Berbicara tentang ilmu tentu menarik sekali, apalagi memang pekerjaan penulis dalam hal ini  terkait sekali dengan proses penyebaran ilmu itu sendiri. Maklum guru. Oleh karena itu posting ke dua ini juga masih bertema “kurang berilmu”.

Tulisan saya kali ini akan membahas tentang bangunan tinggi (tall building). Tema ini perlu diungkapkan untuk menanggapi satu komentar engineer di blog ini, yang rasanya perlu juga untuk diketahui engineer-engineer lain . Jika tidak maka akan terkesan bahwa kita (para engineer indonesia) termasuk pada kategori engineer kurang berilmu. Penyebabnya karena merasa di luar sana, banyak dijumpai bentuk-bentuk bangunan yang aneh (menurut ukuran kita di sini), padahal bentuk seperti itu diusahakan dihindari untuk dibangun di Indonesia.

Komentar yang kumaksud adalah :

Dear Pa Wir dan Engineers,

Di luar sana, komunitas Teknik sipil (khususnya struktur) tidak lagi membicarakan tentang Disain Tahan Gempa dengan bentuk-bentuk geometris bangunan dan beban yang “harus” simetris.

Ini sumber komentar tersebut, yaitu pada tulisan saya tentang “struktur menurut  arsitek”.

Saya tidak tahu bagaimana perasaan atau tepatnya pikiran anda (para engineer) dengan komentar di atas. Anda setuju atau tidak. Saya yakin pasti ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Anda termasuk yang mana.

Jika setuju berarti anda mengakui bahwa di luar sana, memang terdapat komunitas teknik sipil (khususnya struktur) yang telah keluar dari kebiasaan para ahli struktur di sini (Indonesia). Mereka telah mempunyai kemampuan mengatasi apa yang masih disebut sebagai problem-problem pada perencanaan pada bangunan gedung, yang selama ini masih kita hadapi, yaitu hindari bangunan tinggi dengan bentuk tidak beraturan.

Jika anda setuju dengan komentar di atas, maka berarti anda mengakui bahwa engineer kita (di dalam negeri sini) kurang berilmu dibanding engineer di luar sana (manca negara). Jadi kalau begitu bersiap-siaplah untuk menjadi bawahan dari engineer manca-negara yang datang dari luar sana. 🙂

Mau ?

Wah ini, kalau sudah ditantang ego seperti itu, pasti mikir dua kali. Betul khan. Maklum, objekannya bisa lari.

Kalau pak Wir bagaimana ?

Lho koq masih bertanya. Ngapain saya membuat tulisan ini jika pada dasarnya saya meng-amini komentar di atas.  Tetapi seperti biasa, saya tidak bisa sekedar menjawab ya atau tidak, maklum terbiasa sebagai guru maka saya perlu menjelaskan argumentasi yang mendasari mengapa saya berkeberatan dengan komentar tersebut. Ini penting sekaligus untuk mengevaluasi, siapa tahu gurunya masih kurang berilmu. Kasihan khan murid-muridku kalau begitu. 🙂

Pertama-tama kita perlu mengetahui, mengapa masih ada engineer-engineer yang berpendapat seperti itu.

Lho khan memang banyak bangunan-bangunan yang kesannya berbentuk sembarangan, tidak harus simetris  sebagaimana yang selalu diterapkan pada bangunan tahan gempa itu khan pak.

O itu, seperti misalnya ini ya :

Gambar 1. National Stadium, Beijing (Sumber : www.chinalandscapes.com)

Gambar 2. Apartemen Habitat 67, Canada  (Sumber : www.westland.net )

Gambar 3. Linked Hybrid, Beijing (Sumber : www.exinteriordesign.com )

Gambar 4. Apartemen Beacon, Netherland (Sumber : urbanpeek.com )

Gambar 5. Burj Al Arab Hotel, Dubai (Sumber : hotelbeam.blogspot.com)

Gambar 6. Samitaur Tower, Culver City, CA (Sumber : www.archdaily.com )

Wah kelihatannya banyak juga ya gedung-gedung tidak beraturan yang dibangun, bahkan ini ada salah satu bangunan yang dari kaca mata struktur cukup nggegirisi (beresiko tinggi) bentuknya, yang berhasil dibangun di Abu Dhabi.

