Jadi penulis itu memang harus “gila“, pede tinggi, gigih dan nggak punya rasa malu. Gitu kata teman sesama penulis ketika menghadiri acara pelatihan penulis yang diselenggarakan PT. Elexmedia Komputindo, beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku hanya mengangguk-angguk saja, maklum belum terlalu pede. Sisi lain karena pada dasarnya aku ini khan bukan tipe ekstrovet, nggak suka tampil, jadi untuk mengamini pernyataan di atas, agak ragu juga.
Dalam perjalanan waktu, pernyataan tersebut koq ada benarnya juga. Seperti diketahui, buku-buku yang aku tulis khan sifatnya khusus, tidak setiap orang “sanggup” atau bisa memahami dengan baik materi yang kutulis. Maklum, aku penulis tentang genre “engineering”, sehingga komunitas pembacanya juga tentu saja orang-orang yang berlatar belakang engineering juga. Jadi pantas saja, jika 3 atau 4 tahun lalu, ketika aku menawarkan judul-judul bukuku ke penerbit umum, mereka sebagian besar menolak, maklum latar belakangnya khan bukan teknik. Alasannya macam-macam, untuk buku tentang SAP2000, penerbit menolak dengan alasan program komputer yang digunakan sudah kuno. Ada juga penerbit yang berterus-terang dengan jelas-jelas menyatakan bahwa buku-buku teknik sipil, peminatnya terbatas. Ini khan seperti sama saja mengatakan bahwa orang-orang berlatar belakang rekayasa teknik sipil, tidak suka beli buku. 😀
Jadi hal ditolak penerbit adalah biasa. Dalam soal tulis-menulispun, ada juga yang meragukan apakah bukuku layak terbit (ini waktu mencari sponsor). Tetapi bak pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, maka akupun demikian, jalan terus dan tidak terpengaruh kata orang. Mungkin juga sikap itu didukung oleh kelulusanku mengambil program doktoral tahun 2009 dulu. Sejak itu, aku menjadi semakin pede saja dalam menulis. Dalam benakku sekarang, ada mungkin orang yang tidak setuju dengan tulisanku, tetapi yang setuju dengan pendapatku dalam tulisan itu tentu akan lebih banyak lagi di luar sono. 😀
Jika sebelum menempuh program doktoral dulu, ketika ada materi yang diulas berbeda dengan pendapat teman-teman yang lain, maka aku mikir seribu kali. Mengapa koq beda. Agak takut-takut gitu. Jadi aku menunggu materi tersebut sampai pendapat orang lain ada kesesuaiannya . Namun ketika selesai menempuh program doktoral, yang memang diwajibkan menghasilkan penelitiannya orisinil, belum pernah diungkap orang lain, maka ketika menjumpai tulisan yang berbeda, akan tetap pede-pede saja. Ini memang versinya Wiryanto. 🙂
Note : Keberanian menyampaikan pendapat berbeda, kadang ada juga risikonya. Ini pengalaman terkait hal itu.
Kejadiannya sih di suatu kepanitiaan, yaitu ketika dipilih jadi juri atau semacamnya itu. Ini sih permasalahan antara sesama juri. Jadi waktu itu, ada juri yang sekaligus juga tuan rumah penyelenggara. Dalam suatu rapat dewan juri, yang bersangkutan mencoba suatu perkecualian, semacam keistimewaan penilaian. Agar teamnya juga mendapat nomor juara. Yah agar tuan rumah terhibur, maklum khan sudah kerja keras dan menguasahakan acara tersebut.
Nah, saya pikir jadi juri itu khan harus netral, maka tanpa pikir panjang saya berkomentar menanggapinya (dalam rapat secara terbuka). Intinya “koq begitu” caranya. Apa nggak malu. Eh ternyata, ini ada dampaknya. Berikutnya saya tidak diminta lagi jadi juri. Saya sih nggak masalah tentang hal itu, maklum kesibukan juga numpuk. Hanya saja ada teman yang masih terlibat di acara tersebut melapor : Pak Wir nggak jadi juri karena ada yang merasa keberatan, katanya : pak Wir nggak kooperatif.
