Terus terang sebenarnya nggak mantap juga memakai judul “Aku cinta bahasa Indonesia”, rasanya koq terlihat berlebihan. Apa perlu menyatakan seperti itu. Apakah itu tidak berarti bahwa memang ada masalah dengan penggunaan bahasa Indonesia. 😦
Ah nggak boleh curiga-curigaan lhan. Nggak baik.
Ok, terlepas dari masalah itu, terus terang aku sebenarnya terkesan dengan gerakan dari Balai Bahasa Yogyakarta yang bekerja sama dengan anak-anak muda Yogyakarta, yang fotonya aku lihat di Facebook di sini. Mohon ijin ya, boleh aku promosikan lagi dengan aku muat di blog ini. Matur nuwun.
Gambar 1. MERAH melambangkan keberanian untuk memakainya
Gambar 2. PUTIH melambangkan kesucian untuk tetap diperjuangkan
Pertama-tama tentu diucapkan salute pada anak-anak muda tersebut, yang berani tampil untuk menyatakan kembali bahwa penggunaan bahasa Indonesia adalah sesuatu yang penting, yang menunjukkan jati diri adanya negara Indonesia ini, yang merdeka, yang mandiri dan bukan sekedar negara bekas jajahan.
Negara jajahan gimana pak Wir ?!!! . Kita khan sudah angkat senjata mengusir penjajahnya. Kalau datang, kita lawan, bahkan sampai titik darah terakhir !
Yah tipikal pernyataan khas bangsa ini. Sangat mudah tersinggung dengan kata-kata. Seperti tempo hari ketika Dirjen Dikti menginstruksikan kewajiban publikasi di Jurnal Ilmiah, maka banyak tanggapan yang menolak. Adapun argumentasi penolakan itu adalah karena alasan Dirjen Dikti adalah hanya karena nggak mau kalah dengan Malaysia. Jadi nggak valid-lhah jika ditidaklanjuti. Padahal mereka yang menolak itu malu mengatakan bahwa itu kewajiban yang mereka tidak mampu lakukan.
Jadi sekarang terlihat jelas, jika dari kalangan intelektual saja merasa tidak punya keberanian untuk melaksanakan kewajiban publikasi tersebut, lalu bagaimana tindak lanjut anak-anak muda yang berspanduk di atas.
Maksudnya pak Wir, apa hubungan publikasi di jurnal dan penggunaan bahasa Indonesia. Koq nggak nyambung.
Itulah dik. Jika adik sampai bertanya seperti itu, berarti adik belum tahu apa pentingnya bahasa. Bahasa tidak sekedar alat untuk komunikasi, bahasa juga merupakan identitas diri. Dadhos menawi kawulo saged nyerat kadhos menika, dan anda tahu artinya, berarti anda sedikit banyak pernah di Jawa tengah atau bahkan di Jogja (atau Solo) dan sekitarnya, atau minimal pernah atau sering bertemu orang Jawa secara intensif. Jadi dapat dipahami, kalau bahasa juga pemersatu. Maklum tiap suku punya bahasa sendiri-sendiri khan.
Tidak itu saja, bahasa yang dituliskan diyakini sebagai ungkapan pikiran seseorang. Tidak sekedar alat komunikasi. Jadi dengan membaca tulisan ilmiah yang dibuat seseorang, berarti cara pikir ilmiahnya juga dapat dipahami. Jadi jangan harap, intelektual seseorang dapat dengan mudah dilihat dari cara berpakaian saja, tetapi harus dari ide (kalau lesan) dan tulisan yang dibuatnya. Jadi jangan bangga dengan gelar yang berderet-deret, tetapi ketika disuruh mengungkapkan ide, kesannya semrawut. Belum lagi kalau disuruh buat tulisan, bisa-bisa isinya nggak nyambung. Maklum sekedar copy and paste dari Wikipedia. 🙂
Sarjana dan bukan sarjana itu perbedaannya adalah pada cara berpikirnya, bukan pada gelar lho. Oleh karena itu sebenarnya sangat wajar jika seorang Dirjen Dikti meminta persyaratan wajib membuat tulisan ilmiah kepada para sarjana.
