Pernah dengar informasi tentang Trans Asia dan ASEAN Highways ?
Wah kalau pernah, berarti anda memang benar-benar melek tentang masalah infrastruktur transportasi. Terus terang, sebelumnya saya tidak pernah atau tidak terlalu memperhatikan tentang kedua hal tersebut. Maklum, meskipun bertahun-tahun tidak jauh-jauh dari yang namanya bidang rekayasa, tapi mungkin karena sebelumnya lebih banyak berkecipung dengan orang-orang high-rise building or industrial building maka berita tentang masalah infrastruktur jadi ketinggalan. 😦
Tetapi untunglah, kegiatanku sekarang tidak hanya seputar bidang konstruksi, juga bidang pendidikan dan pengajaran serta yang tidak kalah pentingnya adalah bidang tulis menulis. Meskipun hanya menulis di blog, tetapi dampaknya bagus lho. Sebagai contoh, beberapa kali kubahas tentang jembatan, jadi banyak orang yang tahu bahwa jembatan adalah salah atau bidang yang kuminati. Oleh karena itulah maka ketika ada informasi yang berkaitan dengan jembatan maka ada orang yang tertarik untuk menginformasikan. Jadi jangan heran jika hari ini aku mendapat undangan untuk menghadiri Seminar Nasional dengan judul:
“Trans Nasional Dalam Konteks Trans dan ASEAN Highways : Peluang dan Tantangan Menghadapi Tatanan Global”
yang diselenggarakan Balitbang Dept. PU; Ditjen Bina Marga Dept. PU dan Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI).
Dari sisi sponsor, rasanya seminar ini sangat sukses. Coba perhatikan seminar kit yang diberikan kepada peserta, selain tas seminar (standar) ada juga diberikan laser pointer, bolpoint mewah dan juga gantungan logam dari sponsor.
Lumayan lho, ini seminar kit yang dimaksud.
Materi dan pembicara yang ditampilkan lumayan padat, yaitu :
- Status Pembangunan Jaringan Trans Nasional terkait Trans Asia dan ASEAN Highways, Kemajuan dan Beberapa Permasalahannya
DR. A. Hermanto Dardak, Direktur Jenderal Bina Marga / Ketua Umum DPP HPJI - Kebijakan Ekonomi dan Komitmen Pendanaan untuk Trans Asia dan ASEAN Highways
Drs. H. Paskah Suzetta, MBA, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional - Strategi Transportasi dan Logistik Menuju Terwujudnya Trans Asia dan Asean Highways
Iskandar Abubakar, Staf Ahli Menteri Perhubungan bidang Ekonomi dan Kemitraan - Strategi Pengembangan Kawasan Perdagangan dan Kawasan Pengembangan Ekonomi terkait AFTA 2012 dan APEC 2020
Herry Soetanto, Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional - Strategi Pengamanan Perbatasan dan Kebutuhan Pengembangan Kawasan Perbatasan untuk Mendukung Kesatuan NKRI dengan Berfungsingya Trans Asia dan ASEAN Highways
T.H. Soesetyo, Laksamana Pertama TNI, Staf Ahli Menteri Pertahanan - Strategi Pengelolaan Jalan pada Ruas-ruas Trans Asia dan Asean Highways
Nurding Manurung, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol, Ditjen Bina Marga, Dept. PU.
