrampilan, maka sekolahnya adalah diploma. Iya khan.
Dengan beranggapan bahwa seseorang itu adalah apa yang dipikirkan, maka jelaslah kalau saya cukup prihatin dengan kondisi di atas. Apalagi saya bekerja pada institusi yang bertugas untuk mencetak sarjana. Karena jika seorang sarjana berpikir seperti itu (merasa nggak punya kemampuan), maka pantaslah kalau yang ngganggur juga banyak. Jadi yang menyebabkan nganggur itu bukan karena nggak ada pekerjaan, tetapi karena kompetensi si sarjana itu yang tidak mencukupi.
Moga-moga pernyataan di atas, bukanlah stigma umum kondisi sarjana atau calon sarjana di Indonesia, iya khan. Jelas, karena di lingkungan tempatku, saya melihat banyak juga calon-calon sarjana yang optimis. Bahkan, mau menarik alumni untuk menjadi dosen muda di lingkunganku saja (jurusan teknik sipil UPH) adalah tidak gampang. Mereka-mereka lebih tertarik dunia di luar kampus. Katanya lebih menjanjikan, gitu lho. Hebat khan.
Ok, kembali ke sarjana yang mengeluh di atas.
Meskipun banyak mengeluh, tetapi si sarjana ini hebat lho sebenarnya. Mengapa ? Meskipun ngakunya ”tidak tahu apa-apa”, tapi ternyata sudah punya pekerjaan. Itu khan jelas lebih baik, daripada ngakunya ”tahu apa-apa” tapi nggak punya pekerjaan, alias pengangguran. Dengan demikian, perlu dipertanyakan, kondisi pengangguran yang sarjana tersebut. Tahu apa mereka ?
Tentu masih menjadi pertanyaan ”kenapa masih ada keluhan, dan kelihatan nggak PD”. Yah, mungkin karena status pekerjaannya itu, yaitu tenaga laboran, yang umumnya sudah bisa ditangani dengan baik oleh orang setingkat STM. Jadi down-grade gitu lho. Gajinya tentu setingkat STM juga, bukan dihargai sebagai sarjana. Jadi pantes, si sarjana ini merasa tidak puas, kelasnya bukan untuk seorang ”engineer” sih. Begitu ya ?
Untuk menanggapi si sarjana tersebut maka pertama-tama anda (si sarjana itu) tentu harus bersyukur bahwa telah diingatkan, mungkin oleh orang di sekitar anda, atau oleh pikiran dalam hati saudara sendiri, bahwa kondisi yang anda terima memang perlu suatu peningkatan lagi. Perlu perjuangan lagi. Saya kira itu wajar. Semua perlu perjuangan. Menurut saya, yang paling menarik dalam hidup ini adalah perjalanan kehidupan dari kondisi bawah menuju kondisi ke atas yang lebih baik, bukannya kejatuhan dari atas ke bawah. Tetapi kalaupun itu terjadi, yaitu kegagalan, maka jangan berlama-lama meratapinya, tetapi harus cepat-cepat berupaya bangkit dari kondisi tersebut. Dan lagi-lagi, dapat bangkit, adalah suatu kondisi yang patut disyukuri dan bukan meratapi kegagalan. Lupakan itu.
Seperti kata banyak pepatah, syukurilah setiap tahapan yang anda terima, bekerjalah sebaik-baiknya, dan selalulah dinamis dalam berpikir dan berorientasi maju. Itu semua pasti akan mengarah pada kebaikan. Saya yakin itu.
Tentang menjadi “tenaga laboran”. Mungkin kondisinya belum ideal, tetapi menurut saya itu adalah lebih baik daripada jadi pengangguran, dan juga sesuai dengan mental pikiran yang saudara miliki, yaitu ”merasa otaknya kosong”. Coba kalau anda diberi beban pekerjaan yang lebih beresiko, misalnya perancangan jembatan, khan bisa ngeri khan kalau itu dikerjakan dengan otak kosong. Menurut saya, itu kesempatan anda untuk dapat belajar tentang pekerjaan di laboratorium dengan sebaik-baiknya, anda bahkan bisa belajar teori-teori yang mendukung pekerjaan anda dan membandingkannya dengan fakta yang anda temui. Ingat nggak setiap orang mempunyai kesempatan banyak di laboratorium seperti anda. Di sana tentu ada orang-orang yang dianggap ahli, ini kesempatan anda untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, sehingga anda tidak lagi merasa bahwa otak anda masih kosong.
Selalu berpikiran positip.
Bayangkan saja, siapa tahu nanti anda jadi ahli di bidang eksperimental, karena sering melihat orang-orang melakukannya, bahkan dapat membandingkannya satu dengan yang lain, sehingga tahu mana eksperimen yang benar atau salah. O ya, jangan segan-segan untuk berani menerima tanggung jawab dari atasan, dan selesaikan hasilnya sedemikian rupa sehingga mereka merasa terbantu pekerjaannya dan terus mencari anda untuk minta bantuan. Jika dia puas, bisa-bisa dia mempromosikan anda tanpa anda minta. Betul, hal seperti ini juga pernah saya alami. Terus terang saya tipe orang yang tidak dapat merayu. Jadi umumnya, orang mengenal saya bukan karena “sayanya ramah tamah”, tapi biasanya dari hasil karya saya.
Jadi intinya kalau anda bisa me-manage dengan baik, karena masih di habitat yang memungkinkan menjadi engineer, atau semacamnya gitu maka harusnya anda dapat mensyukuri bahwa cita-cita anda untuk jadi engineer masih memungkinkan. Coba bayangkan, jika anda kerja jadi marketing jualan kain. Apa bisa mengarah ke pekerjaan engineer. Kalau bisa sih, itu namanya luar biasa.
O ya, apalagi anda dapat melakukan kontak maya (tahu dan bisa akses internet), sehingga mendapat pengetahuan lain yang berguna, juga konsultasi seperti ini. Coba kalau anda terisolasi dari dunia luar, dan merasa sudah segala-galanya, padahal !?
Setelah banyak pengalaman di laboratorium tersebut, dan anda sudah merasa bahwa otak anda sudah mulai penuh dengan pengetahuan-pengetahuan yang relevan maka tentunya segera berpikir untuk tidak sekedar jadi tenaga laboran lagi. Umumnya jika pimpinan anda jeli melihat bahwa anda bisa menunjukkan kerja selevel sarjana, dan juga karena ada kesempatan maka pasti akan dipromosikan pada posisi yang sesuai. Jika kesempatan tersebut belum ada, maka anda bisa cari kesempatan itu di tempat lain, melamar pekerjaan di tempat lain, pada bidang yang anda anggap kompeten.
Dengan strategi seperti di atas, jika terus menerus dilakukan, dan tetap setia pada benang merah idealisme yang anda tentukan dari semula maka saya yakin anda dapat menjadi apa yang anda cita-citakan. Amin.
Tinggalkan komentar