He, he, tentang usulan di atas, saya yakin sekali banyak teman-teman dosen yang melihatnya sinis. Maklum, karena jika itu dilaksanakan maka yang terkena imbas langsung khan dosennya juga. Padahal, dosen yang bisa menulis dengan baik juga hanya sedikit.
Pak, pak. Pak Wir, ini koq nglantur bicara tentang wajib publikasi jurnal. Gambar foto di atas khan anak-anak muda dengan spanduk cintai bahasa. Nggak nyambung juga pak.
He, he. Gini dik, saya hanya mau bilang. Anak-anak muda yang pegang spanduk di atas dan secara menyolok berdiri di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta, dimaksudkan bukan untuk orang yang lalu lalang di jalan itu saja. Tujuan yang utama adalah untuk mendapatkan perhatian atau publikasi ulang (seperti yang saya tulis ini). Kenapa begitu ?
Karena pengguna bahasa itu yang utama adalah para intelektual, dalam hal ini adalah produk akademisi atau pendidikan. Jadi himbauan pada spanduk itu akan efektif jika menjangkau para akademisi tersebut, dan dari merekalah sebenarnya yang harus merintis. Bukan dari orang jalanan. Nggak efektif.
Pertanyaannya, apakah para akademisi kita sudah memakai bahasa Indonesia dengan baik atau belum. Jangan ngomong doang, tetapi praktekkan. Jadi permintaan Dirjen Dikti untuk menulis jurnal itu sebenarnya suatu realisasi yang baik dari ide tersebut. Jadi jika ada pimpinan perguruan tinggi yang menolak ide tersebut maka pada dasarnya mereka juga tidak setuju ide diatas atau berarti tidak cinta bahasa Indonesia.
O ya tidak hanya itu saja, bahkan sekarangpun dari kalangan pendidikan tinggi di Indonesia ada yang bahkan terang-terangan mengganti gelar kesarjanaannya memakai gelar bahasa asing. Itu dalam konteks di atas (kemerdekaan bangsa Indonesia), berarti pengkhianatan bagi bangsa ini.
Apakah anda semua tinggal diam.
saya juga
http://pertamax7.wordpress.com/2012/04/27/sinnob-hadirkan-inovasi-baru-tanpa-rantai-pakai-v-belt-kayak-harley-davidson/
SukaSuka
Ayo kita Dukung Terus Cinta Bahasa Indonesia.. 😀
SukaSuka
cintailah negara indonesia kita sendiri , dan hargailah budidaya indonesia kita .
karna hanya indonesialah yang bisa mempersatukan bangsa orang lain . harus bangga menjadi orang indonesia .
SukaSuka
Cintalah Bahasa Indonesia…..
Bagaimana tanggapan Pak Wir dengan penggunaan bahasa asing dalam pengantar materi belajar d’sekolah/PT ?????
SukaSuka
Mengapa tidak, banyak materi berbahasa Indonesia yang kualitas isinya diragukan. Sebagai contoh, untuk mata kuliah Struktur Baja (I, II, dan III), saya masih mengandalkan buku CODE aslinya, yaitu AISC (2005). Mengapa demikian, karena belum ada buku yang mempunyai kualitas sama yang berbahasa Indonesia yang dapat dijadikan pegangan.
Bagaimana mengatasinya. Untuk itu, maka pertama-tama kita tidak usah malu jika memang materinya belum ada. Langkah ke dua, nggak usah menunggu sampai ada. Mulai dari diri sendiri, mulailah menuliskan dalam bahasa Indonesia yang baik. Tapi jangan sekedar copy and paste, atau Google Translate. Pastikan dari pemahaman yang benar dari diri sendiri, atau dengan kata lain dari ilmu yang dikuasainya. Apa yang ditulis adalah yang telah diyakini sendiri kebenarannya. Dengan semangat seperti itulah buku-buku saya tulis.
Jadi jangan asal pakai buku berbahasa Indonesia, hanya sekedar takut dicap tidak patriotik. Kalau memang materinya nggak baik, pakai saja buku asing. Maklum, ilmu yang saya ajarkan adalah eksak bukan politik, jadi pasti adanya.
SukaSuka
Aku cinta bahasa indonesia dan bahasa cinta
SukaSuka
iya
SukaSuka