Bagi sebagian masyarakat Indonesia, berbicara tentang bangsa Malaysia tentu menimbulkan kesan macam-macam. Bahkan sebagian besar tulisan berbahasa Indonesia di jagad maya berkesan negatif, sampai ada yang menyebutnya MALINGSIA. Orang-orang tersebut beranggapan bahwa banyak kekayaan kita yang dicuri oleh mereka, khususnya kekayaan intelektual dan budaya. Saking banyaknya maka dibuat juga daftarnya, lihat di sini dan sini.
Tentang hal tersebut, kita kelihatannya bisanya hanya berkotek-kotek saja, seperti induk ayam yang melihat elang di angkasa yang akan mengambil anaknya. Yah mungkin tidak seekstrim itulah, tetapi sebagai gambaran bagaimana hanya seorang bangsa malaysia yang bernama Noordin M. Top mampu membuat seluruh polisi di Indonesia blingsatan. Sudah puluhan, bahkan mungkin ribuan yang dikerahkan , eh orang tersebut masih mampu saja lolos bahkan meneruskan aksi-aksi terorisnya di negeri ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi, orang tersebut mampu mempunyai istri baru lagi. Jadi ibarat sambil menyelam minum air, sambil bersembunyi dari kejaran polisi Indonesia, eh kawin lagi. Hebat juga tuh si orang.
Itu baru satu, gimana kalau lebih, bisa-bisa dongkol sekali kita ini.
Meskipun yang aku ceritakan tentang si Top di atas adalah fakta yang sampai sekarang menjadi buron (belum tuntas masalahnya) tetapi orang-orang kita yang menulis tentang kekesalannya terhadap Malaysia mengganggap negeri itu sebagai bangsa inferior, dan kita seakan-akan yang superior, yang ‘punya’ gitu lho.
Tentang hal yang itu, aku jadi teringat dengan cerita-cerita yang lain, misalnya tentang Manohara. Itu issunya khan sangat ramai dibicarakan di tanah air. Padahal, tempo hari sewaktu aku ke Malaysia, disana di koran-koran atau televisi bahkan tidak ada satupun yang membicarakan tentang si Manohara tersebut. Juga isue-isue protes yang ramai diberitakan di Indonesia, saya pikir juga tidak ada sama sekali pemberitaannya di Malaysia. Jadi ya seperti itulah, dianggapnya kita ini seperti induk ayam yang berkotek-kotek ramai sekali, sedangkan si elang yang diributkan tersebut terlihat santai-santai aja, cuek, nunggu sampai si induk ayam capai berkotek, lalu kalau lengah anaknya diambil lagi. 🙂
Menurut anda apakah kotek-kotek kita selama ini tentang mereka mendapat tanggapan ?
Bisa-bisa tidak lho, bahkan mereka punya strategi baru yang lain. Jika karya anak bangsa kita diambil secara langsung maka yang terjadi adalah menuai protes. Itu jelas akan menyulut kondisi tidak baik, sehingga mereka lalu berpikir daripada begitu, lebih baik mengambil langsung orang yang dapat berkarya tersebut. Tawari saja orang Indonesia yang pintar yang mampu menciptakan budaya tersebut, beri gaji tinggi dan fasilitas untuk mengajarkan kepintarannya ke mereka. Kalau sudah alih pengetahuan, khan jadi yang dikenal orangnya mereka. Jika demikian orang Indonesia tersebut dapat diakhiri kontraknya. Beres, siapa yang bilang itu mencuri.
Pak wir ini ada-ada saja, sentimen ya pak ke orang Malaysia ?
Lho sentimen, untuk apa saya sentimen . Saya hanya memberi tahu saja ke orang-orang yang ngomel-ngomel tersebut, boleh-boleh saja kita ngomel tapi lihat-lihat dulu. Itu semua bisa saja terjadi karena kita tidak punya perhatian terhadap hal-hal yang kemudian diakui oleh bangsa Malaysia tersebut. Satu sisi kita ribut-ribut seakan-akan menunjukkan ke patriotisme kita, tetapi di sisi lain kita tidak mencegah misalnya menciptakan lapangan kerja yang baik bagi penduduk kita, sehingga akhirnya terpaksa jadi TKI di sana. Kecuali lapangan kerja, tetapi juga perlunya perhatian kepada anak bangsa yang ingin mengembangkan seni dan budaya negeri sendiri. Saat ini hal-hal seperti itu khan terpinggirkan, fokus kita khan banyak hilang hanya sekedar mempertahankan tatanan yang orang bilang sebagai dampak negara demokrasi.
Jadi TKI khan kebanyakan orang-orang kita yang tidak berpendidikan khan pak ?
Siapa bilang. Itu khan yang mayoritas, di sisi lain sebenarnya sudah banyak orang pintar kita yang hijrah ke Malaysia, bekerja di sana. Kemarin saja aku melihat tawaran menarik dari mereka ke dosen-dosen di Indonesia untuk bekerja di sana. Iming-imingnya sih gaji tinggi. Coba anda bisa lihat iming-iming yang kumaksud, yang ditampilkan pada lowongan iklan di Harian Kompas, Sabtu 29 Agustus 209 kemarin. Lihat :

Dari data di atas dapat diketahui bahwa dosen di sana minimal bergaji 16.5 juta rupiah, bahkan kalau profesor bisa-bisa sampai 63 juta rupiah.
Eh ada juga tambahan iming-imingnya yang lain, seperti ini :

RM 700 adalah kira-kira sekitar 2.1 jt rupiah.
Gimana situ tertarik ?
Jika tertarik, klik aja langsung lowongan lengkapnya di sini, aku baru saja scan dari harian tersebut.
Dosen khan dapat dibilang sebagai tokoh-tokoh intelektual, bisa-bisa menjadi pencipta atau minimal mengalihkan produk budaya kita. Jika yang mencipta atau yang mengalihkan saja sudah digaji dan puas, mana bisa kita nanti berkotek-kotek lagi. Mereka khan bilang, belajarnya saja di sana koq.
Hayo gimana gitu.
…
…
eh numpang nampang ya . 🙂

Orang indon berfoto di bawah menara Petronas, Kuala Lumpur.







Tinggalkan Balasan ke kadijan Batalkan balasan