Siang sampai sore kemarin di rumah saudara yang sedang kena musibah, di perumahan Taman Cireundeu Permai, dekat stadion Lebak Bulus. Untunglah tidak ada korban jiwa, hanya saja gawang pintu utama yang terbuat dari kayu jati beserta daun pintu maupun jendela-jendelanya pada jebol tertekan oleh air bah dari situ Gintung yang bobol tempo hari. Untunglah rumahnya, rumah besar dari beton, itu kalau dari dinding batako pastilah hancur. Air bah tersebut ternyata meluluh-lantakan rumah bagian dalam, jadi ketika menengok kamar-kamarnya kemarin, semuanya gusis (bersih seakan rumah kosong). Untung lah, banyak saudara-saudara lain yang datang membantu, bayangkan disana mencoba mbantu-mbantu menyapu-nyapu air lumpur dari siang sampai sore (nggak sepanjang hari) ternyata keesokan hari pinggangnya sakit semua. 🙂
Note : kalau membaca ulang paragraf di atas, mohon maaf banyak memakai kata-kata untung. Itu tidak ada maksud menghina lho, maklum orang jawa, selalu mengatakan untung terus. Sudah jatuh, juga masih bilang untung, “untung dibelakangnya tidak ada mobil lewat“. 🙂
Terus terang, saya belum pernah mengalami yang namanya kebanjiran sejak tinggal di Jakarta ini, jadi ketika kemarin menengok ya baru terasa, o begitu to kebanjiran itu. 😦
Berbahayanya kalau di jalan yang kebanjiran, kita tidak tahu mana selokan, apa ada lobangnya atau tidak. Jadi biasanya jatuh korban bukan karena tidak bisa berenang tetapi terjatuh dan kena batuan atau hal lain yang menyebabkan luka. Juga airnya itu penuh lumpur, lumpur halus, jadi jika masuk ke paru-paru, wah pasti tidak bisa bernafas.
Tentang banjir, di daerah rumah saudara tersebut adalah bukan berita baru lagi. Rasanya hampir setiap tahun ada-ada saja cerita disambangi air. Baik karena air hujan, maupun akibat air kiriman. Meskipun demikian, kejadian seperti kemarin itu sangat luar biasa. Bahkan tidak terpikir sebelumnya. Saudara-saudara yang lain ,sebenarnya sudah mengingatkan lebih baik pindah saja. Tetapi gimana lagi, jika sudah kering, kembali lagi. Maklum, lokasinya dekat sekali dengan Pondok Indah. Strategis katanya.
Dengan pengalaman tentang banjir seperti itu, maka hari ini mendapat kesempatan berbicang-bincang santai dengan satu-satunya pakar keairan di Jurusan Teknik Sipil UPH, yaitu bapak Ir. David B. Solaiman, Dipl. HE. , alumni ITB (Bandung) dan TU Delft (Belanda), sekaligus pensiunan Departemen PU di bidang keairan (bendung dan segala atributnya), yang kemudian ingin tetap berkarya dengan mengabdikan diri di bidang pendidikan, yaitu di Jurusan Teknik Sipil, UPH, Lippo Karawaci. Beberapa kutipan percakapanku dengan pakar air tersebut :
Aku: Pak David, saya dengar Situ Gintung yang baru saja jebol itu, bendungannya terdiri dari tanah liat ya pak. Apa karena itulah yang menyebabkan terjadinya musibah. Coba kalau beton, pasti nggak apa-apa ya pak David ?
Pakar Air: Nggak begitu pak Wir, meskipun terbuat dari tanah liat, tetapi situ Gintung termasuk bendungan yang baik, permanen, buktinya itu bisa bertahan sampai lebih dari 75 tahun. Itu suatu bukti bahwa desain dan pelaksanaannya baik. Juga tidak menjadi masalah, apakah itu bendungan dari tanah liat atau bukan. Indonesia ini tanahnya kebanyakan adalah endapan aluvial, jadi tidak cocok digunakan tipe struktur berat dengan bidang kontak kecil seperti jika digunakan bendungan beton. Kalau tidak salah, bendungan yang memakai beton yang besar, hanya bendungan Sigura-gura di Sumatera, yang lainnya adalah dari urugan tanah atau timbungan batu. Itu bendungan Jatiluhur juga bukan bendungan beton.
