Dosen Profesional


Pada jaman saya sekolah dulu, kadang-kadang timbul pendapat bahwa dosen yang ideal itu adalah yang berasal dari industri. Maksudnya, bahwa dosen yang pekerjaan utamanya ada di industri adalah yang paling baik. Sehingga ada link-and-match begitu alasannya yang utama. Itu pula yang menyebabkan bahwa dosen yang banyak ngobyek, adalah tipe dosen yang baik juga, alasannya karena ilmunya diakui dan dipakai oleh industri.

Pemikiran seperti itu cukup lama eksis di dunia pendidikan, karena dari sisi institusi penyelenggara pendidikan juga diuntungkan, yaitu hanya membayar jika beliau (dosen) tersebut datang mengajar saja. Kalaupun ada gaji bulanan, maka besarnya tentu tidak sebesar jika dosen tersebut full time. Dengan status atau kondisi seperti itu, maka universitas dapat memberi honorarium yang tidak terlalu besar, dan karena si dosen punya kerjaan lain, maka besarnya honorarium tadi tidak menjadi masalah.

Di sisi lain, seseorang yang ingin berfokus bekerja hanya sebagai dosen saja akan merasakan bahwa honorarium yang ada menjadi tidak cukup. Agar cukup maka jabatan-jabatan di institusi dikejar, mau jadi Kajur atau Dekan atau bahkan Rektor. Jika nggak dapet, boleh deh jadi kepala laboratorium. Pokoknya cari jabatan begitu. Akhirnya statusnya adalah sama seperti dosen di atas tadi, bedanya industri diganti jabatan insititusi. Intinya, mengajar sebagai dosen hanya sebagai status, sebagai sampingan saja, yang utama adalah jabatan.

Karena datang ke universitas hanya pada waktu jam mengajar, sisanya dihabiskan ditempat kerja. Sedangkan jika pulang kerumah mestinya sudah ditunggu keluarga, apalagi jika transportasinya seperti di Jakarta, maka tentunya waktu khusus yang dapat digunakan untuk kewajibannya sebagai dosen menjadi sangat terbatas.

Lho pak, khan dosen tersebut selalu datang on time saat kelasnya mulai dan tidak pernah lowong.

Itu khan ngajarnya.

Lho emangnya ada yang lain juga tho pak ?

Lha iya dong. Dosen itu khan tidak hanya ngajar saja lho. Ngajar itu hanya sebagian kecil dari kehidupannya yang riuh. Maksudnya banyak kegiatan begitu lho. Tapi jika dosennya profesional seharusnya seimbang antara (1) mengajar , (2) meneliti dan publikasi , dan (3) pengabdian pada masyarakat.

Jadi dosen ngobyek atau di industri itu ibarat item (1) dan (3) yang terpenuhi. Itu saja dengan catatan bahwa mata kuliah dan bidang industri yang digelutinya selaras. Padahal banyak yang nggak selarasnya lho. Ngajarnya konstruksi baja, tetapi pekerjaannya di industrinya pada bagian administrasi. Nah lho, apa itu bisa disebut saling mengisi.

Adapun item (2) yaitu bagian meneliti dan publikasi jika demikian maka belum tercakup. Padahal untuk mengajar yang baik dan matang maka yang bersangkutan perlu mendapatkannya dari proses penelitian dan publikasi makalah. Sedangkan jika di industri khan cenderung bersifat rutin atau menggunakan cara-cara atau metode yang sudah terbukti dapat diandalkan, kalau di industri maka diharapkan dari pekerjanya adalah hasil. Sedangkan jika melakukan penelitian dan publikasi, kadang-kadang hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung. Kesimpulannya, indutri dan penelitian kadang-kadang banyak tidak bertemunya. Tidak klop. Padahal penelitian dan publikasi makalah kadang nggak bisa disambi. Itulah mengapa kondisinya jadi stagnan, tapi ya wajar saja, jadi dosennya juga disambi, bukan suatu yang profesional begitu.

Emangnya bapak dosen profesional ?

Profesional apa maksudnya.

Itu lho yang diceritakan bapak di depan, yang pakai tiga kriteria yang bagi pendidik sering disebut tri-darma-perguruan tinggi.

Sebenarnya penilaian dosen dan kaitannya terhadap tri-darma seperti di atas, telah dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai jenjang akademik, tetapi tidak ada hubungannya dengan istilah dosen profesional.

Lho koq begitu pak, jadi apa maksud dosen profesional yang di atas.

O istilah di atas sebenarnya aku ingin mengaitkannya dengan istilah profesional pada umumnya, yaitu mencurahkan hidupnya dengan bekerja sebagai dosen. Jadi bukan disambi, begitu lho. Karena mencurahkan ke dosen maka ketiga hal tersebut mestinya juga diusahakan untuk dipenuhi.

Tapi ternyata sekarang ada istilah Dosen Profesional yang baru diperkenalkan pemerintah. Kita sekarang cerita ke sana ya.

Adapun istilah Dosen Profesional yang benar dan formal, baru populer dengan keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2008. Jadi sebenarnya masih merupakan barang baru. I ya khan.

