Bidang keilmuan teknik sipil di Indonesia relatif “matang”. Itu bisa terjadi karena bidang keilmuan tersebut sudah lama berkembang dibandingkan bidang keilmuan teknik lain. Maklum, bidang keilmuan teknik sipil langsung terkait dengan proses pelaksanaan pembangunan infrastruktur dari suatu negara yang bertumbuh. Pembangunan yang dimaksud tentunya terkait dengan penyediaan dana anggaran yang tidak sedikit. Adanya anggaran yang tersedia tentu akan menarik orang-orang untuk terlibat. Jika yang terlibat mempunyai ilmu teknik sipil yang mumpuni, tentu akan banyak keuntungan yang didapat. Yah suatu daya tarik awal agar orang-orang mau menekuninya.
Indikasi perkembangan juga dapat dilihat dari banyaknya institusi pendidikan tinggi yang menyediakan program studi teknik sipil. Jumlahnya terbanyak dibanding program studi teknik lain. Sebagai bukti, dari website BAN-PT.Kemdiknas dapat diketahui bahwa jumlah perguruan tinggi yang menawarkan bidang studi teknik sipil, ada sekitar 420. Bandingkan dengan bidang studi teknik mesin 372, teknik elektro 395, dan teknik komputer 105. Itu tentunya bisa dikorelasikan dengan jumlah orang Indonesia yang menggeluti keahlian teknik sipil, yang tentunya akan lebih banyak.
Hal lain , ilmu teknik sipil sendiri sebenarnya relatif statis (tidak banyak perubahan). Coba bandingkan dengan teknik lain, misalnya teknik komputer yang materinya berkembang atau berubah secara cepat. Itu mungkin alasannya, mengapa tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mau mengembangkan program studi teknik komputer. Jika dipilih, maka ada risiko bahwa investasi peralatan komputer yang dibelinya akan cepat out-of-dated sehingga menjadi mubazir. Kondisi tersebut tentu berbeda jika yang dibuka adalah jurusan teknik sipil. Tahu sendiri, peralatan laboratorium yang sudah puluhan tahunpun, selama tidak rusak, kadang masih dapat dipakai, misalnya uji test tekan beton.
O ya, salah satu bukti bahwa ilmu teknik sipil relatif statis atau konstan misalnya masih dijumpai pelaku konstruksi yang prakteknya masih mengandalkan PBI-71. Peraturan perencanaan struktur beton yang notabene sudah hampir setengah abad usianya. Toh bangunan beton hasil desainnya tidak serta merta ambruk ketika dibebani. Mungkin itu pula yang menjadi alasan, mengapa materi struktur baja terbaru setebal hampir 1000 halaman yang kutulis, tidak terserap (terbeli) secara cepat oleh 420 program studi teknik sipil yang ada. Maklum untuk memakai buku baru tersebut, dosen-dosennya juga perlu belajar lagi. Padahal tidak ada jaminan bahwa setelah mempelajari materi baru tersebut, maka gajinya juga serta merta ikut naik. 😀
Terlepas dari adanya hal-hal negatif, maka dengan jejak pengalaman lebih panjang (lama) dan jumlah insinyur yang lebih banyak (dibanding insinyur lain), tentunya insinyur teknik sipil Indonesia siap untuk secara mandiri merencanakan dan mengerjakan proyek-proyek konstruksi di negerinya, juga tanpa campur tangan bangsa lain.
Hanya saja dalam prakteknya, “pengalaman lebih panjang” dan “banyaknya insinyur” tidak bisa dijadikan jaminan bahwa proyek konstruksi yang dikerjakan akan sukses bertahan sampai lama. Fakta menunjukkan bahwa masih ada bangunan infrastruktur yang usianya kurang dari 10 tahun, ternyata mengalami kerusakan, sehingga perlu kucuran dana baru untuk perbaikannya. Contoh yang saat ini lagi seru adalah kerusakan infrastruktur pada jembatan Cisomang, pada jalur jalan tol Cikampek – Bandung.

Jembatan Cisomang adalah jembatan beton pada jalan tol yang mempunyai pilar-pilar jembatan yang tinggi-tinggi. Saat ini, di mulai dari bulan Desember 2016, pada bagian bawahnya sedang ada kegiatan perbaikan konstruksi untuk mengatasi kerusakan pada jembatan tersebut, lihat Gambar 2.

Gambar 2 memperlihatkan kondisi pier PO (ini informasi dari teman sejawat) yang mengalami retak-retak karena terjadi pergerakan tanah. Bagi orang awam, tentunya belum melihat adanya aura kerusakan. Bahkan jika hanya melihat dari bagian atas (Gambar 3), yang jembatannya masih dapat dilewati. Maka rasa-rasanya tidak terlihat adanya kerusakan yang perlu dikuatirkan.

