32 th setelahnya !


Penulis memang sudah cukup umur, dan di bidang karir yang digelutinya kadang sudah dapat dianggap senior. Jadi cukup menarik untuk mencari tahu, apakah kondisi yang saat ini dijalaninya telah diduganya 32 tahun yang lalu.

Catatan : sedikit memori lama hasil mengikuti reuni empat windu lulus SMA di Yogyakarta.

Jejak-jejak kehidupan dan karir seseorang memang menarik untuk dibuat cerita. Maklum itu kadang dapat dijadikan bahan renungan, yang baik ditiru dan yang buruk dihindari. Mana yang baik atau yang buruk, kadang relatif sifatnya. Antara satu orang dengan yang lain bisa berbeda dalam mensikapi sesuatu.  Akibatnya, bisa saja apa yang terlihat megah tetapi ternyata rapuh, bisa juga sebaliknya, yang terlihat rentan (kesan patut dikasihani) ternyata tetap survive dijalaninya. Bertahun-tahun kemudian bahkan bisa tetap eksis ditemui. Padahal lainnya, yang dahulu terlihat megah ternyata hanya tinggal nama belaka. Hidup itu penuh misteri.

Oleh sebab itu melihat kilas balik perubahan dalam 32 tahun kehidupan seseorang itu menarik. Bagi anak-anak muda, tentu itu patut dijadikan wawasan, siapa tahu dapat mengambil hikmat positip di dalamnya, sehingga ketika untuk waktu yang sama nantinya, akan lebih baik.

Untuk memulai, ada baiknya diceritakan terlebih dahulu latar belakang kehidupan waktu muda dahulu. Ini penting agar dapat dilihat perbedaannya dengan saat ini, yaitu setelah tiga puluh tahun lamanya.

Waktu kecil dulu, saya ini termasuk orang beruntung. Bagaimana tidak, lahir di keluarga berbahagia, terlihat tidak bermasalah, rukun dan berkecukupan secara ekonomi. Sampai sekarangpun masih saja dalam kondisi seperti itu, sehat dan sejahtera tentunya. Mereka kalau ditengok cucu-cucunya masih saja menyempatkan diri untuk memberi “sangu”. Ini tentu patut disyukuri mengingat saat ini sering dijumpai, pejabat atau orang-orang yang sukses secara materi sebelumnya ternyata dihari tua keluarganya bermasalah, misalnya kawin cerai atau dipanggil KPK. 😦

Karena latar belakang itu pula, saya mejadi orang yang betah di rumah, anak mama begitulah katanya. Hidup di kota yang relatif kecil, di Jogja, kemana-mana dekat, tidak macet. Jadi kegiatan utama di waktu kecil (muda) adalah bersekolah. Pulang sekolah lebih senang ngendon di rumah. Hobby waktu itu baca komik atau novel, kutu buku katanya. Itu benar-benar dinikmati, dan relatif jarang ikut acara-acara bersama. Kata orang waktu itu dianggapnya golongan introvet. Definisi yang aku tahu dari istilah itu, adalah bahwa orang introvet akan lebih senang untuk menyendiri daripada kumpul dengan banyak orang. Waktu itu, aku amini saja maklum pada sisi lain aku itu pemalu, nggak pede, apalagi didepan orang banyak.

Jika diamati lebih dalam, sifat diatas tetap saja aku punyai meskipun sudah berumur, dan kelihatannya itu masalah utama dalam perkembangan karir yang aku miliki.

Meskipun pemalu dan nggak pedean, tetapi dari sisi ego pribadi relatif tinggi. Gengsian gitu lho. Jadi misalnya dalam pesta kalau nggak ada yang ngajak makan apa gitu, maka ya malu untuk makan sendiri, meskipun lapar. 😦

Jadi masalah masa muda dulu kalau dirangkum adalah :

  • pemalu,
  • ngga pedean di depan orang banyak (nggak mau tampil)
  • ego pribadi tinggi, gengsian (sisi lain mudah tersinggung)

Ternyata itu mempengaruhi perjalanan hidup seseorang. Karena itu pula, maka ketika SMA dulu nggak berani ambil bidang kedokteran, maklum pikirnya nanti pasti akan ketemu orang banyak. Jadi dipilihlah bidang teknik, yang harapannya hanya ketemu dengan barang mati (bukan orang). Ini tentu suatu pendapat yang terkesan sepele, yang ternyata mengubah jalan hidup seseorang.