Meskipun baru, tetapi ternyata aku sebagai dosen tidak ketinggalan. Selalu up-to-dated begitu.

Maksudnya pak.

Syukur kepada Tuhan, aku sekarang adalah Dosen Profesional menurut versi pemerintah itu lho, ternyata portofolio yang tempo hari pernah aku susun, dapat diluluskan dari proses uji sertifikasi dosen yang dilakukan oleh UI mewakili pemerintah pusat. Artinya saya berhak menyandang predikat Dosen Profesional secara resmi dan diakui negara. Tidak percaya, lihat saja sertifikat pendidik yang baru saja aku peroleh, sebagai berikut.

sertifikat_pendidik

Seperti ijazah ya. Wah tahun ini aku benar-benar cukup beruntung, Tuhan memberi dua pengakuan formal yang sangat penting untuk karirku sebagai dosen, yaitu ijazah akademis Doktor, dan pengakuan pemerintah sebagai Dosen Profesional. Pasti Tuhan punya maksud.

Jika untuk mendapat gelar Doktor maka aku harus mengikuti program tersebut selama lima tahun lebih, sedangkan untuk lulus dan mendapakan sertifikat Dosen Profesional di atas, maka aku harus membikin portofolio.

Portofolio adalah suatu tulisan yang dibuat untuk mendeskripsikan diri bahwa memang sepak terjangku selama ini dapat dikonotasikan atau disejajarkan sebagai berperilaku profesional sebagai dosen. Kelihatannya sederhana ya, tapi nggak seperti itu, karena portofolio orang-per-orang jadi berbeda. Sangat subyektif sifatnya. Hanya saja untuk menyusun portofolio tersebut, telah ada petunjuk, yaitu ada yang menggiring melalui pertanyaan-pertanyaan untuk diungkap. Ini khan pekerjaaan menulis, padahal aku setiap harinya menulis. Jadi sebagai dosen yang menulis, maka membuat portofolio adalah bukan sesuatu yang sangat sulit, kalau hanya sulit mah itu khan biasa, kita ini khan latar belakangnya engineer. Jadi kalau hanya nglembur dua tiga hari sampai pagi, itu mah biasa. Anggap saja seperti sedang menunggu orang ngecor beton di lapangan. 🙂

Tetapi kalau tidak pernah membuat tulisan, wah lain persoalan itu. Meskipun sudah nglembur sampai pagi, tulisannya nggak bunyi.

Coba aja kalau nggak percaya. Kadang-kadang orang lain melihatnya seperti sedang bengong. Nulis itu khan kerjanya dipikiran. Coba kalau nggak pernah dipakai, isinya paling-paling ngelantur kemana-mana padahal udah diem. Yakin deh. 😦

Mungkin oleh karena itu pula, maka 3 dari 25 orang yang mengajukan sertifikasi dari UPH dinyatakan gugur.

Lho, jadi nggak gampang tho pak.

Lho lha iya dong, karena portofolio tersebut nantinya akan dievaluasi oleh suatu badan yang diakui negara untuk dinilai. Karena sertifikasi tersebut nanti ada hubungannya dengan bantuan finansial dari pemerintah, maka yang sembarang menulis portofolio dan diragukan kebenarannya, atau tidak cocok dengan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah, maka ya tidak lulus. Alias gugur.

Puji Tuhan, badan penilasi tersebut setuju dengan kriteria dosen profesional yang aku buat.

O ya, nggak setiap dosen pasti punya sertifikat itu lho. Apalagi dosen swasta, karena ini dari pemerintah maka yang menjadi prioritas utama khan pasti dosen dari institusi pemerintah. Swasta pasti setelah itu, benar khan. Jadi di UPH yang mempunyai sekitar 300 dosen dari sekitar 800 staf-nya, maka yang diberi jatah untuk ikut sertifikasi dari pemerintah hanya sekitar 25. Bayangkan 25 dari 300, berapa itu ?

Hanya 8.33%-nya saja. Nah lho gimana itu. Sekali lagi puji Tuhan, aku di antara yang itu. Ini mungkin memang karena istimewa, atau hanya keberuntungan saja. Yang jelas pasti kedua-duanya ya. 🙂

Jadi karena sertifikasi ini memang sesuatu yang baru di Indonesia saat ini artinya sebelumnya belum ada yang diangkat sebagai dosen profesional, maka jelas pengalaman berhasil mendapatkan sertifikasi tersebut diatas tentu dapat dijadikan acuan bagi teman yang lain , sehingga prosesnya tidak srudak-sruduk seperti aku tempo hari.

Mau nggak berkas portofolioku yang sudah terbukti sukses tak up-load ?

