koq bisa sih ?!!


Anak adalah segala-galanya. Begitu pemikiran sebagian besar orang tua pada umumnya. Salah satu upaya positip adalah membekali anaknya dengan pendidikan terbaik, yang bisa diusahakan.

Begitu juga orang yang hidupnya di dunia pendidikan, murid adalah segala-galanya. Itu dapat dimaklumi, karena tanpa murid maka tidak ada yang dapat disebut guru atau dosen. Membekali murid agar menjadi terbaik adalah salah satu usahanya. Kalau muridnya hebat maka guru atau dosen yang mendidik dan mengajarnya akan disebut hebat juga. Ibarat pepatah, kualitas pohon dapat dilihat dari buahnya. Jadi orang tua, guru atau dosen bisa saja merasa seperti pohon, dan anak atau murid tersebut sebagai buah-buahnya. Jadi keduanya sama-sama berkepentingan terhadap kemajuan anak atau murid tersebut.

Dengan cara pikir seperti itu, maka tentu dapat dibayangkan mengapa ada rasa prihatin melihat gambar berikut.

koq-bisa(Illustrasi , sumber gambar asli dari internet)

Gambar di atas saya modifikasi dari kartun yang saya temukan di internet. Kelihatannya lucu, tetapi faktanya adalah seperti itu. Sangat pintar sekali si kartunis menangkap fenomena yang terjadi di masyarakat.

Gambar di atas jelas merujuk pada masyarat barat, tetapi kelihatannya juga sudah relevan dengan kondisi di sini, masyarakat timur.

Pada beberapa kesempatan, saya sudah mengalami. Nggak tahu kenapa, mungkin karena kampus swasta saja, yang merasa mereka bisa masuk karena telah membayar mahal. Jadi orang tuanya cukup pede untuk datang. Situasi akan berbeda jika muridnya masuk karena UMPTN, yakin sangat kecil kemungkinannya. Karena kalau UMPTN, ada kesan masuknya adalah karena prestasi. Jadi kalau prestasinya jeblok, dan orang tuanya complaint pasti dapat dipatahkan dengan mudah dengan menyatakan : dulu dibantu joki ya pak. πŸ˜€

Yah risiko kerja di kampus swasta, kondisi di complaint orang tua seperti di atas, bukanlah sesuatu yang aneh lagi.

Pak Wir, ini ada orang tua si “A” yang besok akan ketemu Bapak. Apakah ada waktu ?

Pesan seperti di atas, sering aku terima. Maklum, selain dikenal sebagai pakar di bidang rekayasa struktur, maka posisiku adalah dosen PA (Pembimbing Akademik). Tugasnya ya seperti itu, menjawab atau menemui orang tua siswa yang ingin ketemu.

Kalau sudah seperti itu, maka jelas kepakaranku di bidang rekayasa struktur, nggak berguna. Ini kesannya seperti guru konseling. Tidak setiap dosen bisa begitu lho, tapi apa yang aku kerjakan juga sekedar mengalir saja. Nggak tahu, apakah mereka yang datang itu senang (puas) atau nggak, yang penting complaint-nya berhenti. Gitu khan. πŸ˜€

Langkah pertama kalau menghadapi kasus di atas, adalah mencari data prestasi mahasiswa. Ini penting, bicara tanpa data, ibarat maju perang tanpa senjata. Bisa gawat itu. Proses pencarian datanya dipermudah karena dapat dilakukan via on-line. Data yang didapat adalah berapa lama atau berapa semester lamanya kuliah, lalu dari situ bagaimana prestasinya, berapa yang lulus dan berapa yang tidak lulus, IP-nya berapa. Maklum, jadi dosen itu kadang juga tidak mengingat semua muridnya. Tahu rupanya tetapi nggak tahu namanya. Juga yang bermasalah, umumnya jarang menampilkan diri, suka menyembunyikan diri. Akhirnya dengan data-data yang didapat, rasanya pede-pede saja menemui orang tua siswa.

Akhirnya hari “H” sampai juga. Petugas administrasi mengabarkan bahwa orang tua si “A” telah datang dan saya dipersilahkan menemuinya. Akhirnya aku menemui mereka (murid dan ibunya). Sapaan pertama yang kusampaikan, kelihatannya nggak membuat ibunya senang. Maklum aku menyapanya seperti ini “O, o o ini tho si “A”, koq kayaknya belum pernah ketemu. Kamu sudah pernah ke ruang kerjaku atau belum“.

