Hari Senin, hari ini berita radio telah memberi-tahukan bahwa terjadi macet akibat terjadinya kecelakaan lalu-lintas, tabrakan beruntun yang terjadi di jalan tol arah Tangerang-Jakarta, selanjutnya terdengar juga adanya kecelakaan tunggal di jalan tol Cawang yang menghabiskan dua jalur jalan. Macet lagi.
Yah pagi-pagi sudah macet semua, dan kebetulan aku tidak mengalaminya, aku sudah duduk manis di meja kerja di kampus UPH di Lippo Karawaci, Tangerang. Padahal jika kamu tahu, aku tinggalnya di Bekasi. Jadi sebenarnya pagi-pagi tadi aku sudah melintas kota Jakarta. Satu-satunya cara untuk mengantisipasi macet seperti yang terjadi di atas hanya dengan cara berangkat pagi. Bagaimana lagi, tidak ada cara lain. Jadi jam empat pagi subuh aku sudah bangun, siap-siap, satu jam saja, selanjutnya pukul lima sudah harus di jalan. Dengan cara seperti itu dari rumah di Bekasi, kemudian mengantar anak bersekolah di SMAN di daerah Bukit Duri, Manggarai, kemudian jalan lagi mengantar kerja istri di daerah Kuningan dan baru jalan ke kampus UPH di Lippo Karawaci Tangerang dapat dijalankan tidak lebih dari satu setengah jam saja. Bayangkan itu, siang sedikit selisih berapa menit, it is impossible. Yah begitulah irama kehidupanku setiap hari, kebetulan pulangnya, mereka sendiri-sendiri, coba kalau aku harus menjemput lagi di siang dan sore hari, bisa-bisa habis dijalan.
Itulah mengapa aku pukul 6.30 sudah berada di kampus, paling dulu lagi di departemenku. Untunglah, hobby-ku adalah komputer serta menulis, jadi datang duluan ketika masih sepi adalah kondisi ideal. Itulah mengapa tulisanku menjadi banyak. He, he, . . . . .
Kebetulan ada juga pagi ini dosen tidak tetap UPH yang mengajar trafik lalu-lulintas, kebetulan sekali sambil membunuh waktu, menunggu waktu yaitu masuk pukul 7.15 maka kami berbincang-bincanglah. Karena trafik lalu-lintas menjadi point-nya, maka seru juga diskusi yang terjadi.
Topik yang menarik adalah mengapa di Jakarta ketika hujan turun deras dan lama maka dapat dipastikan akan terjadi macet di mana-mana, mengapa itu terjadi. Apa penyebabnya.
Pikiran pertama saya adalah pasti terjadi banjir, buktinya memang demikian khan, ada banjir. Tetapi ternyata teman dosen traffik tadi juga menambahkan yang lain. Banjir memang menjadi salah satu faktor, tetapi faktor lain yang dominan ternyata adalah sepeda motor. Jadi ketika terjadi hujan besar, maka banyak pengendara motor yang berhenti di banyak jalan layang, sedemikian banyaknnya pengendara tersebut sehingga dari beberapa jalur kadang-kadang hanya tinggal satu jalur jalan saja yang dapat dilalui. Itu terjadi diberbagai tempat di jalan-jalan Jakarta, bayangkan saja saat ini khan banyak sekali dibuat jembatan jalan layang di jakarta, jadi jika disetiap bawah jembatan jalan layang tertutup oleh pengendara yang berlindung dari hujan maka tentunya saja timbul kemacetan dan itu terjadi dimana-mana. Di tambah lagi memang ada banjir yang membuat mogok kendaraan. Itu juga menjadi faktor pengali kemacetan tersebut.
Jadi kesimpulan kemacetan di jakarta yang utama adalah banjir, sepeda motor dan tentu saja jumlah kendaraan roda empat (mobil) yang luar biasa pertambahannya setiap tahun. Maklum saja, ketika kebutuhan pokok dan sekunder sudah terpenuhi, dan agar nyaman bekerja maka sebagian besar penduduk di Jakarta (jabotabek) adalah memikirkan kendaraan yang nyaman, bahkan kalau bisa ada sopirnya. Itu yang pertama, apalagi seperti aku yang rutenya tidak biasa, yaitu jika pakai kendaraan umum akan berganti-ganti jalur.