Waktu itu aku kaget juga, apa iya. Karena ingat kejadian di atas, maka aku iseng-iseng bilang : orangnya itu ya, yang merasa keberatan. Eh, ternyata teman yang lapor itu bilang : ya pak Wir. Nah karena dugaanku benar, maka aku jelaskan terkait istilah tidak kooperatif tersebut. Itulah yang aku maksud, bahwa membuat pernyataan yang berbeda, bisa berisiko khususnya jika menyangkut pribadi. 😀
Yah, risiko memang selalu ada tanpa harus berbeda. Apalagi kalau terkait menghalangi maksud pribadi seseorang. Konsekuensi yang aku ceritakan di atas, bisa saja terkesan negatif (bagiku), karena ada kesan kalah. Nggak bisa lagi berpartisipasi dalam kepanitiaan tersebut. Tetapi pada satu sisi lain, aku bersyukur karena masih dapat mempertahankan integritasku. Aku masih seorang idealis. Bagiku seorang juri itu harus netral, apa adanya, tidak “melihat” siapa yang bertanding dan kemudian memberi penilaian yang berbeda (subyektif).
Keinginan yang idealis itu pula yang menyelamatkan karya tulisku. Meskipun banyak penerbit sudah menolak, tetapi aku tetap pede-pede saja untuk menawarkan ke semua pihak, bahwa buku-buku karyaku adalah luar-biasa (menurut sudut pandangku sendiri lho). Setelah melewati berbagai rintangan dalam mempertahankan idealisme tersebut, akhirnya ketemu juga dengan bos Lumina Press. Itu sudah lama, karena sejak tahun 2013 sampai sekarang sudah ada dua bukuku yang dapat diterbitkan.
Gambar 1. Buku-buku karyaku yang diterbitkan LUMINA Press
Pihak Lumina Press memang luar biasa dalam mendukung buku-buku karyaku. Nggak tanggung-tanggung. Mungkin juga karena saat ini, buku-buku terbitannya adalah karanganku semua. Saat ini proses penjualannya memang terbatas masih dengan cara on-line. Tapi jangan heran, sejak bulan April lalu, atau sekitar empat (4) bulan, sudah ratusan yang terjual.
Selama ini promosinya memang dari medsos yang aku punya, baik blog ini maupun Facebook. Cara tersebut tentu terbatas pada orang-orang yang punya akses pada medsos tersebut. Padahal tidak setiap engineer selalu terkontak dengan internet. Jika demikian tentu tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Mengetahui keterbatasan cara on-linie atau via medsos, maka mulai tahun ini pihak Lumina Press bekerja sama dengan alumni UPH mulai melakukan penjualan langsung. Mula-mula membuka stand di acara UPH ketika ada seminar / workshop. Saat itu cukup berhasil, peserta workshop sekitar 50 orang, buku yang terjual sampai 60 atau berarti satu orang beli dua buku. Mengacu kesuksesan stand di acara UPH, maka tanggal 25-27 Agustus kemarin, pihak LUMINA Press mencoba peruntungan di seminar nasional HAKI, dimana pesertanya bisa lebih dari 400 orang. Ini situasi stand LUMINA Press di seminar HAKI.
Gambar 2. Stand penerbit LUMINA Press
Memang saat ini, masih terbatas pada dua judul buku, tetapi dengan komitmen yang berorientasi pada mutu buku yang diterbitkan maka penerbit LUMINA Press tentu kedepannya akan berkembang. Kata kuncinya adalah tetap idealis, yang pada kondisi tertentu terkesan merugikan (lihat ceritaku di atas tentang juri) tetapi pada banyak kondisi juga menambahkan berkat. Pada foto di atas, terlihat penulis (sebelah kiri) dan sdri Nike serta sdr Hendrik (sebelah kanan) yang semuanya adalah dosen dan asisten dosen di Jurusan Teknik Sipil UPH untuk mata kuliah Struktur Baja. Bahkan kedua asistenku itu juga alumni dan muridku di UPH, membanggakan juga khan.
Mungkin foto di atas terkesan sepele, tetapi yakin tanpa percaya diri yang besar, maka adanya stand khusus yang menjual buku-buku ilmiah teknik sipil (struktur) di acaranya para pakar se Indonesia, tentu tidak akan berani dilakukan. Pada acara tersebut maka para ahli dan pakar di bidang teknik sipil (struktur) seluruh Indonesia ini akan hadir. Sebagai pakar atau orang-orang yang menggeluti bidangnya (teknik sipil), tentunya mereka akan tahu buku teknik sipil yang bermutu atau yang biasa-biasa. Faktanya selama ini, selama saya mengikuti seminar serupa sebelumnya, sangat jarang bahkan belum pernah ada stand yang berani seperti itu. Bayangkan, stand hanya menjual dua judul buku, harganya juga nggak murah-murah amat, buku lama dihargai Rp 200 ribu dan buku baru dijual Rp 240 ribu. Nyatanya, ketika mulai siang, di sela-sela rehat acara seminar, para peserta ternyata pada tertarik berkunjung di stand LUMINA Press. Lihat.