- Isu Teknologi dan Teknologi Kunci dalam Pembangunan Trans Nasional: Aspek Desain Jembatan Bentang Panjang di Indonesia
Prof. (R). Lanneke Tristanto, Pusjatan Departemen Pekerjaan Umum - Kebijakan Pengamanan Kawasan Terbatas Terkait Trans Asia dan ASEAN Highways
Ibu Cici, mewakili Dirjen Tata Ruang, Departemen Pekerjaan Umum - Kesiapan Teknologi Jalan dan Jembatan Indonesia menghadapi Pembangunan Trans Asia dan ASEAN Highways
Dr. Syahdanuirwan, MSc., Dit. Bintek Ditjen Bina Marga
Ya sampai ke-9 pembicara di atas jam sudah menunjukkan pukul 15.30, padahal masih ada empat pembicara lagi. Tapi karena takut macet, maka setelah rehat kopi sore langsung kabur. 🙂
Dari ke sembilan pemakalah di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Pembangunan infrastruktur jalan-jembatan telah disadari oleh komponen pemerintah sebagai bagian penting dari upaya memajukan bangsa, statusnya seperti halnya pendidikan. Jika pendidikan berorientasi pada manusia di masa depannya, maka infrastruktur jalan-jembatan berorientasi pada pengembangan wilayah-wilayah yang dihubungkannya. Adanya kemudahan perpindahan manusia dapat mengimbas pada penyebaran ilmu dan pengetahuan yang lebih mudah, dan akhirnya memajukan bangsa juga. Oleh karena itulah maka diharapkan suatu saat nanti juga mendapat anggaran negara (APBN) yang sama seperti yang diamanatkan oleh undang-undang untuk bidang pendidikan, yaitu sekitar 20% APBN. Adanya peningkatan anggaran khan berimplikasi pada industri konstruksi Indonesia. Artinya bagi insinyur-insinyur muda yang sedang meniti karir ada baiknya untuk belajar tentang jalan dan jembatan, karena proyek-proyek jalan-jembatan di masa depannya cukup menarik.
Pemahaman seperti itu ternyata didukung oleh trends dunia, dimana PBB telah mencanangkan dibangunnya Trans Asia, yaitu jalan rute panjang yang berkesinambungan yang menghubungkan negara-negara di Asia, mulai dari Iran, India terus Malaysia, turun ke Indonesia, kembali lagi ke Malaysia dan terus ke Cina. Ini merupakan prakarsa yang telah lama digaungkan oleh PBB sejak 1970-an dan ternyata bergaung kencang lagi. Ada beberapa yang sudah ditanda-tangani oleh pemerintah dan negara-negara Asia yang berkaitan rencana tersebut. Diharapkan jalan-jalan utama, khususnya tol yang sudah ada dapat menjadi bagian yang terhubung dengan rencana jalan besar tersebut (Trans Asia).
Jadi motivasi membangun jalan di Indonesia menjadi beriring antara kepentingan regional dan juga kemauan global. Ini berarti ke depannya, proyek jalan – jembatan dapat menjadi proyek-proyek konstruksi unggulan dibanding proyek konstruksi tradional yaitu gedung.
Informasi dari bapak Manurung, berkaitan dengan diadakannya Trans Asia maupun Asean Highways lebih banyak ditujukan untuk memajukan wisata lokal dibanding keperluan logistiknya, karena menurut beliau jalan darat sebagai sarana penyebaran logistik sudah tidak ekonomis jika jaraknya lebih dari 250 km. Jika ada sarana laut maka dapat dipastikan akan lebih ekonomis. Sebagai contoh dari sumatera (utara ?) ke jakarta, pengiriman peti kemas hanya perlu biaya 400$ via laut, tetapi jika pakai jalan darat habis sekitar Rp 8 jt. Itu kira-kira illustrasi finansialnya.
Oleh karena itu maka adanya trans Asia hal-hal yang menjadi kekuatiran adalah bukan pada faktor ekonomis tetapi bahkan pada kekuatiran akan adanya filtrisasi asing sedemikian sehingga kesatuan dan keamanan bangsa ini menjadi tergerogoti. Itu penting menurut pak Soesetya, karena bisa-bisa penduduk di perbatasan lebih cenderung ke negara seberang karena secara ekonomi mereka lebih diuntungkan, misalnya prasarana infrastruktur negera seberang (Malaysia) lebih baik dari yang disediakan pemerintah Indonesia. Jadi bisa-bisa kalau dilakukan referendum maka orang-orang tersebut lebih memilih ke negara tetangga. Padahal untuk memberdayakan daerah-daerah di perbatasan diperlukan dana yang besar.