Meskipun bisa dianggap buruk, tetapi ego pribadi yang tinggi dan gengsian itu pula yang menyebabkan timbul kekuatan jika merasa disepelekan atau merasa diabaikan. Karena kumpul-kumpul nggak suka, tetapi nggak mau dianggap rendah dibanding yang lain, maka waktu itu diatasi dengan prestasi sekolah.

Ngomong tentang prestasi, nyata-nyatanya jadi juara hanya pernah di tingkat sekolah dasar, itupun juara kedua kelas. Yah, betul hanya kelas, maklum satu SD hanya satu kelas. Tapi waktu itu rasa-rasanya sudah pede untuk punya mimpi. Jadi karena itu pula maka berani ambil sekolah SMP favorit dikotaku. Kesannya sih biar dianggap pintar. .

Jaman saya dulu, SMP yang favorit di Jogja adalah SMPN 5 dan SMPN 8, yang lain ada kesan dibawahnya. Nggak tahu sekarang, mungkin yang favorit sudah banyak. Jadi waktu itu aku dapat masuk SMPN 5.Prestasi sih biasa-biasa saja, tetapi karena punya ego tinggi dan gengsian, maka nggak mau kalah untuk ikut arus teman-teman sekolah melanjutkan ke SMU favorit, yaitu SMAN 1 – Teladan Yogyakarta.

Meskipun waktu muda sudah bersekolah di sekolah favorit, tetapi ternyata karakter-karakter buruk atau lemah yang aku miliki tidak berkurang, bahkan rasa-rasanya semakin dominan.

Tiga puluh dua tahun akhirnya berlalu, dua minggu yang lalu atau tepatnya 30 Mei 2015 dilakukan acara reuni kembali ke SMA tersebut.

balihoGambar 1. Spanduk selamat datang untuk acara reuni

Menurutku reuni kali ini cukup istimewa bagiku. Istimewa dalam arti kata, sejak lulus SMA dulu, meskipun pernah dilakukan reuni beberapa kali tetapi baru pada reuni ini aku bisa hadir. Pikiranku, usia sudah setengah abad, ya kalau nanti diberi umur panjang : ya sudahlah hadir.

Dalam menyambut reuni tersebut, teman-teman di Yogya telah mempersiapkan dengan hangat, bahkan untuk itu dibuatlah buku kenangan yang mencantumkan nama-nama teman SMA dulu. Dipikirnya mungkin banyak yang lupa, jadi pada buku kenangan tersebut dimuat pula foto-foto masa lalu. Sentimentil begitulah.

Inilah sebagian buku kenangan yang dimaksud.

Buku-Kenangan-PZQ-3Gambar 2. Sedikit dari lembaran buku kenangan daftar hadir kelas

Mempelajari buku kenangan yang dimaksud, baru ketahuan bahwa punya kelemahan itu nggak enak sekali. Karena pemalu, nggak suka tampil maka akibatnya tidak banyak foto-foto yang dimiliki teman-teman. Jadi di buku kenangan tersebut hanya ada satu foto, itu saja tidak jelas. 😦

Jadi meskipun pernah belajar di sekolah favorit di jamanku, tetapi karena biasa-biasa ditambah introvet, pemalu dan gengsian, maka rasa-rasanya bukan apa-apa waktu itu. Gimana setelah 32 tahun berlalu.

Dengan sedikit memori masa lalu, maka aku sekedar pasif mengikuti acara tersebut. Kaospun aku ganti ketika tiba disana, yaitu ketika temanku ketua kelas (sdr Yanuar) datang menyapa dan membagi kaos yang dimaksud. Inilah teman-temanku yang baru datang dan bersiap-siap berdiri di halaman sekolah mengikuti acara reuni.

awal-reuniGambar 3. Sebagian teman-teman seangkatan yang hadir

Tiga puluh dua tahun telah lewat, teman-teman belajar dulu, sekarang telah menjadi bagian tokoh masyarakat. Ada yang dokter bedah plastik terkenal, ada dosen senior pascasarjana, ada istri dokter kepala rumah sakit besar, ada yang jadi walikota dan salah satu tokoh besar yang hadir pada hari itu adalah profesor yang juga rektor UGM.

