Ada pertanyaan :
Doddy Tan pada 3 Mei 2013 pada 20:23 berkata:
Salam kenal pak. Saya Doddy. Mohon berkenan memberikan sedikit pencerahan kepada saya. Saya bukan dosen tidak tetap, tetapi diminta untuk menjadi dosen tetap, tetapi pada saat yang sama saya juga diminta menandatangi kontrak kerja berupa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ selama setahun yang kemudian akan dievaluasi dan atau saya yang mengajukan untuk mau melanjutkan kontrak lagi. Tidak ada jaminan dalam isi kontrak pkwt tersebut setelah habis masa kontrak saya pasti akan dijanjikan jabatan yang sama kembali.
Saya kuatir nasib saya seperti seorang teman dosen yang sudah rela meninggalkan pekerjaan tetap di sebuah perusahaan dan bergabung menjadi dosen tetap tapi dikontrak pkwt selama dua tahun, yg kemudian beliau dinilai tidak baik kinerjanya dan kontrak tidak disambung, sementara nama dia masih tercantum sebagai dosen tetap selama 4 tahun (artinya masih ada 2 tahun lagi).
Saya bingung, kenapa bisa ada dua pengangkatan, yang satu sebagai dosen tetap, satunya lagi ada pkwt?
apakah pekerjaan dosen termasuk ke dalam pekerjaan yang boleh di outsource? apakah ini berarti juga sebuah mannipulasi outsourcing terhadap profesi dosen ?terimakasih sebelum dan sesudahnya.
Tanggapan :
lho koq begitu ya ?
Yah namanya manusia khan bisa begitu. Meskipun nama bisnisnya institusi pendidikan, yang katanya untuk mencerdaskan bangsa, tetapi karena ada manusia di belakangnya maka implementasinya tentu bisa berbeda satu dengan lainnya. Selain itu ingat juga kata pepatah bahwa “rejeki orang beda-beda ada jalannya masing-masing”. Jadi apa yang terjadi pada orang lain, tidak mesti harus terjadi pada diri sendiri, demikian juga sebaliknya, yang bagi orang lain baik adanya maka bisa saja bagi kita tidak demikian adanya (buruk). Apa itu artinya, bahwa pada dasarnya tidak ada yang mutlak pasti.
Nah dengan cara pikir seperti itu, dalam rangka mengambil keputusan mau jadi dosen tetap atau tidak, maka langkah pertama adalah bertanya pada diri sendiri. Adakah “kepercayaan” kita kepada instansi yang akan kita masukin tersebut akan memberikan kebaikan kepada kita. Kepercayaan itu tentu akan menghasilkan keyakinan bahwa di sanalah kita akan berkembang.
Dalam menentukan kepercayaan tersebut tentu memerlukan informasi yang terkait, seperti misalnya reputasinya bagaimana. Juga posisi tawar kita bagaimana, seperti misalnya apakah anda punya gelar pendidikan yang lebih baik. Gelar bagi karir seorang dosen adalah sangat penting sekali. Jika anda masuk jadi dosen sudah punya gelar pendidikan tertinggi maka jelas posisi tawar anda tinggi juga. Tapi kalau masih S1 misalnya, wah itu rentan. Tetapi jika anda yakin dapat meraih gelar lebih tinggi seperti misalnya ada anggaran untuk sekolah lanjut, nah itu sebaiknya diterima. Itu akan menambah posisi tawar anda.
