Bagi yang memperhatikan statusku di BB, dapat dibaca tulisan : “Guru di bidang teknik sipil”. Tentang hal itu, sudah lama sekali itu terpasang. Hampir seumur BB itu sendiri. Selama ini rasanya belum pernah ada yang memberi tanggapan, atau bisa-bisa memang tidak ada yang memperhatikannya. Maklum profesi guru adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Seperti profesi-profesi lainnya, pilot, tukang, tentara dan semacamnya.
Profesi-profesi tersebut dipilih sebagai salah satu cara untuk mencari nafkah. Jadi menjadi gurupun juga demikian, agar diperoleh gaji tetap. Guru saat ini memang menarik, selain mendapatkan gaji dari sekolahnya, bagi yang lolos sertifikasi juga bisa mendapatkan tunjangan pemerintah. Itu lho yang disebut guru profesional. Jadi terlihat memang ada perbaikan dibanding jaman dulu, yang sampai-sampainya disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Saat ini memang bagi guru yang smart dan sedikit beruntung maka “jasa” itu ada.
Jika hanya sebagai profesi yang digaji, maka untuk disebut guru cukup mencari institusi pendidikan atau tepatnya sekolah yang memerlukan tenaga mengajar. Jika punya modal ijazah yang sesuai, kepercayaan diri untuk tampil, dan juga sedikit belajar modul-modul pembelajaran yang sudah ada maka tentunya peran menjadi guru dapat dikerjakan tanpa ada masalah.
Jadilah disebut pak guru atau bu guru . . . .
Cara tersebut jelas tidak memerlukan strategi khusus agar orang mau jadi murid, maksudnya guru tidak perlu mencari murid dan juga sebaliknya. Orang yang mau sekolah atau mendapatkan pengajaran memilihnya berdasarkan pada nama sekolahnya dan bukan nama gurunya. Guru dalam hal ini adalah salah satu perangkat yang dipunyai sekolah, yang dibayar.
Kondisi itulah sebagian besar yang terjadi. Secara personal, guru bukanlah sesuatu yang istimewa. Bisa anonim sifatnya. Kondisi serupa bisa juga terjadi di perguruan tinggi. Itu terjadi jika fokus utama gurunya hanyalah di bidang pengajaran di depan kelas saja.
Maklum dengan cara seperti itu, tentu perlu ditanyakan: kapan meng-up-dated materinya.
Jika itu terjadinya di level sekolah menengah, masih wajar. Maklum materinya relatif terbatas, namanya saja menengah. Tetapi jika itu juga terjadi di perguruan tinggi, maka akan berbeda. Maklum untuk bisa disebut tinggi khan di atas. Harus selalu ditambah dan di up-to-dated materinya. Adanya kepentingan itulah maka khusus di perguruan tinggi dikenal akan adanya Tridharma Perguruan Tinggi. Guru di perguruan tinggi yang umum disebut dosen punya hak untuk selain mengajar, juga perlu meneliti dan menulis serta melakukan pengabdian pada masyarakat.
Itu adalah prosedur yang memungkinkan dosen melakuan penggalian, pengembangan dan pematangan materi yang menjadi peminatannya, yaitu melalui penelitian dan kepenulisannya. Jika sudah dianggap matang, selain dapat digunakan sebagai bahan mengajar maka untuk kondisi tertentu dapat dilakukan pengujian ke masyarakat di luar kampusnya sendiri. Sehingga ilmu atau materi yang didapat dapat bersifat universal kebenarannya. Cara tersebut adalah pengabdian pada masyarakat.
Itu pula yang menyebabkan guru di tingkat perguruan tinggi atau dosen, boleh terlihat hanya duduk-duduk saja menulis di meja dan tidak mengajar di kelas, khususnya kalau kelas opsional seperti masa-masa semester pendek. Sah-sah saja itu.
Itulah mengapa guru yang disebut dosen (karena di perguruan tinggi) dapat menonjol atau dikenal dari pribadinya. Maklum dianya akan berbeda dari strateginya dalam mengup-dated dan meningkatkan diri melalui penelitian, kepenulisan dan pengambdian pada masyarakat, yang mungkin bisa berbeda dari dosen satu dengan dosen lainnya, meskipun mungkin dalam hal ini institusinya sama.
Jadi kalau demikian kesannya, maka guru kalah sama dosen. Tetapi aneh juga ya, mengapa saya dapat dengan santai atau bahkan bangga menulis sebutan “guru di bidang teknik sipil”, mestinya khan “dosen teknik sipil”.