Mengingat itu semua kadang-kadang ikut reuni dari sekolah favorit itu bikin minder. Yah begitulah, karir yang aku jalani tidak secemerlang teman-teman yang lain. Biasa-biasa sajalah, jelek sih tidak, tetapi beberapa bahkan telah melesat jauh dibanding teman-teman seangkatan.

Acara reuni pagi di gedung sekolah ternyata telah terkoordinir baik dengan pihak sekolah. Jadi dari angkatan kelas telah disusun suatu presentasi bagi adik-adik kelas yang belum lulus. Acaranya adalah pengenalan karir. Itupun aku baru tahu setelah semua berkumpul di aula dan disambut oleh adik-adik kelas yang cukup banyak.

Dalam pengenalan karir tersebut panitia reuni telah memilih teman-teman seangkatan untuk mempresentasikan mengenai karir yang digeluti agar dapat menarik pihak adik-adik kelas. Ada karir akademisi, ada karir dokter, ada karir polisi dan sebagainya, pokoknya siapa-siapa yang dianggap sukses dibidang tersebut untuk mewakili angkatan yang dimaksud.

Terus terang, aku tidak tahu sebelumnya. Oleh sebab itu aku cuek saja, ya sudahlah khan temanku sudah mempersiapkan. Aku duduk mencari tempat, sekedar melepas kangen pada teman-teman yang lama tidak aku temui.

wir1Gambar 4. Bersenda gurau dengan teman-teman lama

Kalau melihat senyumku di foto tersebut rasanya lupa kalau dulu aku itu pemalu. Ketika menunggu acara dimulai, aku dicolek oleh temanku yang menjadi pembawa acara, yaitu sdr Wikanto. Seperti biasa, orang yang lama tidak ketemu tentu senang mendapatkannya. Saya pikir sekadar menyapa ternyata beliau meminta saya, yang diketahui bekerja sebagai dosen, untuk membantunya. Aku sih ok-ok saja, hanya saja kaget bahwa yang dimaksud membantu itu adalah ikut menyumbang acara presentasi mewakili karir akademisi. Pembicara utamanya sih temanku yang Profesor dan juga Rektor UGM, yaitu Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. Aku melirik beliau, yang ternyata juga sudah datang bersama suaminya yang juga bergelar Profesor (Prof. Ir. Sigit Priyanto, M.Sc., Ph.D), sekaligus kakak kelasku dahulu ketika kuliah di JTS UGM.

bu-rektorGambar 5. Teman sekolahku yang sukses, Prof Dwikorita

Kalau Prof Dwikorita itu aku kenal sejak lama, yaitu ketika SMP. Tahu sendiri khan, aku dulu khan SMP-nya juga favorit, adapun Dwikorita dulu pernah terpilih sebagai pelajar teladan. Jadi teman sekelasnya mana yang tidak kenal dia. Jadi kalaupun sekarang memimpin universitas besar, maka tidak heran, sejak SMP memang sudah cemerlang. Adapun aku ini khan berbeda, masuk sekolah favorit itu khan tujuannya agar menjadi anggota saja. Itupun sudah bangga sekali, waktu itu nggak ngimpi untuk berprestasi, bisa naik kelas saja senangnya minta ampun. 😀

Jadi tadi ketika Prof Dwikorita datang, untuk menyapa juga agak sungkan. Iya kalau kenal. Jadi aku merasa temanku pembawa acara ini agak kurang ajar juga (aku merasa waktu itu) koq memintaku untuk mendampingi prof Dwikorita di depan teman-temanku yang lain untuk mewakili jenjang karir sebagai akademisi. Apa maksudnya, ini khan bisa mempermalukan diriku.  <<< grogi mode on >>

Saat itu perasaan seperti jaman SMA dulu, yang introvet dan pemalu sedikit menyeruak. Tapi hanya sebentar . . . . pikiran mulai jernih. Aku tanya : kenapa harus aku, mengapa tidak yang lain. Padahal teman-temanku yang hadir di acara tersebut ada yang profesor juga, kalau hanya doktor bahkan ada beberapa. Jadi menurutku, gelar doktor pada acara tersebut bukanlah sesuatu yang istimewa. Wajar saja, itu khan sekolah favorit di Jogja, jadi kalau hanya doktor, profesor, walikota, rektor, yah wajar, memang harus begitu.

