Cukup menarik juga membaca silang pendapat tentang usia pensiun bagi Hakim Agung yang digulirkan oleh Prof Bagin Manan, alasan utamanya adalah bahwa di negara lain juga begitu. Meskipun demikian, banyak juga yang menolaknya, alasannya regenerasi jadi terhambat.

Kalau dicermati, maka yang mendukung adalah orang-orang yang sedang mendapat jabatan, sedangkan yang ngotot menolak adalah orang-orang di luar, atau yang tidak terkait dengan jabatan tersebut. Tahu sendirilah maksudnya, UUD.

Rasa-rasanya, jabatan yang secara otomatis pensiun di usia 70 tahun, kalau tidak salah ya hanya itu tadi, hakim agung. Benar nggak sih ?

Di kalangan perguruan tinggi, usia pensiun profesor resminya 65 tahun, lalu dimungkinkan juga untuk diperpanjang sampai 70 tahun, tapi perlu evaluasi khusus. Apa benar yang bersangkutan memang masih mampu. Jika tidak itu khan berarti menghambur-hamburkan uang negara.

Jika dipikir-pikir, usia 70 tahun memang bervariasi keadaannya, maksudnya tidak bisa secara umum dikatakan bahwa semua pada usia tersebut pasti masih produktif.

Orang tuaku sendiri, baru saja ulang tahun ke 70. Sedangkan usianya pensiun dulu adalah 55 tahun. Dalam mengisi usia pensiun, beliau masih laku sebagai dosen tidak tetap, juga sebagai diakon awam di gereja. Jadi kerja sosial begitu, sekaligus mendalami hal-hal yang rohaniah begitu.

Sedangkan pengalamanku dalam menyelesaikan disertasi, yaitu dibimbing oleh profesor yang berusia sekitar 76 tahun, seakan-akan tidak terasa bahwa yang bersangkutan telah berusia demikian. Beliau masih bolak-bolak ke luar kota mengajar.

Bahkan yang lebih lagi adalah, mertuaku sendiri, pada usia melewati 79 tahun, masih rajin menyemir rambut. Sepintas lalu, tidak ada orang yang mengira usia beliau sudah lanjut. Bahkan cucunya sendiri kadang masih minta diantar (khan kebalik ini).

Jadi jika alasan yang digunakan adalah bahwa usia demikian masih produktif, seperti di negara lain, maka jelas itu ada benarnya.

Tapi kalau itu dijadikan alasan agar usia pensiun sampai 70 tahun, maka sebenarnya tidak benar.

Jika yang setuju adalah orang-orang muda maka jelas mereka tidak punya rasa belas kasihan. Tidak memberi kesempatan orang tua untuk menikmati hari tuanya, menikmati pensiun. Sehingga yang bersangkutan bisa mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang lain, yang diperlukan dalam hidup ini. Ingat, hidup ini tidak hanya mencari duit. Dengan menerima pensiun, maka yang bersangkutan mempunyai bekal untuk mengisi kehidupannya dengan hal-hal lain yang mungkin belum didapat ketika bekerjanya. Atau minimal, mempunyai waktu di luar rutinitas bertahun-tahunnya untuk refleksi diri, bahwa apa yang telah dikerjakan selama ini ada gunanya. Feedback begitu maksudnya.

Jika yang setuju adalah orang-orang tua, yang kebetulan sedang menjabat. Apa ini tidak bisa dikatakan serakah. Karena bagaimanapun, memegang kekuasaan yang cukup lama maka cenderung orang yang bersangkutan cenderung mempertahankan status quo. Apa nggak ingat itu pak Harto, yang terlalu lama menjabat. Penyakit orang tua itu khan cenderung lupa. Tentang alasan masih produktif, lha yo monggo. Itu khan tidak berarti tetap pada satu institusi yang sama. Atau mungkin yang bersangkutan nggak pede, karena belum tentu diterima kerja di tempat lain. Itulah gunanya menabung.

Jadi menurut pak Wir gimana, setuju ?

Ya seperti itulah. Tetapi yang jelas, kita jangan terpengaruh usia pensiun, dan jangan takut nggak punya pekerjaan / penghasilan. Yang penting bahwa usahakan setiap hari kita selalu bertumbuh kembang. Jika di satu perusahaan atau institusi sudah dianggap mencapai usia pensiun, maka jika berkompeten maka tempat lain pasti juga akan menerimanya. Kira-kira seperti beliau-beliau yang kusebutkan di atas. Jangan ngoyo lhah. Itu yang minta perpanjangan usia pensiun koq ngotot amat. Emangnya kalau pensiun nggak tahu kegiatan apa yang harus dikerjakan. Kasihan banget. 😦

Link terkait :

6 tanggapan untuk “usia pensiun 70 tahun”

  1. imcw Avatar

    Mereka takut akan apa yang dinamakan post power syndrome. Terutama bagi pejabat yang memegang jabatan tinggi.

    Wir’s responds: yah, itulah resiko memegang kekuasaan tinggi. Harus belajar legowo (jw: lapang hati).

    Suka

  2. gagahput3ra Avatar

    Kemungkinan paling besar emang takut dengan Post Power Syndrome, tapi mungkin juga (dalam konteks pemerintahan) menurut saya ada rahasia-rahasia masa lalu yang mereka pegang sebagai tanggung jawab dan takut kalau pensiun sekarang2 ya pasti ceritanya bakal panjang…

    akibatnya diseret2 terus deh…walau bertahannya bagir & hakim2 berparadigma lama di MA adalah salah satu penyebab MA sulit mereformasi diri 😦

    Wir’s responds: Saya kira ini suatu alasan yang logis sehingga orang-orang di DPR perlu menyetujuinya. Karena kalau alasannya produktivitas maka jelas tidak akan menang jika dibanding kandidat lain yang usianya lebih muda. Wah salute dengan pemikirannya mas.

    Suka

  3. wedhouz Avatar

    toh akhirnya mereka juga akan mati juga khan 😛

    Suka

  4. Sambalewa Avatar

    Memang penguasa paling berkuasa apa-apa pengen dikausai semua.

    Suka

  5. atakeo Avatar

    Usul datang dari orang yang ingin terus bekerja. Mengapa pemangku jabatan tidak pernah pikirkan kaderisasi. Seorang bisa melanjutkan karya di luar jabatan. Mengapa para anggota MA yang sudah seharusnya lepas tugas malah ngotot terus berkarya. Masih pingin terus bertahan untuk menguasai ditempat yang sama, berarti tidak percaya diri. Emas tetap emas juga di becekan. Para anggota MA yang cerdas dan briliant akan tetap berarti juga di luar. Masa takut dipensionkan. Pension sajalah.!!!Jangan hilang PEDEnya.

    Suka

  6. syaiful Avatar

    salam kenal juga pak

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com