Seorang engineer bertanya
Maap Pak…. aku kok punya uneg-2…… Bagaimana kebijakan kita sebagai perencana, tetapi data yang kita punya tidak ada, dan Desain harus jadi.
Faktor apa sajakah yg harus kita pakai dalam perencanaan tersebut, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks secara ilmu, dan kontrak kerja.
Matur suwun Pak …..?
Itulah yang sering terjadi. Cukup banyak owner yang menganggap kerja engineer itu hanya sekedar bikin hitungan dan gambar, yang semuanya itu bahkan dianggap dapat dikerjakan dengan cara copy and paste, berdasarkan data-data proyek terdahulu.
Jika demikian maka tentunya para owner dapat mempertanyakan “Mengapa harus mengusahakan data baru. Kamu engineer sudah punya pengalaman belum, jika sudah mengapa harus bertanya soal data. 🙂”
Suatu argumentasi yang masuk akal. Jika engineer nggak punya argumentasi yang lebih baik, tentu mati kutu. Malu disebut tidak berpengalaman.
Memang sih, untuk engineer yang ‘berpengalaman’: strategi memakai cara yang sudah terbukti andal dan sukses dari proyek-proyek sebelumnya ke proyek-proyek baru, yang mirip, dapat dengan mudah dilaksanakan seperti halnya memakai perintah copy and paste pada aplikasi komputer. Kalau mau jujur, kerja engineer itu lebih banyak meniru dan memodifikasi, kalau saintis menemukan.
Koq bisa ya.
Tetapi yang terjadi apakah seperti itu. Jika demikian, mengapa masih saja diperlukan engineer. Mengapa tidak dilakukan sendiri oleh owner, misalnya katakanlah owner sudah mempunyai proyek-proyek yang mirip sebelumnya, sehingga jika ada proyek baru maka tinggal copy gambar-gambar atau dokumen yang sudah ada sebelumnya. Jika seperti itu khan lebih murah, bahkan tanpa engineer.
Jika demikian maka engineer bisa kehilangan pekerjaan, universitas yang mendidik engineer seperti jurusan teknik sipil bisa kekurangan murid. Ujung-ujungnya saya yang kerjanya dosen harus lengser, pindah kerja jadi penulis buku-buku komputer, atau apa gitu. 🙂
Karena saya masih senang jadi dosen, juga engineer-engineer lain masih diperlukan, maka tentunya kondisinya tidak demikian. Artinya suatu proyek tidak serta merta langsung bisa meniru proyek yang sudah ada. Kalaupun pada akhirnya dapat meniru tentunya itu perlu pertimbangan yang tepat, apakah bisa meniru atau tidak. Itu yang bertanggung jawab adalah engineer. Dalam hal ini setelah mempertimbangkan hal-hal yang ada, sehingga dapat disusun argumentasi yang kuat sehingga akhirnya suatu desain dapat dibuat untuk proyek tersebut. Desain dalam hal ini bisa sama dengan desain sebelumnya, tetapi meskipun secara fisik sama tetapi pertimbangan yang mendasarinya adalah baru, yaitu dari engineer tersebut.
Untuk dapat membuat suatu pertimbangan maka engineer memerlukan data yang relevan dengan proyek yang baru tersebut. Jadi tanpa data baru, rasanya muskil untuk membuat desain yang tepat untuk proyek baru tersebut.
Jadi, saya juga sependapat dengan uneg-uneg dari engineer yang komentar di atas tersebut. Saya setuju !
Masalahnya sekarang, apakah data yang anda maksud di atas dengan data yang saya pikirkan adalah sama atau tidak. Tentu dalam hal ini perlu adanya kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan data itu sendiri. Bahkan data dalam kaca mata owner, atau kaca mata arsitek, tentu bisa berbeda dengan kaca mata engineer.