Menarik memang. Sekarang kita coba situasi yang lain, tidak lagi membahas pelajaran di sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi. Kita membahas materi atau ilmu tepatnya yang dapat dengan luas dievaluasi tingkat kehebatannya. Maklum kita tentu agak susah untuk mengevaluasi tingginya ilmu teknik sipil seseorang, karena umumnya hanya dilihat dari gelar. Tapi coba kita tinjau ilmu bela diri, silat misalnya. Orang yang dianggap tinggi ilmu silatnya maka disebutlah sebagai guru silat. Nggak ada itu disebut dosen silat. Betul khan. Orang awam pasti akan tahu bedanya antara seorang pesilat biasa dan guru silat. Gelar guru (silat) jelas berbeda sekali artinya dibanding gelar guru (sekolah) yang hanya sekedar profesi tersebut. Untuk dapat disebut guru silat tentunya perlu menunjukkan prestasi yang berbeda dari pesilat-pesilat lain dan diakui juga tingkat ilmunya. Selanjutnya untuk melengkapi atribut sebagai guru, maka orang tersebut tentunya perlu punya murid. Semakin banyak muridnya maka semakin hebatlah orang itu untuk disebut sebagai guru. Pada kasus tersebut bahkan tidak perlu memasukkan institusi, kalaupun mungkin ada maka itu dikarenakan muridnya semakin banyak.
Jadi dalam kasus guru silat tersebut yang mula-mula ada adalah seorang yang mumpuni di bidang ilmu silatnya, yang diakui keberadaannya oleh masyarakat di luar dirinya tentunya. Selanjutnya ada anggota masyarakat yang terkesan dan berkeinginan menimba kehebatan ilmunya, sehingga guru tersebut akhirnya mengajarkan keahliannya. Jadi orang itu murid dari guru tersebut. Jika muridnya bertambah terus, dan untuk memudahkan mengorganisasikan maka dibentuklah institusi.
Itulah esensi guru secara alaminya, dan itulah mengapa saya lebih bangga untuk dapat disebut “guru teknik sipil”, yang analoginya sama seperti “guru silat” tersebut.
Keinginan itu mendapatkan jalan lebih mudah, maklum aku bekerja sebagai dosen sehingga secara otomatis aku punya murid dengan kondisi seperti sekolah menengah, yaitu agar secara formal dapat lulus dari gurunya yang tugasnya menilai. Jadi dalam hal ini bukan seperti guru silat di atas (murid mencari guru). Itu berarti agar dapat menjadi guru yang dimaksud harus keluar atau tidak terbatas pada kampus saja tetapi masyarakat luar yang akhirnya dapat menilainya sendiri apakah pantas untuk disebut “guru di bidang teknik sipil” atau sekedar “staff pengajar di bidang teknik sipil” belaka.
Untunglah aku bukan guru silat, tetapi guru dibidang ilmu yang mengandalkan pikiran dan ide. Jadi nggak perlu keluar keringat untuk berjumpalitan kesana kemari karena jika pikiran atau ide yang ingin diungkapkan maka bahasa tulisan sudah sangat memadai. Itulah makanya saya menulis dengan antusias di blog ini. Paham tho sekarang.
Akhirnya strategi tersebut mulai menuai hasil. Mulai banyak yang ingin menjadi “murid” dan meminta aku untuk datang mengajarnya. Adapun yang meminta sudah tidak terbatas pada murid di kampusnya tetapi sudah mulai pada tingkat nasional.
Mengajar pak Wir, apa bukan sekedar presentasi di seminar-seminar itu. Itu khan biasa setiap dosen yang meneliti pasti bisa.
Betul dik, saya tidak menyebutnya presentasi tetapi mengajar, maklum dari segi bobot waktunya saja berbeda. Kalau hanya sekedar presentasi di seminar-seminar untuk masuk prosiding maka waktunya khan hanya terbatas, bisanya hanya dikasih waktu 15 menit atau paling lama 30 menit, itu saja jika pesertanya sedikit. Nah aku sebut itu mengajar karena waktunya lebih dari 2 jam. Itu khan bobot mata kuliah 2 atau 3 sks khan.