Gambar 3. Para pengunjung di stand LUMINA Press.
Gambar 4. Sekali-sekali seperti selibriti juga, sebar tanda-tangan
Gambar 5. Pembeli buku-buku Lumina Press
Yah ramainya stand Lumina Press seperti di atas adalah gambaran positip terkait bagaimana selalu memegang teguh idealisme. Tentu itu tidak terjadi cepat seperti membalik telapak tangan. Itu terjadi sekaligus meningkatnya reputasi, kepercayaan orang yang semakin bertambah. Tentang itu semua tentu tidak mengherankan, maklum masih sangat jarang penulis buku teknik khususnya teknik sipil yang sanggup mempertahankan idealisme kualitas buku seperti yang diterbitkan LUMINA Press. Umumnya hanya terbatas bisa terbit, dan memberikan kum (bagi dosen). Padahal kalau dipikir-pikir saja, di seluruh Indonesia ini ada sekitar 297 program studi teknik sipil yang terakreditasi. Jadi kalau dianggap dari satu program studi ada satu potensi pembuatan buku, maka tentu akan banyak saingannya, nyatanya LUMINA Press saat ini sendirian, tidak ada saingan. 😀
Kesempatan tampil bertemu langsung dengan para pakar di acara seminar tersebut juga memberikan kesempatan pakar manca negara melihat kualitas buku yang diterbitkan. Itu tentu tidak terpikirkan, karena bahasa yang digunakan bahasa Indonesia, yang tentunya tidak menarik bagi teman-teman mancanegara. Nyatanya tidak demikian adanya, dalam acara seminar tersebut hadir pakar baja dari Jepang, yang sedang mempromosikan produk dan teknologinya. Dari hasil pengamatan yang disampakan ketika beliau memberikan seminar dinyatakan bahwa teknologi dan rekayasa sturktur baja di Indonesia relatif tertinggal dibanding struktur beton . Untuk itulah dia berani tampil dan menawarkan produk baja yang bermutu tinggi. Dengan cara pandang demikian, pakar tersebut cukup heran akan stand LUMINA Press yang ternyata menawarkan buku tentang Struktur Baja. Ternyata di Indonesia ini ada juga orang yang “berani” menulis buku tentang baja, yang tidak kalah dengan negaranya.
Beliau kaget, karena sebelumnya dia menyatakan sudah berkeliling ke berbagai perguruan tinggi besar di Nusantara ini, dan sudah bertemu dengan pakar-pakar kita yang dianggap ahli struktur baja. Meskipun demikian baru pada seminar HAKI kemarin dianya ketemu dengan buku tentang struktur baja yang asli karya anak bangsa (bukan terjemahan dari buku luar). Saat itu (di stand) memang aku tidak sempat ketemu langsung, tetapi karena di bukuku juga tercantum alamatku, maka pakar manca negara ini langsung menghubungiku . Ini suratnya.
Surat perkenalan dan keinginan bertemu. Ini tentu hal yang biasa-biasa bagi orang bisnis. Tetapi karena ini disebabkan oleh buku, maka tentu itu tidak akan terjadi jika buku yang dimaksud adalah biasa-biasa saja. Pastilah buku yang menyebabkannya adalah buku yang istimewa. Ini juga bukti, bahwa hal-hal yang idealis akan mendatangkan kebaikan, meskipun datangnya kadang tidak bisa kita ramalkan.
Terima kasih sdr Hikaru Senda, semoga anda juga mendapat manfaat dengan mengunjungi kami di kampus UPH Karawaci, Tangerang. O ya, saya terkesan sekali dengan komentar yang anda sampaikan ketika bertemu kemarin, yaitu “Your book is very cheap“.