Pak Wikanto, temanku yang menjadi pembawa acara menjelaskan, bahwa ini memang mendadak, alasannya bu Rektor waktunya terbatas, ada acara mendadak pula yang harus dikunjungi. Jadi tentu tidak bisa menjawab tuntas jika nanti ada pertanyaan, jadi dicarikan pendamping yang bisa bercerita dibidang karir akademisi atau dosen. Adapun aku dipilih bukannya tidak tahu, katanya. Pak Wikanto ini ternyata telah berteman denganku di Facebook juga. Jadi selama ini beliau telah mengamati kegiatanku, dan menganggapku cukup mumpuni untuk mendampingi bu Rektor tersebut.

Suatu penjelasan yang logis dan karena terkesan sungguh-sungguh maka permintaan yang sebelumnya seperti sebuah ujian berubah menjadi suatu kehormatan bagiku untuk dapat berbicara bersama temanku yang dianggap sukses tersebut. Jika ini 32 tahun yang lalu, pasti aku akan menolak dan lari, tetapi sekarang ternyata tidak seperti itu. Aku tidak tahu kenapa.

Permintaan mendadak untuk tampil, dan dibandingkan antara aku dulu yang introvet pemalu dengan temanku yang memang dulu sudah berprestasi dan saat ini sedang menyandang tanggung jawab besar dan membanggakan yaitu rektor UGM. Lalu apa yang harus aku sampaikan. << serius mode on >>

Aku memang meraih gelar doktor, tapi itu khan di bidang teknik sipil. Jika itu yang aku sampaikan ke adik-adik kelas, maka tentu mereka tidak paham. Padahal aku tidak menyiapkan sama sekali materi atau gambar yang mendukung. Tahu sendiri di bidang teknik sipil khan banyak gambarnya. Kalau aku ngomong prestasiku meraih gelar doktor tersebut, maka tentu kalah jauh dengan prestasi temanku yang sudah profesor itu. Jadi ngomong apa ya agar tidak terkesan “terbanting”. Untunglah waktu tampil presentasi yang pertama adalah temanku yang profesor tersebut.

pidato-prof-ritaGambar 6. Prof Dwikorita, yang juga Rektor UGM sedang berpidato

Terus terang, pada saat Prof Dwikorita berpidato seperti di atas, aku berpikir sangat keras. Kira-kira apa yang akan aku sampaikan ke adik-adik kelas tentang karir di dunia akademi. Sepintas aku mendengarkan, bagaimana Prof Dwikorita sedang memotivasi adik-adik kelas, bagaimana mereka nanti berkiprah agar Indonesia bisa jaya dan tidak kalah dengan negara-negara manca negara.

Tentang pidato yang disampaikan beliau, agak ciut juga nyali saya. Maklum kiprah Prof Dwikorita sudah tidak disangsikan lagi, tidak terbatas di bidang ilmunya saja, yaitu geologi, tetapi sudah bersifat umum, juga wawasan birokrasinya khan juga luas. Adapun aku, taunya khan hanya bidang teknik sipil, itupun bidang struktur, khususnya baja dan semacamnya. Ada lagi yang membuat ciut, yaitu ketika Prof Dwikorita menegaskan kepada adik-adik kelas di SMAN 1, bahwa mereka itu belajar di sekolah terkenal. Pada jamannya dulu, prof Dwikorita menegaskan bahwa teman-temannya (dulu) adalah ternyata juara-juara di SMP-nya masing-masing.

Akhirnya setelah berpidato cukup lama, waktupun berakhir. Nah kemudian pemandu acara mempersilahkan aku untuk juga sharing pengalaman karir selaku akademisi. Waktu berpikir telah habis, sekarang adalah giliranku untuk berbicara. Untung pada saat yang tepat, aku mendapatkan inspirasi tentang apa yang harus aku sampaikan.

Kira-kira apa hayo kalau dua orang berbicara untuk bidang karir yang sama, yaitu sama-sama bidang akademisi, adapun yang satu dahulu dianggap biasa-biasa dan yang satunya memang sejak lama sudah terkenal selalu berprestasi.