26 pemikiran pada “Dosen Profesional

  1. Anonime

    Pak Wir, orang yang sudah bekerja pada bidangnya dengan baik dan cukup lama, tentu mempunyai proses meneliti. Saya contohkan sederhana saja, misalnya sopir. Dengan pengalamannya membawa kendaraan dengan baik dan jam kerja yang lama, tentu dia sudah mempunyai pengetahuan yg sangat banyak. Bahkan juga eksperimen/penelitian dalam kasus2 baru di jalanan. Nah bukankah ini menunjukkan dia mempunyai aspek ke-2 yaitu penelitian. Hanya saja mungkin tak punya publikasi untuk hasil tersebut.
    Orang yang bekerja pada bidang ilmunya lalu menjadi dosen untuk ilmu yang sama memberi keuntungan bagi mahasiswa. Tentu saja dengan catatan bahwa dia juga mengajar dengan baik.

    Suka

  2. wir

    @Anonime,
    Melakukan penelitian pasti perlu berpikir, tetapi orang yang sedang berpikir belum tentu melakukan suatu penelitian.

    Yang anda sampaikan di atas itu merupakan suatu proses bernalar dari seorang sopir. Dengan pengalamannya yang sudah begitu lama di bidangnya maka tentu akan sesuai pepatah “bisa karena biasa”.

    Dia dapat melakukan proses berpikir induksi dari berbagai pengetahuannya dalam menyopir untuk mengetahui bahwa mengendarai mobil pada jam-jam sibuk di tempat tertentu (sesuai dengan pengalaman si sopir) maka bensinnya boros. Juga akan tahu, bahwa ada mobil-mobil tertentu, akan lebih enak di kendarai daripada mobil yang lain, misal naik sedan dibanding naik bajai.

    Kecuali berpikir induksif, bisa juga dia melakukan proses berpikir deduksif, menalar dari hal-hal umum ke hal-hal khusus. Misal, kendaraan beroda empat kecil maka sim-nya cukup sim A, kalau rodanya lebih maka jelas sim jenis tersebut tidak cukup, bisa di razia polisi.

    Proses di atas karena dilakukan learning by doing dan dilakukan secara alamiah maka hasilnya seakan-akan mengalir begitu saja. Bahkan kadang-kadang pelakunya tidak menyadari bahwa sebenarnya dia telah melakukan suatu proses penalaran yang baik, yaitu seperti tadi bisa mengidentifikasi waktu-waktu yang bisa bikin bensin cepat habis, atau tahu kapan harus punya sim jenis tertentu atau lainnya.

    Jadi si sopir tadi juga melakukan pemikiran seperti yang dilakukan oleh seorang peneliti, yaitu melakukan penalaran secara induksif maupun deduktif. Meskipun kadang dia tidak menyadarinya. Itulah manusia, “dia ada karena dia berpikir”.

    Lalu apa bedanya dengan peneliti.

    Bedanya adalah bahwa peneliti melakukannya dengan kesadaran penuh dari setiap tindakan penalaran yang dilakukan. Untuk itulah dia dalam awal-awal penelitiannya sadar akan apa yang akan ditelitinya, yaitu dengan memformulasikan masalah. Juga sadar mengapa dia memilih masalah tersebut, apakah dia mempunyai kompetensi untuk menelitinya. Juga akan tahu apa-apa yang diperlukan agar masalah tersebut dapat dipecahkan dan mempersiapkan diri dengan baik.

    Peneliti dengan melakukan studi pustaka tertulis akan mempelajari, apakah masalah yang dibahas tersebut adalah orisinil atau sudah ada yang memecahkannya. Proses studi literatur ini jelas tidak akan dilalui oleh si sopir, tapi si peneliti pasti akan melaluinya. Sehingga dia (si peneliti) dapat dengan yakin menyatakan bahwa apa yang ditelitinya ini memang berharga, bersifat orisinil dan tahu cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikannya.

    Dengan mempelajari masalah, membaca sikap orang lain terhadap masalah tadi, maka dengan proses induktif dan deduktif akhirnya si peneliti dapat menyusun suatu hipotesis, penyelesaian sementara masalah tersebut.

    Itu semua dilakukan dengan membaca buku dan pikiran si peneliti. Kadang orang lain tidak sadar bahwa si peneliti dalam hal ini telah bekerja. Tahunya orang koq kutu buku. O ya, cara ini adalah seperti yang aku lakukan. Jika orang lewat depan meja kerjaku, maka seakan-akan orang hanya lihat aku termenung-menung sendiri. Ketika tulisan atau buku sudah keluar, baru tahu, o, ternyata itu tho yang dikerjakan pak Wir. 🙂

    Penelitian di lanjut ok.

    Setelah hipotesis kelar, maka baru proses penelitian dapat dilanjutkan untuk menguji hipotesis tersebut. Pada tahap-tahap ini digunakan metoda-metoda ilmiah yang baku, sampai akhirnya diperoleh suatu bukti apakah hipotesis yang diajukan tadi ok atau tidak. Ilmiah jika hipotesis dapat dibuktikan berulang sesuai batasan-batasan yang diberikan.

    Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan umum yang logis dan sesuai nalar ilmu pengetahuan sebelumnya, bahwa jika seperti ini maka akan begini jika …..

    Itulah yang disebut meneliti mas.

