Saya mendapatkan surat via email, hanya saja kayaknya bukan untuk saya tetapi untuk engineer yang belum suka menulis, belum suka presentasi. Oleh sebab itu ada baiknya, surat yang bersangkutan saya sampaikan di blog ini. Agar himbauan beliau bisa dibaca. Ini surat yang aku maksud.
Selamat pagi p’ Wiryanto,
Sebelumnya mohon maaf saya mengganggu waktu Bapak yang mungkin sedang sibuk di jalur khusus ini. Begini pak, saya kebetulan membuka blog Bapak mengenai diskusi antar engineer sipil khususnya struktur. Dari pengamatan saya, Bapak benar-benar berniat tulus mengembangkan engineer Indonesia utk lebih maju
Melalui e-mail ini saya cuma minta Bapak bisa mendorong teman-teman tersebut untuk:
- Lebih banyak menulis paper. Tidak harus dipublished setara internasional. boleh sharing mengenai ilmu sipil dan lainnya.
- Menguasai bahasa asing-minimum bahasa Inggris. Berkaitan dengan hal di atas sebaiknya paper ditulis dalam bahasa Inggris.
- Banyak membaca dan menyerap buku-buku terbitan luar negeri
Berdasarkan pengalaman saya selama ini, rata-rata kelemahan kebanyakan engineer sipil Indonesia adalah:
- Tidak bisa menulis. Dalam artian tidak bisa membuat sebuah paper atau tulisan yang terkonsep dengan baik. Ini tidak terbatas untuk mahasiswa bahkan setara konsultan dalam negeri yang sudah berpengalaman. Dari beberapa kontrak yang kami berikan ke mereka, report yang dihasilkan jika dibandingkan dengan konsultan asing mutunya jauh. Rata-rata kelemahannya adalah:
- Lemah di narasi
- Lemah di justifikasi
- Lemah di struktur penyajian, isinya cuma hitungan/angka-angka dan tidak menarik
- Lemah di referensi. Kebanyakan engineering knowledge-nya tidak up-date dan out of the box, padahal saat ini tersedia banyak referensi yg baik dan “jika” bisa mencarinya kita bisa memperolehnya secara “gratis” [terlampir contoh library yang saya punya s/d saat ini]
- Tidak bisa berbahasa asing, misalnya bahasa Inggris
- Tidak bisa melakukan presentasi dgn baik, tidak bisa melakukan diskusi secara interaktif
Saya sudah membuktikan hal ini, bahkan untuk sekelas perusahaan besar di Indonesia pada saat diskusi mengenai bidding proyek di luar negeri…….
Yang saya lihat kita cuma jadi processor/tukang hitung dan bukan menjadi konseptor management dibandingkan dengan expat. Padahal kelebihan mereka hanya di bahasa dan kemampuan mengkonsep/menulis dgn baikKarena Bapak juga pengajar, mungkin bisa dipertimbangkan:
- Jangan ada skripsi untuk S1. Sebaiknya diganti dgn kriteria penulisan paper [misalnya 1 paper/bulan & 500 kata] + bekerja 1 tahun magang . Dengan begini dari awal sudah latihan untuk bekerja dan kemudian meneruskan ke jenjang selanjutnya (Note Wiryanto : tidak setuju)
- Jangan ada program langsung dari S1 ke S2. Saya melihat banyak S2 kering ilmu, hanya kejar target gelar. Sebaiknya persyaratan masuk ke S2 harus sudah punya pengalaman kerja minimal 4 tahun. Dua hal di atas mirip-mirip dengan program sertifikasi AACE Internasional untuk Cost Engineer yang pernah saya ikuti. Mohon maaf bukan saya hendak promosi program tsb, Cuma prosedurnya menurut saya pribadi bisa diadopt utk keperluan di Indonesia. (Note Wiryanto : kalau ada duit dan waktu, kenapa tidak).
- Praktek Kerja Nyata/PKN bisa diganti dengan review dan synthesis mengenai 1 buku lengkap. Pengalaman saya PKN biasanya tidak memberikan hasil maksimum, jadi akan lebih baik jika langsung bekerja magang 1 tahun nantinya (Note Wiryanto : tidak setuju)
Terus terang saya bukan lulusan UPH, ITB, ITS, UGM atau universitas ternama lainnya. Mungkin opini saya salah, untuk itu saya mohon maaf dan terima kasih atas perhatian Bapak……
Salam
Arif Permana
Komentar saya :
Apa yang disampaikan oleh pak Arif Permana tentu perlu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Ada beberapa yang disampaikan di atas adalah kondisi ideal, seperti engineer yang harus bisa menulis. Itu sih baik hanya saja kadang hal itu tidak berkorelasi langsung dengan hasil pekerjaan lapangan. Kalau engineer-nya seperti saya, yang penulis dan juga pengajar maka syarat di atas adalah sah-sah saja.
Ada himbauan sdr Arif Permana yang tidak saya setujui, yaitu penghapusan skripsi (dan juga kerja praktek). Bagi saya itu adalah ilmu tertinggi sebenarnya yang dapat diterima oleh mahasiswa yang sedang belajar. Pada bagian tersebut jika mendapat pembimbingan baik, maka disitulah mahasiswa belajar bagaimana mempelajari sesuatu dengan baik. Jujur saja, dengan ilmu itulah maka saya bisa mandiri menguasai ilmu-ilmu yang selama ini tidak ada gurunya. Saya yakin himbauan sdr Arif itu ada karena mungkin waktu proses skripsi atau kerja praktek, beliau tidak mendapatkan guru yang baik.