Gambar 7. Capitol Gate Tower, UEA (Sumber : www.worldinteresting.com )

Bentuk bangunan di atas, mempunyai kemiringan yang lebih besar dari menara Pisa. Bedanya tentu saja, jika Pisa miring karena alam, sedangkan bangunan di atas memang direncanakan agar terlihat miring. Tapi dari luarnya saja lho, di dalamnya, lantainya tetap horizontal. Kalau miring, mana ada penghuninya. Betul khan.

Yah itulah kelihatannya fakta-fakta yang dijumpai di luar sana. Cukup mengagumkan. Mungkin itulah beberapa bukti yang membuat engineer kita tersebut berkomentar seperti di atas. Mengapa kita di Indonesia koq nggak berani. Kurang berilmu pikirnya.

Nah bagaimana itu pak Wir. Ada fakta lho. Jadi kalau begitu, betul juga komentar tersebut. Ngapain sih Bapak ngotot. 

Ngotot, ah nggak dik. Maklum, saya tidak punya otot yang dapat dibanggakan. Bukan olahragawan sih. 🙂

Memang, dalam proses keilmuan ada yang namanya dugaan yang dibuat. Bahasa kerennya adalah hipotesis. Bilamana dugaan tadi mendapatkan pembenaran secara empiris maka bisa jadi itu menjadi suatu kebenaran ilmiah. Jadi, bisa saja komentar yang disampaikan di atas tadi dianggap sebagai suatu dugaan atau hipotesis dari seorang salah seorang enginer kita, kemudian ketika dapat disajikan fakta empiris yang mendukung dugaan tadi, apakah berarti komentar tadi mendapatkan pembenaran ilmiah juga. Begitu ya.

Teknik seperti di atas, yaitu mencoba menarik suatu kesimpulan umum berdasarkan kasus-kasus individual (dari gambar-gambar bangunan yang aku sajikan) dalam filsafat ilmu pengetahuan disebut sebagai induksi.

Induksi, yah-yah saya pernah dengar itu. Jadi betul khan pak Wir ?

Apa yang sudah betul ?

Apakah karena pada kalimat penjelasan saya di atas memakai kata “memang” di awalnya sehingga itu diartikan kalau saya setuju.

Begini dik, suatu kebenaran memang kadang sifatnya relatif. Bagi orang awam atau tepatnya engineer yang masih terbatas wawasannya maka dengan strategi penyampaian fakta yang saya kemukakan, akan dengan mudah terkecoh. Dianggapnya memang begitu adanya, bahwa orang luar sana saat ini memang tidak peduli lagi dengan prinsip-prinsip bentuk yang harus tertentu untuk suatu struktur tahan gempa. Kenapa alasannya, karena memang banyak dijumpai gedung-gedung seperti itu sebagaimana yang terlihat pada gambar-gambar di atas tersebut.

Padahal yang betul adalah bahwa bentuk-bentuk bangunan sangat menentukan juga dalam perencanaan tahan gempa. Ada bentuk-bentuk yang disebut [1] beraturan; dan ada bentuk yang [2] tidak beraturan. Contoh-contoh yang disampaikan di atas termasuk dalam kategori bangunan tidak beraturan.

Mengapa peraturan perlu mendeskripsikan seperti itu, maka seorang engineer yang berilmu tentu harus tahu, mengapa. Jadi jangan sekedar bisa memasukkan input pada software Etabs atau SAP2000 saja menjadi seorang engineer yang berilmu itu. Inilah yang ingin aku kemukakan pada murid-muridku di kelas Komputer Rekayasa Stuktur di UPH. Kalau hanya bisa menginput ke program dan menjalankan secara sukses, itu namanya bukan engineer, level tukang juga bisa. Jika aku latih tentunya. 🙂

Apakah input data pada program ETABS atau SAP2000 itu ditanyakan juga apakah bentuk strukturnya beraturan atau tidak beraturan pak Wir ?

