Apa yang ditakutkan bapak SBY ternyata tidak terjadi, Jakarta aman, bahkan kemarin sore ketika pulang, tidak ada macet yang membuat kesel, kalaupun ada itu mah seperti biasa, Jakarta khan memang macet. Jadi yang katanya akan ada demo besar-besaran, ternyata aman, tidak ada kerusuhan. Kalau hanya demo, yang terdiri dari sekumpulan orang-orang, selama tidak ada rusuh, maka itu khan biasa-biasa saja. Sama seperti seakan-akan ada perayaan-perayaan tertentu. Hanya ‘meriah’ begitu lho.
Tetapi kemarin untuk memperingati hari Anti Korupsi sedunia lho pak.
Yah lalu apa ?
Kata para pengamat politik, yang tadi didengar di radio, adanya demo kemarin menunjukkan antusiasisme masyarakat dalam memberantas korupsi. Jadi itu merupakan suatu momentum berharga untuk ditindak-lanjuti para penentu kebijakan untuk secara tegas memberantas korupsi. Gitu lho pak.
Lho, kalau tentang hal itu khan sudah dari dulu. Coba kalau anda tanya ke masyarakat Indonesia, khusus yang tidak punya jabatan pemerintah, apalagi kalau mereka itu mahasiswa, maka mereka pasti setuju dengan aksi pemberantasan korupsi. Bahkan tadi dari radio juga kudengar ada masukan dari DPR yang diperoleh dari masyarakat bahwa koruptor itu patut dihukum mati. Itu khan menunjukkan masyarakat Indonesia secara umum benci kepada korupsi.
Memang betul sih pak, dari dulu juga begitu, tapi kalau nanyanya koq dibatasi sih. Emangnya pejabat tidak anti korupsi juga.
Lha iya gitu. Kalau sedang menjabat, dan mendapat bagian, langsung atau tidak langsung, maka biasanya mereka tidak peduli. Bahkan yang bukan pejabat, tetapi anak buahnya, kalau mereka punya nalar dan logika maka pilihan yang paling baik adalah pasif. Kenapa. Anggap saja orang tersebut tidak terlibat, tidak korupsi, tetapi sudah merasa senang dengan kondisi yang ada, maka dia akan lebih baik pasif, tidak mengotak-atik tentang korupsi. Kalau dia mengotak-atik maka bisa-bisa kolega atau atasannya akan kena. Siapa tahu. Kita khan nggak tahu siapa yang korupsi itu, coba bayangkan jika yang korupsi adalah bos, yang selama ini sudah baik kepada kita. Kita masyarakat Indonesia khan cenderung nggak mau cari gara-gara.Kalau bos yang baik itu dipenjara karena kasus korupsi lalu siapa yang mikiran anak-buahnya. Itu yang aku maksud dengan batasan di atas. Jadi kalau kita menanyakan itu kepada orang awam, yang jauh dari lingkungan pemerintah, maka dia yang merasa bahwa yang melakukan korupsi itu adalah orang lain. Bukan siapa-siapa, jadi kalau dihukumpun nggak ngaruh.
He, he, tapi kalau ditanya oleh media mereka (para pejabat) itu khan juga mendukung anti korupsi khan pak.
Lha iya lha. Emangnya ada maling yang ngaku maling. Kita ini khan bangsa munafik, apa yang diomongkan belum tentu apa yang dilakukan, maka dapat dipastikan secara tampilan mereka akan bilang anti korupsi. Tapi pada kenyataannya, apa betul begitu atau tidak, kita juga tidak tahu. Yang jelas, fakta menunjukkan bahwa setelah berganti era kekuasaan, silih berganti presidennya, korupsi khan masih tetap ada. Coba aja di harian Kompas hari ini, diberitakan bahwa kasus Century cenderung ada nuansa korupsi.
Jadi bagaimana pak, apakah demo besar-besaran yang dilakukan kemarin akan sia-sia ?
Yah seperti semua perayaan yang ada, setelah para artis turun panggung, khan kembali biasa-biasa lagi khan. Nggak ngaruh di dunia nyata gitu lho. Jadi menurutku, jika ada yang kemarin sampai mati-matian pasang badan, dengan harapan bahwa itu semua akan merubah kondisi Indonesia jadi tanpa korupsi, maka koq saya berkeyakinan bahwa itu akan sia-sia belaka.
Lho koq bapak pesimis betul sih ?
Saya sih bukan pesimis, tetapi memang melihat fakta, bahwa sebenarnya kondisi yang ada dimasyarakat itu sebenarnya mendukung keberadaan korupsi tersebut. Bahkan secara ekstrim dapat juga dikatakan bahwa ada segolongan masyarakat, mungkin tidak banyak, tetapi kalau mereka mendapat kesempatan maka mereka akan korupsi juga. Jadi kalaupun sekarang tidak korupsi itu bukan karena mereka benci korupsi, tetapi karena belum dapat kesempatan saja. 🙂
Kenapa saya bilang begitu.