Juga reputasi institusi, menurut saya ini sangat penting. Bagaimanapun hebatnya anda, jika anda hanya sekedar jadi dosen di institusi tersebut (tidak mempunyai akses untuk menentukan kebijakan) maka bekerja pada institusi yang buruk hanyalah membuang-buang waktu saja. Bahkan bisa saja lama kelamaan anda yang akan terseret (menjadi buruk). Jadi hati-hati memilih institusi tempat bekerja. Kecuali memang nggak ada pilihan lagi. 😀
Jadi kalau melihat kebijakan yang diambil instasi anda, terlihat jelas bahwa instasi anda melakukan evaluasi. Itu biasa, bahkan menurut saya suatu instasi yang bermutu harus berani begitu. Nah dalam hal ini, anda diberi kesempatan kerja selama dua tahun tersebut maka gunakan waktu itu juga untuk perkembangan diri. Jadi jika pada saatnya nanti ternyata katakanlah instansi anda tidak mau memperpanjang lagi, merubah jadi kontrak, maka karena anda berhasil memperkembangkan diri maka anda tidak perlu kuatir. Cari lagi instasi lain yang mau menghargai anda.
Inti ceritanya, jika anda selalu dinamik untuk berkembang, maka tidak ada yang perlu ditakuti dengan perubahan di sekeliling anda. Tuhan memberkati.
Note tambahan :
O ya, jangan bayangkan bahwa profesi dosen lebih santai daripada kerja di perusahaan. Jika anda bekerja sebagai dosen saja, tidak punya jabatan struktural (seperti misalnya ketua jurusan) maka karir anda ditentukan oleh seberapa besar reputasi yang dapat anda bangun. Sekali reputasi itu rusak, seperti misalnya melakukan plagiat atau melakukan perbuatan amoral maka hilang sudah potensi untuk maju. Dua hal tadi umumnya membuat sang dosen akan dikeluarkan dari institusi tempat kerjanya. Maklum, itu membuat malu institusi, kalau dibiarkan maka reputasi institusi akan terseret.
Nah membangun reputasi itu kadang tidak lebih mudah dibanding berkarir di perusahaan umum (bukan institusi pendidikan) yang umumnya tinggal meyakinkan atasan bahwa kita bisa bekerja dengan baik.
saya juga terkena perjanjian kerja waktu tertentu . padahal di perusahaan sebelumnya tidak ada kontrak begitu .. apakah memang ini peraturan baru dari pemerintah ya ?
SukaSuka
Terlebih dulu terimakasih atas responnya yang menarik ini.
Maksud saya dalam hal ini, berarti resikonya sangat besar memulai karir di dunia akademik, karena selama hampir sepuluh tahun kami sudah menjadi dosen tidak tetap yang hanya digaji berdasarkan jumlah waktu mengajar, tetapi di sisi lain kami juga menandatangani pengangkatan sebagai dosen semacam home-based yang kalau di dikti dinyatakan sebagai dosen tetap sebuah institusi pendidikan tinggi. Awalnya kami sebagai dosen-dosen berprasangka baik saja, tetapi kemudian menyaksikan rekan dosen yang semula dosen tidak tetap tapi di angkat sebagai dosen home-based (sekarang istilahnya Faculty Member) sehingga memberi kesempatan bagi institusi pendidikan tinggi tempat kami bekerja dapat mengklaim kami-kami ini sebagai dosen tetap mereka di database dikti – yang kemudian beliau itu diangkat menjadi semacam karyawan tetap (jabatan struktural tertentu) dengan menandatangani kontrak perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak ada jaminan kelanjutan karir dengan alasan ‘evaluasi’ itu, lalu untuk apa pengangkatan dan evaluasi itu padahal kami-kami sudah mengajar hampir sepuluh tahun? Yang kemudian bisa dengan sepihak kasarnya ‘dipecat’ kembali dengan alasan tidak performing dalam bekerja.