Jadi mulailah peranku sebagai guru teknik sipil, bulan lalu tanggal 9 Mei 2012 aku mengajar di Jogja (UAJY), lalu akhir bulan mei atau tanggal 31 Mei 2012 aku mengajar di Jakarta (YAI) dan yang kemarin sabtu kemarin (9 Juni 2012) adalah mengajarku yang paling jauh, yaitu di Batam di kampus Unrika. Kondisi itu tentu saja membuatku bahagia bahwa posisiku sebagai guru mulai dapat terwujud, tidak sekedar karena aku digaji oleh institusi tetapi karena ada orang yang ingin menjadi murid (diberi pengajaran).
Ingin tahu betapa senangnya jadi guru, inilah dokumentasi yang aku buat di sana (Batam).
Gambar 1. Jembatan cable-stayed di P. Batam
Jembatan pada Gambar 1 adalah ikon kota Batam, disanalah aku nantinya akan mengajar, menjadi guru di bidang teknik sipil bagi murid-murid di sana.
Gambar 2. Bandar udara kota Batam
Ternyata bandar udara kota Batam sangat besar, bandar udara Adisucipto kalah besar, bahkan ada yang bilang kalau bandar udara Medan juga kalah besar. Betul juga, naik turun ke pesawat pakai Garbarata, jadi seperti yang di Jakarta.
Dari dua gambar di atas maka jelaslah bahwa menjadi guru dan mengajar di Batam dapat disebut juga sebagai “guru terbang” , aneh juga ya, tetapi kalau ini istilahnya agak umum, yaitu “dosen terbang”. Untunglah jadi guru, karena ada yang meminta untuk mengajar maka aku dapat mengunjungi kota Batam. Kuper ya baru sekali itu di kota tersebut. 🙂
Gambar 3. Menu makan pagi, ikan segar.
Menjadi guru ternyata tidak kalah dari para pejabat yang ada, dalam hal ini yang menjemput guru (dosen) juga, yaitu bapak Ir. Teddy Tambunan, MT. dari institusi tuan rumah, yaitu Universitas Riau Kepulauan (Unrika), Batam. Sambutan awal ternyata meriah juga, diajak untuk menikmati hidangan ikan segar. Memang, ternyata segar betul ikannya, situasi kalau di Jakarta hanya ada ditempat-tempat tertentu, yang sayangnya saya sendiri tidak tahu. Tetapi di Batam yang kebetulan tidak terlihat macet, dapat dengan mudah menuju restoran ikan segar tersebut. Wah melihat foto di atas, jadi pengin lagi nih. 🙂
Sebagaimana dijanjikan sebelumnya bahwa nanti akan dibawa jalan-jalan untuk melihat jembatan-jembatan terkenal di sana. Karena bantuan dari pak Teddy maka aku sempat melihat jembatan-jembatan yang dimaksud. Inilah beberapa dokumentasi yang aku dapat.
Gambar 4. Jembatan cable-stayed di P. Batam
Ternyata kalau dari dekat nggak begitu terlihat keindahan jembatan tersebut, untunglah aku sempat mengabadikannya ketika di atas pesawat (Gambar 1). Yah gambar di atas hanya sebagai bukti saja bahwa aku pernah ke sana. 🙂
Gambar 5. Jembatan pelengkung beton terbesar di Indonesia
Jarak antara jembatan-jembatan tersebut cukup jauh, tetapi karena sepi maka terasa cepat. Inilah kira-kira jalan yang dihubungkan oleh jembatan-jembatan tersebut.
Gambar 6. Jalan-jalan antar jembatan
Sangat sepi sekali ya jalan-jalan tersebut. Itulah infrastruktur yang disiapkan pak Habibie agar Batam berkembang. Jadi hitungannya bukan sekedar faktor untung dan rugi saja, maklum masih sangat sepi. Jadi disini jalan tersebut diharapkan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, meskipun untuk itu tergantung dari kebijakan pemerintah dan adanya penanaman modal di daerah tersebut. Tetapi omong punya omong, untuk berinvestasi di Batam tidak gampang, maklum meskipun terlihat sepi dan kosong, ternyata semua tanah tersebut sudah ada pemiliknya dan tinggalnya di luar Batam. Nah, lho.
Setelah di ajak berkeliling kota Batam segeralah kami bersiap-siap ke hotel, karena pengajaran akan segera dimulai. Inilah suasana tempat aku akan mengajar di Batam ini, yaitu gedung pertemuan Unrika Batam.
Gambar 7. Acara sebelum dimulai
Duduk di depan, dari kiri ke kanan : Dekan FT. Unrika Batam (Ibu Ir. Dian Hastari, MT.), moderator acara (Bapak Ir. Teddy Tambunan, MT.), penulis, Kepala Dinas Tata Kota Batam (Bapak Gintoyono Batong), tamu undangan.
