Sorry, judulnya jangan di-complaint ya. Maklum bahasanya campur-campur, asing dan Indonesia sekaligus, terkesan tidak konsisten. Jadi yang merasa ahli bahasa pasti akan mencak-mencak. 😀
Sebagai orang yang awalnya adalah engineer, lalu baru sekarang menjadi pemakai bahasa aktif (penulis) maka menerjemahkan hanya berdasarkan kaidah yang biasa ada, koq nggak sreg begitu. Erection merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris dan sebenarnya sudah diserap menjadi kata baku bahasa Indonesia sebagai ereksi. Tetapi saya koq rasanya merasa nggak begitu pas untuk menyandingkannya dengan kata baja . Kata ereksi koq cocoknya jika dikaitkan dengan dokter Boyke. Tul nggak ?!
Tidak hanya itu saja, saya merasa bahwa kata ereksi merujuk pada suatu kondisi (statis). Adapun erection (dicetak miring) merujuk suatu proses (dinamis). Nah yang terakhir itu rasanya pas kalau yang memakai adalah seorang insinyur . He, he ini mungkin subyektifas pribadi ya.
Nah terlepas setuju atau tidak setuju, yang jelas kata erection (dicetak miring) sudah aku gunakan pada buku karanganku berjudul Struktur Baja (edisi awal) maupun untuk buku edisi ke-dua, dan kelihtannya sudah menjadi referensi banyak engineer.
Seperti yang aku tuliskan di buku tersebut, bahwa konstruksi baja adalah unik. Untuk menguasainya secara lengkap, maka perlu mengetahui adanya tiga tahapan-tahapan berbeda yang harus diperhatikan untuk kesuksesan pembangunan kontruksi baja, yaitu :
- Pabrikasi (di bengkel kerja dengan alat-alat kerja dan kelengkapannya)
- Transportasi (truk di jalan raya, kereta api di jalan rel, kapal di sungai atau laut)
- Erection (di lapangan proyek)
Tiga tahapan tersebut menentukan apakah suatu konstruksi baja dapat sukses dibangun atau tidak. Untuk mendapatkan kualitas yang terjaga maka diusahakan elemen-elemen baja dibuatnya di pabrikasi atau bengkel kerja yang didukung oleh alat-alat kerja yang lengkap maupun pekerja-pekerjanya yang trampil dan berpengalaman. Lokasi pabrikasi umumnya berbeda dari propyek di lapangan (site project) oleh sebab itu perlu transportasi (bisa darat, laut dan udara). Oleh sebab itui ukuran elemen yang dibuat di bengkel kerja akan menyesuaikan dengan alat transportasi yang digunakan.
Karena ukuran elemen-elemen pabrikasi umumnya lebih kecil dari ukuran bangunan rencana maka diperlukan sistem sambungan, yang dipilih sesuai dengan kemudahan pelaksanaan dan harus konsisten dengan perilaku pemodelan untuk analisa struktur pada tahap perencanaan.
Jika tahapan pabrikasi selesai (sukses) dan selanjutnya transportasi tidak menimbulkan masalah, dalam arti elemen-elemen struktur baja berhasil diangkut ke lapangan (project site), maka tahapan berikutnya adalah erection. Suatu kata khusus untuk menjelaskan suatu proses bagaimana elemen-elemen struktur tadi dirangkai menjadi satu kesatuan struktur yang diharapkan. Istilah yang mendekati adalah perakitan atau penyusunan elemen. Hanya saja, saya lebih suka dengan kata erection karena ada unsur pengangkatan (ada hubungannya dengan kapasitas crane) dan pemasangan (ada kaitannya dengan kemudahan dengan sistem sambungan yang digunakan).
Jadi jika elemen struktur yang dibuat pada tahapan pabrikasi berukuran kecil (proses transportasi gampang), maka jumlah sambungannya menjadi banyak. Keuntungannya pada saat erection tidak diperlukan crane kapasitas besar, tapi kerugiannya jumlah sambungan banyak yang berarti waktunya lama.

Untuk konstruksi baja arah vertikal seperti misalnya tower PLN, pemilihan elemen struktur yang berukuran kecil dapat menguntungkan, karena tidak diperlukan crane khusus, cukup dengan sistem kerekan sederhana (secara manual). Itu bisa karena elemennya relatif ringan. Kecuali itu, proses pelaksanaannya sendiri bisa mandiri, setiap elemen yang telah terpasang dapat langsung bekerja untuk memikul elemen berikutnya, tanpa perlu shoring (penopang) khusus. Perhatikan Gambar 1 dimana elemen dipasang satu persatu dan tower dapat bertambah tinggi dengan sendirinya.

