Ini ada pertanyaan yang sedikit berat, maklum untuk menjelaskannya perlu gambar penunjang. Meskipun demikian karena materi yang ditanyakan cukup penting dan yang bertanya terlihat serius ingin menggeluti bidang “structural engineering”, yaitu yang ditandai dengan telah mengkoleksi buku karangan saya via http://lumina-press.com maka ada baiknya perlu diapresiasi. Pertanyaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Submitted on 2014/07/26 at 22:29Selamat malam pak Wir, saya mahasiswa tek sipil di salah satu universitas negeri cukup besar di Yogyakarta. Saya baru mulai membaca baca blog bapak yang bermanfaat ini dan kemarin sempat menyisihkan uang saku untuk beli buku Bapak 🙂
Di luar hal itu, ada sedikit hal yg ingin saya tanyakan tentang balok beton bertulang pak. kebetulan saya sedang skripsi tentang struktur beton bertulang 🙂
Dalam mendesain balok beton bertulang, terutama penulangannya, menurut buku yang saya baca yaitu reinforced concrete design karya Wang C K dan kawan-kawan, untuk momen dan geser, perlu memperhatikan “moment capacity diagram” atau disebut selimut momen dan selimut geser, dan disitu ada Ld atau dalam sni 2847 sering disebut panjang penyaluran. nah, panjang penyaluran ini apakah sama baik untuk kolom maupun balok? karena yg saya baca di sni 2847 sepertinya Ld nya sama saja untuk balok dan kolom. kalau beda, untuk balok, Ld seberapa besar yah pak ? apakah langsung ditembak 40d?
Selain itu, bagaimana sebaiknya membagi penulangan untuk momen (tumpuan-lapangan), karena biasanya desainer hanya mendesain tumpuan 1/4 dan lapangan 1/2L, padahal itu hanya berlaku untuk beban merata akibat beban gravitasi, sedangkan bila terkena kombinasi beban gempa, pengaruhnya kan akan berbeda dan bentuk momennya pun akan berbeda (jarak tumpuan-lapangan). Terima kasih pak sebelumnya.
Saya kira teman-teman yang masih yunior tentu mempunyai pertanyaan yang mirip seperti itu.
Ini penjelasanku.
Di jurusan teknik sipil UPH memang saya secara formal tidak mengajar tentang struktur beton bertulang, yang bertanggung jawab soal itu adalah Prof Harianto Hardjasaputra, senior saya dulu di PT. Wiratman yang sekarang menekuni bidang pengajaran. Dulu saya pernah membantu beliau sebagai asisten, bahkan untuk itu materi buku saya ke tiga adalah tentang pemrograman VB untuk beton bertulang. Waktu itu saya bisa membantu memberi kuliah tentang beton karena memang belum dapat materi kuliah utama untuk dijadikan “pegangan”. Jadi ya begitu deh, pegang sana pegang sini. Baru setelah diberi tanggung jawab untuk mengampu mata kuliah struktur baja, ya sudah aku lepas yang beton dan fokus ke baja.
Jadi meskipun formal memang tidak mengajar beton, tetapi karena kompetensinya memang ada, maka tentu tidak salah untuk mencoba menjawab pertanyaan di atas sekaligus dengan cara menulis ini maka otak bisa di refresh. Siapa tahu ada tanggapan yang menambahkan kompetensi yang dimaksud.
Pertanyaan di atas pada dasarnya adalah bagian lain dari pembelajaran struktur beton bertulang, yaitu bagian DETAIL PENULANGAN. Ini menurut saya adalah bagian tersulit dari beton bertulang, khususnya dalam strategi mengajarkannya. Karena sulit, maka cara paling mudah mengajarkannya adalah dengan memberi contoh.
