Hari ini baru saja selesai ujian struktur baja 1, habis memberi pertanyaan ke mahasiswa. He, he. moga-moga pada bisa menjawab dan lulus, tetapi jika belum berarti perlu belajar lagi (ngulang), biar pintar.
Karena sudah mendapat giliran memberi pertanyaan, maka tidak ada salahnya juga jika dosennya juga ganti diberi pertanyaan. Betul nggak. Maklum yang namanya ujian, bagaimana bentuknya maka pada dasarnya adalah suatu proses peningkatan kompetensi. Jadi, bentuk ujian bagi murid atau guru, itu juga baik lho. Semakin banyak dan mampu mengatasi ujian-ujian, berarti semakin teruji. 😀
Meskipun demikian karena bentuk ujian ini sukarela dan juga ditujukan untuk kebaikan, maka tentu pertanyaan yang dipilih, yang tidak membuat stress. Oleh sebab itu pertanyaannya saya ambil dari tanggapan pembaca blog ini saja ya, khususnya yang dianggap gampang saja. Itu lho dari pak Gandhi Yuda sebagai berikut :
Submitted on 2014/08/05 at 16:08Selamat sore pak wir,
Salam kenal dari saya pak, saya tertarik dengan blog bapak khususnya artikel yang membahas hollow core slab. karena artikel tersebut memberikan informasi tentang slab hollow core yang saya butuhkan. Saya bekerja di salah satu perusahaan precast sebagai business development, dimana perusahaan saya berencana akan mengembangkan produk hollow core slab, sebenarnya ingin sekali saya berbincang langsung dengan bapak untuk membahas hollow core slab. Mungkin ada sedikit pertanyaan yang akan saya tanyakan ke pak wir.
1. Apakah metode menggunakan hollowcore slab pada bangunan tingkat tinggi di daerah senayan cukup aman dari gempa pak?
2. Mengapa metode flooring dengan menggunakan hollow core slab kurang begitu populer di indonesia? apakah karena banyak yang belum tahu hollow core slab atau hollow core slab memiliki kelemahan
3. Jenis dan ukuran hollow core seperti apa yang biasanya digunakan di indonesia?
4. Bila sekiranya pak wir bisa memberikan refrensi proyek struktural yang menggunakan hollow core slab yang ada dijakarta
Mohon maaf pak bila pertanyaan saya terlalu banyak. tapi karena keterbatasan informasi dan proyek yang menggunakan hollow core slab dan beruntungnya saya menemukan blog bapak di internet.
Salam sukses,
Gandi Yudha
Tertarik dengan jawabanku atas pertanyaan pak Gandhi. Silahkan dilanjut membacanya.
Tentang hollow core slab atau HCS aku memang tidak menggeluti secara khusus, tetapi karena ketertarikanku dengan bidang “structural engineering” dan suka mengamalkan “ngelmu titen” maka sedikit banyak aku tahu juga tentang hal itu. Jadi bisa dong sedikit sharing komentar. Moga-moga penjelasanku dapat diterima (lulus) karena jika tidak itu berarti perlu belajar lagi. 😀
Aku mengenal pertama kali tentang hollow core slab, yaitu ketika pertama kali bekerja di PT. Wiratman & Associates, Jakarta. Pada saat itu proyek Thamrin Plaza (sekarang namanya kalau tidak salah ATD Plaza) di Jalan Thamrin Jakarta Pusat, sedang direncanakan. Sistem lantai-lantai typicalnya memakai sistem HCS. Pemilik proyeknya adalah Kajima Jepang. Setahuku, itu merupakan proyek HCS yang pertama untuk bangunan tinggi di Jakarta. Maklum karena pada waktu itu, para engineer juga merencanakan (desain) penampang-penampang HCS, tepatnya memastikan bentang HCS dan strand kabel yang dipasang, mencukupi. Tahun berapa ya, wah lupa-lupa ingat. Kalau tidak salah itu tahun sekitar 1988-1990. Aku masih yunior waktu itu. Engineer in charge untuk perencanaan HCS waktu itu adalah pak Hanan Elkanan dan ibu Lanny Maruta. Keduanya sekarang sudah tidak di Wiratman lagi.
Beberapa tahun kemudian, ketika sudah menjadi dosen sempat membimbing anak-anak mahasiswa melakukan KP. Dari informasi mahasiswa yang melakukan KP di proyek Senayan Square, yang investornya Kajima juga, ternyata mereka memakai HCS juga. Ini adalah gedung tinggi ke dua yang aku tahu memakai precast HCS. Mungkin ada teman lain yang dapat menambahi.