    O ya, itu belum selesai. Selanjutnya proses tadi perlu di publikasikan sehingga orang lain dapat menilai. Tanpa publikasi maka jelas penelitian orang lain tidak dapat dinilai. Karena tidak bernilai maka meskipun banyak meneliti tetapi tidak berharga karena tidak diketahui kegunaan dan hasilnya bagi orang lain. Sesuatu itu akan berharga jika dicari dan dihargai oleh orang lain khan.

    Karena semua tadi dilakukan secara sadar maka dia dapat dengan sadar pula menggunakannya untuk keperluan praktis sehari-hari akan ilmu pengetahuan yang diperolehnya tadi. Orang luar melihatnya sebagai berilmu.

    He, he, jadi nggak sesederhana seperti yang anda contohkan ya.

    Sebagai gambaran, tentang makna hidup. Ingat bahwa tidak setiap orang yang telah hidup dengan ‘baik’, tahu akan makna hidup ini. Coba aja tanya ? Untuk apa hidup ini ?

    Catat aja jawabannya, lalu bandingkan dengan kehidupannya, belum tentu cocok lho. Itu khan artinya apa yang diomongkan dengan yang ditindakkan tidak cocok. Intinya, dia tidak tahu tentang apa-apa yang diomongkan tadi. 🙂

    Suka

  3. pringgana

    Selamat ya Pak Wir atas gelar Doktor dan Sertifikat Pendidik-nya.

    Saya kira dosen itu perlu ngobyek juga, karena kuliah yang diberikan akan lebih berbobot diselingi berbagai contoh praktis di lapangan sebagai pelengkap contoh dan ilustrasi yang ada di text book.

    Namun saya juga melihat di lingkungan saya, dimana banyak juga dosen setelah tamat doktor jadi lebih “laku” di pasaran, sehingga proyeknya lebih banyak, rapat pentingnya semakin padat, dan akhirnya datang ke kampus pas hanya mengajar saja. Kiranya dosen yang ngobyek di luar mesti mampu menahan diri untuk tidak mangambil semua tawaran proyek yang datang, agar tetap dapat bersikap profesional melaksanakan Tri Dharma PT.

    Suka

  4. BARKONI

    Wah, jangan apriori ama pejabat struktural di Universitas, ah!… Itu udah tendensius mengecap Kajur, Dekan, atau Rektor itu cuma mengejar jabatan lalu si dosen jadi tak profesional…

    BElum pernah liat Dosen Berprestasi Tk NAsional sih…

    Oya, yang dapat sertifikat pendidik itu juga banyak… PTS yang dapat kuota sertifikat pendidik lebih banyak juga ada… jadi, tidak sulit-sulit amat kog mencari sertifikat pendidik. Asal ada peluang dan masuk daftar Universitas, lalu porto folio dikerjain baik,… 99% dapat kog itu sertifikat pendidik “Lektor KEpala”… banyak contohnya…

    Jadi, PROFESIONAL itu musti dikaitkan dengan self-leadership, kemampuan mimpin diri sendiri, utk menjalankan tugas & kewajiban dosen, yaitu 3 Dharma PT… GITU LHOOO…

    Suka

  5. lebih enak dosen yang sambi ngajar tp trs berkarya “meneliti” dan objekannya juga sebidang dengan yang di ajarkan jadi tahu bisa menyelaraskan teori dan prakteknya.. gak hanya teori aja…

    Suka

  6. miss...

    Pak wir….
    Apa seorang dosen layak untuk cari sampingan apalagi obyekkan proyek ?
    masalahnya seperti yang diketahui proyek tak mungkin sejalur lurus 100% dengan dunia yang pernah kita tempuh “PENDIDIKAN” (mungkin kalo proyek dari dana untuk pendidikan jauh lebih baik daripada proyek yang komersial).
    Tolong direnungkan masihkah layak hal tersebut…

    Suka

  7. wir

    @miss
    Apa seorang dosen layak untuk cari sampingan apalagi obyekkan proyek ?

    Jawabanku : kenapa tidak ?

    seorang dosen yang full-time sepertiku kadang mempunyai posisi yang ideal untuk berinteraksi dengan ilmu-ilmu baru. Bayangkan, setiap tahun perpustakaan selalu menyodori buku-buku textbook yang perlu dibeli. Juga karena sering ikut seminar (umumnya sebagai pembicara) maka banyak berinterakasi dengan teman-teman seprofesi, juga mengelola seminar atau pertemuan ilmiah. Jadi juga tahu banyak tentang perkembangan ilmu yang ada. Dengan banyaknya pengetahuan yang mem-backup maka tentunya kesiapan untuk menghadapi permasalahan di lapangan juga lebih besar.

    Jadi jika proyek membutuhkan, dan dosen bisa mengelola waktu maka tentunya win-win solution. Istilah ini sebagai pengabdian pada masyarakat.

    Tentu tidak setiap kegiatan dalam proyek bisa diikuti oleh seorang dosen, apalagi yang berkomitmen pada waktu. Tapi khan tidak setiap masalah harus diselesaikan sendiri di lapangan. Ada juga yang dapat dikerjakan di kampus sebagai usaha untuk link-and-match, bahkan jika ternyata menyita waktu khusus maka bisa saja dijadikan kegiatan LPPM, ini bahkan untuk universitas tertentu dapat dilembagakan.