Satu hal yang membuat aku percaya diri untuk berbicara disamping orang terkenal adalah adanya keyakinan diri bahwa pembawa acara yang memintaku itu tentu menganggap bahwa itu adalah pilihannya yang terbaik. Posisi yang aku jalani ini, pastilah dianggap tidak beda-beda jauh dengan pembicara yang aku dampingi. Ibarat kalau temanku itu berpangkat Jenderal maka akupun tentunya telah dianggap menyandang pangkat Kolonel . Sisi lain, aku juga tidak malu untuk mengakui bahwa waktu sekolah dulu, aku adalah bukan apa-apa prestasinya dibanding temanku yang profesor tersebut. Jadi dua kondisi itulah yang aku jadikan topik pembicaraanku di depan adik-adik kelas.

Catatan penting : Proses berpikir, bertanya lebih detail tentang masalah, dan berpikir lagi sampai tahapan ini, adalah penting sekali sebagai bagian dari penyelesaian masalah. Tahapan ini dilakukan di dalam diri sendiri. Bagi seorang introvet proses ini akan secara otomatis berlangsung. Perbedaan akan nyata jika dalam proses berpikir tersebut yang bersangkutan dibiasakan untuk berpikir positip (melihat sisi baik dari suatu masalah) dan bersyukur (mengidentifikasi hal-hal yang positip dari diri sendiri dari lainnya). Jika ke dua hal itu dijadikan kebiasaan, maka dengan proses berpikir seperti di atas dapat dengan mudah mengubah masalah menjadi tantangan, yang semula dianggapnya ujian menjadi suatu kehormatan. Jika pada tahap ini sukses, sisanya akan dapat dengan mudah mengalir lancar. Ini proses harus selalu dilatih dan dibiasakan. Salah satu keuntungan penulis agar dapat selalu kreatif dan tulisannya banyak dibaca, umumnya hal-hal diatas akan dilakukan selalu.

Ketika aku di depan adik-adik kelas, maka aku memperkenalkan diri bahwa aku juga bekerja sebagai dosen di universitas, seperti prof Dwikorita. Aku memang sengaja tidak menjelaskan secara lengkap, nama atau gelar yang dipunyai. Tahu sendiri khan, kenapa . . . . Dalam hal ini, aku hanya menekankan bahwa kenapa ada dua orang yang dipilih mempresentasikan tentang karir akademisi.

Pertama memang dipilih Prof Dwikorita, kenapa hayo. Karena memang wajar saja, beliau dulu yang aku tahu sejak SMP pun sudah berprestasi, SMA apalagi, jadi kalau sekarang setelah 32 tahun jadi Profesor dan bahkan memimpin salah satu universitas besar negeri ini, yaitu UGM, ya wajar-wajar saja. Jadi bagi adik-adik kelas, yang saat ini berprestasi maka siap-siaplah untuk mendapatkan posisi seperti Prof Dwikorita, atau bahkan yang lebih baik lagi. Saya kira impian-impian yang disampaikan oleh Prof Dwikorita saat itu tentunya sangat cocok bagi yang punya prestasi.

Meskipun sekolah favorit, yang terkenal di Yogyakarta, tetapi aku yakin sekali pasti ada yang biasa-biasa saja (tidak menonjol), yaitu seperti aku dulu. Nah, rasa-rasanya aku memang diminta untuk sharing untuk adik-adik kelas yang seperti itu. Jadi yang aku sampaikan ke mereka, adalah bahwa kalau ini terjadi 32 tahun yang lalu, maka pastilah aku tidak akan berani menerima tanggung jawab seperti ini, yaitu berbicara didepan banyak orang dan diantara orang-orang yang berprestasi pula. Mengapa begitu, maka aku ceritakan bahwa aku dulu itu penakut, tidak suka tampil dan di satu sisi adalah introvet. Meskipun aku dulu juga alumni sekolah itu, seperti halnya Prof Dwikorita, tetapi aku dulu sebelumnya bukanlah juara-juara kelas. Jadi aku ini dulu adalah biasa-biasa saja. Bahkan aku menyebutnya, aku ini “asal katut”, beruntung saja bisa diterima di SMP dan SMA favorit, waktu itu.