Tentang hal itu saya ingat betul, sewaktu pertama kali bekerja di konsultan struktur, yaitu di PT. Wiratman & Associates yang memang terkenal pada waktu itu untuk gedung-gedung tinggi dari beton bertulang. Hal yang pertama dikerjakan untuk engineer muda adalah menghitung jumlah tulangan perlu untuk penampang-penampang kritis. Betul sekali pernyataan penanya, bahwa pada balok, penampang kritis umumnya yang ditinjau adalah tumpuan kiri- lapangan – tumpuan kanan. Yang paling penting adalah untuk bagian tumpuan adalah tulangan atas, dan untuk bagian lapangan tulangan bawah. Karena waktu itu yang direncanakan adalah bangunan tinggi, dan ada syarat gempa maka untuk tumpuan tulangan bawah diambil tidak kurang dari 0.5 luas tulangan atas, juga di lapangan sebagai separo tulangan bawah. Selain itu juga evaluasi terhadap kontinuitas tulangan negatif. Selanjutnya check tulangan-tulangan tersebut dengan detail penempatan, apakah memungkinkan atau tidak untuk dipasang atau menyebabkan beton keropos karena spasi bebas antar tulangan terlalu rapat. Pada tahap itu yang perlu juga dicheck adalah kontinuitas dengan balok-balok di dekatnya. Pastikan diameter tulangan sama, sehingga bisa diteruskan dsb.
Hanya begitu saja. Nggak pernah dievaluasi secara detail seperti penjelasan yang diberikan oleh bukunya CK Wang.
Memang aneh ya, koq hanya begitu. Tetapi setelah mengerti, baru sadar bahwa waktu di konsultan dulu hal itu bisa dikerjakan karena untuk bangunan tinggi gedung detail-detail penulangan beton bertulang sudah distandardisasikan. Waktu saya masuk di sana, standar yang digunakan adalah penulangan yang biasa dikerjakan oleh engineer Jepang. Dalam detailing panjang tulangan, pada waktu itu ada petunjuk praktis yaitu sebesar 40D. Statement seperti itu pada waktu itu dimakan mentah saja sebagai suatu kebenaran, pokoknya ya seperti itu. Intinya, untuk suatu luas tulangan yang tertanam pada beton, agar dapat ditarik sampai leleh harus ditanam (embedded) sedalam 40D dari penampang tulangan yang ditarik. Kayaknya nggak ada masalah itu selama itu.
Memang, setelah peraturan beton kita berpindah dari PBI ke SNI yang mulai mengacu ke Amerika maka panjang penyaluran menjadi bervariasi, baik terhadap diameter, bentuk permukaan tulangan, mutu beton maupun arah gaya (tarik atau tekan). Saya kira ini lebih rasional karena memang parameter-parameter tersebut akan berpengaruh. Jadi dengan rumus ke SNI yang lebih baru, bisa-bisa panjang penyaluran > 40D. Tentu kita pilih yang lebih, karena lebih konservatif. Ingat kegagalan slip bersifat fatal dan mendadak, jadi jangan ambil resiko.
Berbicara DETAILING tentu tidak sekedar menghitung panjang penyaluran sehingga titik-titik kritis dimana tulangan dapat secara efektif menyumbangkan momen atau kapasitas momen nominalnya mempunyai area atau daerah yang mencakup momen perlu sebagaimana yang diuraikan oleh JK Wang. Itu tidak salah, tetapi masih perlu yang lain. Bahkan hal sederhana saja juga tidak mudah untuk dijelaskan seperti : mengapa perlu dilakukan . . . . . , sebagai contoh :
pada peraturan perencanaan untuk balok tulangan maka tulangan lapangan minimal 1/3-nya harus diteruskan ke tumpuan untuk maksud pengangkuran.