Tentang himbauan para pakar atau pembuat kebijakan agar naik kendaraan umum saja saya kira hanya hiburan bagi pegawai yang terpaksa saja. Kalau secara finansial memungkinkan pasti akan mengusahakannya untuk alat transporatasi yang baik, bahkan kalau memungkinkan lagi bisa bekerja di lain kota. Terus terang, kecuali adanya kesempatan kerja , maka tinggal di Jakarta itu sebenarnya tidaklah menarik. Maklum mungkin karena kerjaku adalah kerja pikir, hanya meneliti dan menulis serta mengajar, jadi hirup pikuk meriahnya kota besar tidak terlalu signifikan pengaruhnya. Bagi orang lain mungkin bisa juga berbeda. 🙂
Cara berpikir seperti itulah sebenarnya yang men-drive bertambahnya kendaraan setiap tahunnya, maklum alat transportasi umum tidak memadai, bisa karena rutenya tidak ada (jadi harus berpindah-pindah bis), juga karena kondisi alat transportasinya yang amburadul. Bisakah anda membayangkan ada orang kerja membawa laptop naik biskota setiap hari. Saya kira mereka akan berpikir berpuluh kali untuk melakukannya.
Beberapa tahun belakangan ini, transportasi ibukota memang memperoleh hembusan angin segar, yaitu adanya Busway dan jalur khususnya. Meskipun tidak ideal sekali, tetapi ternyata itu merupakan kebijaksanaan gubernur lama bapak Sutiyoso yang cukup baik, satu step di atas kondisi mrt lama ibukota.
Tentang efektivitas Busway maka anakku bisa memberi kesaksian jelas tentang hal itu. Begini ceritanya, anakku khan sekolahnya di Bukit Duri, di daerah Manggarai, yang bisa dilewati dari arah pasar Jatinegara. Kebetulan ada jalur Busway dari arah Cawang-Kampung Melayu-Jatinegara. Jadi ketika pagi hari aku agak kesiangan maka anakku lebih baik minta diturunkan di Cawang untuk naik Busway. Bagaimanapun ketika jalan jalur di atas mulai macet, maka Busway dengan jalur khususnya adalah solusi. Bagus juga.
Selanjutnya aku bertanya kepada dosen traffik tersebut, bagaimana mengatasi macet seperti diatas. “Yah gimana lagi pak Wir, teori traffik mikro di buku-buku teks sebenarnya sudah tidak berlaku di kota seperti di Jakarta ini. Volume lalulintas sudah masuk pada level yang tidak standar lagi, di luar batasan teori traffik tersebut“.
Hah, kaget juga aku. Jika seorang yang bergelut secara akademisi sekaligus praktis (dianya sehari-hari bekerja di perusahaan konsultan traffik) telah berkata seperti itu, bernada pesimis, lalu bagaimana kejadiannya.
Jadi benar juga seperti prediksiku tempo hari, bahwa kebutuhan Mass Rapid Transportation adalah jawaban satu-satunya mengatasi masalah kemacetan traffik di Jakarta. Alternatif lainnya adalah ibukota pindah.
Jika ibukotanya pindah, minimal penyetopan lalu-lintas oleh polisi jalan raya ketika ada pejabat yang lewat dapat diminimalisasikan. Ini juga salah satu penyebab kemacetan lho, mungkin pak SBY nggak tahu, tetapi aku pernah nunggu masuk tol di daerah Cawang hanya karena pintu tol di tutup karena pak SBY mau lewat. Jadi bagi pejabat-pejabat itu kalau lewat pasti akan merasa Jakarta itu lengang, padahal. 🙂
Kebutuhan tentang MRT itu juga diamini oleh dosen traffik tersebut, kometarnya :” Tentang MRT itu pak Wir, itu tidak bisa diputuskan oleh para pakar karena itu suatu kebijakan luar biasa, tidak hanya dari sisi teknis, juga dampaknya ke masyarakat luas, coba aja pembebasan tanahnya, itu khan menyangkut suatu jalur jalan yang luas, suatu sistem. Juga itu berdampak pada sistem transportasi yang sudah ada“. Kata beliau lagi: “Agar MRT dapat berhasil maka perlu dukungan politik yang kuat“.
Bener juga pendapatku sebelumnya, bahwa sebelum ada pemimpin yang ber-visi ke depan, dan berani, maka jangan bermimpi dulu punya MRT di Jakarta. Kalaupun ada yang pastilah hanya MRT-MRT-an. 🙂







Tinggalkan Balasan ke Sani A W Batalkan balasan