Eh, . . . ada juga bendungan dari beton yang lain, di Madura ada Bendungan Klampis, yang merupakan bendungan gerak (Barrage) dari beton dengan pintu-pintu air. Juga ada di kali Sampean Baru ada juga bendungan beton.
Aku : Lho, kalau begitu kenapa bisa runtuh seperti ini pak.

Situ Gintung setelah jebol (Sumber : Kompas)
Pakar air: Kelemahan dari bendungan tanah atau batu adalah jika air bendungan bertambah sedemikian sehingga permukaan air dapat melampuai tinggi bendungan sehingga melimpas, maka tanah urugan dapat terbawa. Itu kondisi yang sangat berbahaya, bendungan Jatiluhur saja, jika itu terjadi maka bisa ambrol. Bayangkan itu !
Jika itu terjadi Krawang dan Bekasi bisa hancur lho. Sebagai perbandingan, volume Situ Gintung sekitar 2 jt m3, sedangkan Jatiluhur 200 kali-nya, yaitu 400 jtu m3. Kayak apa itu.
Oleh karena itu, maka sebelum terjadi limpasan, air di waduk harus dibuang dengan cara membuka pintu air di bendungan tersebut. Itulah mengapa disediakan weir (pelimpah = spill way, biasanya dari beton).
Aku : Apakah itu otomatis pak David.
Pakar air : Nggak pak Wir, biasanya disetiap bendungan ditempatkan penjaga pintu tersebut. Ini pengelolaannya dibawah tanggung jawab depertemen PU.
Aku : jadi kalau begitu, yang salah, orang yang jaga pintu itu ya pak. Coba kalau orang tersebut menjaga, dan sempat membuang air dalam situ / waduk, sehingga tidak sampai terjadi melimpas mencapai permukaan bendung tersebut.
Pakar air : bisa ya, tapi bisa juga tidak. Tentu itu bisa dilihat, atau diteliti. Apakah pada saat itu, memang ada petugas jaganya, apakah kapasitas weir (pelimpah) mencukupi atau tidak untuk membuang air kelebihan dari waduk. Jika tidak tentu perlu dibantu dengan membuka pintu air yang ada. Masalahnya apakah pintu ini dalam kondisi terawat atau tidak, karena jika tidak, maka bisa-bisa pintu tidak bisa terbuka. Mungkin alatnya rusak dsb. Tetapi bisa juga karena hujannya luar biasa, sehingga meskipun sudah dibuka tetapi kapasitas pintu sudah tidak mencukupi. Maksudnya, bahwa jumlah air masuk kewaduk lebih besar dibanding jumlah air yang keluar (dibuang) sehingga akhirnya waduk penuh dan akhirnya melimpas tadi.
Jumlah air masuk bisa lebih besar karena juga faktor alam (yang memang bertambah), juga ditambah kerusakan lingkungan, sehingga air hujan yang jatuh kepermukaan tanah tidak bisa diserap dengan baik, semuanya masuk ke waduk. Bayangkan rumah-rumah penduduk padat, itu bisa jadi penyebabnya. Bayangkan dulu Belanda sewaktu mendesain situ tersebut , yaitu sekitar 75 tahun lalu, pasti tidak membayangkan bahwa disekitarnya akan menjadi perumahan padat.
Ya, tapi itu skenario lho pak Wir, detailnya harus dilihat di lapangan, mana yang terjadi, faktor manusia, alam, atau kombinasi keduanya.
Aku : bagaimana dengan terjadinya retak-retak di tubuh bendung. Apakah itu dapat menjadi penyebabnya.