Saya merasa secara legal formal, bahkan dunia pendidikan dijadikan bisnis yang tidak lebih tidak kurang sama seperti mengelola pabrik. Dan bukankah itu menjadi tanda yang sangat buruk bagi perkembangan dunia pendidikan kita? dan rasa-rasanya tepat sekali dilagukan bahwa guru itu pahlawan tanpa tanda jasa, karena secara legal-formal tidak punya penghargaan apalagi berhadapan dengan pengusaha yang membisniskan lembaga pendidikan.
apakah berarti pengelolaan dan kebijakan pada dunia pendidikan dan dunia bisnis industri pada umumnya sama saja? Malang sekali nasib pendidikan di Indonesia, dan saya jadinya tidak heran kalau kita semakin ke depan semakin terbelakang jadinya. Bagaimana sebuah negara dan bangsa memperlakukan guru dan dunia pendidikan kita ini, sepertinya mencerminkan bagaimana buruknya manusia bangsa itu sendiri.
apakah profesi guru dan dosen memang sepatutnya disamakan dengan profesi buruh dan karyawan seperti pada umumnya? apakah yang demikian itu adalah kebijakan yang bijak dan membawa kebajikan bagi dunia pendidikan kita ini, pak?
Sekarang ini terjadi banyak dosen-dosen catut yang mengajar di begitu banyak tempat dan mengambil sekian jumlah sks yang banyak – profesi dosen lepasan dianggap memberi peluang duit tambahan yang menggoda, dan ini semakin lama semakin menjadi ‘budaya’. Karena institusi pendidikan tinggi sekalipun memperlakukan dosen seperti itu, maka akibatnya orang-orang yang mencari kesempatan pun memperlakukan dunia pendidikan dan profesi dosen sedemikian juga.
SukaSuka
sdr Doddy,
Saya bisa merasakan kekuatiran anda untuk masuk dunia akademisi (jadi dosen), khususnya mengenai kesinambungan pekerjaan (gaji) sebagai staff pengajar tetap, yang ternyata “tidak pasti”. Dalam hal ini bahkan anda terkesan meminta keistimewaan karena profesi dosen itu yang harapannya harus berbeda dibanding buruh dengan alasan agar pendidikan di negeri ini maju.
Memang sih, kelihatannya idealis atau klasik, manusiawi.
Tetapi apakah seperti itu seharusnya. Apakah kalau sudah memutuskan jadi dosen lalu pasti istimewa. Ingat, dosen sama saja dengan profesi yang lain, yang jika tidak bermutu (ada yang dianggap lebih baik) maka bisa saja ditendang (keluar). Kondisi ini biasa terjadi di negara liberal, karena tuntutan mutu yang tinggi itulah bahkan sampai ada pepatah “publish or perish”. Kita di sini belum ada seperti itu (tapi DIKTI mulai mengarah ke sana, khusus dalam menyiapkan BKD bagi dosen bersertifikasi).
Tulisan anda di atas terkesan menuntut dari sisi penyelenggara, bagaimana dengan anda sendiri. Apakah anda mempunya “bargaining lebih” untuk menjadi dosen tetap. Pengalaman anda menjadi dosen tidak tetap selama lebih dari 10 tahun mungkin hanya valid jika dievaluasi dari segi pengajaran, bahwa anda bisa mengajar mata kuliah tersebut. Tetapi ingat bahwa sebagai dosen tidak tetap maka anda dituntut tidak sekedar hanya sisi pengajaran, ada konsep Tridharma Perguruan tinggi yang harus dilaksanakan juga.
Tridharma Perguruan Tinggi yaitu [1] pendidikan dan pengajaran; [2] penelitian dan publikasi ilmiah terkait bidang yang ditekuni; [3] pengabdian pada masyarakat. Jadi kalau hanya ngotot hanya menampilkan 10 tahun atau lebih pengalamannya dalam mengajar sebagai dosen tidak tetap maka itu baru menunjukkan 1/3 kemampuan yang dituntut dari seorang dosen tetap.