Gambar 8. Panggung tempat mengajar
Terus terang dari berbagai acara tempat aku mengajar atau presentasi, baru sekali ini saja aku menemukan spanduk yang menampilkan foto pribadiku. Bahkan di kampusku sendiripun, aku belum pernah menemukan spanduk seperti itu. Ternyata mereka sangat antusias menyambutku. Jika para “murid” antusias, maka tentu gurunyapun akan demikian adanya. Kerja keras mempersiapkan makalah terbayar sudah, ada suatu rasa “lega di hati”.
Gambar 9. Peserta mata kuliah tamu di Unrika Batam
Pesertanya cukup banyak, maklum semua perguruan tinggi di Batam yang mempunyai Jurusan Teknik Sipil ternyata berkenan memenuhi undangan untuk ikut acara ini. Kelihatannya acara kuliah di Batam ini merupakan puncak dari serangkaian kuliah umumku, yang berawal di Jogjakarta (UAJY – 9 Mei 2012) dan Jakarta (UPI-YAI – 31 Mei 2012) tentang topik yang sama yaitu “kesiapan kita (calon insinyur dan insinyur teknik sipil tentang gedung tinggi; super-tinggi dan mega-tinggi). Ternyata yang paling akhir dan paling jauh lokasinya menjadi semakin semarak. Itu terjadi karena meskipun jauh mereka ternyata pembaca setia blog ini. Jadi ada baiknya aku up-load semua foto yang ada, mereka pasti menunggu.
Gambar 10. Key-noted speaker dari Dinas Tata Kota Batam
Untuk menunjukkan pentingnya acara Kuliah Umum yang diselenggarakan maka diundanglah Kepala Dinas Tata Kota Batam, Bapak Gintoyono Batong sebagai Key-noted Speaker. Karena menjadi pembicara pertama maka uraian yang disampaikan dapat mengawali atau tepatnya sebagai pengantar untuk masuk pada permasalahan gedung tinggi yang lebih spesifik. Terima kasih pak Gintoyono, dengan demikian Kuliah Umum yang diselenggarakan di Unrika ini tidak sekedar perkuliahan biasa bagi mahasiswa, tetapi juga pengajaran kepada komunitas yang terlibat dengan permasalahan dan pengelolaan gedung-gedung tata kota Batam. Jadi bisa juga disebutkan sebagai suatu link-and-match, dunia kampus dan dunia masyarakat umum yang terkait tentunya.
Gambar 11. Berbagai gaya mengajar yang aku sampaikan
Kadang menarik juga melihat pose-poseku mengajar seperti di atas, apalagi kalau mengingat sifat dasar yang aku miliki yaitu introvet. Bagi teman-teman yang ketemu sehari-hari, yang awam, maka akan menduga aku ini seorang pendiam, ibarat gong, kalau tidak ditabuh tidak bunyi. Memang sih, kalau dari ilmu psikologi yang namanya introvet itu adalah tipe pemikir, perenung. Tapi ternyata kalau melihat fakta-fakta di atas, tidak berarti tidak bisa bicara. Kenapa begitu ya. Mungkin ada sedikit penjelasan yang dapat kuberikan, yang namanya introvet digabung dengan bidang profesi keilmuan kelihatannya pas sekali. Kenapa, karena ada objek yang dipikirkan dan direnungkan, dalam hal ini adalah bidang engineering. Jadi karena objeknya dipikirkan dan direnungkan kembali maka kedalamannya menjadi berbeda. Jadi mula-mula ketika masih sedikit hasil objek yang direnungkan maka memang terlihat diam, tetapi jika terus menerus memikirkan dan merenungkan, hasilnya menjadi semakin banyak. Itulah yang akhirnya menjadi sumber atau bahan untuk ditulis dan diajarkan.
Itulah mengapa ketika aku diminta untuk berbicara atau membahas tentang gedung tinggi saja, maka waktu tiga (3) jam tidak terasa. Bahkan kalau diberi kesempatan tambahan, masih memungkinkan.
Ada hal yang khusus juga dengan introvet, yang mungkin tidak dapat mulai menyapa terlebih dahulu (orang lain melihatnya pasif, pemalu dan semacamnya), tetapi jika dunia luar antusias menerima si introvet tersebut, wah sudah deh. Gaya mengajar jadi seperti mengajar anak-anak murid di kampusnya sendiri, sangat bersemangat. Lihat khan, nggak puas hanya duduk manis di panggung.
