Tahukah anda, perbedaan antara trainer dan guru.
Bukankah ada kesan, bahwa kedua-duanya berkaitan dengan proses pembimbingan atau semacam pengajaran. Tetapi mengapa yang populer hanya sebutan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” , sedangkan sebutan “trainer adalah pahlawan tanpa tanda jasa” koq rasanya belum ada.
Silahkan dipikirkan. Itu khan berarti bahwa “trainer” dan “guru” tidak sama persis. Jika demikian dimana letak ketidak-samaannya tersebut.
Saya berpendapat, bahwa “trainer” mempunyai kesan profesional atau mungkin tepatnya adalah komersial, sedangkan “guru” unsur komersilnya relatif lebih kecil, bahkan diharapkan tidak ada. Tentang guru, aku jadi ingat ketika belum lama ini datang ke rapat orang tua murid di salah satu SMA negeri di Jakarta, dimana dalam salah satu sesi tanya jawab, ada orang tua murid yang mungkin merasa ‘wajib’ lalu memberikan pendapat tentang apa itu guru yang baik. Guru yang baik adalah guru yang dapat bekerja secara ikhlas.
Terus terang aku tidak terlalu familiar dan jarang memakai kata ikhlas tersebut. Setahuku kata ikhlas hanya cocok untuk menyatakan kerelaan, seperti misalnya ketika kita mengomentari jam tangan yang hilang dari seseorang yang barusan ditodong, untuk menghiburnya maka dapat saja dikatakan “Ya sudahlah, jam tersebut khan bisa dibeli lagi, yang penting kamu tidak dilukai oleh penjahat tersebut, ikhlas khan saja.“. Mungkin ada arti kata ikhlas yang lain, karena rasanya kata tersebut sering diucapkan oleh teman-teman muslim. Tetapi jika seperti itu saja artinya, maka itu berarti ada kesan usaha untuk menekan ego pribadi atau bisa juga disebut sebagai suatu pengorbanan diri.
Dari dua illustrasi di atas dapatlah ditarik suatu benang merah yang mengungkapkan bahwa guru itu umumnya terkait dengan pekerjaan yang bersifat sosial, tidak boleh mengejar keuntungannya saja dengan profesi tersebut. Apalagi kalau dikaitkan dengan sekolah gratis, kalaupun tidak gratis maka bayarannya relatif murah. Tentang rendahnya bayaran yang diterima, maka banyak yang memelintirnya menjadi penghibur bahwa hal itu tidak menjadi masalah karena toh nanti upahnya di sorga. Itu khan berkesan bahwa menjadi guru hanya cocok bagi orang-orang yang rela berkorban. Nggak boleh komersil !
Sadar atau tidak sadar, karena pendapat seperti itu melekat pada profesi guru, dan itu terus menerus terjadi dalam jangka waktu bertahun-tahun lamanya, maka pantas saja jika pada akhirnya profesi guru identik dengan profesi yang gajinya kecil.
Ah yang benar pak Wir, bapak khan guru. Apakah guru itu memang begitu ?
Benar juga ya, saya ini khan guru juga, bahkan telah lebih dari sepuluh tahun ini, tapi rasa-rasanya bahkan sampai hari inipun saya merasanya sebagai engineer, mungkin lebih tepatnya engineer yang sedangkan ditugaskan ngajar. He, he, kayaknya istilah tersebut cocok. 🙂
Mungkin karena saya mengangap seperti itulah, maka saya pribadi merasa bahwa ungkapan guru seperti uraian di atas adalah tidak tepat.
Lho maksudnya bagaimana pak ?
Kalau saya, maka daripada menggunakan istilah ikhlas maka saya lebih memilih kata syukur , daripada menyatakan sebagai suatu pekerjaan sosial maka saya lebih senang menggunakan kata bahwa pekerjaan guru adalah suatu panggilan jiwa/ hati. Suatu profesi yang membuat hati ini gembira, karena dapat disyukuri sekaligus memenuhi kepuasan hati (jiwa). Jadi profesi guru adalah sama seperti profesi-profesi lain yaitu untuk kepuasan hati juga karena seperti misalnya pendapat kita didengar dan dituruti oleh muridnya, yang pada akhinya membuat orang tersebut menjadi sukses dsb.
Detailnya bagaimana pak Wir ?