Bahkan mungkin saja ada yang berpikir, kasusnya seperti pekerjaan renovasi atau perbaikan ringan, seperti yang biasa dilakukan orang menjelang tanggal 17 Agustus. Itu berarti dianggap sebagai suatu pekerjaan rutin tahunan.
Itulah yang menarik, dan perlu dibahas secara khusus di blog ini. O ya, untuk memahaminya maka ada baiknya membaca berita terkait kerusakan jembatan tersebut. Ini ada link-link berita yang dapat dibaca sebagai pengantar.
- Pillar supporting bridge on Bandung-Jakarta toll road ‘deformed’ – Arya Dipa, The Jakarta Post, 23/12/2016
- Unstable Pillar on Cisomang Bridge Causes Traffic to Be Diverted Off Purbaleunyi Toll Road – Jakarta Globe
- Ada di Zona Merah, Begini Rawannya Jembatan Cisomang – Tempo.co, 28/12/2016
- Antrean Kendaraan di Pintu Jalan Tol Jatiluhur Capai 13 Kilometer – Tempo.co 27/12/2016
- Menhub Larang Kendaraan Golongan II Lalui Jembatan Cisomang – Tempo.co, 25/12/2016
Dari berita yang beredar di atas secara jelas dapat diketahui bahwa jembatan mengalami kerusakan akibat adanya pergeseran tanah pondasi di bawahnya. Ini tentu menarik, tempo hari keruntuhan jembatan gantung Kutai Kartanagara di Kalimantan adalah akibat adanya perbaikan kabel. Ini ulasan teknis saya. Adapun yang sekarang, kerusakan jembatan bisa juga diakibatkan oleh hal lain, yaitu tanah dasar labil yang mengalami pergerakan.
Mengapa itu bisa terjadi, apakah keilmuan teknik sipil yang kita kuasai, yang katanya relatif matang (mature), tidak mampu mengatasi.
Ini tentu menjadi pertanyaan menarik bagi para akademisi atau begawan-begawan keilmuan yang ada. Memang saat ini sudah ada upaya perbaikan, tetapi tentu patut dipertanyakan apakah upaya yang dimaksud dapat efektif mengatasi kerusakan yang terjadi sehingga kondisi jembatan dapat kembali berkinerja sama seperti perencanaan awal. Untuk itu diperlukan juga analisis dan upaya penjelasan teknis yang logis yang bisa menjelaskan, apakah ada yang kurang dari proses perencanaannya. Hal-hal apa yang menyebabkan kerusakan itu terjadi. Apakah yang namanya pergerakan tanah (tanah yang labil) tidak mampu di atasi oleh ilmu teknik sipil. Jangan-jangan upaya perbaikan yang dilakukan hanya sekedar trial-and-error, berdasarkan suatu hipotesis yang tidak tepat. Ingat namanya saja hipotesis, suatu dugaan sehingga bisa saja hasilnya berbeda dengan kenyataan. 😦
Seperti biasa yang terjadi di negeri ini, suatu masalah teknis selalu terkesan tertutup. Tidak ada upaya akademis terbuka yang menjelaskannya. Ini tentu berbeda dibanding di luar negeri, di Amerika khususnya. Di sana, jika ada kegagalan konstruksi maka itu langsung menjadi objek kajian peneliti-peneliti untuk di ulas dan dibahas, bisa-bisa itu dapat menjadi ilmu baru. Adapun di sini, kasusnya tertutup. Kajian penyelesaiannyapun tidak bisa diakses sembarang orang, siapa yang menganalisis juga tidak banyak yang tahu. Biasanya, kalaupun ada hasil analisis yang dapat dijadikan pegangan, informasi yang keluar hanya mencantumkan nama lembaga, atau institusi. Tidak diketahui nama pakar yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap analisis tersebut. Oleh sebab itu apakah hasilnya valid atau tidak, tidak bisa terdeteksi dengan baik. Maklum, adanya ulasan tertulis tentang sesuatu maka pikiran orang yang menuliskannya akan langsung bisa terdeteksi.
Termasuk tulisan pak Wir ini juga ya !
Ya tentu saja, tetapi ya memang harus begitu. Minimal adanya tulisan ini, apakah itu benar seperti kenyataan di lapangan atau tidak, khan bisa menjadi bahan diskusi dan diuji. Dari hal itu tentunya nanti dapat dikumpulkan banyak pemikiran dari orang-orang sehingga akhirnya akan berkulminasi menjadi suatu kebenaran baru. Bisa-bisa timbul teori baru terkait yang dibicarakan. Ini khan suatu sumbangan.