    Untuk bagaimana membagi waktu, maka tentu perlu dipikirkan, karena bagaimanapun mroyek yang dimaksud tentunya dikaitkan dengan kerja pikir. Jadi yang tahu secara tepat ya orang itu sendiri. Dalam hal ini dosen diberi kepercayaan penuh, selama tetap commited dengan perjanjian kerja yang telah dilakukan, kenapa tidak dengan kerja samping.

    Suka

  8. Opera

    hmm saya jadi ingin membahas topik dari @miss

    Saya jadi punya pertanyaan dari tanggapan pak Wir.

    Andaikan dana dari proyek yang pak Wir kerjakan terbatas, sehingga pak Wir diminta melakukan pelanggaran dari standart yang sudah ditentukan, apakah hal tersebut masih dapat diterima oleh pak Wir sebagai salah seorang dosen ?

    Jika menerima pelanggaran tersebut apakah hal tersebut masih layak disebut PROFESIONAL, karena menurut “manajemen resiko” hal tersebut tidak dapat dibenarkan.

    Mohon pencerahannya.

    Suka

  9. wir

    @Opera
    Ketika tahu ada pelanggaran, tapi tetap saja melaksanakan pelanggaran karena ada perintah orang lain. Itu saja sudah menunjukkan tindakan tidak profesional. Jadi bila demikian, bagaimana dia bisa mengaku-aku profesional. Dalam hal itu, maka selembar kertas bertuliskan Profesional menjadi tidak ada artinya.

    Seorang profesional adalah orang yang tahu apa yang dia tahu dan tahu apa yang dia tidak tahu.

    Jadi dengan kompetensinya seperti itu maka dia tidak berarti akan mengikut secara membabi buta, apa saja standart yang ditetapkan. Karena pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, maka bisa-bisa saja dia mengevaluasi apakah standar yang digunakan adalah sudah tepat atau belum, selanjutnya dia dapat mengajukan suatu argumentasi yang mendasar dan melakukan dialog atau diskusi dengan pembuat atau yang menyiapkan standart. Maka bisa-bisa hasil akhirnya bisa berbeda, tetapi yang jelas pada tahap ini tidak dijumpai adanya pelanggaran, karena semua pihak dapat diyakinkan bahwa itulah yang terbaik. Cara ini biasa diterapkan oleh VALUE Engineering.

    Suka

  10. Nyoman Upadhana

    Dosen itu akademisi, sedangkan yang di industri adalah praktisi. Kalau akademisi juga rakus mengambil jatah2 para praktisi, lalu untuk apa setiap tahun akademisi mencetak ribuan lulusan/sarjana? Sebagian besar dosen yang ngobyek selalu ukurannya materi dan rakus, S2 nya hanya formalitas, desainnya banyak yang copy paste saja, dan kadang sulit diaplikasikan di lapangan.

    Suka

  11. opera

    @wir

    terima kasih atas pencerahannya.
    Masukan anda sangat lengkap dan baik.
    Lalu ada pertanyaan lagi, pak Wir (mungkin lebih tepat dikatakan masukan).

    Sepengetahuan saya, apabila standart akan dirubah, bukankah sebelumnya juga akan dilakukan pengkajian yang mendalam bahkan akan diadakan penelitian ulang seperti pada AISC, ASTM, ASTHOO, dll.
    Standart tersebut selalu mencantumkan penelitian2 terbarunya sebelum berubah.

    @Nyoman

    anda mengerti UU no 18 tahun 1999 ?
    Jika belum baca –> cari referensinya setelah baca tulisan saya di bawah ini, agar orang2 seperti anda tidak lagi menyepelekan akademik!

    Jujur saja, saya liat dari tulisan anda menunjukkan sikap anda yang terbiasa kesampingkan teori yang “baik dan benar”.
    Anda cenderung praktis dan seenaknya sendiri tanpa mempelajari dasar2 teori benar yang seharusnya landasan dari segi konstruksi.

    Mungkin anda merupakan salah satu orang yang tidak pernah mau mengembangkan ilmu akademiknya.

    Industri di dunia konstruksi seharusnya “BUKAN” sarang para praktisi, mengingat bangunan (mayoritas) merupakan tempat manusia. Entah fungsinya untuk bekerja, tempat tinggal, atau yang lainnya.
    Apalagi jika adanya arsitek zaman sekarang yang notabene suka kerumitan.

    Yang anda ucapkan sungguh2 tidak berpendidikan!!!

    Masalah universitas mencetak ribuan lulusan adalah untuk membuka wawasan para murid agar saat bekerja dapat menerapkan ilmunya dengan baik dan benar.

    Lalu dosen, apakah semua dosen itu rakus ?
    Tidak semua dosen rakus yang saya tau.