Yang tahu data-data yang diperlukan engineer, adalah engineer itu sendiri, misalnya, kita ingin membangun mal, dalam hal ini adalah untuk menentukan beban hidup rencana lantai. Jika hal itu kita tanyakan ke owner atau arsitek, maka jelas jawabannya bisa berbeda-beda satu sama lain, kalau menjawab maka itu hanya didasarkan pada persepsinya masing-masing. Tetapi kalau anda tanyakan fungsi lantai tersebut ke owner maka beliau akan dapat menjawab secara tegas peruntukkannya. Jadi jika ternyata itu lantai serba guna, maka kita, engineer akan dapat menentukan sendiri data beban hidup rencananya, yaitu misalnya 500 kg/m2, berdasarkan Peraturan Pembebangan yang berlaku.
Jadi dari contoh sederhana di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dimaksud “data tidak ada” adalah sangat relatif.
Kasusnya tentu akan lain, seperti misalnya, akan dibangun suatu gedung persis seperti milik owner yang berhasil dibangun ditempat lain. Selanjutnya jka engineer akan mempertimbangkan memakai hasil desain yang sudah ada maka itu hanya terbatas pada struktur atas, asumsinya daerah gempa sama, misal di Jakarta. Jadi yang berbeda adalah variable tanah di bawah bangunan. Jika tidak diketahui sama sekali kondisi data tanah dimana akan dibangun, tentu akan krusial sekali. Kondisi seperti ini tentu tidak sepenuhnya dipahami oleh owner, untuk itulah engineer perlu mengkomunikasikan hal tersebut, juga dampak-dampak yang menyertainya. Untuk itu anda sebagai engineer akan merekomendasikan untuk dilakukan penyelidikan tanah di situ untuk mendapatkan data-data yang valid tentang kondisi tanah tersebut. Jelas itu akan keluar biaya, tetapi jika anda bisa meyakinkan bahwa jika itu tidak dilakukan maka kemungkinan jika terjadi kegagalan akan rugi lebih besar, maka tentunya owner yang baik akan mempedulikan. Owner tentu akan puas bahwa engineer yang di-hire dapat memberi jasa-jasa konsultasi secara benar.
Bagaimana kalau masih ngotot.
Ngotot ? Wah tentu ini perlu dipertanyakan tujuan sebenarnya desain, memang benar-benar untuk di bangun atau sekedar dokumen pelengkap untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Karena jelas, jika kita dapat mengkomunikasikan argumentasi-argumentasi yang mendasari mengapa data tersebut diperlukan dan kaitannya dengan kepentingan owner sendiri, seperti kepastian keamanan bangunan, lebih hemat dsb-nya maka mestinya tidak ada alasan owner tetap ngotot.
Kasusnya tentu akan berbeda, jika ternyata owner asal minta desain. Jika demikian maka pintar-pintarlah anda menetapkan batasan-batasan validitas desain anda. Itu biasanya akan dicantumkan dalam spesifikasi teknis. Untuk itu bahkan jika perlu dapat ditetapkan asumsi-asumsi apa yang mendasari desain anda. Jadi intinya adalah menetapkan persyaratan yang menyebabkan desain anda tetap valid. Jika ternyata dalam kenyataan desain anda dibuat di luar kondisi yang anda tetapkan tersebut dan ternyata mengalami kerusakan maka jelas itu di luar tanggung jawab perencana. Gunakan rujukan-rujukan tertulis yang baku, khususnya CODE-CODE yang dipahami bersama. Di Indonesia kalau ada SNI-nya, maka pakailah itu sebagai bahan rujukan untuk menetapkan data yang digunakan dalam perencanaan.
Saya kira kalau kondisinya seperti itu, dan tentunya jika kondisi memaksa maka dapat dipilih data-data yang dianggap konservatif, yang ujung-ujungnya jika ditinjau dengan data lengkap maka orang akan bilang boros. Tetapi kalau kondisinya pada waktu itu memang tidak ada data, maka jelas perkataan boros itu tidak berlaku.
Saya kira seperti itulah cara kerja engineer. Adalah SALAH BESAR jika seorang engineer merasa tidak punya data tetapi terus saja bekerja menghasilkan DESAIN.
Bisa-bisa desain itu tidak bermakna. Itu sih kerjaan tukang, bukan engineer. Tugas engineer khan mewujudkan dari yang belum ada menjadi ada, tetapi secara rasional dan logis. Bukan seperti Bandung Bondowoso dengan seribu candinya itu. 🙂
Tinggalkan komentar