Menjadi orang tua yang mempunyai anak menjelang dewasa kadang-kadang perlu memahami dunianya. Dunia remaja.
Hari Kamis yang lalu, ketika sedang berjalan-jalan di Mall Kelapa Gading di atrium timur ada ramai anak-anak muda berkostum. Kesannya ada semacam pesta dengan atribut.
Pa, itu ada cosplay. Lihat dulu ya, menarik lho.
Akhirnya kami sekeluarga melihat sebentar acara tersebut. Sambil melihat, anakku bercerita, bahwa cosplay adalah anak-anak muda penggemar komik, khususnya komik jepang (anime) dan berusaha menirunya dalam hal tampilan berpakaiannya.
Pantas, aku seakan-akan familiar dengan atribut yang dipakai anak-anak muda tersebut.
Betul. Itu khan atribut yang biasa tampil di layar kaca, di televisi.
Dengan muka di tutup topeng, bergaya di atas panggung. Menarik juga. Siapa saja bisa berada di balik topeng tersebut, dan saya yakin biasanya yang milih ditutupi topeng di atas biasanya introvet tapi ingin tampil. Lha gimana lagi, dibalik topeng tersebut bisa saja si David, si Richard atau si Paijo. Who’s know.
Seru juga, aku melihat mbak yang satu ini dari pagi sampai siang bawa sayap kesana kemari. Apa nggak capai ya.
Apalagi ini. Untung mall-nya pakai AC, coba kalau nggak. Yang pakai kostume ini khan jelas tidak bisa duduk, bisa jebol nanti kostum-nya. Kalau nggak salah ini jadi salah satu juaranya lho.
Nggak mau ketinggalan, berpose dengan salah satu cosplay yang sedang menunggu pulang.
Dari itu semua, aku mencoba memikirkannya, anak-anak muda itu begitu karena ingin dianggap ada. Dengan kostume tersebut maka mereka menjadi pusat perhatian dan karena ada wahana berkumpulnya, yaitu seperti acara tersebut, maka itu menjadi istimewa karena dapat dibandingkan satu dengan yang lain. Mana kostume yang lebih baik dibanding yang lain. Hiburan sesaat karena dapat terlepas sebentar dari beban rutinitas yang ada, yang mungkin tidak membuatnya menjadi perhatian karena hanya biasa-biasa saja.
Jadi cosplay adalah sarana untuk menjadi istimewa dan menjadi pusat perhatian. Ada yang tertarik.
O ya, saya pesan, kostumenya jangan pakai baju hanoman atau gatotkaca, nanti namanya bukan cosplay tetapi wayang orang. He, he, he . . . .
Kepada pak Menteri pendidikan atau kebudayaan, adanya acara-acara seperti ini bisa juga dianggap sebagai kreativitas anak muda, itu jika dianggap dari sisi positip, tetapi dari sisi yang lain itu merupakan bukti mulai terjadinya krisis identitas budaya. Padahal orang luar melihat budaya kita (lokal) indonesia adalah suatu keunggulan. Yah, begitulah rumput tetangga lebih hijau saja.












Tinggalkan Balasan ke Mutiara Batalkan balasan