Kata pengantar.
Bagi orang yang menyebut dirinya penulis, atau juga para blogger pribadi (seperti aku) maka artikel saudara Samsudin di harian Kompas hari ini sangat membuai. Bayangkan saja, karena ada kegiatan menulislah maka budaya itu ada. Bahkan dikatakan juga, bahwa orang pintar yang ingin membuat pengaruh maka menulislah, tanpa itu gaungnya nggak akan kemana-mana, kalaupun bisa bahkan kadang dapat terdistorsi dan tidak diketahui lagi asal sumbernya.
Mau tahu tulisannya pak Samsudin.
BAHASA – Lisan dan Tulisan
Samsudin Berlian
”…bahasa pada hakikatnya adalah lisan, bukan tulis,” kata Lie Charlie dalam kolom Bahasa edisi Jumat, 11 Juni 2010. Ini hanya benar secara kronologis. Bahasa memang berevolusi dari lisan ke tulisan, budaya bergerak dari orality ke literacy. Dengan percetakan, teks menjadi makin utama. Kini radio, televisi, dan internet pun hanya bisa ada dan berfungsi dengan tulisan. Tulisan tidak akan ada tanpa lisan, tetapi bahasa tulisan bukan sekadar bahasa lisan yang dituliskan. Hakikat bahasa tidak lagi lisan.
Baik dunia oral maupun literer kaya makna, tetapi ciri dan dampaknya pada proses pikiran manusia, dan sebagai kekuatan pengarah evolusi sosial, sangat berbeda. Bukan hanya itu, sejak tulisan pertama lahir lebih dari 5.000 tahun lalu di Sumeria (Irak Selatan), disusul Mesir, China, dst, dan sampai detik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa bertulisan lebih unggul daripada bangsa berlisan saja. Nyatanya, sejarah adalah tulisan. Tulisan adalah cikal-bakal peradaban. Tulisan tinggal, lisan tanggal.
Tulisan jauh lebih akurat, tahan lama, dan efisien dalam melahirkan, menyimpan, memproses, dan memperkembangkan gagasan, sampai yang serumit-rumitnya dan seluas-luasnya. Dari gagasan ke tindakan hanya selangkah. Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana, komunikasi sejauh teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar. Buta tulisan, biarpun kaya lisan, adalah resep kemiskinan dan ketakberdayaan.
Filsuf Yesuit dan pakar ilmu bahasa, Walter Ong, mendaftarkan beberapa ciri oralitas yang berkontras dengan budaya tulisan. Karena ingatan adalah satu-satunya alat memelihara pengetahuan, dalam dunia lisan kosakata sedikit, tata bahasa sederhana, kata dan konsep diulang-ulang, dan gaya formula umum dipakai, ciri-ciri yang memang masih kental dalam bahasa Indonesia. Formula seperti pantun dan syair misalnya sangat terkenal di dunia Melayu, yang tidak asing dengan pidato, pepatah-petitih, dan silat lidah.
Guru-guru yang hidup dalam dunia lisan selalu menuntut murid-murid menghafal, bahkan menghafal mati, sampai hal-hal yang seremeh-remehnya. Dalam dunia tulisan, hanya hal-hal mendasar yang perlu dihafal. Yang perlu adalah mengasah pemahaman, ketajaman berpikir, kemampuan analitis, abstraksi, dan seterusnya. Dalam lisan yang penting data. Dalam tulisan yang utama olah-data. Akibatnya, lisan itu statis menoleh ke belakang. Tulisan itu dinamis menatap masa depan.
Dunia oralitas juga penuh dengan ungkapan-ungkapan ekspresif seperti adil makmur, aman sentosa, dan lain-lain. Klise memang berkembang dalam dunia lisan. Dengan tulisan, kata-kata dalam ungkapan-ungkapan seperti itu bisa dipecah dan dianalisis sehingga timbul kompleksitas yang merombak dan memperkaya makna. Yang perlu bukan hanya kemampuan baca tulis, melainkan memfungsikan tulisan sebagai instrumen berpikir. Misalnya, hanya dengan tulisanlah bisa dikembangkan daftar, tabel, dan statistik. Bukan berpikir lalu menulis, melainkan menulis sebagai bagian dari proses berpikir canggih.
Tulisan meningkatkan pikiran. Pikiran meningkatkan tulisan. Pemikir adalah penulis.
Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.
SukaSuka
Pak Samsudin menulis dengan penjelasan yang baik dan benar. Pemilihan kalimatnya mengalir dan mendukung pemikiran yang sedang disampaikannya. Saya setuju dengan pendapat Pak Samsudin bahwa “tulisan” itu dinamis. Dia menatap ke masa depan.
Sewaktu belajar konstruksi baja pertama kali (thn. 1980-an) dosen saya menjelaskan tentang bagaimana material baja itu dibuat. Dengan bangga dia menjelaskan tentang keahlian nenek-moyangnya yang -dianggapnya- lebih dahulu mengerti tentang ilmu logam. Alasannya, “dulu” Mpu Gandring dan mpu-mpu lainnya sudah mampu bikin keris dan “mencet-mencet” besi panas menggunakan tangan… 🙂
Sewaktu saya tanya tentang pengetahuan “ilmu logam” yang diwariskan dari mpu-mpu tersebut kepada pelajar di jaman kini, sang dosen agak kurang senang. Dia ingin bisa bangga dengan keahlian nenek-moyangnya, tapi sayang tidak ada “paper” yang diwariskan oleh para mpu ini.
Thanks untuk Pak Wir yang sudah “forward” tulisan ini.
SukaSuka
Salam kenal Pak Wiryanto,
Saya takjub sekali melihat jumlah visitor blog bapak ini, angka yang fantastis untuk blog yang topiknya akademik, ini pujian loh Pak he he he Saya baru setahun ini menyalurkan hobi menulis saya di blog. Meskipun pekerjaan saya juga ada hubungannya dengan tulis-menulis (programmer, maksudnya.. :D) tapi tidak semenyenangkan sampai saya bertemu dengan mahluk ajaib bernama blog he he he.. Btw, Pak Wiryo dosen di UPH, barangkali juga mengenal Pak Jack Widjajakusuma, sampaikan salam saya ke beliau.. 😀 Maju terus Pak Wiryanto !
SukaSuka