    Kalau sulit diaplikasikan, pikirkan caranya supaya tetap bisa diaplikasikan dengan baik dan benar. Jika belum pernah/ tidak mampu maka tanyakan pada desainernya bagaimana caranya (jika desainernya mau/bisa memberi pengarahan).
    Jangan cuma mau enaknya sendiri tanpa pertimbangkan aspek baik dan benarnya.

    Suka

  12. wir

    @opera

    Sepengetahuan saya, apabila standart akan dirubah, bukankah sebelumnya juga akan dilakukan pengkajian yang mendalam bahkan akan diadakan penelitian ulang seperti pada AISC, ASTM, ASTHOO, dll.
    Standart tersebut selalu mencantumkan penelitian2 terbarunya sebelum berubah.

    Sdr opera, pendapat anda betul sekali. Standart adalah kesepakatan banyak ahli, untuk mengubahnya jelas tidak gampang, apalagi karena alasan satu proyek tertentu.

    Yang saya maksud di atas, adalah bukan mengubah standart-nya, tetapi mengkaji ulang spesifikasi proyek yang dibuat engineer perencana pada proyek tersebut. Spesifikasi itu biasanya merujuk ke standart tersebut. Ini terjadi karena engineer umumnya bekerja standar, sama dari proyek-ke proyek, padahal kondisi proyek belum tentu sama. Sebagai contoh, untuk baut mutu tinggi, apa betul harus standar A490, apa bisa diganti dengan A325, check hitungan yang digunakan.

    Proses mengevaluasi detail engineering , dengan maksud optimalisasi atau efisiensi itu biasanya masuk kategori value engineering.

    Jadi yang dimaksud mengubah, adalah me-review kembali keputusan engineer perencana terhadap hasil perencanaannya. Menyesuaikan dengan kondisi dan sumber daya yang ada. Jika perlu, metode perencanaan yang diambil disesuaikan, misal faktor aman diperbesar dsb.

    Saya kira ini umum di suatu proyek. Tugas engineer atau pengawas adalah memastikan bahwa semua penyesuaian yang ada memang cocok, dan tidak bertentanngan dengan standar yang berlaku.

    Karena jika ada yang tidak sesuai standar, lebih kecil kualitasnya, maka jelas jika ada apa-apa dikemudian hari maka yang salah adalah yang “orang” menyetujui hal tersebut. Tahu di bawah standar tapi diem-diem aja, tidak melakukan tindakan apa-apa.

    Suka

  13. opera

    @wir

    saya pribadi sependapat dengan bapak.
    Standart memang disetujui oleh para ahli.
    (pertanyaan lagi pak wir, maaf jika merepotkan)

    1. standart
    ————————————————————
    Yang jadi permasalahan pak wir, adalah standart yang mana yang kita pegang ?

    Yang saya tau pak wir, bukankah seharusnya standart yang engineer pegang adalah standart yang resmi ada di negara kita masing-masing.
    Apakah pendapat saya benar ?
    (apabila ada yang salah mohon masukannya)

    Lalu yang jadi permasalahan adalah apabila isi standart (yang kita akui benar) tersebut ternyata masih ada yang kurang lengkap, langkah apakah yang harus kita tempuh ?
    apakah kita boleh mengambil standart dari negara lain “hanya” untuk pelengkap dari kekurangan standart yang kita pakai tersebut ?

    Maaf, jika saya tanyakan hal ini sebab kasus diatas saya yakin sering ditemui oleh para engineer di negara kita selama ini, mungkin pak wir atau para ahli yang lain (yang ingin/akan berpartisipasi) dapat memberi masukan untuk mendapatkan solusi yang saya ingin tanyakan tersebut.
    ————————————————————

    2. metode rencana design
    ————————————————————
    Apabila ada design yang cukup rumit sehingga tidak dapat dihitung dengan teori biasa pelajari di dunia akademik teknik sipil tidak dapat menghitungnya dan fasilitas dari program (program standart design struktur) tidak dapat mendesignya.
    Langkah apakah yang harus kita lakukan ?
    Apakah kita boleh melakukan perhitungan dengan pendekatan yang sesuai teori, tetapi faktor aman tetap kita pegang.
    ————————————————————

    terima kasih atas masukannya

    Suka

  14. Deddy

    Salam pak wir,

    Perkenalkan nama saya Deddy alumnus UAJY (S1)

    Mari saya ikut bantu berbagi juga, siapa tau bisa menjadi masukan untuk semua orang yang membaca.
    Dan mungkin ada tanggapan lagi dari Pak Wir sendiri apabila masih ada yang ga betul.
    Hehehe jadi ga pede neh ngobrol langsung ama pak wir kalo ketemu…..

    Oke untuk permulaan,
    @Opera dan @Wir

    Standart dan Code “Design resmi” adalah peraturan baku yang harus dipegang dan dipahami oleh engineering!

    Apakah standart dan code resmi ?
    Standart dan code design adalah kesepakatan yang sudah disepakati bersama para ahli (seperti yang pernah pak wir bahas) “dan” standart dan code design yang resmi berlaku adalah standart dan code yang memiliki kekuatan hukum dibuat oleh lembaga yang bersangkutan, dimana lembaga tersebut memiliki izin resmi membuat peraturan.
    Contoh standart dan code dalam negeri : PPIUG, PBI, SNI, dan standart yang resmi lainnya.