Gambar 12. Sesi tanya-jawab
Sesi tanya jawab pada dasarnya adalah sesi yang menarik. Mengapa demikian, karena dari sesi tersebut akan ketahuan seberapa besar perhatian peserta terhadap materi yang disampaikan.
Gambar 13. Bersama Dekan Unrika, ibu Ir. Dian Hastari, MT.
Terus terang acara pemberian kenang-kenangan terlihat meriah karena ketika moderator menyatakan selesai para mahasiswa pada antusias naik ke atas untuk meminta tanda tangan dari buku makalah yang aku bawakan pada sesi mengajar tersebut.
Gambar 14. Sekali-sekali tanda-tangannya dicari-cari 🙂
Benar sekali, buku makalah. Itu dapat dimaklumi karena mengajarku lama, lebih dari tiga (3) jam maka tulisan yang aku buatpun juga tebal. Kira-kira 97 halaman, jadi ketika panitia membuatkan dalam bentuk buku, yah cukup wajar saja. Inilah buku dan kenang-kenangan dari Dekan yang aku terima.
Gambar 15. Buku makalah dan vandel
Aku sebut buku karena tidak sekedar foto copy dan dijilid, maklum mendapat sponsor dari Erlangga. Tahu sendiri bukan. Pada lembar ke-2 itulah mereka, para murid pada minta tanda-tangan. Yah, seperti artis saja kelihatannya. Inilah para peserta kuliah yang sangat antusias.
Gambar 16. Universitas Riau Kepulauan (Unrika)
–
Gambar 17. Universitas Batam (Uniba)
–
Gambar 18. Universitas International Batam (UIB)
–
Gambar 19. Ketua panitia, Dekan, Moderator dan “guru”
–
Tidak lupa berfoto bersama dengan para panitia acara, Himpunan Mahasiswa Sipil Unrika, Batam.
Gambar 20. Panitia acara HMS FT-Unrika
Ternyata sisi-sisi kehidupan sebagai guru, menarik juga.
Semoga apa yang aku sampaikan bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa maupun peserta kuliah umum tersebut. Tuhan memberkati.
O ya, apresiasi khusus bagi juru foto yang banyak membantu.
Gambar 21. dengan sang juru foto (kiri)
mantap pak. maju terus guru Indonesia…..
SukaSuka
Yaaa… kecewa ga ketemu pak Guru Wir. Nanti kalo ke Batam woro2 lagi, pak.
SukaSuka
Pak Wiryanto,
Mohon maaf tidak bisa bertemu dan reuni kecil SMA di Univ tempat saya mengajar ini pak karena ada acara di Jakarta, semoga bisa bertemu di lain waktu. nanti calling calling klo ada kesempatan bagus.
Antonius Yunianto
SukaSuka
Kami Dari Keluarga Besar HIMPUNAN MAHASISWA SIPIL Universitas Riau Kepulauan Batam….
Mengucapkan Banyak terima Kasih Atas Kedatangan Bapak ke Universitas Riau kepulauan …
Semoga dengan Adanya Silahturahmi ini Kami bisa menambah Ilmu Pengetahuan mengenai GEDUNG TINGGI & SUPER TINGGI yang ada Di Negara kita Ini…..
Mohon maaf bila Ada perkataan & perbuataan yang kurang berkenan dihati bapak..
Salam Hormat,
(HMS-Unrika)
SukaSuka
Sama-sama dik, terima kasih juga atas kesempatan untuk menjadi guru di Batam. Karena kerja keras anda-anda semua, maka acara dapat berlangsung meriah. Salute untuk pembuatan bukunya, sesuai harapan yang saya inginkan.
SukaSuka
good luck pak 🙂
SukaSuka
Pak Wir, kami blh minta bahan ajarnya di batam tidak dlm bntk pdf biar kami2 yang ga smpat ke Batam, bs belajar juga? Hehe..
Terima kasih pak..
😀
SukaSuka
http://wiryanto.wordpress.com/2012/06/15/materi-kuliah-high-rise-nya-wiryanto/
SukaSuka
Ping-balik: materi kuliah high-rise-nya Wiryanto | The works of Wiryanto Dewobroto
Ping-balik: rencana seminar di UB – Malang, 10 Mei 2014 | The works of Wiryanto Dewobroto
Ping-balik: Testimoni Buku Struktur Baja Edisi ke-2 – The works of Wiryanto Dewobroto