Nah gimana itu logikanya, padahal tadi jika mengikuti kriteria panjang penyaluran maka cukup 40 – 50D dari momen maksimum. Jadi ngapain harus ke tumpuan. Pernyataan di atas khan nggak logis karena momen di tumpuan saja adalah nol atau tidak ada. Bahkan memakai teori ultimate penampang, juga tidak bisa dijelaskan dengan mudah. Nah soal-soal seperti perlu anda tanyakan ke dosen struktur beton anda. Kalau jawabannya “itu kha persyaratan code” nah berarti masih perlu belajar struktur beton lagi lebih mendalam khususnya tentang detailing.
Jadi pengetahuan tentang detailing penulangan memang tidak mudah. Selama ini teknik yang digunakan adalah meniru detail-detail yang telah sukses diaplikasikan. Karena di Indonesia kebanyakan proses rekayasa dilakukan tanpa dukungan dokumentasi yang baik, maka yang ditiru adalah detail-detail yang bersumber dari luar. Itulah mengapa untuk struktur yang tidak umum, yang jarang dikerjakan sebelumnya, maka pemilihan detail tulangan perlu melibatkan senior untuk memutuskannya. Harapannya, seorang senior engineer tentu mempunyai wawasan rekayasa yang lebih luas dan berpengalaman melihat detail-detail yang sukses dikerjakan. Masalah yang umum dijumpai, senior yang bekerja di kosultan di Indonesia kebanyakan hanya mengandalkan ilmu “bisa karena biasa”, mereka bisa mengerjakan tetapi tidak bisa menjelaskan, mengapa harus begitu. Maklum meskipun menggeluti bidang rekayasa terus menerus bertahun-tahun, tetapi tujuannya hanya sekedar untuk profit.
Detail penulangan itu sangat penting.
Kita sering dengar, bahwa untuk bangunan tinggi tahan gempa, maka syarat kekuatan dan kekakuan saja tidak cukup, harus juga didukung oleh syarat daktilitas. Nah yang terakhir itu kinerja hasilnya sangat tergantung dari detail penulangan yang digunakan. Jadi kalau hanya bisa menghitung dengan baik, tetapi tidak tahu bagaimana detail penulangan maka tentu tidak bisa dihasilkan bangunan tahan gempa.
Berdasarkan detail penulangan yang digunakan, maka dapat diketahui apakah suatu bangunan dapat digolongkan sebagai rangka spesial penahan momen atau bukan.
Wah ini melantur terlalu jauh ya. Ok, baik. Intinya pertama detail penulangan itu penting, masalahnya perhitungan secara rasional bagaimana suatu tulangan dapat dipasang itu tidak sederhana, ilmu elastis-linier saja tidak mencukupi. Untuk itu para engineer mengatasinya dengan melihat data-data empiris, yaitu pengalaman detail-detail tulangan yang sukses digunakan. Oleh sebab itu penting mencari petunjuk detail-detail penulangan yang diakui kesuksesannya. Para konsultan biasanya telah mempunyai, dan menjadikannya sebagai gambar standard detail. Salah satu literatur yang bagus yang harus dibaca agar dapat memahami detail penulangan beton bertulang adalah ACI Detailing Manual – 2004 (ACI Committee 315).
Ini detail penulangan balok beton bertulang yang umum (bukan untuk sistem penahan lateral pada bangunan tahan gempa).
Kemudian untuk penulangan balok yang harus memenuhi persyaratan daktail untuk bangunan tahan gempa adalah sebagai berikut:
Setelah saya sajikan gambar penulangan seperti di atas, kesannya jadi anti-klimaks khan. Teori rasional tentang detail penulangan itu tidak gampang, tetapi prakteknya jika ada petunjuk yang jelas, seperti yang saya ambil dari ACI maka semua kegamangan tadi sirna. Detail penulangan jadi sekedar standar yang harus diikuti bahkan tanpa perlu menghitung atau mengetahui bentuk selimut momen sebagaimana yang diuraikan dalam bukunya CK Wang. Itulah teknik meniru, strategi penting untuk menjadi engineer yang sukses tanpa perlu tahu “dalamnya”.