Kalaupun saat itu diminta maju berdiri dan bercerita tentang karir di perguruan tinggi, maka pastilah ada sesuatu. Nah sesuatu itu yang ingin aku ceritakan kepada adik-adik kelas.

Jadi pertama-tama aku sampaikan kepada adik-adik kelas di sekolah favorit itu, bahwa bagi mereka yang biasa-biasa dan belum berprestasi maka jangan kecil hati. Saya dapat menjadi contoh, bahwa saya yang dahulu bahkan tidak membayangkan diri bisa berbicara didepan orang banyak, maka ternyata hari ini setelah 32 tahun berlalu, ternyata bisa berubah. Ini bukti nyata bahwa anak-anak SMA tersebut, meskipun biasa-biasa saja ternyata bisa survive. 😀

<< plok-plok riuh bergema >>

Pastilah ini adik-adik kelas yang biasa-biasa, dan ternyata banyak  😀

Yang kedua, ini juga yang perlu diingat. Jika yang biasa-biasa bisa berubah, maka tentu saja yang dulu luar biasa maka dalam perjalanan waktupun bisa saja menjadi biasa-biasa saja. Intinya, meskipun sudah berhasil belajar di sekolah favorit, tetapi jangan lena, karena setelahnya masih diperlukan kerja keras untuk meraih kesuksesan dikemudian hari.

Satu hal menarik ketika belajar di sekolah favorit adalah adanya budaya kompetisi, nggak mau kalah. Apalagi ditambah karakter yang aku punya bahwa ego tinggi dan nggak mau disepelekan. Jadi aku merasakan bahwa karakter ini dilatih dan diperkuat ketika aku dulu sekolah di tingkat SMP dan SMA, untuk akhirnya perguruan tinggi.

Tidak lena, berarti sadar akan sesuatu yang perlu diraih, ditambah dengan semangat kompetisi. Tahapan ini aku punyai sampai aku lulus SMA dan itu aku gunakan untuk menempuh pendidikan tinggi di JTS UGM. Tetapi itu semua tidak menutup kekuranganku yaitu tetap introvet dan pemalu (takut didepan orang banyak). Bahkan itu aku rasakan sampai lulus program S2 di UI.

Jika dipikir-pikir, proses pemalu itu mulai pudar ketika aku mulai bisa menulis. Adapun untuk bisa menulis itu aku merasa “karena aku hanya menulis pada bidang yang aku geluti dan aku kuasai saja“. Itu berarti pilihanku untuk tetap fokus menggeluti bidang yang aku pilih sejak lulus S1 ternyata sangat membantu.

Jadi saya bilang, pintar saja tidak cukup, akan ada hal-hal baru yang akan muncul jika kita terus menggeluti bidang tersebut. Tentang hal ini ada satu hal yang penting, yaitu passion. Agar dapat menggeluti bidang tersebut dan menjadi istimewa, maka perlu menjiwai dan itu diperlukan passion atau kesenangan (kenikmatan) bergelut dengannya. Jadi bekerja itu jangan semata-mata hanya melihat duitnya saja, tapi harus sesuai kata hati. Terkait hal itu, maka ada satu hal penting yang perlu diingat bahwa kita tidak boleh menipu diri kita sendiri. Itu dosanya besar. Jangan sampai kita bekerja pada sesuatu yang tidak kita senangi hanya sekedar karena duitnya saja. Untuk jangka pendek, bisa saja itu diterima, tetapi untuk jangka panjang maka itu bisa mematikan diri sendiri. Kita nanti akan bekerja seperti robot, yang rutin-rutin saja. Kreatifitas dan imajinasi biasanya akan hilang dengan sendirinya. Padahal keduanya itulah yang membuat manusia itu “besar”.

Tentang hal di atas, ada pepatah yang cocok untuk dipakai, yaitu : gapailah cita-citamu setinggi langit, raihlah mimpi-mimpimu.

Selanjutnya saya juga perlu mengingatkan pula, sebagaimana tadi disampaikan prof Rita tentang bagaimana Indonesia menjadi negara besar. Nah saya memberi pesan yang mungkin agak berbeda, intinya jangan mimpi negeri ini akan menjadi Indonesia hebat, jika dari sendiri saja belum mandiri. Jadi sebelum kita punya cita-cita negera besar, maka mulailah terlebih dahulu kita ini menjadi mandiri. Tidak tergantung dari orang lain.

