cita-cita anak seekor elang


fahmi // Februari 5, 2009 pada 10:49 am

Salam untuk Pak Wir : “Bagaimana agar anak seekor elang yang hidup di lingkungan ayam kampung bisa terbang tinggi di atas awan bersama teman2nya”. Setiap hari anak elang selalu menengok ke atas langit dan selalu berusaha mencari jalan untuk meraih cita2nya. Pertanyaannya adalah : Apa perlu anak elang itu harus dijemput oleh teman2 (elang yang sudah dewasa) atau anak elang itu menunggu sampai dewasa. Bagaimana agar anak elang itu tahu identitasnya yg sebenarnya, bahwa ia bisa langsung terbang kelangit (walaupun masih dibawah awan)

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas adalah cukup menarik, apalagi bagi seorang dosen yang banyak berkaitan dengan pertumbuhan hidup seseorang. Bayangkan, bertahun-tahun selalu melihat bagaimana muridnya bertumbuh, tahun awal karena ada yang dari udik, masih kekanak-kanakan, kemudian melalui kehidupan kampus, lalu kemudian tahu-tahu lulus dan melaporkan sudah di sana-sini , mandiri. Melihat hal-hal seperti itu, digabung dengan ilmu titen khas jawa, ditambah juga sifat introvet (selalu merenungkan apa-apa yang dilihat/dilalui) maka wajarlah jika dapat dihasilkan suatu pemahaman tentang sesuatu yang mungkin berbeda dengan yang lain. Yah, bisa jadi bahan renungan, begitulah.

Jelas, bahwa pertanyaan di atas adalah suatu perumpamaan. Tidak diarahkan pada fisik, tetapi lebih ke arah non-fisik, yaitu ingin menyamakan sepak terjang elang yang unggul dengan kehidupan seseorang yang sukses. Jadi elang menggambarkan seseorang yang sukses, sehingga banyak orang ingin menirunya. Saya kira demikian maksudnya ya Fahmi ?

Jika demikian halnya maksudnya, maka saya kira pernyataan di atas mengandung beberapa interprestasi yang bisa berbeda antara satu dengan yang lainnya. Baiklah kita tinjau satu-persatu interprestasi yang dimaksud.

** anak seekor elang **

“Bagaimana agar anak seekor elang yang hidup di lingkungan ayam kampung bisa terbang tinggi di atas awan bersama teman2nya”.

Apakah itu diinterprestasikan sebagai anak seseorang yang sukses, apakah pasti juga sukses.

Jika sukses yang dimaksud adalah dari segi materi, dan semacamnya, mestinya harus demikian khan. Kalau sukses kehidupan seseorang yang ‘mepet’ saja dimungkinkan untuk sukses, mengapa yang mendapat kemudahan menjadi tidak sukses. Itu khan kebangetan.

Meskipun demikian, penulis sering mengamati di lingkungannya, mulai sejak kecil dulu (niteni = jawanya) bahwa ada yang sejak smu-nya sudah dikasih mobil pribadi sendiri, tetapi ketika tuanya sampai-sampai menjual lemari es orang tuannya untuk beli sesuatu. Mobil pribadi yang dipunyainya dulu juga sudah raib. Itu semua terjadi ketika kemudian orang tuanya yang sukses ternyata tidak berumur panjang. Ternyata selama kehidupannya menjadi anak orang sukses, orang tersebut tidak menginvestasikan kemudahan-kemudahan yang diperoleh dari orang tuanya untuk mendapatkan hikmat kehidupan. Dia gunakan itu untuk senang-senang konsumeris, dan semacamnya itu.

Jadi jawabannya adalah anak seorang sukses, jika tidak bekerja keras untuk menjadi sukses maka juga tidak akan sukses seperti orang tuanya. Kemudahan harta adalah penting dan membantu, tetapi bukan itu yang utama yang menyebabkan seseorang sukses.

Tentang apa yang utama itu pada dasarnya telah diketahui orang sejak dulu kala, ribuan tahun yang lalu. Meskipun demikian sampai sekarang pun ternyata orang masih silau dengan harta dan menjadikannya tujuan. Sebenarnya yang perlu dituju dalam hal itu adalah mendapatkan hikmat. Kalau tidak percaya, saya tunjukkan bagaimana permintaan Solomo (Nabi Sulaiman) kepada Tuhan yang membuatnya menjadi legenda sampai sekarang, yaitu:

Sebab itu, TUHAN, berikanlah kiranya kepadaku kebijaksanaan yang kuperlukan untuk memerintah umat-Mu ini dengan adil dan untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Kalau tidak demikian, mana mungkin aku dapat memerintah umat-Mu yang besar ini?”
1 Raja-raja 3:9

Yang dimintanya khan bukan materi, tetapi sesuatu yang non-materiil, tetapi karena itulah maka Tuhan berkenan dan memberi lain yang orang dunia melihatnya sebagai tanda-tanda kesuksesan.