    Pembuat Standard dan Code yang resmi adalah lembaga yang sudah berkekuatan hukum untuk membuat standart seperti lembaga : ASTM, API, ASME (luar negeri).
    Sedangkan dalam negeri salah satunya adalah Departement PU yang berhak membuat peraturan secara resmi terutama apabila menyangkut publik dan negara.

    Berdasarkan referensi2 yang pernah saya baca mengenai manajemen resiko, di dalam proyek pada umumnya dicantumkan standart dan code yang berlaku, standart tersebut dapat berupa standart dalam atau luar negeri, tergantung dari dokumen proyeknya.

    Namun ada kalanya (bahkan sering) terdapat sebuah standart yang berlaku dikalangan internal “perusahaan non pembuat standart”, saya beranggapan standart tersebut apabila digunakan hanya menjadi pelengkap dari kekurangan isi dalam standart2 resmi tersebut dan isinya tidak boleh bertentangan dengan standart resminya.

    Apabila ada perusahaan (yang tidak berkekuatan hukum membuat standart) mengeluarkan “standart” sendiri yang isinya bertentangan dengan standart resmi, maka standart tersebut secara teknis tidak dapat dijadikan acuan apabila terjadi masalah di kemudian hari yang menyangkut masalah publik.
    Jadi saya pikir, sebuah perusahaan seharusnya tidak dapat memiliki standart aman sendiri “selama” masih ada standart yang resmi dipakai dalam kontrak proyeknya.

    Kurasa hal ini sudah menjawab sebagian besar pertanyaan pertama @opera.

    Mengapa ?
    Karena bila menyangkut masalah publik maka standart resmi lah yang menjadi acuan dasar penyelesaian masalah secara hukum.

    Sementara value engineering yang dibahas oleh pak wir adalah “pada umumnya” adalah sebuah keputusan yang dibuat untuk optimalisasi dengan mengevaluasi standart.
    Meski demikian berdasarkan pemahaman saya, pemanfaatan value engineering perlu dilakukan :
    $evaluasi/analysis standart yang akan dipakai-,
    $$konsep dasar teori engineering (dasar dan konsep teori yang menjadi acuan keputusan enginer untuk merumuskan masalah proyek –> engineering judgment) -,
    $$$manajemen resiko-

    Pembelajaran Value Engineering sangat diperlukan karena value engineering apabila dimanfaatkan dengan sembarangan dan teori yang tidak jelas justru dapat menyebabkan resiko tinggi yang seharusnya tidak terjadi.

    Namun berdasarkan banyaknya berita-berita kegagalan proyek dan yang saya ketahui, saya pikir value engineering yang terjadi di proyek2 indonesia justru karena perusahaan2 konstruksi yang terlibat didalamnya tersebut kebablasan mengoptimalisasi biaya, sehingga acap kali yang terjadi malah pelanggaran dimana banyak konsep teori dan isi dasar acuan dari standart menjadi dilanggar semua.
    Hal yang seperti ini tidak dapat lagi dikatakan value engineering, dimana engineering judgement sudah tidak dapat memakai teori yang benar untuk dapat meyakinkan semua pihak dengan baik dan jujur.

    Selaku engineering mungkin sudah pernah ada rekan-rekan yang dihadapi pada dilema pilihan satu-satunya untuk mengikuti aturan main “kebablasan”.

    @Wir

    Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat pak wir sewaktu membahas pertanyaan Opera yang pertama…

    “Ketika tahu ada pelanggaran, tapi tetap saja melaksanakan pelanggaran karena ada perintah orang lain. Itu saja sudah menunjukkan tindakan tidak profesional.”

    Menurut hemat saya, karena dalam susunan hirarki perusahaan, engineer merupakan salah satu bawahan dari pemilik perusahaan secara langsung dan tidak langsung. Perintah dari atasan adalah hampir mutlak apabila kita masih ingin/sedang bekerja dalam perusahaan. Karena atasan pada hakikatnya adalah penanggung jawab pelanggaran tersebut apabila terjadi masalah.
    Sebagai engineer hanya berhak menyinggungnya secara langsung dan tidak langsung.

    Namun seperti yang pak Wir utarakan “diam” justru baru menyebabkan si engineer tidak professional.
    Saya berpendapat yang perlu dilakukan sebagai engineer yang professional adalah memberitahu akibat/dampak pelanggaran tersebut secara konsep teori.

    Dalam manajemen resiko yang pernah saya baca, pelanggaran tetaplah pelanggaran yang ada dampaknya! hanya saja perlu dibedakan tingkatannya.
    Seberapa berat pelanggaran tersebut yang paling perlu dicermati dalam manajemen resiko.

    Sedangkan untuk menjawab pertanyaan opera yang kedua, mungkin sebaiknya bukan di sub topik dosen professional ini. Namun saya akan bantu mengenai keterbatasan program dalam teknik sipil.