Kembali ke laptop !
Hal-hal seperti di atas (tidak berani mempublikasikan ulasan teknis penyebab dan solusi atau kalaupun ada tidak mencantumkan nama pakar yang mengulas) itulah yang menyebabkan ilmu teknik sipil di Indonesia relatif statis. Tidak ada (atau sangat sedikit) hasil penelitian yang didasarkan kasus nyata yang terjadi. Ilmu-ilmu baru hanya berkembang ketika akan ada proyek baru, itupun hanya berdasarkan literatur manca negara yang ada, tentang bagaimana kita mencoba mengimplementasikannya. Ingat, code atau peraturan kita, di bidang struktur semua hanya mengadopsi dari luar. Jadi, disebut pakar di negeri ini, jangan terlalu berbangga lah. Biasanya mereka disebut pakar karena gelar akademisinya, lalu mendapatkan kesempatan (diundang) terlibat dalam kasus tertentu. Akibatnya orang melihat dia sebagai pakar, karena perlu tanda-tangannya. Adapun pakar di luar negeri (yang aku tahu) adalah orang yang mampu menjelaskan secara tertulis kasus rekayasa yang ada dan meyakinkan bahwa solusi yang diberikannya dapat secara efektif menyelesaikan berdasarkan teori-teori yang dikenal bersama. Kalau di sini, orang disebut pakar jika terbukti ada hasil bangunan fisiknya, meskipun untuk itu tidak ada teori yang mendukungnya. Selalu berbangga dengan praktek yang dikerjakan, hanya sekedar trial-end-error nggak masalah, yang penting ada bukti. Jadi orang-orang teori seperti saya ini, lakunya hanya kalau bikin tulisan seperti ini. Iya khan. 😀
Baik, sebagai orang yang selalu mempromosikan cara berpikir positip, dan tidak suka mengeluh (padahal masih saja ada keluhan ya di threat ini 😀 ), maka ada baiknya saya akan membuat hipotesis tentang apa yang terjadi di jembatan Cisomang sehingga kerusakan itu bisa terjadi.
Berita yang ada menyebutkan bahwa pergeseran tanah adalah penyebab kerusakan jembatan. Bagi orang awam mungkin puas dengan hal itu. Bagi orang yang bergelut sehari-hari dengan bidang ilmu teknik sipil, jelas itu tidak mencukupi. Tanah adalah kondisi alam, tidak ada yang dapat menjamin bahwa tanah tidak bergerak. Itu suka-suka alam, hanya saja memang antara kondisi tanah satu dengan kondisi tanah lainnya adalah tidak sama. Itulah variable yang menyebabkan ahli geoteknik mendapat pekerjaannya.
Terkait pergeseran tanah, maka jika keseluruhan tanah di bawah struktur mengalami pergeseran yang relatif sama, struktur tidak akan rusak. Kecuali tentunya, jika pergeseran tersebut mengakibatkan struktur miring. Kerusakan struktur akibat miringnya itu (khususnya jika berat sendirinya relatif besar sehingga timbul momen). Ingat pergeseran tanah yang dimaksud ini kadang tidak terlihat oleh mata telanjang, karena kalaupun sampai hal itu terlihat maka itu biasanya sudah disebut longsor.
Oleh sebab itu, kerusakan pada jembatan Cisomang adalah akibat adanya pergeseran tanah secara setempat yang menyebabkan titik-titik pondasi mengalami perubahan relatif satu dengan yang lainnya. Kondisi yang dimaksud umumnya dikenal dengan sebutan differential settlements.
Kalau begitu, ahli teknik sipil belum mampu mengatasi masalah differential settlements yang dimaksud ya pak Wir ?
Saya kira bukan disitu masalahnya. Differential settlement adalah masalah yang umum dibicarakan. Hanya saja, terjadinya hal itu tidak mesti selalu menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan bangunan. Maklum di awal proyek, biasanya sudah dilibatkan insinyur geoteknik untuk memastikan bahwa pondasi yang direncanakan tidak mengalami kegagalan, berupa penurunan (deformasi). Untuk memastikan itu, maka insinyur geoteknik boleh meminta anggaran untuk melakukan penyelidikan tanah dengan cara mengekplorasi kondisi tanah yang akan dipakai untuk pondasi. Bahkan jika masih ragu, bisa saja meminta loading test jika dirasa ada yang kurang mantap dengan dengan data yang ada, memastikan bahwa kinerja secara aktual pondasi sesuai yang direncanakannya.
