Ini bukan tentang kesengsaraan dalam arti fisik, atau bahkan tentang kematian seseorang. Bukan, . . . , bukan tentang itu. Aku hanya merasa prihatin akan sikap orang-orang terhadap arti pendidikan yang sedang berjalan di Indonesia ini.
Kelihatannya, dan mungkin memang ini mayoritas yang menganggap bahwa pendidikan adalah sekedar untuk mendapatkan ijazah formal saja, tidak lebih dan tidak kurang. Bahkan kalau perlu proses yang wajar dihindari dikurangi. Mereka bilang semakin cepat semakin baik, yang penting ijazahnya diakui / disamakan, sekarang dibilangnya adalah terakreditasi.
Itu memang betul. Tidak salah. Orang jawa bilang “ngono yo ngono nanging ojo ngono” (artinya : begitu ya begitu, tetapi tidak begitu).
Kadang-kadang aku berpikir, apakah karena aku hidup di dunia pendidikan itu sendiri, yang relatif sudah mapan, tidak pernah ketemu yang namanya tender-tenderan proyek dan sebangsanya, dan cukup hanya hidup dari gaji bulanan sebagai dosen, maka apakah itu yang menyebabkan aku terlalu idealis.
Bagi teman-teman yang baru membaca tulisanku yang ini, maka ada baiknya membaca pendapat-pendapatku tentang pernak-pernik di dunia pendidikan sehingga itu dapat menjelaskan mengapa aku mengatakan idealis. Ini tulisan-tulisanku tentang pendidikan yang aku maksud :
- apa sih yang di perlukan waktu bekerja nanti -3 Juli 2009
- cari sekolah sma – 28 Juni 2009
- Mega-Pro Janji Hapus UN – 14 Juni 2009
- Dosen Profesional – 10 Maret 2009
- keluhan mahasiswa teknik sipil – 10 Februari 2009
Itu sebagian tulisan-tulisanku seputar dunia pendidikan, masih banyak lagi jika mau ditelusuri. Dari berbagai tulisan-tulisanku tersebut sebenarnya ada benang merah satu dengan yang lainnya, yang secara sederhana dapat disimpulkan bahwa :
- pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang manusia. Tentu saja pendidikan disini tidak terbatas pada pendidikan di dalam sekolah tetapi juga dalam kehidupan sehari-sehari hasil interaksi dengan orang-orang sekitarnya.
- meskipun ada pendidikan, tetapi berubah tidaknya orang atau pertumbuhan seseorang adalah tergantung dari orang itu sendiri. Jika tidak ada kesadaran untuk berkembang dari diri sendiri, maka ya tidak akan berkembang.
- dalam berkembang tersebut perlu dilakukan evaluasi atau benchmarking, sehingga dapat diukur apa yang sudah dapat dan apa yang belum dapat, atau belum mampu. Evaluasi di sekolah-sekolah disebut sebagai ujian. Jika sudah mengusai materi maka mestinya lulus dan sebaliknya.
- Lulus atau tidaknya dalam suatu ujian pada dasarnya bukannya kriteria bahwa murid tersebut bodoh, hanya saja dia pada saat ujian tersebut adalah belum siap atau belum mendapatkan kompetensi yang dimaksud. Jika terjadi kegagalan maka perlu kerja keras sedemikian sehingga tidak gagal lagi.
- Asumsi-asumsi tentang belajar-evaluasi adalah bagian dari proses pendidikan itu sendiri menyebabkan aku adalah pendukung diadakannya UN yang saat ini sudah menjadi standar anak-anak dipendidikan tingkat menengah.
- Untuk si anak sendiri, menurutku kesuksesan mereka tidak hanya diukur oleh nilai atau score yang diperoleh diujiannya, tetapi bagaimana motivasi anak tersebut dalam belajar juga penting untuk mendapatkan perhatian.
Mulai kelihatan khan, idelisme-idealismeku di bidang pendidikan. Jadi sangat pantas saja khan aku merasakan prihatin ketika mendapatkan SMS dari seorang dosen temanku. Coba baca SMS-nya, ini tidak aku tambah atau kurangi lho. Ini benar-benar kasus nyata, sebagai berikut :
Tolong anak saya diluluskan, anda butuh komputer, laptop, berapa saya akan belikan. Ada ibu mhs, gelarnya doktor pendidikan dari ikip, bilang begitu pak.
Jadi aku harus bilang apa kalau seperti itu. 😦
Pertanyaan di atas aku ungkap karena kejadiannya nggak di tempatku kerja. Jika itu terjadi di lingkungan kampusku, itu ibu muridku, maka jelas solusinya sederhana. Aku akan minta ketemu beliau, aku akan tanya : apa maksudnya dengan mengirim sms tersebut. Jika memang jelas seperti itu adanya, maka ganti aku yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelulusan tersebut, bahwa untuk lulus maka nggak perlu itu semua, tetapi yang diperlukan adalah kerja keras (maksudku belajar) dari anaknya. Karena jika itu terjadi, dan anaknya bisa lulus tanpa ‘bantuan orang tua’ tentu ibu tersebut akan bangga, bahwa anaknya juga punya kemampuan sama dengan ibunya yang doktor tersebut. Jadi intinya meskipun secara formal ibu tersebut bergelar doktor, tapi perlu juga di didik. Siapa tahu waktu ambil program doktornya dulu, penelitiannya dibuatkan orang lain. Iya khan. 🙂
Kalau masih ngotot ?