Semoga membantu menjelaskan bagaimana detail penulangan pada konstruksi beton bertulang. Tentu saja ini baru contoh, kalau mau detail lagi silahkan baca manual dari ACI tersebut yang lebih dari 200 halaman.
Saya setuju dengan pendapat diatas pak, untuk detail sebaiknya kita mengikuti ACI.
Kita tidak perlu menelaah “dalamnya”. Karena hal ini, sudah berpuluh2 tahun yang lalu di teliti, oleh engineer/senior, di bidang tersebut.
Saya cukup yakin pula, semua peraturan di Indonesia, tetap mengacu ke ACI.
terima kasih
SukaSuka
Pak Wir, saya ingin menanggapi sedikit tulisan diatas terkait dengan pernyataan berikut:
….”Nah gimana itu logikanya, padahal tadi jika mengikuti kriteria panjang penyaluran maka cukup 40 – 50D dari momen maksimum. Jadi ngapain harus ke tumpuan. Pernyataan di atas khan nggak logis karena momen di tumpuan saja adalah nol atau tidak ada. Bahkan memakai teori ultimate penampang, juga tidak bisa dijelaskan dengan mudah.”….
Memang betul secara mekanika momen pada tumpuan balok dengan tumpuan sederhana adalah nol. Pada peraturan ACI, ilustrasi gambarnya juga menggunakan balok dengan tumpuan sederhana.
Lalu kenapa tulangan harus diperpanjang ke tumpuan yang momennya nol?
Alasannya adalah untuk mengantisipasi penjalaran gaya tarik ke arah tumpuan (tension shift) yang diakibatkan oleh terjadinya retak. Biasanya penyebab utama tension shift adalah retak diagonal akibat kombinasi gaya geser dan momen yang terjadi pada bentang tersebut. Akibat terjadinya retak diagonal ini gaya tarik pada tulangan tersebut akan menjalar kearah tumpuan yang tadinya sebelum terjadinya retak tidak ada momen. Bahkan pada ACI ada tambahan panjang penyaluran atau disebut additional embedment length (notasinya pada ACI La) yang merupakan perpanjangan tulangan kearah luar tumpuan. La ini juga bertujuan untuk mengantisipasi penjalaran gaya tarik pada tumpuan.
Untuk lebih jelas bisa dibaca pada paper saya:
“Bond Behavior of CFRP Bars in Simply Supported Reinforced Concrete Beam with Hanging Region.” Thamrin, R., and Kaku, T., Journal of Composites for Construction, American Society of Civil Engineers (ASCE), Vol. 11, No. 2, Mar-Apr, (2007), pp. 129-137.
Semoga bermanfaat.
Rendy Thamrin
SukaSuka
Terima kasih pak Rendy. Nah teman-teman itulah salah satu jawaban dari pertanyaan yang saya ungkap. Tidak sederhana bukan. Jelas kalau hanya berdasarkan analisis elastis linier biasa, pastilah tidak akan didapat. Baru setelah digabungkan dengan pengetahuan empiris dari perilaku beton maka dapat dijelaskan sebagaimana yang diungkapkan oleh pak Rendy, yang memang menggeluti bidang keilmuan struktur beton.
Cara rasional yang ada tentang bagaimana pendetailan, selain berdasarkan data empiris adalah cara “strut-and-tie method” dari Prof Schlaich (Uni Stuttgart). Mulai tahun 2002 mulai diadopsi di ACI sebagai Appendiks, dan tentunya sudah ada di terjemahan SNI kita. Betul khan Pak Rendy.
By the way, untuk pak Rendy, ini sekarang sudah kembali ke Padang lagi pak. Wah sudah ada jurnal international-nya, kapan promosi guru besarnya. Salam dari Karawaci.
SukaSuka
Salam juga dari Padang Pak Wir.