Itulah yang terjadi saat ini. Adanya program seperti itu menyebabkan banyak pengetahuan yang kita pelajari saat mahasiswa, terlihat tidak ada dampaknya dalam dunia praktis.

Coba aku tanya, masih ingatkah kamu tentang struktur statis tertentu dan struktur statis tak tentu (statically indeterminate structure). Kalau masih ingat, syukurlah. Kalau tidak, kebangetan itu. Pertanyaan berikutnya, menurutmu apakah istilah itu masih juga berguna jika kamu melakukan analisa struktur dengan program SAP2000 atau sebangsanya.

Saya kira pertanyaan itu perlu juga diungkapkan kepada engineer senior, yang telah malang melintang lama memakai program tersebut. Juga yang di dunia pendidikan, yang mengajar mata kuliah analisa struktur. Jika anda semua merasa bahwa pengetahuan tentang statis tertentu dan statis tak tentu dalam era sekarang ini dianggapnya sudah usang dan tidak berguna lagi. Maka disitulah sebenarnya anda telah menjadi tukang insinyur. Bekerja hanya sebagai suatu ketrampilan yang bisa karena biasa. Anda sekali-sekali perlu duduk di kelas saya. 🙂

Lho bagaimana sih maksudnya pak Wir. Istilah bentuk beraturan atau tidak beraturan, juga statis tertentu dan tidak tertentu. Tidak dipakai ya jika memakai program ETABS atauSAP2000 itu.

Memang dik, istilah-istilah tersebut tidak digunakan secara eksplisit ketika memakai program-program tersebut. Tetapi itu semua masih diperlukan dalam benak engineer pemakai program tersebut dalam upaya memprediksi keluaran yang dihasilkan program tersebut.

Tujuan utama dalam menggunakan program-program tersebut, apa sih. Itu khan digunakan umumnya pertama-tama adalah analisa struktur, selanjutnya adalah desain penampang. Nah disini yang mau saya katakan, analisa struktur itu apa yang ingin diharapkan. Itu khan tidak sekedar mendapatkan angka-angka yang berisi gaya-gaya internal, reaksi tumpuan atau lendutannya saja bukan. Bagaimanapun yang utama yang perlu kita dapatkan adalah bahwa dari angka-angka tersebut kita bisa memprediksi perilaku struktur terhadap suatu pembebanan. Tentang hal itu, maka penggolongan-penggolongan yang dihasilkan dari ilmu lama, seperti statis tertentu dan tak tentu sudah sangat membantu mengkelompokkan perilaku struktur yang khas. Jadi kalau kita sudah tahu perilaku struktur yang akan kita analisis dari batasan tersebut, maka sebenarnya kita sudah tahu keluaran yang akan dihasilkan secara kualitatif, adapun fungsi program-program tersebut hanya memberikan data kuantitatifnya saja.

Itulah mengapa jika anda telah bertahun-tahun memakai program komputer, tanpa tahu kegunaan pengetahuan statis tertentu dan tak tentu, maka aku bisa mengatakan bahwa ketrampilan anda itu hanya sekedar bisa karena biasa. Itu khan level tukang. 🙂

Apakah level tukang salah pak Wir ?

O iya tentu tidak juga dik. Itu perlu juga, karena tidak semua harus perlu pemikiran yang mendalam. Seperti kalau membangun suatu bangunan tinggi, tukang-tukang juga sangat diperlukan. Ingat nggak, untuk membangun tower petronas di Malaysia itu, tukang-tukangnya expatriat. Ada yang dari Indonesia lho. 🙂

Jadi sebenarnya, apa sih maksud pak Wir nulis panjang-panjang ini ?

Lho belum ketangkep ya. Baik aku rangkum saja ya. Intinya adalah adanya bangunan-bangunan yang terlihat aneh pada dasarnya tidak aneh. Itulah yang disebut bentuk bangunan tidak beraturan, suatu bentuk bangunan yang tidak ideal jika digunakan sebagai struktur tahan gempa.