Tuhan senang dengan permintaan Salomo itu dan berkata kepadanya, “Sebab engkau meminta kebijaksanaan untuk memerintah dengan adil, dan bukan umur panjang atau kekayaan untuk dirimu sendiri ataupun kematian musuh-musuhmu, maka permintaanmu itu akan Ku-penuhi. Aku akan menjadikan engkau lebih bijaksana dan lebih berpengetahuan daripada siapa pun juga, baik pada masa lalu maupun pada masa yang akan datang. Bahkan apa yang tidak kauminta pun akan Kuberikan juga kepadamu: seumur hidupmu kau akan kaya dan dihormati melebihi raja lain yang mana pun juga.
1 Raja-raja 10-13

Jadi pertanyaannya adalah apakah sukses orang tua yang berupa hikmat dapat diwariskan juga kepada anak-anaknya. Saya kira ini menjadi pertanyaan penting. Kalau sukses itu disebut sebagai banyak harta, maka jelas jawabannya gampang, karena harta gampang dapat dipindahkan ke anaknya. Gampang dipindahkan ke anak, dan gampang juga ke orang lain (misal pencuri dll).

** anak seekor elang yang hidup di lingkungan ayam kampung **

Menurut saya bahwa seseorang dapat menyadari bahwa ternyata dia adalah seekor elang dan bukan sekedar ayam kampung maka itu adalah suatu pencerahan besar. Jika peribahasa tersebut diterapkan kepada manusia, maka rasanya tidak gampang, bahkan kadang-kadang banyak orang yang sampai tuanyapun hanya menjadi ayam kampung.

Tetapi menjadi ayam kampung apakah itu jelek. Tentu saja tidak, lebih baik jadi ayam kampung yang disegani ayam-ayam kampung yang lainya mungkin lebih baik daripada jadi elang yang lemah di mata elang-elang lainnya. Artinya adalah bahwa kehidupan itu kadang bersifat relatif, tidak ada yang sifatnya mutlak. Tentang hal tersebut, sebaiknya kita tidak dipenuhi rasa iri, setiap orang mempunyai tugasnya masing-masing. Jika tidak demikian halnya, maka bisa saja yang merasa jadi orang biasa, maka iri ingin jadi presiden, yang jadi guru iri dengan direktur dsb. Padahal pada setiap peran yang ada, maka Tuhan menganggap sama derajatnya. Setiap peran mempunyai tanggung jawab masing-masing.

Jadi berkaitan dng “selalu menengok ke atas langit” maka itu perlu disikapi dengan wajar, tidak ngoyo, tetapi terus menerus. Kita diciptakan Tuhan adalah dengan suatu misi, kita harus menjadi berkat bagi sesama dan untuk kemuliaan-Nya. Jadi jelas, kita jangan hanya menjadi apa adanya, kita harus berkembang semaksimal mungkin. Perkembangan atau pertumbuhan baik jasmani maupun rohani inilah yang dinilai di mata Tuhan. Kalau jadi ayam kampung, ya jadilah ayam kampung yang baik yang berjiwa elang, daripada jadi elang tetapi berjiwa ayam kampung. Ini dalam konteks bahwa ayam kampung adalah makanannya elang, jadi elang unggul dan ayam kampung adalah pihak yang kalah. Jangan bingung.

Jadi intinya, jika kamu merasa jadi elang di antara ayam kampung, maka jangan mengeluh saja. Tunjukkan ke-elang-anmu di antara ayam-ayam kampung tersebut, tetapi tentunya tidak memangsa ayam kampung khan. 😉

3 pemikiran pada “cita-cita anak seekor elang

  1. okky

    maaf…agak bingung dengan judulnya…
    anak seekor elang ato seekor anak elang yah?

    Wir’s responds: judulnya konsisten dengan pertanyaan yang diberikan. Hal tersebut juga telah menjadi salah satu bahasannya.

    Suka

  2. fahmi

    Elang (2)
    Saat ia akan latihan terbang, ia selalu di dekati oleh keluarga ayam kampung agar merenungkan dan mengurungkan keinginanya. Setelah sekian lama anak elang itu berjalan2 bersama keluarga ayam kampung tersebut, ia menemukan batu yang besar.Anak elang tersebut berfikir bahwa batu besar tersebut dapat di jadikan pijakan yang tepat untuk latihan terbang. Suatu saat anak elang tersebut mau latihan terbang….. tiba2 keluarga ayam kampung memanggilnya untuk memerlukan bantuannya. Sehingga anak elang tersebut mengurungkan niatnya untuk latihan terbang dan membantu keluang ayam kampung tersebut. Keadaan tersebut berjalan terus menerus…, sehingga dari keluarga ayam mengetahui kalau “saudaranya” elang mulai latihan terbang. Waktu berjalan seiring bertambahnya dewasa anak dari keluarga ayam kampung dan tentunya Si elang. Dengan bertambhnya dewasa Si elang , maka ketergantungan keluarga ayam semakin bertambah.
    Sekarang Si elang ini merasa bimbang dengan kondisi yang sedang dihadapinya… di sisi lain tenaganya dibutuhkan oleh keluarga ayam kampung, di sisi lain Ia ingin terbang bersama “teman-teman” nya yang terbang tinggi di awan. Saat ini Si Elang Terus mendongok ke atas langit deangan tatapannya yang tajam. Bimbang (karena kondisi yang mengharuskan), gelisah (Apakah nasibnya ini tertakdir ayam atau elang), prihatin (Selalu memikirkan masa depannya sendiri yang masih terlantung2).

    Suka

  3. silvetake

    selamt siang Pak Wir’, blog nya sangat menginspirasi saya untuk terus maju,, menurut pak Wir ,klo tamatan informatika sebaiknya apa yang digeluti?? trimakasih atas balasannya….

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s