Untuk medapatkan pengalaman dengan guru yang baik, maka diharapkan muridnya juga pintar-pintar membawa diri. Maklum proses pembelajaran pada saat skripsi dan kerja praktek adalah person-to-person. Jika muridnya tidak memberi respect yang baik pada gurunya, maka tentu proses pembelajarannya bisa menjadi berbeda, misal murid datang ke guru pada saat sore, ketika mau pulang dan capai, dsb.
Moga-moga dengan dimuatnya surat dari sdr Arif Permana di sini, akan membuka pemikiran kita bersama. Sekali lagi, nasehat yang diberikan di atas hanyalah salah satu jalan menuju roma. Bagi seorang engineer yang paling penting adalah memahami s.o.p dan mengerjakannya dengan hati yang tulus (tidak korup) dan sekuat tenaga (terbaik), serta tentu saja selaku dalam koordinasi manajemen. Itu saja langkah awal. Jika itu sudah, maka boleh langkah berikutnya seperti nasehat di atas adalah optional sifatnya, artinya jika punya pemikiran agar insinyur dapat bekerja lebih dari sekedar “tukang”.
Akhirnya sebagai penutup adalah :
Adanya himbauan atau nasehat dari orang lain adalah boleh-boleh saja, yang penting kita harus yakin pada diri sendiri, bahwa apa yang kita pilih dan lakukan adalah yang terbaik pada saat itu, dan juga harus berani bertanggung-jawab pada akibat yang ditimbulkan oleh pilihan tersebut. Jika itu dapat dilakukan, maka masing-masing orang akan punya jalannya sendiri-sendiri dalam menuju kesuksesan.
Dear Pak Wiryanto,
Saya sependapat dengan email tersebut pada bagian para engineer harus mulai membiasakan menulis dan menambah wawasan keilmuan mereka. Hanya saja pada bagian mengganti atau menghilangkan skripsi dan kerja praktek adalah kemunduran menurut saya, karena melalui dua hal itu semua aspek yg dikritisi pak Arif bisa menjadi solusi, hanya saja mahasiswa kita tidak sadar pentingnya dari proses tersebut. Oh ya buat saya, yang penting bagi enginer adalah logika yang terstruktur, itu modal besar kita. Perkara pemahaman konsep yg belum dalam itu memang kelemahan besar manusia pada umumnya, yang sadar akan segera mengejar ketertinggalan itu.
Sebagai contoh, saya merefleksikan pentingnya 2 matakuliah spesial itu (dalam kampus saat saya sarjana dulu disebut demikian). Saya punya kelemahan besar dari yang namanya menulis, tapi melalui matakuliah tersebut saya “terpaksa” terlatih untuk menarasikan pengamatan dan penelitian saya dalam tulisan. Sehingga saya bia belajar tahapan bagaimana menghasilkan sebuah tulisan yang baik menurut versi dan kondisi saya. Lagipula saat ini, hasil dari skripsi masing2 mahasiswa juga diminta resume artikel yang harus dikumpulkan bersamaan skripsi mereka sebagai persyaratan mengambil Ijasah mereka dalam peraturan di kampus saya. Jadi saran beliau sudah ada implementasinya sebagian.
Untuk program S2, menurut saya syarat yg pak Arif sarankan itu sangat bermanfaat untuk S2 professional (S2 pro), celakanya di Indonesia tidak dibedakan antara S2 pro dengan S2 riset. Buat saya S2 riset lebih baik semakin cepat dari kelulusan agar ilmu mereka masih hangat dan semangat menelitinya masih besar, kalau sudah kena dunia kerja saya tidak tahu apakah orientasi risetnya masih besar atau tidak, kecuali dia bekerja sebagai periset atau dosen.
Untuk bahasa asing saya setuju sekali kalau kita harus bisa menguasai bahasa asing sebanyak mungkin terutama yg sering menjadi rujukan juga. Buat saya bahasa inggris saja kurang pak, apalagi kalau di eropa sini, banyak referensi menarik yang ditulis dalam bahasa lokal di eropa seperti Prancis, Jerman, Italia dan lain-lain. Kalo sudah gitu mentoknya cuma bisa baca resume saja yg ada bahsa Inggris atau Prancis (kebetulan saya bisa walapun belum sempurna).
Kesimpulannya, Ayo semangat menulis!
Salam
Bastian
SukaSuka
ya betul ayo menulis.
Sejujurnya, menulis itu gampang koq. Ayo siapa yang ngaku nggak bisa menulis, apalagi yang ngaku sarjana, atau master, apalagi doktor. Pasti bisa menulis. Yang susah itu sebenarnya adalah bagaimana mendapat respon positip dari pembaca. Apalagi mau menarik mereka untuk membeli tulisan yang sudah dibukukan. Banyak lho, teman-teman yang mencoba itu, dan akhirnya karena tulisannya nggak ada yang mau beli akhirnya dibagi-bagikannya secara gratis, atau sebagai hadiah (biar tidak terkesan murahan). Bahkan sudah seperti itupun (gratis), hadiah yang berupa tulisan itu (buku) disimpan saja di rak, nggak dibaca. 😀
Jadi dapat menulis dan ditunggu-tunggu para pembaca, itu yang susah.
SukaSuka
Setuju dengan sebagian usulan sdr Arif Permana. Penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, dan menulis. Menulis tidak harus yang “berat-berat.” Bahkan menulis yang sederhana tapi bermanfaat saya pikir lebih baik, daripada karya tulis tulis yang hebat tapi njlimet bikin bingung.
Yang lainnya sudah dijelaskan Bastian dan pak Wir.
salam
SukaSuka