Nah sekarang yang penting adalah mengetahui apakah evaluasi institusi dalam melihat kinerja dosen adalah berdasarkan konsep tridharma perguruan tinggi itu atau yang lain, khususnya teman dosen yang ternyata tidak diperpanjang kontraknya itu. Nah saya kira itu perbedaan antara dosen tidak tetap dan dosen tetap. Jadi kalau anda pindah ke dosen tetap tapi masih berpikir dengan paradigma dosen tidak tetap, bahkan membandingkan dengan sabetan yang bisa diperoleh jika mengajar ditempat lain, maka soal tidak diperpanjangnya lagi kontrak sebagai dosen tatap, saya kira hanya soal waktu. Jika demikian lebih baik anda tetap jadi dosen tidak tetap saja. 😀
Konsep-konsep seperti yang sampaikan di atas itulah yang mendorong untuk adanya dosen profesional, yaitu dapat dituntut kinerjanya secara real seperti profesi-profesi lain, tidak sekedar sanjungan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Kembali lagi ke tulisan saya yang pertama, jika passion anda memang mengajar dan suka meneliti untuk menjadi “guru” atau mau menjadi yang terbaik di bidang ilmunya, maka profesi dosen bisa menjanjikan kelebihan, yaitu kemungkinan untuk dapat “dianggap ada” dan “diingat”, tanpa persyaratan harus mempunyai materi yang berlimpah terlebih dahulu.
SukaSuka
Saya pun berpikir begitu, hanya menjadi dosen lepas saja, saya tidak mau nama saya dimanipulasi dimanfaatkan untuk kepentingan sepihak dari institusi PTS sebagai laporan formal ke dikti. Saya sudah S2 dan sempat berkerja di luar negeri sekian tahun, kemudian kembali lagi karena ajakan dari rekan2 di tanah air, tapi kemudian melihat nasib seorang rekan yang di usianya yg tidak muda lagi, padahal saya tahu persis passion dia di dunia pendidikan seperti apa. tetapi karena sekumpulan orang yang berada di atasnya merasa tidak tenang dengan prestasi beliau maka dia disingkirkan.
Bagaimana mungkin pihak atas bisa melihat itu, sedangkan pihak atas mendengar laporannya dari atasan2 rekan saya itu yang notabene gelisah karena kalah secara prestasi soal menulsi di jurnal dan juga network dengan dunia industrinya.
tridharma PT itu sudah saya dan rekan2 biasa lakukan sejak awal, jauh sebelum dikti sibuk menggembar-gemborkan tuntutan pelaksanaan tridharma tsb. Dan hampir selalu kami mengikuti dan akhirnya mampu berpartisipasi sebagai pemakalah di konferensi internasional. dan setelah sekarang ini PTS PTS sibuk dengan internasionalisasi, globalisasi, dan intinya komersialisasi pendidikan tinggi, tiba2 jurnal scopus dan sejenisnya jadi barometer. muncullah isu2 soal jurnal predator de es benya, bagi kami yang sudah punya jalinan kerjasama diskusi tentu hal ini menggelikan karena kalau memang kita pakar pada bidang kita, tentu kita mengenal setidaknya siapa2 saja orang2 yang sebidang dengan kita itu dan punya reputasi positif, dan ketika muncul jurnal2 baru, kita tentu terbiasa untuk check dan rechech dengan rekan2 peer-reviewed tsb untuk mengetahui apa dan siapa dibalik penerbitan jurnal baru ini dan itu.
saya melihatnya, pada akhirnya di Indonesia ini, kami cuma dianggap disposable belaka, dipake kalo lagi butuh dan dibuang kalo sudah tak diperlukan. Dan menggelikan sekali karena sewaktu di luar negeri kami menulsi di jurnal dan tidak sulit memperoleh sitasi dari penulis2 muda tetapi sekembalinya di Indonesia, itu semua seperti hantu menghilang, indonesia ini benar2 terpencilkan tapi merasa sok hebat.kalau dilihat dengan kesibukan mengejar predikat melalui adu banyak memasukkan artikel jurnal scopus.
sementara di luar sana, setiap seorang PhD muncul dengan bidang yang khas, sesama phd yang senasib dan sepenanggungan kemudian berjuang untuk meng-establish-kan bidang ilmu rintisan mereka dan bukannya cuma sibuk memasukkan proposal utk mendapatkan grant atau ngejar masukan artikel scopus dan sejenisnya.