Catatan : Loading test lebih diarahkan pada kekuatan tiang pondasi, sedangkan permasalahan penurunan pondasi tidak mudah dievaluasi. Umumnya hanya bisa diduga berdasarkan jenis tanahnya, seperti misalnya kalau tanahnya pasir (sand) maka lendutan yang terjadi adalah jangka pendek, jika lempung maka lendutan jangka panjang akan mungkin terjadi. Untuk itulah perlu uji konsolidasi dan semacamnya. Hanya memang, orang geoteknik yang berlatar belakang teknik sipil cenderung mengevaluasi kondisi tanah di sekitar pondasi. Keterkaitan secara global, jaran menjadi pembahasan, beda jika latar belakang orang geologi teknik mereka melihatnya secara lapisan batuan, lebih menyeluruh. Mungkin itulah yang menyebabkan prediksi di Cisomang bisa kelewatan.
Asumsi di atas banyak dilakukan untuk proyek gedung, yang umumnya melibatkan luasan dasar yang relatif kecil. Adapun untuk jembatan, yang menyangkut jarak yang cukup jauh, dan kondisi tanah yang beraneka ragam maka solusi untuk mengatasi adanya masalah differential settlement adalah dengan memilih sistem struktur statis tertentu. Pada sistem ini, kalaupun terjadi different settlement, tidak menyebabkan kerusakan struktur. Selain itu, kalau dipikirkan akan terjadi perubahan pada tanah, maka tentu akan dipilih sistem struktur yang relatif ringan. Maklum pergeseran itu umumnya terjadi juga akibat berat sendiri yang relatif besar. Kalaupun juga masih dikuatirkan maka bisa saja dapat dilakukan perkuatan pada kondisi tanah di bagian pondasi tersebut. Pokoknya kalau tahu risiko tersebut akan terjadi, maka para insinyur dapat memikirkan cara mengatasinya, bahkan kalau ternyata risikonya besar tentu pengalihan lokasi dapat dipertimbangkan untuk mengatasi masalah di kemudian hari. Pokoknya insinyur punya cara deh.
Lho kalau begitu koq masih ada kerusakan di jembatan Cisomang pak ?
Kebetulan saya punya papernya pak Iswandi dkk, berjudul “Sistem Jembatan Girder Menerus Studi Kasus Pada Perencanaan Jembatan Cisomang“, pada Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005, tanggal 4 Juni 2005 yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Sipil Itenas, Bandung. Paper tersebut berisi kajian desain jembatan Cisomang, yang fokusnya adalah bagaimana kinerja jembatan tersebut terhadap gempa. Akibat tingginya pilar, dan juga ketinggian pilar yang bervariasi maka akibat gempa dikuatirkan akan terjadi pemusatan gaya (momen) pada pilar. Pilar pendek, yang dianggap lebih kaku dikuatirkan akan menyerap gaya gempa yang dapat menyebabkan keruntuhan. Nah pada paper tersebut disampaikan strategi yang dilakukan. O ya, ini kira-kira tampak sistem struktur jembatan dari paper tsb.

Hal menarik dari paper tersebut, tidak ada disinggung sama sekali tentang kemungkinan terjadinya different settlement pada jembatan tersebut. Fokusnya adalah untuk mengatasi bahaya akibat gempa. Dalam mengatasi perbedaan kekakuan pilar, akibat perbedaan tinggi, maka dijumpai solusi bahwa pilar yang tinggi di bagian atasnya, yang berupa PC Girder ternyata dibuat menyatu. Sistem struktur menjadi statis tak tentu, sistem bertambah kaku karena pilar-pilar yang tinggi dan girder menjadi seperti sistem portal. Dari segi kinerjanya dalam menghadapi gempa, memang sistem tersebut sangat baik. Pilar juga dibuat daktail, adapun sistem pondasi dibuat lebih kuat, sehingga kalaupun terjadi sendi plastis maka terjadinya pada pilar.
Sistem struktur statis tak tentu (portal) adalah bagus untuk gempa, tetapi kalau terjadi differential settlement maka tentu sangat berbeda. Sistem tersebut riskan untuk mengalami kerusakan. Juga karena sistem jembatan karena dibuat dari beton maka tentu akan lebih berat dibanding jika dibuat dari baja. Akibatnya, tanah juga lebih berisiko untuk mengalami perubahan akibat beban berat tersebut.
