Jarang di Indonesia, kita mendengar terjadinya keruntuhan bangunan gedung yang fenomenal sebagaimana pernah terjadi pada jembatan (Ingat tentang runtuhnya jembatan Kertanegara, November 2011 tempo hari. Ini ulasan saya mengenainya).
Apakah itu berarti pelaksanaan konstruksi bangunan gedung lebih aman dibanding konstruksi jembatan ?
Suatu pertanyaan menarik. Jika gedungnya biasa-biasa, bentang tidak lebih dari 10 m, maka rasanya pertanyaan di atas dapat menjadi pernyataan, bahwa memang benar pelaksanaan bangunan gedung tidak terlalu berisiko dibanding jembatan yang umumnya mempunyai bentang yang lebih besar. Jadi untuk gedung yang mempunyai bentang-bentang yang besar maka risikonya bisa sama besarnya. Lihat saja dengan apa yang baru saja terjadi dengan atap bangunan supermarket Maxima di kota Latvia (Russia).

Jika dilihat dari foto di atas, jelas bahwa kota Latvia yang dimaksud tentunya suatu kota yang modern. Lihat saja gedung-gedung bertingkat di sekitarnya, dan juga pada saat yang relatif pendek sudah dapat didatangkan empat mobile crane raksasa untuk membantu mengevakuasi tempat kejadian perkara. Itu semua merupakan bukti-bukti bahwa negara tersebut memiliki bidang rekayasa teknik yang cukup maju. Belum tentu jika kejadian seperti itu terjadi di Indonesia, maka pihak berwenang dapat langsung mendatangkan crane sebanyak itu. 😀
Akibat keruntuhan atap bangunan tersebut, ada sekitar 52 meninggal dunia, 29 dilarikan ke rumah sakit. Dari informasi yang di dapat, pada saat keruntuhan ada pekerjaan penambahan beban di atasnya, yang berupa taman dan play-ground untuk anaka-anak. Itu mungkin yang menjadi penyebabnya. (Sumber Usa Today). Padahal bangunan yang dimaksud pada tahun 2011 memenangkan medali perak pada kontes bangunan terbaik oleh Latvian Builders Association (Sumber : UT San Diego). Apakah itu tidak ironis.
Terlepas apakah itu lagi apes atau sial, atau apa, tetapi saya mau menegaskan lagi bahwa kita sebagai engineer yang bisa kita lakukan adalah berupaya keras untuk berusaha mengurangi risiko dan jangan takabur bahwa kita bisa memastikan itu (bencana) tidak akan pernah terjadi, apapun ! Jadi pepatah bahwa “manusia berusaha, Tuhanlah yang menentukan” adalah benar adanya.
Jadi kalau begitu bagaimana dong pak ?
Yah begitulah, kita harus berusaha terus untuk tetap eling dan waspada. Eling untuk selalu ingat mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki tentang membangun yang aman, dan waspada untuk menghindari hal-hal yang meningkatkan risiko terjadinya hal-hal yang buruk, termasuk juga budaya korupsi yang memungkinkan secara nyata menurunkan mutu bangunan tidak sesuai dengan rencana.
Apakah itu mungkin terjadi di Indonesia pak Wir ?
Kenapa tidak mungkin. Itu bisa terjadi di mana saja. Apalagi Indonesia terdiri dari daerah yang sangat luas dan kompetensi rekayasa yang dimiliki oleh masing-masing daerah bisa berbeda-beda juga. Apalagi dalam era otonomi daerah dan kebebasan politik seperti sekarang ini.
Lho koq bisa pak, emangnya ada hubungannya.
Itulah yang aku heran juga. Aku pikir itu tidak ada hubungannya dengan bidang rekayasa, ternyata terkait juga. Ke dua hal tersebut ternyata mengubah pola pelaksanaan pembangunan yang terjadi di Indonesia. Dari diskusi yang aku temui minggu lalu, aku mendapat informasi bahwa di daerah-daerah yang namanya Kepala Dinas PU di daerah, sudah tidak terkait langsung, atau tepatnya telah mandiri terhadap pemerintah pusat. Bahkan dimungkinkan juga, mereka itu dipilih tidak berdasarkan latar belakang kompetensi formalnya, tetapi hanya karena kedekatan dengan penguasa lokal yang terpilih. Itu berarti yang terpilih jadi Kepala Dinas PU-nya bisa berlatar belakang non-teknik. Jadi sembarang gelar sarjana atau bahkan sembarang orang, asalkan mendapatkan dukungan politik, bisa menduduki jabatan tersebut.
