Pertanyaan seperti : “kepada siapa kita bisa belajar“, adalah pertanyaan yang gampang-gampang, tapi susah juga lho. Anda setuju yang mana, gampang dijawab atau susah dijawab.
Saya kira itu pertanyaan yang bersifat relatif bukan. Jika pertanyaan yang sama, saya ajukan kepada anakku yang kebetulan kesulitan untuk suatu mata pelajaran tertentu, maka dia dapat dengan mudah menjawabnya, yaitu “kepada mama dong”. Maklum, tiap malam dianya masih dibantu mamanya untuk belajar.
Jika pertanyaan yang sama, diajukan kepada mahasiswaku, misalnya. Maka mahasiswa tersebut tentunya akan merujuk pada temannya yang dirasa lebih pintar. Jika itupun ternyata tidak memuaskan maka bisa saja dia langsung bertanya kepada dosennya. Beres bukan.
Bagaimana dengan anda. Saya akan banyak yang mempunyai strategi yang sama, yaitu mencari teman atau kenalan atau tepatnya orang lain yang menguasai ilmu yang dimaksud secara lebih baik. Jika ya, maka anda termasuk orang yang ekstrovet, tidak kenal malu atau yang positip adalah orang yang berani. Tentang hal ini jadi ingat akan pepatah: malu bertanya sesat dijalan. Saya kira pepatah tersebut juga tepat untuk menjawab pertanyaan di atas.
Permasalahan yang dapat dengan mudah diatasi oleh orang ekstrovet di atas, kadang tidak berlaku bagi orang introvet. Biasanya daripada menghubungi orang lain, dia lebih baik pergi agak jauh sedikit ke perpustakaan, yaitu belajar dari membaca buku-buku atau literatur tertulis yang tepat.
Jadi belajar itu bisa diperoleh dari [1] berinteraksi dengan orang yang lebih pandai yang mau berbagi, atau dengan cara [2] membaca literatur-literatur tertulis yang sesuai, yang membahas materi yang ingin dipelajari. Menurut anda, masihkah ada cara lain untuk belajar.
Untuk tingkat pemula, rasa-rasa hanya kedua cara tersebut. Cara yang paling primitif adalah dengan cara berinteraksi dengan orang lain. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan meniru. Itulah mengapa, kalau anda ingin pintar maka banyak-banyaklah bergaul dengan orang pintar. Karena konsepnya meniru, maka proses belajarnya kadang-kadang tidak terasa. Itulah mengapa kita diberi petunjuk oleh orang-orang tua, juga jangan banyak-banyak bergaul dengan orang ‘rusak’, kenapa karena secara sadar atau tidak sadar, bisa-bisa saja anda akan meniru perilaku rusaknya tersebut.
Apabila sudah mempunyai pengetahuan atau ketrampilan dasar, minimal dapat membaca, maka langkah kedua, yaitu belajar dapat dilakukan dengan cara membaca buku atau literatur tertulis yang tepat.
Apabila kedua cara di atas sudah dilakukan secara maksimal, dan ternyata tidak dapat memuaskan maka saya sarankan langkah berikutnya, yaitu [3] belajar dari fenomena alam yang terjadi.
Fenomena alam yang dimaksud bisa berasal dari peristiwa yang bersifat alami, bisa juga dari peristiwa yang non-alami, atau buatan. Penelitian ilmiah yang berupa eksperimental adalah termasuk dalam langkah ini.
Jika digunakan langkah ke tiga ini, maka dapat diharapkan diperoleh suatu kebaruan ilmu pengetahuan, yang bahkan belum pernah ada sebelumnya pada literatur ilmiah. Itulah alasan utama, mengapa mahasiswa doktoral, khususnya dibidang teknis selalu diupayakan untuk membuat penelitian eksperimental. Adapun penelitian numerik baru diakui keberadaannya jika penelitian eksperiment tidak bisa atau susah dilakukan, jika penelitian eksperimental bisa dilakukan, maka penelitian numerik kelasnya dibawah penelitian eksperimental. Maksudnya jika hasil numerik berbeda dengan hasil eksperimental, jika kedua-duanya dianggap dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka yang dipakai adalah yang eksperimental.
Pemahaman seperti itulah yang sekarang mendasari pemikiranku selama ini, sehingga bila dimungkinkan untuk melakukan penelitian eksperimental dibanding penelitian numerik. Ini menguntungkan karena sebenarnya penelitian numerik itu lebih ribet, maklum dulu sebelum penelitian disertasi maka maunya adalah penelitian numerik saja.
Ah pak Wir ini, mentang-mentang baru saja mendapat Hibah Bersaing dari Dikti untuk tahun ini, jadi maunya kalau belajar itu dari riset eksperimental saja. Begitu ya pak ?
He, he, koq tahu. Saya kira nggak juga, kalau Hibah Bersaing memang diusahakan, tapi maksud utamanya adalah bukan untuk belajar, lebih dari itu. Begini maksudnya, teman-teman di perguruan tinggi umumnya mengejar untuk memperoleh Hibah Bersaing untuk sekedar menunjukkan bahwa kompetensi ilmiahnya telah diakui. Maklum, untuk mendapatkan Hibah Bersaing itu banyak saingannya. Jadi kalau tidak kompeten, maka susah deh. 😦
Aku kalau mempelajari sesuatu maka ketiga cara tersebut aku gunakan secara sadar maupun tidak sadar. Maklum, sudah menjadi habit. Hanya saja cara pertama, yaitu belajar dari orang lain, gampang-gampang susah. Maklum nggak banyak orang yang mempunyai kompetensi atau peminatan yang sama dengan yang aku geluti. Jadi kalau berinteraksi dengan orang lain yang diharapkan adalah untuk mendapatkan tanggapan. Ini sesuai dengan pepatah “banyak memberi banyak menerima“. Intinya, untuk mendapatkan sesuatu saya harus memberi sesuatu dulu, nggak kosongan. Tanggapan-tanggapan yang masuk itu selanjutnya kadang ada yang langsung mudah dicerna, tetapi banyak juga yang kesannya tidak ada apa-apanya, tetapi kadang dapat menjadi trigger untuk melanjutkan perburuan pengetahuan yang akan dicari. Seru ya.