Betul sekali Pak Wir, metoda Strut-and-Tie merupakan salah satu cara untuk mendesain tulangan yang sudah diadopsi oleh ACI sejak 2002. Metode ini sangat rasional karena dengan metode ini kita dapat mengetahui besarnya gaya dalam pada tiap member dari strut and tie yang berupa rangka batang sehingga kita dapat mendesain tulangan tekan dan tarik secara sekaligus termasuk mendesain tulangan geser.
Ya Pak Wir, sudah tiga tahun ini saya di Padang lagi dan untuk guru besar masih jauh ni…. Ngomong-ngomong kapan conference EACEF diadakan lagi Pak?
SukaSuka
Salam, Pak Rendy
Tension shift yang dimaksud, yang diakibatkan pergeseran titik berat pada saat terjadi retak bukan? Pada saat beton mulai retak, secara logika, area penampangnya, kan, pasti akan berkurang.
SukaSuka
ya saya juga setuju banget mas,, thx dah berbagi
SukaSuka
terima kasih pak wir sudah membantu mencoba menjawab. menurut saya ini memberikan sudut pandang yang berbeda dari sebelumnya.
saya kebetulan memang ambil temanya tentang SRMPK, memang struktur rangka pemikul momen, khusus pula, sehingga diperlukan pendetailan tulangan agar persyrtn daktail terpenuhi. kebetulan peraturan yg dipakai adalah SNI beton 2013 dan SNI gempa 2012. pada akhirnya, saya gunakan Ld sesuai pada SNI beton 2013 karena memang tema yang saya ambil mereffer ke situ, saya belum berani mereffer ke luar karena yg saya gunakan adalah yang sudah distandarkan saja di indonesia. Selain itu, untuk selimut geser, mungkin sebenarnya sdh ada juga di bukunya Nawy, tetapi bila digunakan SRPMK, tetap saja akan besar perbandingan antara kapasitas dan kebutuhan karena pada bab 21 sni beton 2013 tentang SRPMK, jarak antar tulangan begelnya diberi batasan-batasan tertentu sehingga tidak bila ada bagian yang “tanpa” penulangan begel, yang mungkin saja dimaksudkan untuk menjaga sifat kedaktailannya sehingga dapat bertahan menjadi SRPMK.
SukaSuka
salut saya sama bapak. sudah nulis blog, masih sempat bikin buku. buku dan blog memang punya tujuan dan audience yang berbeda.
SukaSuka
selamat malam pak wir, pak saya mau bertanya bagaimana cara menghitung tulangan kolom yang menerima momen pada dua arah apakah diambil momen yang terbesar atau bagaimana pak?terimakasih sebelumnya pak
SukaSuka
Keren….
minta comment nya aja.buat lomba.makasi
biar gak sumpek baca tulisan wisataku & comment
39 PANTAI terindah di kota malang :
http://mlgcoffee.com/2014/08/10/malang-destinasi-pantai-eksotis-yang-perawan/ ato cerita bank danamon http://bit.ly/juaraS4TO3
SukaSuka
Pak Wir Yth. Saya mau bertanya mengenai tulangan lantai rumah 2 lantai. Pada waktu sekarang ini ketika orang membangun rumah 2 lantai, untuk tulangan lantai rata-rata menggunakan wiremess diameter 6 mm, ada yang menggunakan 1 lapis ada yang menggunakan 2 lapis. Seharusnya setiap pertemuan dengan balok dilas, tetapi kebanyakan diikat dengan kawat tali seperti tulangan biasa. Yang ingin saya tanyakan, apakah pasangan tulangan wiremes yang tidak dilas itu dibenarkan atau tidak? Terima kasih.
SukaSuka
Maaf nyela,
selama mengikuti produk baku wire mesh, pemasangan tidak perlu di las, cukup dengan overlapping satu bay (1 kotak jejaring wire)
SukaSuka
Ping-balik: cuplikan dari buku Struktur Baja yang akan terbit | The works of Wiryanto Dewobroto