Percaya nggak percaya, tetapi karena yang ngomong ini adalah seorang pejabat daerah, maka aku tentunya harus percaya khan.
Apakah itu ada kaitannya dengan risiko terjadinya keruntuhan bangunan.
O belum paham ya. Gini dik. Pembangunan konstruksi itu menyangkut anggaran yang besar. Dalam era otonomi maka anggaran besar tersebut yang punya adalah daerah, mereka berhak menentukan dan memastikan bagaimana anggaran tersebut dilaksanakan. Nah unsur pemerintah daerah yang bertanggung jawab mengelola itu secara teknis khan PU, betul kan.
Jadi jika yang akan mengelola teknis itu tidak punya latar belakang teknis. Bagaimana hayo. Risiko untuk gagal menjadi besar bukan.
Kondisi itu diperparah dengan kondisi konsultan yang dilibatkan. Karena ketidak-tahuan mereka (para pengelola anggaran), maka yang mereka pilih untuk proyek-proyek mereka, umumnya hanya mengacu pada harga tender yang terendah. Maklum, kalau dipilih yang lain, bisa-bisa para LSM teriak-teriak, wah pasti ada kong kalikong dibelakang, dsb-nya. .
Apakah daerah juga akan membuat bangunan bentang besar pak ?
Lho belum tahu ya, banyak pemerintah daerah itu kaya-kaya, mereka banyak yang bermimpi mempunyai fasilitas infrastruktur yang tidak kalah dengan pusat. Seperti kemarin itu, ada diskusi dengan salah satu pemerintah di daerah yang akan membangun bangunan stadion besar yang tidak kalah dengan Stadion Senayan. Bayangkan itu.
Karena bangunannya besar dan belum pernah ada sebelumnya yang dibangun seperti itu, mereka agak meragukan konsultannya. Jadi karena Kepala Dinas PU-nya orang berlatar belakang teknik mereka melakukan konsultasi teknik dengan Pusat. Jadilah kemarin diskusi teknik dan aku menjadi salah satu nara sumbernya.
Masalahnya adalah, bahwa diskusi itu terjadi setelah konsultannya sudah merampungkan sekitar 90% pekerjaannya. Jadi meskipun kemarin banyak sekali masukan yang aku berikan, maka kelanjutannya aku tidak tahu. Bisa-bisa apa yang aku sampaikan kemarin hanya diterima tanpa ditindak-lanjuti. 😦
Yah, bagaimanapun aku sudah berupaya memberikan komentar atau tanggapan dengan latar belakang argumentasi yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara teknis maupun akademis. Sisanya tentu saja tergantung dari pihak-pihak yang mendengarnya. Semoga risiko keruntuhan bangunan seperti yang terjadi di Latvia, tidak terjadi di sini. Semoga.
Ia betul, kita harus waspada karena bisa jadi gedung-gedung yang sudah tua bisa runtuh.
SukaSuka
Gedung-gedung tua selama pemakaiannya wajar dan tidak berubah fungsi, serta mendapatkan perawatan yang teratur, saya kira tidak perlu dikuatirkan. Perawatan itu adalah kata kuncinya. Itu khususnya terhadap beban vertikal. Terhadap pembebanan lateral, seperti gempa, itu masalah lain. Maklum, bangunan tua umumnya mengacu pada peraturan yang tentu saja sudah out-of-dated. Jika hal itu mengkuatirkan dan rawan terhadap pengaruh gempa, seperti gedung tinggi, maka tentunya dapat dilakukan retrofit, misal dengan CFRP.
SukaSuka
Setuju pak,di dunia ini manusia hanya bisa merencanakan.Akan tetapi Tuhanlah yang menentukan apa yang akan terjadi
SukaSuka
memang untuk merancang suatu bangunan yang besar, pasti dibutuhkan tenaga ahli ya Pak. yah tapi bukan jadi rahasia lagi sih banyak yang memilik tender paling murah dengan harapan kualitas kerjanya bagus dibandingkan benar2 memikirkan kualitasnya.. pantesan aja beberapa bangunan mudah runtuh padahal kadang2 itu adalah bangunan yang lebih baru daripada bangunan lain. Kalau begini, ada kaitannya dengan korupsi kah Pak?