Nah adanya fakta bahwa ada dua bangunan tinggi di Jakarta yang memakai HCS yang dikerjakan (direncanakan) oleh konsultan terkemuka maka tentunya dapat menjadi petunjuk bahwa sistem tersebut telah lolos tim pemeriksa bangunan atau TPKB. Jadi mestinya telah aman jika terjadi gempa.
Dari sisi keilmuan rekayasa populer, kesimpulan di atas rasanya cukup rasional juga. Kira-kira begini alasannya.
- Ditinjau dari cara pengerjaan, dimana HCS adalah precast prategang yang berlobang maka dari segi kekuatan tentu tidak diragukan. Adanya prategang juga dapat menjadi ujian pertama kali dari sistem pracetak tersebut. Jika ada keraguan tentang mutu material, maka tentunya akan langsung terdeteksi. Jika mutunyaj jelek, maka adanya prategang akan mengalami retak atau semacamnya. Apalagi produk pracetak umumnya produk industri berulang, dan dikerjakan di workshop jadi mutunya lebih dapat dihandalkan dari produk beton di lapangan.
- Keberadaan lobang tentu akan mengurangi berat sendiri struktur. Jika diaplikasikan pada lantai, yang merupakan unsur utama bangunan tinggi , tetapi bukan sistem penahan lateral, maka jika beratnya dapat dikurangi berarti massa bangunan juga bisa berkurang. Padahal seperti diketahui bahwa massa memegang peran penting terkait besarnya gaya gempa yang terjadi. Intinya, jika untuk suatu konfigurasi yang sama, tetapi lebih ringan maka tentunya gaya gempa yang harus dipikul akan lebih kecil. Itu dari segi gempa. Dari sisi akustik, adanya lubang juga sangat bagus bagi kenyamanan terhadap suara (penyekat suara yang lebih baik).
- Kelemahan yang bisa dilihat dari HCS dan juga unsur pracetak pada umumnya adalah tidak monolith. Perlu sistem sambungan agar dapat menjadi suatu sistem yang monolith. Tentang hal ini jika dikaitkan dengan gempa maka tidak terlalu mengkuatirkan. Maklum HCS bukan sistem struktur pemikul lateral, jadi untuk itu masih diperlukan balok dan kolom atau dinding gesert. Meskipun demikian, sistem lantai karena difungsikan juga sebagai lantai diaphgram maka perlu kondisi monolith arah lateral (horizontal). Tentang hal itu untuk proyek HCS di atas, kondisi monolith diperoleh dengan adanya pelat beton bertulang sebagai topping tambahan di atasnya. Tebalnya harus dipilih agar dapat dipasang satu lapisan tulangan sebagai pengikat. Ini juga penting sekaligus juga sebagai penyatu elemen-elemen pracetak HCS yang bekerja sebagai sistem satu arah.
- Kelemahan lagi jika digunakan HCS adalah sistem struktur lantai harus bersifat tipikal (berulang) dan sistem lantainya harus dalam satu arah (one way slab). Ini bisa optimal jika ada kerjasama dengan arsitek. Untuk proyek Kajima yang dari jepang itu relatif mudah, maklum arsitek jepang cukup memahami apa yang dimaksud dengan “bangunan beraturan” yang memang cocok untuk daerah gempa. Jadi kalau ketemu arsitek yang hanya didasarkan imajinasi saja, bisa gawati itu. Bisa-bisa lantai pakai HCS tidak cocok.
Kenapa itu tidak populer di Indonesia. Pertama, bahwa pemakaian HCS hanya akan menguntungkan jika dari awal hal itu sudah diperhitungkan dalam perencanaan. Jadi kalau HCS dipilih ditengah jalan maka tentunya keuntungan-keuntungan di atas tidak terlihat. Kedua, jika pemakaian HCS telah didefinisikan sejak awal, dan tidak ada pembanding, maka itu sifatnya monopoli. Harga bisa tidak ekonomis karena tidak ada pembanding.
Jadi usul saya, maka pemakaian HCS harus didefinisikan bersama dengan owner, dari awal. Kalau baru masuk setelah perencanaan selesai tentu tidak optimal.
Nah itu argumentasi jawabanku terkait pertanyaan dari pembaca. Moga-moga lulus. 😀
Selamat siang pak wir,
Wah saya sangat mengapresiasi pak wir dalam menjawab pertanyaan saya hingga dibuatkan satu artikel sendiri. Mungkin ini berguna juga untuk yang lainya sebagai refrensi, jawaban pak wir sangat mendetail. Saya sangat-sangat berterima kasih sudah membantu saya dalam menemukan jawaban/refrensi mengenai hollow core slab. Sekiranya kalau saya boleh meminta alamat email bapak untuk saling bertukar pikiran untuk kedepannya. ini alamat email saya pak wir gandiyudha@gmail.com.
Salam sukses,
SukaSuka