Baiklah , untuk itu ada baiknya saya ungkapkan saja makna menjadi guru menurut pendapatku pribadi, yaitu :
- Aku tidak mau mengorbankan diri hanya karena aku seorang guru. Jadi karena aku berkeluarga yang mempunyai kewajiban-kewajiban finansial maka itu harus dapat dicukupi. Jika ternyata tidak cukup, maka jelas aku tidak bisa menggantungkan diri untuk menjadi guru saja, harus cari pendapatan yang lain. Jika itupun tidak bisa, maka harus berpikir ulang untuk jadi guru, lebih baik tetap di profesi semula yaitu engineer, atau apa saja, asalkan prioritas pertama yaitu tanggung jawab pada keluarga tercukupi. Baru setelah menganggap bahwa gaji guru mencukupi (ini relatif lho), maka bolehlah aku menikmati profesi guru tersebut. Ingat, cukup itu relatif.
- Agar dapat dibayar dengan baik maka jadilah profesional, untuk itulah menjadi gurupun harus profesional. Seorang guru harus menggeluti dan ahli di bidang yang menjadi andalannya sehingga dia istimewa untuk dapat dianggap sebagai guru. Ingat, guru itu khan diguGU lan ditiRU (diingat nasehat-nasehatnya dan diteladani bahkan ditiru tindakannya). Karena dianggap profesional maka tentunya ada bedanya dengan amatir. Jika amatir gratisan, maka tentu profesional adalah sebaliknya. He, he, he, . . . tapi ingat seorang profesional juga harus berani dievaluasi, dibandingkan, jadi bila ternyata tidak dianggap profesional maka jelas itu ada kaitannya dengan bayaran, alias didepak. Untuk itulah agar profesional maka menjadi guru itu tidak boleh statis, harus dinamis, selalu aktif meningkatkan ilmu, jadi tidak hanya ngajar, tetapi juga turut belajar.
- Dua hal di atas mungkin masih sama dengan kriteria seorang trainer, sedangkan yang membedakan dengan guru adalah bahwa seorang guru harus dapat bekerja tanpa pamrih.
Mungkin istilah ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe‘ cukup cocok menggambarkan situasi ‘bekerja tanpa pamrih’. Tetapi perlu diingat bahwa “bekerja tanpa pamrih” tidak indentik dengan kosa kata “gratisan“. Jelas itu tidak sepenuhnya benar. “Pamrih” menurut pengertian saya ada kaitannya dengan pepatah “ada udang dibalik batu”, jadi kalau “tanpa pamrih” maka itu identik dengan “jangan ada udang dibalik batu“. Pengertiannya memang masih abstrak, untuk mempermudah kita ambil contoh sbb, misalnya nilai ujian murid akan ditambah jika muridnya ngasih sesuatu, kalau nggak ngasih maka nilainya dikurangi. Itu berarti ada pamrihnya dalam memberi nilai.
Tentu tindakan tanpa pamrih tidak terbatas seperti pada contoh di atas, masih ada hal lain yang lebih luas yang mendukung pengertian tersebut, yang jelas pengertian tentang “bekerja tanpa pamrih” itu memang masuk pada wilayah abu-abu. Interprestasinya gampang-gampang susah, bisa lain antar satu individu dengan individu yang lain. Tetapi yang jelas, itu tidak berarti bahwa “guru tidak butuh dihargai“.
Menurutku, guru dan murid butuh saling dihargai. Jadi karena itulah, aku paling tidak senang dengan murid yang ramai, yang omong sendiri materi-materi di luar yang sedang dibahas. Jadi harapanku jika gurunya sedang berbicara maka murid mendengar dan sebaliknya. Dalam prakteknya itu memang gampang-gampang susah, tetapi prinsipnya jika murid menyimak dan memperhatikan apa-apa yang dikemukakan oleh guru maka disitulah timbul rasa bahwa gurunya dihargai. Itu pula yang melandasi cara berpikirku ketika ada mahasiswa yang masuknya terlambat. Jika mahasiswa tadi bisa menunjukkan minat mengikuti kuliah, maka saya dengan senang hati bersikap “welcome“.
Karena keinginan saling dihargai itulah maka aku kaget juga ketika kemarin ada sebagian kecil mahasiswa meninggalkan kelas hanya karena tidak ingin terlambat mengikuti kelas berikutnya, yang kebetulan tempatnya memang agak jauh, padahal jam pengajaran masih menjadi jatahku. Memang sih, biasanya sebelum-sebelumnya aku mengakhiri 40 menit lebih cepat agar mereka punya waktu untuk istirahat makan sebelum mengikuti pelajaran berikutnya. Nggak tahu, semester ini jam pelajarannya sangat padat sekali, nggak ada waktu jeda.