Tentang kemandirian tersebut lalu saya memberi contoh. Istilah mandiri memang relatif, sebagai misalnya saya sebagai dosen. Apa yang dimaksud dengan mandiri. Itu tentu relatif. Sebagai dosen agar bisa dianggap mandiri maka mulai dari diktat atau materi kuliah. Jika dosen-dosen lain memakai buku textbook asing untuk kuliahnya dan bangga dengan itu. Maka saya berbeda, saya bangga dengan buku karangannya saya sendiri. Tentang ini, aku sangat pede, maklum buku-buku karangannya khan banyak. Ini salah satu bukuku yang baru terbit. 😀

Selanjutnya jika kita bisa mandiri, tentu tidak hanya sekedar pakai buku sendiri, tetapi juga hal-hal yang lain, seperti misalnya telah mendapatkan gaji yang mencukupi untuk keluarga. Itu juga berarti keluarganya juga dapat mandiri. Pada tahap ini, keluarga sudah bisa menumpuk kekayaan. Nah disini perlu diingatkan, bahwa kita tidak boleh egois. Bahwa kesuksesan yang kita terima itu adalah karena pemberian Tuhan, jadi kita harus ingat itu. Rasa syukur itu harus kita kembalikan kepada sesama, agar juga mendapatkan jalan yang sama. Itulah pentingnya kita berbagi.

Nah jadi cita-cita untuk mewujudkan Indonesia besar, sebagaimana tadi yang diharapkan Prof Rita maka itu dapat terwujud bila rakyatnya banyak yang mandiri dan banyak yang mencapai tahap berbagi. Tentu saja yang dapat dibagi adalah hal-hal yang telah dicapai dengan passion tersebut.

Itulah sedikit yang aku sampaikan ke adik-adik kelas SMA-ku dulu, bukan bidang engineering sih, tetapi sekedar pencerahan dalam menempuh karir setelah 32 tahun lulus.

aksi-didepan-rektor-ugmGambar 7. Sedikit aksi didepan adik kelas SMAN 1 Teladan.

Demikian pengalaman tak terlupakan yang aku dapat setelah 32 tahun lulus SMA. Kepada saudara Wikanto, moderator pembawa acara diucapkan banyak terima kasih atas kesempatan yang tak terlupakan di atas, yaitu menjadi pembicara dadakan. Akhirnya, semoga suatu saat nanti dapat dicapai juga prestasi yang sama sebagaimana telah dicapai oleh teman kami yang membanggakan, sdri Prof. Dwikorita.

Semoga Tuhan berkenan. Amin.

Kesimpulan : Menjadi penulis yang baik ternyata dapat secara efektif mengobati penyakit minder, kurang pede, atau introvet, yang oleh proses pendidikan di sekolah terbaikpun tidak gampang terkikis. Waktu 32 tahun telah membuktikan itu.

Jadi bagi orang yang mempunyai masalah sama, jadilah penulis. 😀

9 pemikiran pada “32 th setelahnya !

  1. Postingan yang keren pak. Sangat menginspirasi. Kisah bapak ini seperti saya yang sekarang lulus dari sma dan smp yang favorite. Tidak menonjol dan pemalu. Tidak suka bergaul. Anak rumahan. Tulisan ini bisa memotivasi saya pak untuk lebih maju. Saya melanjutkan study di teknik sipil UII jogja. Sangat mirip pribadi kita pak. 🙂

    Suka

  2. Salam kenal Pak Wiryanto. People Change… hebat Pak. Saya sedikit banyak mirip dengan karakter Bapak. Saya kebetulan dari SMP/SMA favorit di Pekanbaru. Syukur saya bisa survive di Jawa, hehe…

    Saya banyak sahabat dari SMA 1 Teladan Jogja Pak, bahkan ada yang jadi narapidana, sohib akrab saya selama kuliah, saya sempat besuk beliau di wirogunan dan memberikan motivasi. Smoga beliau nanti sukses juga. Setiap orang melihat orang sukses sering gamang bila dibandingkan keadaan dirinya, padahal kita punya garis hidup dan perjuangan sendiri sendiri. Kita suka lihat rumput orang lain lebih hijau, padahal sebenarnya kita juga tidak paham seperti apa situasi di dalamnya.

