Menulis dengan topik : peneliti atau penelitian, ternyata bisa menjadi bacaan yang menarik. Ini misalnya : https://wiryanto.wordpress.com/2016/03/19/peneliti-yang-dipenjara/ . Selama dua atau tiga setelah dipublikasikan, dengan dibantu jaringan di Facebook maka ternyata artikel tersebut menjadi bacaan populer selama beberapa hari. Dari catatan statistik yang diberikan WordPress, artikel tersebut dibaca lebih dari 1500 orang perhari, bahkan ada satu hari bisa diakses sampai sampai 2000 orang.
Apakah itu berarti, di Indonesia itu banyak penelitinya. Atau bisa juga terbalik logikanya, yaitu karena itu (peneliti) makluk langka maka banyak yang ingin tahu kabarnya. 😀
Kalaupun saya menulis tentang peneliti, tentu banyak yang bisa memaklumi, karena saya adalah dosen. Tetapi orang-orang juga harus tahu, bahwa saya ini digaji bukan karena suka meneliti, tetapi karena mengajar. Itulah alasannya, orang-orang yang bekerja seperti saya disebut juga staf pengajar, bukan staf peneliti.
Terkait dengan tugas pengajaran tersebut, yaitu mengantarkan anak-anak muda atau mahasiswa agar mau belajar dan meraih kompetensi keilmuan sesuai gelar yang diharapkannya. Salah satu upayanya adalah sebagai pembimbing skripsi.
Untuk melihat pentingnya skripsi tersebut, bisa dilihat dari bobot sks yang diberikan, yaitu 6 sks. Untuk gelar S1 maka total sks yang harus diraih adalah 144 – 148 sks. Jika diambil 144 sks, maka bobot skripsi tersebut hanya sekitar 4.2%. Relatif sangat kecil sekali. Bahkan kalau mau jujur, beban tugas dosen yang membimbing skripsi baru dihargai 1 sks jika dapat membimbing 6 mahasiswa per semesternya. Ini sesuai beban BKD sertifikasi dosen dari Dikti.
Jadi intinya, Dikti saja tidak terlalu memperhitungkan tinggi beban kerja dosen dalam proses pembimbingan skripsi tersebut. Yah biasa-biasa saja. Gitulah.
Mengeluh ya pak ?
Terkesan mengeluh ya dik. Nggak lah. Saya nggak mengeluh koq dik. Saya bawa santai saja. Memang sih, bidang “Struktur” yang aku pegang, di tempatku mengajar relatif tidak menjadi topik menarik untuk dijadikan tema pada penulisan skripsi. Jadi tiap semester, paling saya hanya membimbing 1 atau 2 orang. Kalah populer dibanding teman dosen lain, yang pada ngantri. Ada memang temanku yang mengeluh, koq nggak banyak yang ambil tema saya ya pak Wir. Gimana itu. Protes dong ke Ketua Jurusan, agar dibagi rata saja.
Aku sih nggak terlalu tanggapi. Bagiku yang penting, anak yang ingin bimbingaku, apakah ada minat atau tidak. Jika tidak, lebih baik aku tidak membimbing saja. Waktunya bisa aku pakai menulis. He, he, itu enaknya jadi penulis.
Jadi sebenarnya, aku tidak terlalu peduli tentang bimbingan skripsi. Pertama adalah karena topik yang aku bimbing bukan favorit. Kedua, juga karena proses bimbingan skripsi sesuai BKD bukan sesuatu yang penting. Ingat 6 bimbingan baru dapat kum 1 sks. Itu khan menganggap remeh sekali. Hanya saja, aku agak tersedak juga membaca berita berikut dari ketua LIPI. Ini beritanya :
Jumat, 25 Maret 2016, 23:32 WIB
LIPI: Penelitian Jangan Hanya Sekadar Selesaikan Skripsi
Apa maksudnya itu. Suatu himbauan yang kelihatannya sejuk dan bijak, padahal menurutku itu hanya jargon-jargon berita, yang menarik sekedar sebagai berita. Tetapi sulit untuk ditindak-lanjuti secara pasti. Lihat saja ini.
Sumber : Liputan 6.
Gambar di atas adalah fakta bahwa penelitian di perguruan tinggi (sebagai besar) hanya sekedar untuk membuat laporan skripsi. Jika mahasiswanya sudah lulus, dan laporan tadi menumpuk di perpustakaan, lalu ada alasan sewa ruang sekarang semakin mahal, dan ada alasan lain digitalisasi, ya sudah seperti itu hasilnya. Laporan skripsi dibuang atau diloak.
Lho koq begitu pak Wir. Himbauan ketua LIPI khan bijak, mengapa tidak dituruti saja.