SukaSuka
pak wir udah lama ndak bikin review KJI-KBGI, tolong dibikin reviewnya buat KJI-KBGI tahun 2013 kemarin di UB pak, terima kasih 🙂 ditunggu…
SukaSuka
udah dik, meskipun liputannya belum lengkap. Silahkan link berikut
http://wiryanto.wordpress.com/2013/12/08/kji-9-di-ub-malang/
SukaSuka
setuju pak, sebenarnya kita dimanapun memang harus siap siaga akan apapun yang akan terjadi biar ngga terlalu panik.
btw buat yg lagi cari rumah minimalis yang depannya danau bisa nih cari di sini http:www.citralakesawangan.com/citralake_sawangan_rumah_minimalis
SukaSuka
Yth. pak wir
semoga pak wir selalu sehat dan sukses mengeluarkan buku2 terbaru .. amin
mungkin agak sedikit keluar, menurut pak wir apa perbedaan sni 2012 dan nzs 2006 (standar new zealand). apabila ada ebook atau link yang bisa di rekomendit .. trimakasi pak wir..
SukaSuka
Oke banget postingannya… jadi tambah wawasan nich. makasih ya…
SukaSuka
hallo pak wir, saya amrul (dulu sempat bertemu di UNY http://wiryanto.wordpress.com/2013/11/14/penulis-terkenal/ ) 😉
ini pertama kali saya menulis di blog bapak hehehe…., dan perlu dengan kehati-hatian juga menulisnya, karena ini berkaitan dengan etika tata krama apalagi kita orang timur, tetapi maaf jika dalam penulisan ini ada yang kurang berkenan (please advice).
saya ingin berdiskusi dan sekaligus diberi tambahan wawasan (alias pencerahan 😉 ) tentang penelitian yang sedang saya kerjakan saat ini.
Oiya saya ingin berkomentar tentang postingan bapak ini terlebih dahulu 🙂 , yang menurut saya sangat menarik untuk selalu dibicarakan yaitu mengenai keruntuhan bangunan, tragedi runtuhnya jembatan kukar mengingatkan kita banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, belum lagi jika sebuah bangunan runtuh di akibatkan karena gempa bumi seperti yang terjadi di jogja tahun 2006 silam. pasca gempa jogja pemerintah PU bekerja sama dengan Korea Highway Corporation melakukan inspeksi dan investigasi kerusakan struktur jembatan di jogja dan ada sekitar 16 jembatan, diantaranya satu jembatan yang dilakukan inspeksi secara detail yaitu fly over janti ( bapak pasti tahu, karena kampungnya jogja khan… 😉 ) dan 15 jembatan lainnya hanya dilakukan investigasi secara visual. Setelah saya membaca laporan hasil inspeksi dan investigasinya, jadi menarik memang melihat perilaku jembatan setelah terjadinya gempa, dimana titik kerusakannya dan apa yang harus dilakukan setelah jembatan tersebut diinspeksi dan investigasi.
Nah, sebetulnya yang menarik lagi jika kita bisa mengetahui perilaku struktur tersebut sebelum terjadinya gempa yaitu dengan istilah performance based seismic analysis dengan metode analisa pushover ( ehm… jadi tahu karena baca paper pak wir ttg pushover). Berkaitan dengan pushover tersebut, saat ini saya sedang melakukan penelitian terhadap jembatan presstressed concrete dengan terlebih dahulu menganalisis seismic hazard di lokasi jembatan tersebut dengan metode PSHA. Dan sudah selesai tahap pertama dengan menghasilkan Respon spektra desain. Saat ini saya akan melakukan tahap ke dua yaitu mengevaluasi kinerja struktur jembatannya dengan beban gempa yang sudah saya desain sendiri, dan dalam evaluasi ini tentunya saya akan menggunakan SAP2000 v.11 (yang saya miliki) untuk melakukan pushover.
Apakah ada referensi baik yang bisa saya gunakan, oiya rencana dalam permodelan, jembatan terdiri dari 5 girder yang ditempatkan pada pier head dengan menggunakan bearing (model: spring), kemudian pier head disupport oleh pier column yang nantinya dalam analisis dimodelkan sebagai sebuah elemen dengan sifat elastic plastic, karena si pier head ini akan diasumsikan gagal nantinya (terbentuk sendi plastis). Kemudian untuk lebar jembatan 11 m, dengan 17 span @20 m (3 span) dan @40 m (14 span), dan variasi ketinggian pier column 2.5 – 8 m. kemudian dalam permodelan girder dan pier saya akan menggunakan properti material OTHER.
Demikian pak wir, bagaimana pendapat pak wir, mohon masukannya. Dan mungkin rekan-rekan lain bisa ikut berpendapat ya.
Terimakasi pak wir 🙂 😉
SukaSuka
ralat: *) pier column
“….karena si pier head*) ini akan diasumsikan gagal nantinya (terbentuk sendi plastis).”
SukaSuka
Ping-balik: bangunan ambruk, bagaimana itu ? | The works of Wiryanto Dewobroto