Sapaan pertama yang mungkin bikin hati ibunya nggak enak, kesannya dianggap dosennya ini tidak tahu anaknya atau tidak mengenal muridnya sendiri. Setelah dipersilahkan duduk diruang tamu khusus, dan ketika saya tanyakan apa yang bisa saya bantu. Langsung ibu tersebut banyak berkata-kata bernada complaint : “Bagaimana ini pak, sistem pendidikan di sini. Ini saya tahu kondisi anak saya, karena saya menelpon ke kampus. Ternyata anak saya ini berisiko tinggi kena D.O ya pak !?“.

Demikian ibu tersebut memberondong pertanyaan, yang intinya menyalahkan sistem pendidikan di kampusku. Juga menyalahkan cara pembelajaran dari dosennya sehingga anaknya tersebut tidak bisa mengikuti perkuliahan dengan baik dan akhirnya berisiko kena D.O. Ngomongnya ibu tadi dengan nada tinggi lagi. Jadi persislah seperti yang digambarkan oleh kartun di atas, hanya saja tidak ada gambar rapor. Coba bayangkan, . . .bagaimana aku harus bersikap.

Dalam menyikapi kondisi di atas, adalah penting untuk memastikan diri tidak termakan emosi. Saya dengarkan ibu tersebut complaint, anggap saja itu tidak ditujukan ke diri sendiri, tetapi kepada sistem manajeman secara umum, dan saya hanya bagian sistem yang harus mewakilinya.

Selanjutnya aku ajak ibu tersebut mempelajari data prestasi anaknya yang sudah kucari sebelumnya. Aku jelaskan bagaimana prestasi anaknya tersebut untuk tiap-tiap semester. Mata kuliah apa yang lulus dan apa yang tidak lulus, khususnya terkait risiko kena D.O tersebut. Kampusku memakai sistem tri-semester, yaitu semester ganjil, genap dan akselerasi, maka tidak terasa mahasiswa yang bermasalah tersebut telah menginjak semester ke lima.

Setelah aku jelaskan semua, aku mencoba mencari tahu, apakah ibu tersebut tahu kondisi prestasi anaknya. Eh ternyata ibunya tidak tahu, dan bilang kalau anaknya tidak memberitahukan akan hal tersebut. Nah satu point ke pegang. Kepada anaknya yang ikut bersamanya, maka aku tanya mengapa nggak ngomong ke ibunya. Anaknya bilang : “Takut !“.

Kepegang lagi data ke dua. Nah, adanya kenyataan bahwa [1] tidak ada komunikasi; [2] adanya ketakutan pada anak, rasanya itu sudah bisa menjelaskan bagaimana posisi pendidik dalam proses pembelajaran ini.

Langkah pertama aku menjelaskan mengenai proses pembelajaran di tempatku. Untuk itu aku memberi contoh mulai dari mata kuliah yang aku asuh. Proses pembelajaran sebagian besar, khususnya yang susah-susah akan dilakukan oleh dosen dan asisten dosen, yang terakhir ini diambil dari mahasiswa senior yang berprestasi. Ada dua tatap muka, satu dosen senior dan satu asisten diharapkan dapat memberikan cara berbeda dalam berkomunikasi dengan siswa. Jadi tentunya nggak bisa ada alasan dosennya nggak bisa ngajar, karena kalau begitu bisa saja yang bersangkutan bertanya pada asisten dosen, dan sebaliknya.

Setelah aku jelaskan itu semua, aku tanya ke anaknya. Kamu khan sudah pernah mengambil mata kuliah yang saya ajarkan kemarin. Seperti itu khan. Anaknya mengangguk-angguk. Ini tentu membuat ibunya puas. Lalu aku sebutkan : “tetapi kamu khan nggak lulus juga khan mata kuliah tersebut khan“. Ibunya kaget mendengarnya.

Aku nyatakan dulu, bahwa materi yang aku berikan cukup gampang, sekedar introduction, dan begitu saja anaknya tidak lulus. Ini bukan masalah kemampuan, tetapi saya yakin karena kemauan semata. Lalu akhirnya aku berkata, kamu itu berminat nggak sih ambil jurusan teknik sipil. Eh akhirnya kebuka juga, ternyata anak tersebut awalnya kepengin jurusan musik, tetapi tidak diperbolehkan orang tuanya. Ibunya bercerita punya tetangga yang lulusan jurusan musik, dan sampai sekarang tidak bekerja, hanya melayani di gereja. Ibunya nggak mau kondisinya seperti itu, jadi dimintanya anaknya masuk ke jurusan teknik sipil.