Jadi adanya Trans Asia dan Asean Highway tidak hanya menyangkut aspek teknik tetapi tetapi aspek-aspek sosial dan budaya. Jadi terbuktilah bahwa adanya pembangunan infrastruktur akan memicu pembangunan bangsa.
Sudah siapkan kita dengan itu semua ?
O ya, ini ada makalah lain yang nggak sempat aku ikuti, yaitu :
- Kesiapan Industri Semen Indonesia menghadapi Konstruksi Jembatan Bentang Panjang di Indonesia : Special Blended Cement (SBC) for concreteing at Seawater, Sulfate Environment and Mass Concrete
Tri Eddy Susanto, ST., MT. PT. Semen Gresik - Pengelolaan Jembatan Suramadu : Aspek Financing, Operation, Maintenance, Monitoring System, Keselamatan Konstruksi, dan Pengelolaan Dampak Sosial
Ir. A.G. Ismail, Kepala BBPJN V Ditjen Bina Marga, Departemen PU - Pengelolaan Dampak Sosial Pembangunan Jembatan Suramadu
Puslitbang Sebranmas, Departemen PU - Konsep Pembentukan Komite Keselamatan Jembatan Bentang Panjang
Ir. Danis H. Sumadilaga, MEng.Sc, Direktur Bina Teknik, Ditjen Bina Marga, Departemen PU
Dokumentasi :
Menteri PU, bapak Djoko Kirmanto memberikan kata sambutan.
Catatan tentang seminar :
Dari sisi penyelenggaraan, baik dari tempat dan juga pembicara yang diundang, rasanya sudah lebih dari cukup. Tetapi dari sisi publikasi mungkin masih kurang. Publikasi yang dimaksud bukan publikasi tentang seminar itu sendiri lho. Jumlah peserta menurut panitia sudah kurang lebih 170 orang. Sudah banyak itu.
Adapun publikasi yang dimaksud adalah bahwa makalah seminarnya belum berupa prosiding, belum diterbitkan dalam sebuah buku, hanya sekedar kumpulan kertas kerja. Bahkan banyak dari pembicara pada waktu presentasi tidak menyediakan makalah tertulis, jadi terkesan hanya sekedar presentasi lesan. Jika demikian maka gaungnya hanya akan terbatas, yaitu pada peserta seminar saja.
Tentu akan berbeda jika hasil seminar ini dapat berupa prosiding tertulis dalam bentuk buku yang bagus (ada ISBN-nya), jika demikian maka gaungnya akan lebih luas bahkan dapat menjadi rujukan banyak pihak.
Menyambung tanggapan saya tentang Dubai Metro, rekan saya pernah berujar mengapa jalan raya / tol (highway, jarak jauh) kalah maju dengan jalan rel, dia bilang, kalau pembangunan jalan raya / tol dipimpin Menteri PU (Kalau Menhub netral mendukung keduanya) sedang pembangunan jalan rel cuma dipimpin oleh seorang Direktur Perkeretaapian, jadi kalah 2 tingkat (sekarang sudah naik Direktur Jendral, masih kalah 1 tingkat).
Nah, ini juga tercermin dari kenyataan perkembangan tanggapan terhadap Trans Asia Highways, yang lebih maju dibanding tanggapan terhadap Trans Asia Railways . Padahal keduanya digagas bersama oleh PBB pada sidang UNESCAP ke-48 tahun 1992.
Dari segi manfaat pembangunan jalan raya / tol dan jalan rel sebetulnya sama, termasuk dalam segi peran memajukan bangsa yang dikutip di atas.
Namun, di sisi lain “sustainability” jalan rel lebih tinggi, dampak lingkungannya jauh lebih rendah, dan jauh lebih hemat energi. Jadi seharusnya keberpihakan kebijakan kita harus dibalik yaitu mengarah ke jalan rel.