Saya menilai institusi pendidikan kita ini semakin hari hanya melihat pendidikan sebagai peluang bisnis dan memainkannya sebagaimana mengurus kilang, dan mau cari aman sendiri saja ketika tidak mau bersusah payah menelusuri prestasi dosen-dosen yang melamar masuk kerja, karena mengejar syarat dikti soal proporsi dosen dan mahasiswa.
dan sepertinya lebih mudah menyalahakan pihak dosen, ketimbang mengkritisi kembali penyelenggaraan pendidikan di tanah air kita ini.
SukaSuka
@pak Doddy Tan,
Uraian anda di atas menunjukkan anda bukan dosen kemarin sore. Anda punya kapasitas untuk dapat disebut “guru”. Kekecewaan anda terhadap institusi pendidikan yang terkesan hanya sekedar mengambil keuntungan dalam pelaporan ke Dikti saya kira case-per-case sifatnya, tidak bisa di “gebyah-uyah” atau dianggap merata terjadi di Indonesia.
Kondisi yang anda sampaikan, bahwa ada institusi pendidikan yang hanya mikir bisnis semata, itu memang benar. Saya tidak menutup mata, tetapi tidak sedikit pula yang punya idealisme. Memang sih, kadang karena ego orang-orang tertentu (yang kebetulan punya jabatan), ada orang yang terkesan menghambat bawahannya, takut kesaingan. Hal itu saya sendiri pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri, tetapi dengan berjalannya waktu akhirnya ketahuan juga siapa yang benar. Istilah jawa : “becik ketitik ala ketara” memang benar-benar berlaku.
Jadi intinya, tanya ke diri sendiri jika memang passion-nya mengajar maka saya yakin pasti ada institusi pendidikan yang dapat menampung idealisme anda. Nggak harus ngotot masuk ke institusi yang anda ragukan tersebut. Tentang hal itu, saya juga banyak ketemu teman-teman praktisi yang idealis di bidang ilmunya tetapi tidak bekerja sebagai dosen. Kepada merekalah saya banyak belajar link-and-match pada bidang ilmu yang saya tekuni. Tuhan memberkati.
SukaSuka
Saya kira saya tidak sendiri, dan tidak semua rekan dosen yang punya passion tinggi akhirnya meninggalkan dunia pendidikan bukan karena kehilangan passion tetapi memang nasib menentukan yang lain. Saya hanya berharap sudah waktunya nasib para dosen harus ada yang memperjuangkan, dan seharusnya ada semacam serikat dosen yang dipimpin langsung oleh para dosen yang bernasib cukup baik bisa menduduki posisi bagus di institusi pendidikan yang ada, dan bukannya setelah punya kedudukan lalu mengabaikan apa yang sepatutnya ia perjuangkan. Soal nasib di luar profesi dosen itu konteksnya lain, Pak.
Kita bicarakan disini adalah nasib profesi dosen, dan saya pikir sudah menjadi kewajiban bagi para profesor doktor dan guru besar-guru besar universitas untuk tidak mengabaikan persoalan ini.
Untuk sepengetahuan bapak, sekian tahun saya dicatut alias diklaim secara sepihak sebagai dosen tetap sebuah institusi pendidikan tinggi, tercatat sekian tahun di dikti, tanpa pernah mendapatkan hak-hak saya yang seharusnya dijalankan oleh institusi pendidikan tsb sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh undang2 melalui dikti dan karena dosen tidak punya serikat kerja atau buruh, kemana kami harus melaporkannya? dan tentu saja, pada awalnya, kita punya rasa toleransi dan nerimo saja serta berbaik sangka kepada pihak insititusi pendidikan tersebut.