Ketahuan lagi. Jadi anaknya itu masuk sipil karena paksaan orang tua, ibunya. Lalu aku memberi kesan membela anakknya :”Bu untuk sukses itu tidak harus jadi insinyur lho ibu“. Ibunya mengangguk-angguk. Aku meneruskan “Yang penting itu berprestasi di bidangnya. Jadi kalau hanya ingin sukses lalu masuk sipil tetapi tidak berprestasi maka sia-sia ibu. Tahu sendiri khan ibu, di jurusan teknik itu berat belajarnya“.

Ibunya mengangguk-angguk akan uraianku. Kena deh, gantian aku sekarang yang memberi ujar-ujar ke ibu dan anak tersebut. Mula-mula tentu aku menyinggung komunikasi keduanya. Aku bilang ke anak, bahwa komunikasi itu penting. Kalau nggak mau atau takut berkomunikasi tentang masalahnya, maka lama-lama jadi bukit, masalah menjadi bertambah besar. Jadi harus berani dan jangan takut untuk menghadapinya. Aku lirik ibunya ternyata senyum ketika aku ngomong seperti itu.Β  Aku bilan, ibu marah-marah kepada anaknya karena berharap anak tidak melakukan itu (yg menyebabkan jadi masalah), jadi jangan takut. Orang tua khan selalu berharap anakknya sukses.

Tiadanya komunikasi dengan orang tua karena ada rasa takut, maka aku menggaris bawahi pada keduanya, bahwa takut adalah pokok penyebab masalah. Dengan takut, maka tidak berani kuliah, tidak belajar dan akhirnya gagal, sehingga tambah takut lagi. Untuk mengatasi rasa takut, tentu perlu kebaranian dari diri sendiri, orang luar sekedar membantu. Kalau takut akan anjing, maka jelas gampang, anjingnya di rantai dan dibawa pergi. Tetapi kalau takut tidak lulus mata kuliah, maka satu-satunya cara adalah giat belajar dan bertanya pada orang yang pintar. Itu harus dikomunisikan. Jika tidak, maka takut tersebut akan semakin besar.

Kedua orang yang bertamu mengangguk-angguk. Aku tanya ke anak, kamu itu koq diam apakah memang tergolong introvet, suka menyendiri. Eh lagi-lagi mengangguk, bahkan orang-tuanya atau ibunya langsung mengeluh:” Iya pak, itu si “A” diam aja, nggak omong-omong. Susah!

Kena lagi deh. Aku bilang introvet itu bukan kelemahan, itu karakter. Jadi harus disikapi dengan benar, kalau tidak itu bisa bikin masalah. Aku bilang, orang introvet itu berisiko tinggi menjadi orang bermasalah. Maklum, dianya meskipun diam, tetapi memikir banyak. Jadi respon luar banyak dipikirin, jika tidak tersalurkan dengan baik, bisa bikin stress.

Untuk menyikapi masalah introvet, maka aku bilang kepada keduanya. Ibunya sekarang mendengarkan dengan baik, maklum akunya bisa mendeteksi karakter anaknya. Agar orang introvet itu berhasil maka satu-satunya jalan adalah [1] mengembangkan komunikasi, ini memang tidak gampang karena karakter introvet itu suka menyendiri; [2] jika yang pertama susah maka harus dikompensasi dengan prestasi.

Adanya prestasi akan mengakibatkan terjadi komunikasi, keduanya seperti ayam dan telor. Jadi saat-saat pertama adalah masa-masa sulit. Jadi muridku si “A” yang bermasalah itu karena keduanya tidak punya. Komunikasi dng orang tua tidak ada, prestasi juga tidak, jadi tinggal tunggu stress aja gitu.

Selanjutnya aku juga bilang terkait komunikasi. Bahwa itu sebenarnya tidak serta merta itu harus ketemu orang, yang penting terjadi komunikasi dengan pikiran orang-orang. Oleh sebab itu kesuksesan orang tergantung dari dua hal juga, yaitu [1] dengan siapa dianya ketemu, dan [2] buku apa yang dia baca.

Aku lalu bertanya ke murid tersebut, apa kamu suka baca buku. Anaknya menggeleng. Wah gawat, itu penting sekali. Kalau kamu tidak pernah berkomunikasi dengan orang, dan juga tidak suka baca buku, lalu dari mana proses pengembangan diri kamu, dari lihat sinetron di TV ya. Ibunya tersenyum.

Udah deh. Pokoknya di awal kesannya saya ditembak, dipojokkan, eh akhirnya memberi kuliah personal kepada keduanya, murid dan ibunya.

Jadi intinya, jika dulu mengjar itu kepada murid saja, maka sekarang-sekarang ini harus bisa mengajar kepada murid dan orang-tuanya sekaligus, agar lebih baik. πŸ˜€

Satu pemikiran pada “koq bisa sih ?!!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s