Pakar air : retak, maksudnya ada pasangan batu atau semacamnya yang terlihat retak, apakah begitu. Ya, itu perlu diteliti, tetapi yang jelas jika pada pasangan batu atau beton mengalami retak, maka itu pasti disebabkan oleh adanya pergerakan tanah. Sifatnya setempat, atau mungkin global, dari tubuh bendungan tersebut. Itu tentu perlu diteliti, tetapi tentu sifatnya akan berbeda jika bendungan tadi terbuat dari beton, maksudnya bendungan beton. Jika betonnya retak, bocor, maka disitulah kerusakan terjadi. Tetapi jika itu bendungan tanah, yang sifatnya lepas, maka bagian retak akan diisi oleh tanah disekitarnya. Selama tidak mengalami limpasan seperti yang dikemukakan di depan maka tidak akan sampai jebol.
Aku : jadi air yang tampias tersebut berbahaya sekali ya pak ?
Pakar air : jelas. Itu bendungan Jatiluhur saja, jika mengalami kondisi serupa pasti juga rusak (jebol). Tapi jangan kuatir weir-nya Jatiluhur khusus, lebih modern, dibanding yang Situ Gintung itu. Tipe weir atau spillway di bendungan jatiluhur adalah tipe “Morning Glory” spillway, melingkar dengan panjang keliling spillway lebih dari 100 m dan terbuat dari beton.
Aku : harusnya begitu dong pak. Rumah saya khan di Bekasi, jika Jati luhur melimpas, khan resikonya aku bisa kena. Kembali ke situ Gintung, kalau sudah hancur seperti terlihat pada foto di atas, lalu bagaimana kelanjutannya pak. Lokasi tersebut khan sekarang sudah rapat dengan rumah penduduk, khususnya di daerah hilirnya. Jadi apa lebih baik dikosongkan saja pak, jangan dibangun lagi, begitu.
Pakar air : Tidak sesederhana seperti itupak, perlu juga diketahui bahwa waduk selain untuk keperluan irigasi maka digunakan juga mengendalikan banjir, karena DAS-nya (Daerah Aliran Sungai) adalah aliran sungai Angke dan sungai Pesangrahan. Jadi jika tidak ada waduk pengendali maka banjir pada kedua sungai tersebut menjadi tidak terkendali. Oleh karena itu perlu dipikirkan dengan matang, antara resiko dan kemungkinan banjir yang terjadi, jadi bisa-bisa diperlukan penataan ulang lokasi di daerah tersebut agar kedua-duanya mendapat titik temu, yaitu agar resiko bahaya menjadi minimal dan banjir menjadi terkendali. Banjir khan terjadi tiap tahun, jika setiap bulan di musim hujan mengalami banjir maka roda perekonomian akan terganggu.
Aku: Wah terima kasih banyak lho pak David, saya jadi tahu barang sedikit tentang bahaya yang mungkin terjadi di bendungan. Sampai jumpa lagi ya pak. GBU.
Demikian sedikit bincang-bincangku dengan pakar air dari UPH, meskipun non-formil, aku jadi tahu, itu tho rahasia kekuatan bendung dari tanah atau batu. Jadi jika kita tahu kelemahananya tentunya dapat kita antisipasi, sehingga tidak ada lagi kejadian seperti bencana di Situ Gitu tsb. Semoga berguna.
Catatan tambahan : Meskipun bidang peminatanku adalah bukan bendungan, tetapi karena termasuk kutu-buku maka meluangkan waktu sebentar saja sudah kudapat bukunya Ir. Soedibyo. Di situ diperlihatkan berbagai macam bendungan urugan tanah, yang besar-besar yang sampai sekarang survive, beberapa penampang bendung akan saya tampilkan.
Intinya, bendungan urugan tanah, jangan dianggap sepele. Itu juga termasuk bendungan serius. 🙂

Bendungan Pangeran Noor di sungai Riam Kanan (Kalimantan Selatan), untuk PLTA dengan energi sebesar 136 jt Kwh (30MW, 3 Unit), pengendalian banjir dan irigasi. Tipe : urugan tanah, tinggi 57 m (bandingkan dengan situ Gintung yang kurang dari 15 m), dengan panjang puncak 190 m. Ini merupakan bendungan pertama yang dibangun di P. Kalimantan dan juga di luar P. Jawa, diresmikan oleh bapak Suharto tahun 1973.
Link-link yang terkait dengan pengelolaan air, yaitu bendung dan semacamnya :







Tinggalkan Balasan ke gagahput3ra Batalkan balasan