Ya gampang aja saya bilang, ibu mau menyekolahkan anaknya disini mau apa, gelar atau yang lain.Kalau hanya sekedar gelar maka saya bilang: “ibu terlalu mahal sekolah (kuliah) di sini, masih ada mungkin lembaga lain yang lebih murah, yang bisa memfasilitasi kemauan ibu tersebut“. Betul nggak.
Jika ngotot lagi bagaimana ?
Kalau sudah begini, bilang dengan tegas, tetapi tidak emosi, “ibu ini maunya apa, pernyataan yang ibu keluarkan (seperti sms tersebut) jelas merupakan pelecehan pada profesi guru (dosen). Jelas sebagai manusia, dosen atau guru perlu juga materi, tetapi tidak dengan cara hina seperti itu“.
Kalau saya terima sms itu, sy ga munafik, sy akan bales seperti ini:
“Terima kasih bu atas tawarannya, saya akan meluluskan anak ibul asal ibu memenuhi yang saya mau dan butuh yaitu:
1. komputer
2. laptop
3. uang tunai “xx” juta
4. pengulangan mata kuliah yg bersangkutan oleh anak ibu, hingga nilainya cukup untuk lulus.
Harap penuhi ke-4 permintaan saya diatas terlebih dahulu, nanti anak ibu pasti sy luluskan.
Permintaan no. 1-3, penuhi secepatnya paling lambat 1 minggu, yg no 4, trserah mau kapan saja disesuaikan dengan jdwal universitas.
Terima kasih”
🙂
SukaSuka
mmm.. itulah.. saat ini sekolah (pendidikan formal) di mata konsumen (siswa dan orang tua) hampir semua orientasinya adalah nilai dan lulus.. kurang peduli dengan kualitas. Akibatnya, segala cara dihalalkan demi nilai dan kelulusan. Bagaimana ya caranya biar sekolah itu bisa benar-benar efektif berorientasi pada kualitas tanpa harus ada penilaian dari pendidik?
Ngg.. atau.. mungkin lebih baik yang memberi nilai adalah orang tua itu sendiri? Dengan input dari si pendidik?
Jadi, pendidik bilang gini ke orang tua siswa,
“Ini bu, hasil record anak ibu selama satu semester. Ujian ini nggak bisa, ujian itu nggak bisa, bisanya cuma ini.. itu. Dalam seminggu dia 3 kali bolos. Tugasnya hanya 4 yang dikumpulkan dari 10 tugas. Sekarang saya kembalikan ke ibu.. ibu maunya kasih nilai berapa ya? Apa perlu diluluskan sekarang, atau ibu mau tunggu satu semester lagi? Itu terserah ibu..”
🙂
SukaSuka
Siiip Pak….
Saya senang dengan Idealisme Anda, karena selama kuliah 2 semester ini di kampus saya, ada Dosen yang sudah bergelar doktor mengumpulkan recehan dari Mahasiswanya untuk mendapatkan nilai A, A- dsb…. GIla kan…
Saya juga akan selalu menjaga idealisme saya dimanapun saya berada nanti, selama idealisme itu baik, kenapa tidak dipertahankan…
Salam semangat Bocahbancar……
SukaSuka
Sebagai sama-sama pendidik (dan pengajar), saya sangat setuju dengan sikap pak Wir…… Saya pun pernah mengalami hal seperti itu, tapi yang menyakitkan lagi hal itu dilakukan oleh seorang guru (SD)…yang satu profesi dengan saya… karena anaknya satu semester tidak mengikuti perkuliahan dan minta “diluluskan” semua mata kuliah dalam semester itu?!…… Saya jadi berpikir apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?
SukaSuka
Memang masalah pendidikan di Indonesia kayaknya membingungkan, nggak jelas arahnya ke mana. Seolah-olah yang penting itu “cari duit” dan “cari gelar”, “cari ilmu”? urusan nomer sekian…
Sepertinya “siklus hidup” orang itu cuma: sekolah/kuliah-kerja-nikah, nanti anaknya juga mengulang siklus tsb. Memang tidak salah sih siklus tsb, tapi orang cenderung membacanya sebagai: cari gelar/ijazah-cari duit- cari jodoh. Asal gelar, duit, jodoh terpenuhi, ya sudah selesai kan…?
Proses menjadi cenderung tidak penting, ibarat mbikin roti terserah resepnya asal jadi roti nan pulen dan enak ngapain protes? Padahal kalo selama proses mbikinnya ditambah bahan2 berbahaya, jadinya lezat tapi beracun memang siapa yang mau…??
Belum lagi “slogan” yang mungkin sering kita dengar: orang2 sukses spt Bill Gates, dll. kan kebanyakan drop-out, nggak lulus SD/SMP/SMA, gelar cuma Sdr (saudara), dst. tapi duitnya bsia berjibun, kekayaan melimpah… sehingga orang cenderung mengabaikan arti sekolah/kuliah.
Padahal ada juga orang2 spt Ir. Ciputra, yang “cari ilmu”nya tuntas, “cari duit” nya juga ok, tidak musti mendikotomikan kedua hal tersebut seolah-olah bak minyak dan air (contoh lain yang punya blog ini… 🙂 ). Mungkin hal2 spt inilah yang harus terus dipupuk dan dibangun. Semoga dunia pendidikan di Indonesia nantinya bisa menjadi lebih baik lagi dan menjadi suatu bidang yang kuat. Yeah!
(Hehehe… tumben kok saya serius banget ni nulisnya ya…)
SukaSuka
Ping-balik: dosen yang tidak berdedikasi « The works of Wiryanto Dewobroto