Nah sampai disini ketahuan. Masalah jembatan Cisomang itu timbul karena sebelumnya tidak terprediksi bahwa differential settlement akan terjadi, fokusnya adalah gempa ratusan tahun. Itu seperti kasus di Jogja, tempo hari bersiap-siap untuk menyambut letusan gunung Merapi (Utara Jogja), eh ternyata yang terjadi adalah gempa di Bantul (daerah Selatan Jogja).
Jadi pada dasarnya ilmu teknik sipil telah dikuasai oleh banyak ahli di Indonesia, hanya kapan ilmu itu dapat secara tepat untuk dipakai. Nah, itu tergantung insinyurnya. Sangat personal, itu tidak hanya butuh pengalaman, tetapi juga wawasan keilmuan yang “lebih”.
Kalau begitu, Bapak sebagai gurunya insinyur bisa berbuat apa untuk mengatasi hal itu ?
Ya berbuat seperti ini. Menulis untuk membuka mata, memberi wawasan baru bagi para praktisi insinyur di lapangan, bahwa ada hal-hal penting yang perlu dipikirkan. Tulisan-tulisan seperti ini sangat jarang di Indonesia. Adapun hal-hal penting yang terjadi, umumnya hanya diingat sebagai pengalaman personal. Jadi yang tidak mengalami langsung, tidak mendapatkan manfaat adanya hal-hal penting tersebut. Tetapi dengan menulis ini, maka wawasan pembaca akan terbuka. O ternyata tidak hanya gempa yang perlu diperhitungkan, tetapi juga kondisi tanah. Jika semua potensi bahaya dapat diidentifikasi dan direncanakan untuk mengatasinya, maka saya yakin kerusakan yang terjadi bisa dihindari.
Satu hal penting yang perlu saya sampaikan terkait dengan kasus jembatan Cisomang adalah pujian kepada penanggung jawab jalan tol, yang mampu mendeteksi kerusakan pada tahap yang relatif dini. Karena jika dibiarkan berlarut-larut, maka kerusakan parah bisa saja terjadi. Adanya kepedulian di lapangan sangat penting, apalagi jika dapat disinerjikan dengan ahli-ahli teoritis yang mumpuni. Jika itu terjadi kelak, maka kemampuan mandiri ahli teknik sipil Indonesia, tentu tidak perlu diragukan lagi.
Catatan : saya melihat dari foto-foto sejawat yang dikirimkan, memang saat ini tengah dilakukan perbaikan pada pilar jembatan. Hal penting yang perlu dilihat adalah kondisi tiang pancang / bor di bawah pondasi. Jangan-jangan akibat pergeseran tanah yang tidak seragam, tiang bor / pancang di bawahnya juga mengalami overstress. Bahkan bisa-bisa mengalami patah. Maklum penulangan tiang bor, biasanya tidak sampai bawah. Kajian struktur atas , saya sudah melihatnya, tetapi yang bagian bawah koq saya belum melihat. Bisa dibayangkan, kalau pondasi tiang dibawahnya patah, kapasitasnya dalam memikul beban jelas akan berkurang. Tahu sendiri, truk-truk yang melewati jembatan itu khan berat-berat. Hati-hati lho.
Ada lagi tambahan untuk dijadikan catatan. Perkuatan yang dilakukan saat ini adalah membungkus atau melapisi pilar dengan serat karbon. Ini memang yang biasa dilakukan untuk mengatasi kegagalan pada suatu pier. Terhadap beban tetap memang ok, tetapi dari segi daktilitas maka tentu ini perlu dipikirkan. Pilar dengan serat karbon tentu akan menjadi semakin kuat, tetapi masalahnya jika membaca paper pak Iswandi dkk. Sistem pilar dijadikan bagian yang menyerap gaya gempa atau dengan kata lain, dibuat lebih lemah tetapi daktail. Itu rencana awal. Tetapi dengan perkuatan yang terjadi, maka perilaku pilar tentu berubah. Jika berubah, maka tentunya perilaku jembatan ketika terjadi gempa, bisa berbeda dari yang diprediksi awal. Saya kira ini topik menarik untuk dikaji oleh yang berwenang.
Salam sukses dari padepokan “struktur” Lippo Karawaci.
Referensi :
Iswandi Imran, Bambang Budiono, Kristiono Adhi, Rusdiman dan Aris Aryanto.(2005). “Sistem Jembatan Girder Menerus Studi Kasus Pada Perencanaan Jembatan Cisomang“, Seminar Nasional Rekayasa Material dan Konstruksi Beton 2005, Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Bandung bekerja sama dengan Departemen Teknik Sipil ITB dan PT. Indocement Tunggal Prakasa, Tbk. (download 5 Mb)







Tinggalkan Balasan ke Zainuddin.ITS Batalkan balasan