Pemaksaan penggunaan bangunan-bangunan seperti itu, tidak berarti kalau terjadi gempa pasti akan runtuh. Bukan seperti itu. Jika demikian pastilah akan dilarang penggunaannya. Hanya saja jika terus dipaksakan, dan dapat direncanakan dengan mengatasi masalah-masalah yang timbul maka dapat dipastikan bahwa effort maupun hasilnya akan lebih mahal dan tidak seekonomis , serta lebih beresiko dibandingkan jika digunakan bentuk bangunan yang beraturan. Itu sebenarnya yang ingin aku katakan, jadi jangan lalu merasa minder, mengapa kita di sini tidak pernah membuatnya. Jika sudah punya uang berlebih dan ingin punya bangunan yang diutamakan penampakan luarnya saja (monumental) maka silahkan saja.

Jadi jangan sedikit-sedikit terkagum-kagum deh dengan orang luar sana.

Catatan : sebenarnya saya masih ingin menulis mengapa bentuk bangunan tidak beraturan, disebut tidak ideal untuk bangunan tahan gempa. Kelihatannya sudah cukup panjang, lain kali saja ya.

7 tanggapan untuk “kurang berilmu (2)”

  1. arif Avatar

    Yup setuju, kala ini banyak arsitek yang semakin kreatif dalam design bangunan. Tapi sayangnya, saat bicara biaya struktur, Owner nya teriak…..

    Saat ditanya, jawabnnya simple aja, bentuknya kan komersil pak, selain itu harus tahan gempa, jadi wajar dong kalo mahal… 🙂

    Suka

  2. Friandos Barus Avatar
    Friandos Barus

    Engineer di Indonesia tidaklah kalah dengan engineer bule sana, Borobudur mungkin salah satu struktur aneh bagi para engineer bule, buktinya mereka sering datang mengamatinya.
    🙂
    Saya juga tidak mengamini tulisan diatas, tapi memang benar saya salah satu engineerr kurang berilmu dan kurang pengalaman, tapi banyak senior kita yg hebatnp, baik di akademis ataupun parktisi lapangan (wiratman, yoyong afriadi)

    Suka

  3. juragan iwal Avatar

    Jadi, pak Wir…. Ilmu para engineer di Indonesia dibatasi oleh owner yang suka ngirit (baca: pelit), padahal kalo ditanya berani atau nggak, engineer kita berani-berani. Tapi begitu ditanyain ke owner… berani ngga?.. Paling mereka jawab, “Nggak ah.. mahal…”

    Bangunan beraturan aja masih sering dikebiri… bagaimana bangunan yg ngga beraturan.. 😀

    Saya barusan berhadapan dengan owner yang menjerit liat biaya struktur yang segede gajah. Padahal bangunannya cuma kotak sederhana… (emang ada kotak ngga sederhana??). Itupun udah pake ukuran super mini yang masih memenuhi persyaratan struktur. Haduuh…..

    Suka

  4. umaee Avatar

    Semoga bangunan ilmuya dipupuk dari basik pondasi yang kuat

    salam umaee 😀

    Suka

  5. anjabudhisatria Avatar
    anjabudhisatria

    tentunya orang luar negri punya berbagai kelebihan daripada kita,tapi kita juga tidak boleh rendah diri, kita juga punya potensi untuk melampaui mereka..

    saya tunggu untuk tulisan bangunan tak beraturannya pak..

    Suka

  6. […] Berbicara tentang ilmu tentu menarik sekali, apalagi memang pekerjaan penulis dalam hal ini  terkait sekali dengan proses penyebaran ilmu itu sendiri. Maklum guru. Oleh karena itu posting ke dua ini juga masih bertema “kurang berilmu”. Tulisan saya kali ini akan … Continue reading → […]

    Suka

Tinggalkan komentar

I’m Wiryanto Dewobroto

Seseorang yang mendalami ilmu teknik sipil, khususnya rekayasa struktur. Aktif sebagai guru besar sejak 2019 dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang. Juga aktif sebagai pakar di PUPR khususnya di Komite Keselamatan Konstruksi sejak 2018. Hobby menulis semenjak awal studi S3. Ada beberapa buku yang telah diterbitkan dan bisa diperoleh di http://lumina-press.com