Melihat sepak terjang para teroris di Sarinah kemarin tentu mengherankan. Mereka berani melakukannya di publik terbuka, di tengah-tengah ibukota dan siang hari pula. Saya yakin, jika mereka punya sedikit nalar, seperti kita umumnya, maka pastilah tahu bahwa apa yang meraka lakukkan itu hanya perbuatan sia-sia. Jelas-jelas menjadi tindakan bunuh diri saja.
Koq bisa sebodoh itu ya. 😀
Tanggapan akan keheranan yang saya sampaikan, tentu akan banyak sekali. Tiap-tiap orang bisa saja menyusun argumentasi sendiri-sendiri, dan sangat yakin akan banyak yang menggunakan latar belakang agama untuk menjelaskannya. Tentang benar atau tidaknya argumentasi itu hanyalah si teroris itu sendiri yang tahu. Jadi semuanya adalah hipotesis.
Tentang itu saya juga punya hipotesis penyebabnya. Menurut saya ini bahkan lebih dari sekedar hipotesis, ini adalah keyakinan bahwa akar permasalahannya adalah dimulai dari adanya rasa kecewa.
Orang yang merasa kecewa, harus hati-hati. Ada bagian di hatinya yang jadi kosong. Itu nanti akan bisa diisi hal macam-macam, dari yang baik sampai yang terburuk sekalipun. Orang yang sering dikecewakan, dan tidak segera menyelesaikan kekecewaannya maka bisa-bisa banyak kekosongan dihatinya . Jika hatinya “kosong”, maka matipun tidak dianggap sia-sia.
Padahal yang namanya kecewa, adalah sesuatu yang biasa saja. Semua orang pasti pernah mengalami. Maklum setiap orang yang punya harapan, tetapi tidak kesampaian maka pasti akan kecewa, terlepas apakah itu terlihat orang luar atau tidak.
Oleh sebab itu, setiap timbul kekecewaan, maka perlu disikapi dengan baik. Pertama-tama tentu melihat apa penyebab yang menimbulkan kekecewaan. Dari unsur diri sendiri atau unsur dari luar. Solusinya tentu bisa berbeda-beda. Bagi yang sudah kuat mentalnya, atau yang punya kepercayaan diri tinggi, maka solusi dengan memberikan afirmasi positip, biasanya dapat dengan efektif mengatasinya. Jadi lobang yang timbul dapat segera tertutup kembali.
Emangnya pak Wir bisa kecewa juga ?
Yang namanya manusia, tantu saja bisa dik. Ini kasusnya seperti yang terjadi tempo hari, yaitu sewaktu ketemu kawan pemilik foto copy kampus. Beliaunya cerita kalau bukuku yang tebal, yang berwarna biru itu sering difoto copy oleh mahasiswa.
Waktu aku mendengar kalau mahasiswaku mengcopy bukuku, langsung ada rasa nggak enak dihatiku, kecewa. Tahu sendiri khan, mahasiswa di tempatku istimewa-istimewa lho. Banyak yang dari mereka kalau punya hp, selalu berkelas. Hp berkelas seperti Samsung Galaxy 6 atau iPhone 6. Itu aku tahu kalau mereka diskusi tentang praktek. Banyak dari foto-foto yang mereka ambil sewaktu kerja-praktek, hasilnya bagus-bagus. Jika aku tanya, pakai kamera apa itu koq hasilnya bagu, maka mereka cuma menampilkan hp-hp mereka yang berkelas itu. Dosennya saja cuma milih Xiomi dan sudah puas, dibanding mereka yang mahasiswa tersebut. Jadi pikirku, mereka yang foto copy bukuku itu bukan karena mereka tidak mampu, tapi mereka tidak mau membeli saja. Sedangkan di sisi lain, orang luar, bukan mahasiswaku saja berupaya untuk beli buku tersebut. Eh, mahasiswanya sendiri bahkan seperti itu tindakannya, siapa yang nggak kecewa kalau begitu.
Jadi begitu itu to pak Wir, yang disebut kecewa dan akhirnya mati terbunuh seperti teroris itu ?
O ya nggak seperti itu tho dik. Aku bilang awalnya adalah sama, yaitu kekecewaan, tentang akhirnya tentu saja bisa berbeda. Itu hanya cara mensikapi. Kalau kekecewaan seperti diatas, maka aku atasi dengan mengungkapkannya lansung, di depan kelas, tetapi tidak merujuk ke pribadi langsung. Aku hanya bilang orang di luar kampus, yang nggak langsung diajar oleh saya sajapun berupaya untuk membeli buku saya yang original. Nah mengapa yang diajar langsung, bahkan maunya foto copy. Itu khan bentuk tidak menghormati saja. Aku bahkan bilang, jika tidak mampu beli, lebih baik pinjam dari kakak kelas yang mempunyainya terlebih dahulu, tidak dengan memfoto copy. Jadi kalau sampai mereka pakai fotocopy buku dikelas khan jadi sungkan. He, he moga-moga masih punya rasa sungkan.
Setelah bisa mengungkapkannya itu langsung di depan kelas, lega rasanya. Orang-orang yang merasa kecewa juga butuh hal seperti itu. Tapi memang tidak gampang, apalagi orang-orang yang tertutup (introvet). Umumnya orang-orang mengatasinya dengan cara curhat. Ini kadang-kadang tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat menjadi masalah baru yang memicu kekecewaan lebih lanjut. Orang yang curhat tidak pada tempatnya, ternyata kemudian tersebar luas, dan jadi bulan-bulan orang banyak. Kecewanya akan bertambah besar lagi, hatinya bolong-bolong. Kalau curhatnya tepat dan mendapat nasehat yang baik, beres deh.
Nah orang-orang yang kecewa, dan ingin mengobati kekecewaannya itu tetapi nggak dapet-dapet penasehat yang baik, lalu gimana.
Banyak doanya pak, serahkan saja pada yang kuasa !
Itu memang nasehat yang sering dijumpai. Sangat cocok sekali untuk yang kecewa, yang susah diungkapkan. Tindakan lanjut, umumnya orang-orang yang kecewa akan lebih mendekatkan diri pada kegiatan-kegiatan agama atau yang semacamnya.
Banyak yang sukses dengan cara itu, sayapun juga demikian kadangkala. Hanya saja pada beberapa orang tertentu, cara tersebut bukannya memadamkan kekecewaan, bahkan bertambah lagi dengan benci dan rasa ingin mengungkapkannya. Bagaimana tidak, ketika orang-orang yang kecewa itu datang ke suatu ceramah-ceramah berlatar belakang kegiatan agama, maunya mendapatkan pencerahan positip, eh yang khotbah yang diberikan ternyata negatif semua isinya. Tentu saja itu hanya oknum, tetapi ya seperti yang aku katakan tadi. Hal-hal negatif dapat mengisi kekosongan yang terjadi akibat kekecewaan. Kosongnya terobati, tetapi tidak positip sifatnya tetapi ang negatif adanya.
Jadi benar juga ada rencana pemerintah untuk mengevaluasi setiap khotbah, karena kalau tidak membangun isinya, maka ketemu dengan pendengar yang sudah punya rasa kecewa sebelumnya, maka hasil akhirnya bisa seperti kejadian kemarin.