    Sangat memotivasi dan saya setuju, budaya menulis mengasah motivasi untuk berubah dan mencerahkan orang lain. Salut!

    Suka

  3. Andrianto

    salam kenal pak wiryanto…saya andrianto dari surabaya…..saya sangat mengagumi karya bapak yang terbaru sangat bagus dan informatif sekali………
    pak saya mempunyai case yang mungkin pak wiryanto dapat memberi saran dan masukkan kepada saya…..
    apabila saya mempunyai rafter dari baja dengan bentang panjang (misal 60 meter) berbentuk busur dari pipa (ada rafter atas dan bawah dan saling diikat oleh bracing) dan semua sambungan adalah dilas…….
    apabila case ini saya running melalui program sap 2000 dengan beban-beban hujan ,penutup atap ,dll pada tiap joint2 rafter yang bekerja maka rafter bagian bawah ada yang menerima gaya aksial tarik dan tekan……untuk rafter bagian bawah yang menerima gaya tekan akan dicek dengan flexural buckling (untuk pipa) ,dan untuk batang tekan dicek terhadap kelangsingan (k.l/r)……apabila tambatan lateral untuk rafter bagian atas dapat diatasi dengan gording, apakah untuk panjang Length (untuk kelangsingan k.l/r) rafter bawah saya ambil 1/2 panjang busur bagian bawah apabila saya beri lateral bracing bagian tengah bentang atau lengthnya saya ambil panjang bagian rafter bawah yang hanya mengalami tekan saja mengingat rafter bagian bawah ada bagian tekan dan tarik? apabila kejadiannya seperti ini, maka rafter bagian bawah memiliki kapasitas kecil mengingat nilai lambda yang dihasilkan besar? menurut bapak apakah ada solusi yang lain untuk mengatasi case tersebut?
    terima kasih buat bantuan dan saran pak wiryanto……..

    Suka

    1. wir

      Rangka berbentuk busur, hati-hati. Perilakunya tergantung kondisi tumpuan, akan ada tendangan lateral. Jika tumpuan tidak disiapkan dengan baik, maka bagian bawah tetap tarik, tetapi jika tumpuan dapat tertahan untuk tidak bergerak arah lateral, seperti misalnya sendi-sendi, maka jadilah struktur brusur, yang mestinya keseluruhan akan tekan. Untuk pipa, maka yang menentukan adalah kelangsingan terbesar atau jarak bracing terjauh, khususnya untuk struktur 2D. Itulah makanya pipa banyak digunakan untuk struktur 3D, self standing structures.

      Jadi untuk kelangsingan pipa bagian bawah, maka faktor utama kondisi tumpuan. Jika ternyata sendi-sendi, maka batang pipa bawah juga bisa pada kondisi tekan, seperti bagian atas.

      Suka

      1. Andrianto

        ooh iya benar sekali pendapat bapak…..tapi pak wiryanto ,pengertian tumpuan tidak disiapkan dengan baik itu memiliki maksud dalam pelaksanaan konstruksinya atau dalam perencanaan desain (salah dalam mengidealisasi tumpuan )? lalu apakah kondisi idealisasi jepit-jepit disarankan untuk struktur busur ya pak?
        terima kasih buat saran-saran bapak yang sangat membantu saya……

        Suka

      2. wir

        ya konsisten antara desain dan konstruksinya. Jika sendi-sendi, selain daya dukung vertikal, juga daya dukung horizontal. Maklum pondasi biasa, umumnya lemah terhadap daya dukung horizontal. Apalagi kalau dianggap jepit, tidak boleh terjadi rotasi pada pondasinya. Pilihan sendi-rol, yaitu hanya menerima (kuat) gaya vertikal karena relatif lebih murah.

        Suka

  4. Andrianto

    pak wiryanto, saran2 bapak sangat membantu dan menambah ilmu saya……terima kasih buat bantuannya pak wiryanto….semoga bapak sukses selalu dan saya akan tunggu karya bapak berikutnya…..

    Suka

  5. kegiatan menulis sudah merupakan kebutuhan bagi para penulis
    namun hal penting yang dilihat adalah tujuan penulisan tersebut
    dan saya termotivasi dengan tulisan bapak
    salam kenal pak

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s