O jadi masih membaca buku ya pak. Untuk itu kita untung sekali ya pak, di internet telah tersedia banyak buku bagus untuk kita pelajari. Betul khan pak, gratis lagi !
Ah nggak juga. Untuk keperluan pengembangan diri, kadang buku-buku (ebook) yang ada, sudah tidak mencukupi. Khususnya buku-buku terbitan baru agar selalu up-to-dated. Kadang untuk menunggu sampai gratisan-nya keluar itu waktunya terlalu lama. Itulah mengapa, aku sering jalan-jalan ke toko-toko buku. Hanya saja, untuk buku-buku engineering, yang ada di toko-toko buku seperti Gramedia dan semacamnya itu hanya buku-buku teks untuk perguruan tinggi. Maklum buku seperti itu khan banyak yang mencarinya. Untuk buku-buku dengan level profesional, yang membacanya kadang memerlukan kedalaman ilmu tertentu, maka sangat jarang dijumpai di sini. Maklum, biasanya bukunya dicetak dalam jumlah terbatas dan mahal harganya.
Untuk mengatasi hal tersebut, aku baru saja memanfaatkan situs on-line yaitu Amazon. Karena pembayarannya melalui kartu kredit, maka beberapa kali aku sempat ragu-ragu. Maklum sekarang khan berita penipuan di internat sangat gencar. Tetapi ternyata, keinginan untuk mendapatkan buku baru lebih kuat dari ketakutan ditipu, untuk itu sebulan yang lalu saya mengorder dua buku engineering dari Amazon. Lama menunggu, saya pikir udah hilang deh itu duit. Eh, ternyata sore ini kiriman buku dari Amazon dapat dikirim sampai rumah oleh PT. Pos Indonesia (Persero), tidak kurang sesuatu apapun.
Menurutku ini merupakan suatu peningkatan dari PT. Pos Indonesia, tentang hal ini aku jadi ingat, dulu sebelum krisis aku pernah mengorder buku dari AISC, buku baja pada waktu itu. Eh, ternyata buku tersebut waktu itu tidak dikirim ke rumah, tetapi disuruh ambil di kantor Pos pusat, di Pasar Baru, Jakarta Pusat dan perlu menebus dengan biaya tertentu. Saya pikir sekarang juga demikian, ternyata kiriman dari Amazon dapat sampai kerumah secara mulus, tanpa prosedur tetek bengek yang nggak perlu. Itu khan berarti service-nya lebih baik dibanding dulu. Yah, syukurlah moga-moga demikian selanjutnya.
Mau tahu bagaimana Amazon mengiri buku tersebut ke rumah dan apa buku yang aku pesan. Lihatlah foto-fotonya berikut.
Gambar 1. Karung plastik sebagai pembungkus utama buku kiriman dari Amazon
Nggak ngira ya kalau isinya itu buku. Tetapi menurutku cara ini praktis, khususnya terlihat besar, mudah diangkat khususnya selama dalam perjalanan dari USA ke Indonesia. Coba kalau bungkusnya terlalu ketat, seukuran buku, maka ketika diangkut-angkut, berpindah-pindah dari satu moda pengiriman ke pengiriman yang lain bisa-bisa tercecer. Ukuran buku khan relatif kecil, jadi bisa saja nyangkut ke kantong kiriman yang lain.
Gambar 2. Inilah paket buku dari Amazon
Kantong di atas terlihat terbongkar, mungkin itu pembukaan pada waktu pengecheckan bea cukai. Tetapi yang jelas kiriman buku dari Amazon yang aku terima dalam kondisi baik, tidak rusak. Jadi lain waktu kalau ada buku yang baik, maka berani lagi pesen order.
Adapun buku yang aku pesan khusus dari Amazon adalah buku berikut. Perpustakaan anda sudah punya atau belum, ini buku yang aku maksud.
Gambar 3. Buku asli kiriman dari Amazon
Itulah buku karangannya Bazant (kiri) dan Ziemian (kanan). Bagi teman-teman yang menggeluti struktur beton maka buku-buku tersebut mungkin tidak banyak dikenal, tetapi bagi yang senang menggeluti struktur baja maka keberadaan buku-buku tersebut sangat membantu. Maklum belum ada buku berbahasa Indonesia yang mempunyai bobot sama atau bahkan mendekati kedua buku tersebut. Ingat, belum ada. Bahkan yang berbahasa Inggris-pun rasa-rasanya sulit untuk menyamai keduanya, yang kiri itu setebal 1011 halaman, sedangkan yang kanan itu sekitar 1078 halaman juga. Jadi berbobot betul.
Dari kedua buku yang berbobot itulah maka aku akan belajar. Selamat malam.







Tinggalkan Balasan ke the-netwerk Batalkan balasan