Tetapi kebijakan seperti di atas aku koreksi karena hasil UTS-nya kurang baik, sehingga aku mencoba mengembalikan waktu, nggak ngasih kelonggaran lagi agar mahasiswa-dosen dapat belajar bersama-sama dengan lebih baik. Maksudku sih baik, yatu ingin menunjukkan bahwa dosen juga dapat bekerja keras agar mereka dapat berlatih dan belajar lagi lebih. Harapanku sih mereka pada mau atau tertarik mendengarkan lagi uraianku, nyatanya mereka tetap memilih keluar kelas. Mereka yang keluar itu menunjukkan bahwa mereka tidak menganggap penting dengan apa yang ingin kusampaikan berikutnya. Itu khan berarti bahwa usahaku untuk memberi waktu sesuai jatahnya, sesuai haknya ternyata bahkan tidak dihargai. 😦
Jadi ketika sebagian orang-orang yang keluar tersebut telah meninggalkan ruang kelas, maka aku ungkapkan perasaan ‘merasa tidak dihargai’ tersebut kepada murid-murid lain yang masih tertinggal. Terus terang saat itu aku merasa kecewa, tetapi seperti biasa setelah diungkapkan ke teman-temannya maka serasa tidak ada beban lagi. Selain itu juga teringat akan konsep bahwa mengajar itu harus tanpa pamrih. Pamrih disini artinya jika murid tidak tertarik, yang tidak apa-apa. Cuekin aja, sekaligus berpikir “Toh masih ada yang lain yang tertarik”. Bagaimanapun mendidik itu yang paling penting adalah menghasilkan kualitas, kuantitas adalah setelah itu. Jadi untuk kondisi tadi, maka lebih baik anak-anak keluar kelas saja daripada di dalam kelas tetapi resah, dan pikirannya sudah kemana-mana. Jika demikian maka dapat dipastikan apa-apa yang disajikan dalam pembelajaran tersebut juga tidak akan berbekas (lupa). 😦
Hari ini, yaitu satu hari setelah peristiwa tersebut, tanpa terduga kelompok mahasiswa yang meninggalkan kelas terlebih dahulu itu datang ke aku. Ada apa ini ?
Ternyata mereka menghadap untuk bersama-sama ingin meminta maaf atas tindakannya kemarin, dan mereka berjanji untuk tidak mengulangnya lagi.
Wah luar biasa, meskipun sebenarnya saya sudah tidak mempersoalkan lagi tentang hal di atas, bahkan ketika tadi pagipun saat menjadi moderator untuk acara presentasinya bapak FX Supartono dan bapak Jimmy Priatna, sudah tidak mengingat lagi, tetapi adanya permintaan maaf dari mahasiswaku itu membuat perasaan ini menjadi senang. Senang karena sebagai guru masih dihargai muridnya.
Hal-hal seperti itulah yang kadang-kadang membuat hati ini rasanya bersyukur mempunyai profesi sebagai guru. Eh, masih ada tambahan lagi, yaitu kado yang tempo hari diberikan oleh salah satu muridku yang baru saja lulus. Kadonya sendiri berupa dasi, lalu ada kartu ucapan terima kasih untukku, aku terharu, ini isinya :
Terima kasih ya muridku, aku hanya dapat mendoakan engkau, agar setelah lulus, setelah kamu kembali ke masyarakat dapat menjadi insan yang mandiri dan berguna bagi masyarakat disekelilingmu, sesuai dengan bidang dan ilmu yang kamu timba selama di UPH. Karena bagaimanapun, keberlanjutan dan nama baik almamatermu tergantung dari kamu sekalian. Semoga Tuhan memberkatimu. Amin.
Catatan : coba kalau jadi engineer doang, mana ada yang memberikan ucapan terimakasih seperti itu. He, he, itu tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali lho, jadi kalau kamu melihat mengapa aku mempunyai banyak dasi yang bagus, itu buktinya. 🙂
Saya salut pak atas cara berpikir bapak sebagai guru dan cara memotivasi kita semua sebagai murid…
maaf ya pak kalau kemarin sempat mengecewakan bapak… makasih juga pak atas perhatian bapak….
SukaSuka
Artikel yang bapak post ini sangat menarik.
Ini merupakan kali pertama saya mengunjungi blok bapak, dan saya tidak menyangka kalau artikel yang disajikan akan bisa sebagus ini. Cara menyajikannya sangat interakting dan tidak membuat orang bosan.
Dari artikel ini saya terdorong lagi untuk membaca artikel2 lain yang ada, pasti tidak kalah menarik juga.
makasih pak ,,,, 😀
SukaSuka
guru memang yang terbaik
SukaSuka
Ping-balik: surprised, tak disangka-sangka « The works of Wiryanto Dewobroto