    Program2 dalam teknik sipil seperti SAP?ETABS dibuat untuk mempermudah designer dengan berdasarkan analisa struktur standart yang biasa kita sebut finite element → yang didalam finite element tersebut ada salah satu bagian yang menjadi bahan kuliah tersendiri yaitu mekanika teknik / rekayasa (Mek-tek merupakan bagian dari finite element juga loooooooo). Dan pengembangan teori dynamika struktur dan beberapa bagian disiplin ilmu teknik sipil juga ikut dalam menentukan input dari program tersebut seperti SAP, ETABS, SAC, STAAD, dan lain-lain.
    Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
    (* bug → dalam bahasa pemprograman, ** Keterbatasan).

    *Bug
    Dalam pengembangannya program tidaklah sempurna dalam perjalanannya sehingga masih ada banyak bug, dan untuk mengatasi bug tersebutlah menjadi tolak ukur “dasar” ilmu teori designer dalam memahami mekanika teknik / rekayasa. Apakah dia mengetahui bug tersebut atau tidak ? Jika tahu bagaimana mengatasinya ? Menurut saya itu adalah wajib diketahui seorang enginneer sebelum mendalami lebih jauh memanfaatkan program tersebut.
    (Apabila ada yang ingin membahas bug2 tersebut mungkin bisa pak wir bantu membuka sub topik khusus yang baru untuk hanya membahas bug program-program teknik sipil tersebut mungkin bisa saya bantu sebagian).

    **Keterbatasan
    Mari kembali ke pertanyaan @opera mengenai keterbatasan program.
    Secara prinsip dasar : program memiliki banyak keterbatasan (selain bug).

    Misalkan : untuk mendesign baut sambungan baja dengan SAP/ETABS memang tidak tersedia, sehingga apakah kita salah mendesign baut tersebut sesuai dengan teori kuliah selama kita tidak memiliki program pelengkapnya ?
    (Memang akan jadi lebih baik jika kita memakai program pelengkap yang sudah sesuai standart).

    Jadi menurut saya, apabila program yang umum sendiri memang sudah ada batasannya untuk mengatasi suatu kasus masalah designer, maka sah-sah saja kita memakai teori yang pernah kita pelajari, yang paling mendekati untuk medesignnya (dengan catatan standart dan code yang dipakai tidak menyalahi aturan, teori yang kita pakai memang teori yang dibenarkan dalam segi teori design, dan program-program yang dikenal teknik sipil tersebut tidak tersedia toolnya).

    Jadi kesimpulannya seperti Pak Wir utarakan, seorang Professional memang harus banyak belajar agar makin mengerti, semakin banyak mengerti semakin baik!

    Wir’s responds : salam kenal juga Deddy. Besok selasa sore, dosen-dosen UAJY pada mau ke UPH untuk menghadiri seminar KONTEKS3. Ikut ya.

    Suka

  15. Ping-balik: ikut prihatin ! « The works of Wiryanto Dewobroto

  16. Ping-balik: perlunya berprestasi « The works of Wiryanto Dewobroto

  17. Inggar

    Salam kenal Pak Wir,
    saya sdh cukup lama membaca tulisan2 pak Wir dan sangat membantu saya dalam mengajar , buku SAP2000 Pak Wir jg sy pakai untuk mengajar,saya dosen di Univ.Borobudur Jakarta mengajar mekanika rekayasa 1-7,saya jg sudah dapat sertifikasi pendidik tapi sebetulnya sy belum pantas dibilang dosen profesional, sy hanya lulusan S1 T.Sipil, S2 saya MM,dan sy jg tidak pernah terlibat dlm urusan proyek shg pengetahuan sy minim tentang lapangan,kadang sy bingung kalau mhs bertanya bagaimana contoh riilnya di lapangan? ya sy berusaha mencari2 lewat internet hingga ketemu blognya pak Wir

    Suka

    1. wir

      Salam kenal kembali bu Inggar,

      Adanya respons seperti dari bu Inggar ini maka rasanya seperti tidak bertepuk sebelah tangan. Untuk sementara saya bisa memberi, dan harapannya anda nanti dapat memberi banyak, khususnya kepada yang lain yang memerlukan. Saya kira seperti itulah hidup didunia ini.

      Menumpuk uang 32 Milyard rupiah toh perutnya juga terbatas, mata juga cuma dua, semuanya itu juga nanti kalau mati tidak bisa dibawa. He, he, jadi ingat om gayus. 🙂

      Jadi menumpuk ilmu kalau nggak bisa dibagi juga nanti akan hilang. Tul nggak bu.

      Tuhan memberkati.

      Suka

  18. Inggar

    trims pak ,
    tentu sy akan bagikan ilmu yg sy punya meski ilmu sy jauh banget kl dibanding pak Wir, kan tugas dosen memang membagikan ilmu sampai mhsnya paham,kalau mereka gak paham2…sy yang suka sedih…..apa sy salah cara ngajarnya? maklum mahasiswa kami standard mutunya jauh jika dibanding UPH

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s