Apalagi kalau dikaji dari segi efisiensi. Kalau kenyataan bahwa bahwa jalan raya tidak efisien untuk jarak di atas 250km (kalah efisien dengan kapal laut), sungguh ironi bahwa kita tidak menggalakkan jalan rel (yang lebih efisien dari kapal laut). Pengiriman barang dari Cina ke Jerman melalui kereta sudah terbukti hanya makan waktu 18 hari, setengahnya dari melalui laut. Ini beritanya.
Dari sisi kesatuan dan keamanan juga lebih aman. Kenapa, karena mobilitas manusia menggunakan jalan rel jauh lebih mudah diatur daripada jalan raya. Dengan mengatur jadual kereta dari perbatasan ke ibu kota kabupaten / propinsi jauh lebih sering dibanding jadual kereta ke negeri seberang saja sudah cukup.
SukaSuka
@Abi
Sistem transportasi jalan dipilih karena relatif lebih sederhana, maksudnya bahwa infrastrukturnya hanya diperlukan jalan lebar. Alat transportasinya dari masyarakat. Juga pelaksanaannya bisa sepotong-sepotong. Selain itu break event-nya relatif cepat, katakanlah lima tahun pembangunannya (atau lebih cepat) maka setelah itu duitnya sudah bisa masuk dari karcis tol.
Bandingkan dengan kereta api, bahwa selain jalurnya tidak bisa sepotong-sepotong, juga alat transportasinya harus disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu pembangunan jalur rel yang baru rasanya nggak semudah jalan darat.
Untuk jangka panjang maka jelas, bahwa MRT terbaik adalah kereta api. Tapi agar dapat terlaksana rasanya perlu komitment tidak sebatas menteri PU, tapi harus dari Presiden-nya.
Coba ada presiden yang janji punya komitmen untuk menggembangkan MRT di Indonesia. Pasti di pilih deh. 🙂
SukaSuka
Hhmm….Belum pernah dengar sama sekali tuwh Pak…
Maklum, sehari2 saya ada di kelas peksos dan jaga warnet he he…
Tapi info ini sungguh benar2 bermanfaat kok…
Menyebarkan ilmu untuk semua…
Salam semangat Bocahbancar……
SukaSuka
Seperti di tanggapan saya tentang Dubai Metro, “sejarah” pemilihan antara jalan raya atau lawan jalan rel bagi Indonesia, sejalan dengan yang terjadi di Amerika Serikat.
Arah keberpihakan ini telah melahirkan ketergantungan berlebih terhadap mobil di AS dibanding Eropa dan Jepang, seperti tergambar pada ilustrasi di Wikipedia berikut:

AS bukan tidak menyadari dampak buruknya, seperti ulasan di Wikipedia
http://en.wikipedia.org/wiki/Effects_of_the_automobile_on_societies
Salah satu yang menonjol, seperti tergambar dari ilustrasi Wikipedia berikut:

Namun, karena telah merasuk sebagai budaya perubahan arah keberpihakan sulit dilakukan.
Tuntutan perubahan baru menonjol ketika harga minyak menggila, lalu disusul munculnya krisis keuangan. Tuntutan ini mulai mendapat angin dari Obama sebagai presiden baru.
Dalam ARRA (American Recovery and Reinvestment Act) 2009 yang intisarinya dapat di lihat di Wikipedia berikut
http://en.wikipedia.org/wiki/American_Recovery_and_Reinvestment_Act_of_2009 , meski separuh dana infrastruktur masih untuk jalan raya, namun dana lumayan untuk jalan rel juga diberikan.
Dugaan saya perubahan budaya baru akan mulai setelah ada kisah sukses kereta cepat. Ini berarti menunggu keberhasilan kereta cepat Kalifornia ( http://www.cahighspeedrail.ca.gov ), dengan kata lain 2018 :-).
Ini di AS, di Indonesia, mungkin berarti setelahnya, karena budaya Indonesia cenderung mengekor AS.
SukaSuka