Dituruti bagaimana. Pak ketua LIPI itu memberi himbauan tidak tepat. Lembaga yang dia pimpin adalah lembaga penelitian, yang utama adalah membuat penelitian. Wajar kalau dia ngomong itu ke staf-nya. Bahwa penelitian tidak sekedar jadi laporan saja, tetapi harus ditindak-lanjuti lagi lebih baik. Jadi apa ya, patent misalnya, dan akan lebih baik lagi jadi produk teknologi yang dapat dinikmati masyarakat. Jadi dengan karya Dasep Ahmadi yang kemarin, tentunya LIPI harus banyak berperan, memberi bimbingan dan pengawasan jangan sampai duit yang milyaran rupiah itu jadi mubazir. Mana itu perannya.
ya, ya pak wir. Tapi himbauan tidak tepat , apa maksudnya.
Ya beliaunya (ketua LIPI) khan merujuk skripsi, yaitu produk lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Tugas utama lembaga pendidikan adalah mendidik dan mengajar siswa agar kompeten di bidang ilmu. Adapun skripsi adalah sarana mengajarkan ilmu meneliti ke siswa, itu tujuan primer. Adapun manfaat produk hasil penelitian yang dihasilkan bagi masyarakat awam, adalah hal sekunder.
Apakah memang begitu pak Wir.
Ya betul. Semua pembimbing skripsi harus memenuhi kewajiban yang primer tersebut. Menjadikan topik penelitian sebagai sarana mengajarkan proses penelitian ke siswa secara benar. Jadi, dosen jangan memanfaatkan siswa untuk mengerjakan proyeknya sendiri. Tentang hal itu batas-batasnya memang tidak jelas, kadang hanya hati nurani yang bisa menjawabnya. Maklum, bisa saja dosen memberi argumentasi bahwa kalau mengerjakan hal itu, maka mereka nantinya akan siap terjun ke masyarakat.
Jadi penelitian di perguruan tinggi itu hanya terbatas pada skripsi ya pak.
Secara resminya memang begitu, dimana skripsi adalah salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan. Kalaupun kemudian skripsi dapat dikembangkan ke hal-hal lain adalah opsional sifatnya.
Apakah pak Wir pernah memanfaatkan ke hal yang opsional ?
Nah kalau seperti itu memang subyektif sifatnya. Bagiku mahasiswa yang meminta bimbingan skripsi kepadaku, juga aku tunjukkan bahwa materi yang ditelitinya adalah profesional sifatnya. Profesional dalam arti dapat dijual atau dituliskan dalam bentuk buku, naskah ilmiah. Intinya lebih dari sekedar skripsi. Kenapa begitu, karena aku penulis buku-buku ilmiah, saya perlu data hasil penelitian yang dapat dituliskan. Nah mereka pada satu sisi, juga aku manfaatkan. 😀
Itu berarti, bimbingan skripsiku tidak sekedar meneliti untuk bikin laporan skripsi, tetapi juga mendukung materi penelitian yang aku tuliskan. Meskipun mereka aku manfaatkan, tetapi mereka senang karena hasil penelitian yang mereka lakukan aku rujuk di buku yang aku tulis. Kelihatannya sepele, tetapi kondisi seperti ini sangat jarang terjadi. Bahkan akupun di bidang keilmuan yang kau miliki, belum pernah merujuk produk hasil penelitian LIPI. Tetapi ke murid-muridku, aku pernah. D:
Nah khan sama juga dengan ketua LIPI itu pak.
Ujung-ujungnya bisa sama, tetapi himbauan beliau khan berlaku umum. Tidak setiap dosen pembimbing skripsi bisa melakukan itu. Daripada beliau (ketua LIPI) menghimbau ke perguruan tinggi (penghasil Skripsi) menurut saya lebih tepat jika beliaunya meminta ke staf-nya, agar penelitian yang dilakukan lebih dari itu. Bisa ditindak-lanjuti dengan baik. Memalukan sekali bukan, ada peneliti mobil listrik yang sampai menghabiskan milyaran rupiah dan tidak jadi (sehingga dipenjara). Bagaimana itu peran LIPI yang katanya lembaga ilmu pengetahuan.
Jadi itulah mengapa saya bilang, apa yang beliau sampaikan hanya sekedar jargon-jargon politik.
isu yang agak berat pak wir, semoga semua membaik, skripsi lebih berkualitas, hasil penelitian LIPI juga dapat dimanfaatkan masyarakat
SukaSuka
Sebenarnya untuk meningkatkan kualitas skripsi itu sederhana, yaitu dosen yang boleh membimbing skripsi adalah hanya dosen-dosen yang memang terbukti punya publikasi hasil penelitian. Simple.
Karena permintaan meningkatkan kualitas penelitian skripsi, tanpa dosennya punya kapabilitas meneliti dan menulis adalah sia-sia saja. Maklum menuliskan hasil peneltiian untuk dipublikasi dengan mengajar itu adalah sesuatu yang tidak dengan sendirinya sama. Itu dua kompentesi yang berbeda yang harus dimiliki dosen.
SukaSuka
Apakah ada hubungannya antara skripsi dan tridarma perguruan tinggi Pak?
SukaSuka