tetapi makin hari makin menjadi-jadi, klaim sepihak seperti demikian semakin dimanipulasi sehingga sebagai dosen makin dibebani tanggung-jawab yang tidak seimbang dengan hak yang diberikan. Dosen kontrak tapi diklaim dan diperlakukan layaknya dosen tetap, tetapi hak-haknya tidak dijamin (ini terlepas dari persoalan gaji per se).
saya kuatir karena perbudakan pada profesi dosen semakin hari semakin menjadi-jadi, dan ini hanya akan berujung pada kebangkrutan manusia Indonesia itu sendiri. Lihat dan dengar saja hasil kajian bahwa meningkatnya jumlah institusi pendidikan dasar sampai tinggi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan kualitas manusianya.
dan saya lihat yang ada hanya pembiaran nasib profesi dosen sebagai sebuah profesi yang disposable serupa buruh, yang mungkin tidak didera secara fisik tapi dituntut menjadi pintar banyak baca buku, banyak meneliti, banyak mengabdi tapi tidak ada timbal-baliknya yang sepadan malahan disuruh mengais-ngais mencari grant kemana-mana. Mungkin tidak didera siksa seperti nasib buruh yang diperbudak, tetapi diperbudak dalam bentuk lain.
Terimakasih atas diskusinya, Pak. Mudah-mudahan ke depannya ada yang memperhatikan persoalan apakah profesi dosen boleh dijadikan outsources atau tidak. Amin.
SukaSuka
Heran juga saya dengan pernyataan Bapak di atas. Bapak merasa ada tuntutan ya untuk banyak membaca buku dan menjadi pintar, juga merasa hidup dengan mengais-ngais grant tetapi ternyata tidak mendapat timbal-balik. Maklum pak, karena menurut saya, jika Bapak sudah menjadi pintar (pakar) dan berhasil mendapat grant, maka ketika institusi tidak memberi award, maka masyarakat luarlah (yang merasakan kepakaran itu) yang akan memberi penghargaan.
Jadi pada prinsipnya, jika kepakaran Bapak sudah diakui di luar institusi, maka saya kira nggak perlu ngemis-ngemis institusi untuk memberikan award. Kasus seperti Bapak, mungkin dalam skala kecil juga saya alami, maklum saya kadang banyak undangan dari institusi luar, karena undangannya mengatasnamakan saya dan nama institusi tempat berkerja, maka saya mintakan surat tugas (sesuai BKD dosen profesional). Eh ternyata ada yang complaint, surat tugas jangan lebih 10x tiap semester. Padahal untuk setiap surat tugas tersebut, saya nggak pernah minta uang sepersenpun ke institusi (dosen yang lain selalu minta uang saku dan uang transportasi). Tetapi setelah diskusi panjang, dan karena juga membawa nama institusi maka akhirnya dapat dispensasi. Jadi kalau kita benar-benar berusaha bekerja dan berusaha dengan strategi win-win solution. Rasanya lancar-lancar saja.
Yah, bagaimanapun juga kalau bekerja dengan memendam keluhan, saya yakin kedepannya nggak akan baik. Saya usulkan, mulai aja pikirkan untuk berpindah institusi yang mengapresiasi saja pak. Dosen sebagai orang yang berilmu lebih tinggi daripada buruh, maka tentunya berpindah pekerjaan lain yang sesuai hati tentu akan relatif mudah, apalagi jika didukung oleh mental yang kuat. Maklum pak, jadi dosen khan duitnya nggak segede pengusaha, jadi kalau sudah begitu ditambah hati yang mendongkol (tidak puas) lalu apa yang dicari di sana.
SukaSuka
saya mau nanya pak. apakah PT bisa dituntut karena membuat status dosen tidak tetap menjadi dosen tetap? fakta yang terjadi adalah pengangkatan menjadi dosen tetap tidak ada kontrak, tidak di konfirmasi, gaji tidak disesuaikan, ketahuannya ketika membuka webiste dikti. mohon penjelasannya pak
SukaSuka