Lha iya, karena kalau di kurs dollar buku tersebut khan harganya hanya 17.5$ (maklum cara pikir manca negara yang bukan rupiah). Jadi bagi teman-teman yang belum punya, cepat beli lho. Nanti kalau cetak ulang, harganya jelas tidak bisa sama. Dollar khan semakin mahal terhadap rupiah, padahal seperti kita tahu tinta cetaknya khan masih impor dari luar, jadi masih pakai dollar. Jika tertarik buku-bukuku dan ingin beli, yuk langsung saja ke http://lumina-press.com
Pak apakah ada wacana untuk menulis buku ETABS? Nanti jangan lupa di update di blog ya
SukaSuka
Tentu saja, hanya kapan waktunya belum bisa ditetapkan. Saat ini saya dengan penerbit sedang mengusahakan judul buku yang dapat diterbitkan lagi tahun depan. Salah satu judul buku yang kelihatannya menarik adalah “Belajar Cepat SAP2000”. Materinya tentu saja berbeda dengan buku sebelumnya, yaitu “Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000”, dimana untuk yang baru lebih ditekankan pada SAP2000 versi 15.0 ke atas.
Jika buku itu jadi, nanti akan dikembangkan lagi jadi “Belajar Cepat ETABS”, dan lain-lain. Judul buku itu dipikirkan karena merasa bahwa kalau menulis buku struktur baja, waktunya akan lama karena perlu ekspertise yang tinggi lagi. Jadi sambil mempertinggi ekspertise di baja, maka nulis saja tentang SAP2000 saja. Begitu dik.
SukaSuka
Bersikap apa adanya memang ada saja rintangannya pak. Ini sekedar sharing pengalaman yang saya rasa cukup mirip dengan pengalaman Pak Wir juga. Beberapa hari yang lalu saya sebagai aplikator plafon gypsum produk A (nama dirahasiakan) diundang oleh supplier dari produk tersebut untuk menghadiri presentasi produk ke owner sebuah proyek. Setelah menghadiri dan mengikuti peresentasi dari pihak supplier, saya mengeluarkan pendapat bahwa saya belum pernah memakai papan gysum dari Produk A itu (kenyataannya di lapangan memang demikian), tetapi untuk rangkanya saya berikan apresiasi karena harga yang murah dan mutunya yang bagus. Lalu salah satu produk yang mereka luncurkan adalah papan gysum yang berbentuk siku yang biasa digunakan untuk membuat drop dan cuve lampu di plafon, dengan apa adanya saya menyatakan pendapat saya berdasarkan pengalaman di hadapan pihak supplier dan owner tentunya bahwa di lapangan saya tidak menggunakan produk itu, metode kerja yang saya gunakan untuk membuat drop dan cuve lampu (sudutan di plafon) adalah dengan menggrooving sebuah papan gypsum. Kemudian diskusi dilanjutkan seperti biasa (pembahasan schedule dsb).
Sampai saya kembali ke kantor. Tiba” pihak dari supplier A menelpon atasan saya dan memberi teguran bahwa staf yang dikirim untuk menghadiri presentasi “tidak kompeten” dan “tidak mensupport produk kami” sehingga perlu dievaluasi lagi kinerjanya. Mendengar itu dari atasan, saya sempat merasa kaget dan down.
Pertanyaan saya Pak, sebenarnya perlu tidak untuk bersikap apa adanya atau saya harus “ngegombal” tentang produk A tersebut supaya pihak owner tergugah hatinya ? Terima kasih.
SukaSuka
Wah kalau yang adik lakukan itu namanya lugu. Bagaimanapun juga, kita harus tahu peran apa yang harus dilakukan. Jika yang meminta kita produsen, maka tentu kita harus mendukungnya. Oleh sebab itu harus pintar-pintar menyampaikan materi yang produsen dan owner harapkan.
Kasus saya di atas terjadi karena saya merasa menjadi anggota kepanitiaan (juri) adalah mewakili unsur lembaga pemerintah (negara). Oleh sebab itu harus berdiri sama tinggi terhadap semua pihak. Itulah mengapa yang diminta juri adalah dari berbagai unsur, macam-macam, dan saya pada waktu itu adalah salah satunya. Nah masalahnya dalam praktek, yang diberi mandat juri-juri tersebut ada oknum yang tidak bisa melepas diri dari golongan asalnya. Dianya berpikir bagaimana bisa berperan banyak bagi golongannya berasal. Maklum, jangka panjang khan dianya dihidupi oleh golongannya tersebut. Yah manusiawi deh. Bagi juri yang lain-lain, mungkin nggak peduli soal itu, toh mereka secara materiil tidak dirugikan. Nah saat itu karena merasa itu penting bagi negara (idealis sok jadi pahlawan bangsa) secara nggak sadar saya sampaikan saja pendapat saya. Kayaknya orang yang bersangkutan jadi malu diantara juri-juri lain.
SukaSuka