Karena meskipun kita ini katanya beragama, takut kepada Tuhan, tetapi sebenarnya banyak dari mereka (bisa juga saya termasuk di dalamnya), sadar atau tidak sadar telah men-Tuhan-kan materi atau kekayaan. Bahkan ada pendapat bahwa orang kaya adalah identik dengan orang yang diberkati Tuhan, dan begitu juga sebaliknya.
Jadi kalau ada orang, yang karena jabatannya mempunyai kemudahaan mengelola uang orang lain / negara, dan ternyata karena kepandaiannya juga bisa memanipulasi atau memutar-balik uang tersebut untuk kepentingannya sendiri, tetapi dari sisi yang lain ternyata dia juga pintar berbagi baik bagi teman-teman atau juga disumbangkan kepada fakir miskin atau tempat ibadat, maka masyarakat banyak akan menilai orang tersebut sebagai orang yang terberkati. Biasanya orang tersebut pasti akan lebih dihormati dibanding orang awam, yang hanya mengandalkan gaji saja, bahkan itupun harus pintar-pintar mengatur kalau tidak mau tekor. Kalaupun orang awam itupun menyumbang, pasti nilainya lebih kecil dibanding si pejabat tadi. Jadi orang akan terhormat berdasarkan besaran materi yang disumbangkan. Betul nggak.
Kalau nggak percaya, coba aja baca artikel berita di koran beberapa minggu yang lalu, pada suatu perayaan agama yang bersifat nasional, diberitakan di koran di halaman pertamanya, bahwa ada pejabat A yang menyumbang untuk perayaan itu sesuatu yang lebih besar atau lebih banyak dibanding yang lain.
Sadar atau tidak sadar, itu semua khan untuk mendukung pendapat bahwa siapa yang menyumbang paling banyak, atau paling besar adalah orang yang religius. Itulah gambaran masyarakat kita. Semuanya dapat diukur berdasarkan materi / uang.
Itu tentang materi, kecuali itu ada lagi yang mendukung budaya korupsi terjadi di negeri ini, yaitu budaya instan atau budaya jalan pintas. Mereka pada dasarnya mau enak saja, apalagi jika untuk mencapai sesuatu tersebut diperlukan proses yang berat. Coba aja lihat, misalnya sekolah, yang penting lulus, dapat ijazah. Titik. Padahal yang namanya transformasi cara berpikir, itu lho tujuannya sekolah, adalah suatu proses, perlu waktu. Tidak jaminan lho lulus dan punya ijazah maka sudah mendapatkan transformasi yang diharapkan.
Kenapa bapak punya pikiran seperti itu.
Ya aku hanya mengamati saja koq. Banyak orang yang sekolah saat ini hanya sekedar mengejar gelar, bahkan yang ekstrim adalah orang yang membeli gelar saja. Sekolah maunya asal lulus, bahkan kalau ada evaluasi yang dapat mengganggu proses kelulusan maka banyak yang protes, dikatakannya itu tidak manusiawi. Coba aja baca artikel di blog ini yang membahas tentang UN. Tahu kenapa UN banyak ditolak ? Itu karena UN digunakan sebagai bahan evaluasi untuk menentukan kelulusan seseorang. Pada protes ! Coba kalau UN tidak digunakan evaluasi, pasti nggak ada yang menolak. Maunya sekolah itu jangan bikin pusing. Nggak mau mengalami proses yang berat.
Jadi jika dikaitkan antara budaya instant dan budaya berorientasi materi maka timbullah dalam benak anak-anak muda sekarang adalah bagaimana agar cepat kaya tanpa perlu bersusah-payah. Segala cara digunakan. Jika motivasinya seperti itu maka kalau ada kesempatan korupsi maka banyak yang terjebak untuk mengaplikasikan semangat tersebut. Jadi dengan demikian wajar saja ketika masih muda dulu, ketika belum ada kesempatan korupsi maka orang-orang tersebut terlihat idealis. Idealis karena memang terpaksa, tetapi ketika kemudian ketika waktu berlalu dan mereka akhirnya masuk pada jabatan-jabatan teresebut dan kemudian mereka mendapatkan kesempatan maka jadilah itu korupsi. Jadi jangan bayangkan kalau akar masalah ini adalah karena orde baru misalnya, karena jika orde itu digantikan oleh orang lain, selama generasi yang menggantikannya tersebut masih mengedepankan budaya di atas , maka saya yakin tetap saja akan terjadi korupsi.
Jadi intinya selama masyarakat Indonesia ini masih mengedepankan [1] budaya cinta materi, [2] budaya instan, suka cari jalan pintas, maka memberantas korupsi adalah hanya angan-angan belaka. Tiap ada kesempatan maka pasti akan digunakan. Jadi budaya anti korupsi harus ditangkal mulai dari orang per orang, diri sendiri, keluarga dan akhirnya masyarakat secara luas.
Tinggalkan komentar