Kondisi berbeda jika konstruksi bajanya adalah di arah horizontal, seperti konstruksi atap atau jembatan. Akibat keterbatasan kapasitas crane atau transportasinya maka bisa saja elemen baja pabrikasinya berukuran terbatas, tidak bisa sepanjang bentang (kolom tumpuan ke kolom tumpuan berikutnya). Untuk kondisi seperti itu, elemennya berarti tidak bisa berdiri sendiri. Jika dapat dipasang perancah atau shoring sementara (lihat Gambar 2) maka tentunya permasalahan teratasi.
Pemasangan shoring untuk bangunan gedung, yang mana lokasinya tertata maka itu bukanlah masalah. Tetapi untuk proyek jembatan, yang lokasi menyulitkan untuk dipasang shoring maka elemen yang akan dierection dibuat berukuran besar. Jadi masalahnya hanya pengangkatannya, perlu crane besar (lihat Gambar 3).

Bisa saja segmen besar tersebut sebenarnya tersusun dari segmen pabrikasi yang lebih kecil. Jadi untuk persyaratan transportasi, ukurannya memang nggak bisa panjang-panjang, di Jakarta ukuran panjang yang umum adalah 15 m, tetapi untuk khusus bisa lebih. Hanya saja bisa sangat mahal karena perlu ijin khusus. Nah teman-teman kontraktor pasti bisa bercerita banyak soal ini.
Segmen kecil-kecil tersebut dirakit terlebih dahulu di bawah, dan langsung diangkat dengan crane kapasitas besar. Ini menjadi pilihan karena tidak diperlukan shoring tambahan dan waktu pelaksanaannya lebih cepat (nggak perlu bongkar pasang shoring maupun pemasangan sambungan di tengah).
Pengangkatan elemen struktur yang besar tentu saja berisiko tinggi. Kalau tidak hati-hati dan mengalami kegagalan, yang berarti runtuh, maka elemen yang dianggkat bisa rusak. Kembali ke nol lagi. Ini tidak main-main lho. Kasus ini juga yang baru saja terjadi di proyek LRT Palembang. Ini data-data yang dapat aku kumpulkan tentang hal tersebut, sebagai berikut.





Itu resiko yang bisa terjadi dengan proses pengangkatan yang tidak tepat. Oleh sebab itu pada tahapan erection perlu dilakukan perencanaan atau tepatnya perhitungan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa kejadian di atas, tidak terjadi.
Analisis struktur yang perlu dilakukan untuk tahapan erection seperti di atas mestinya tidak serumit seperti sistem bangunannya. Umumnya sistem strukturnya adalah statis tertentu biasa. Maklum sistem strukturnya khan mesin crane. Adapun permasalahannya yang biasa dijumpai adalah :
- Stabilitas tumpuan mesin crane. Umumnya hanya mengandalkan daya dukung permukaan tanah (tegangan tekan), tidak ada tarik (pengangkuran). Oleh sebab itu perlu analisis pengaruh variasi panjang lengan pengangkut selama pelaksanaan yang mungkin terjadi, dan prediksi beban yang diangkut. Harus dipastikan tidak menimbulkan momen ungkit yang menyebabkan mesin crane terguling. Termasuk juga kondisi tanah dibawah permukaan tumpuan mesin crane. Bila perlu pada permukaan tanah tumpuan tadi harus ditambahkan pelat-pelat baja untuk meratakan beban ke tanah di bawahnya.
- Estimasi berat beban yang dipikul. Kalau kurang tepat maka bisa-bisa alat crane yang telah didatangkan menjadi tidak kuat, over load atau under capacity.
- Selama proses erection ketika terjadi perpindahan dari sesuatu yang diam lalu dipindahkan, bisa-bisa akan terjadi impact atau beban kejut. Ini harus diperhitungkan, ingat F = m.a.
- Kondisi peralatan yang digunakan, pastikan kapasitas alat yang digunakan tidak terlalu mepet. Ini penting untuk mengantisipasi ketidak-tepatan prediksi.
- Ketrampilan operator mesin crane.
Wah apalagi ya. Ini yang berpengalaman sebagai kontraktor pelaksana tentu bisa menambahi lagi. Ini penting lho agar dapat menjadi bahan pembelajaran pada engineer muda sehingga kejadian pada foto di atas jangan sampai terjadi lagi.
Untuk sementara begitu dulu ya. Salam dari kampus Lippo Karawaci, Tangerang.
Link yang terkait :
- Grider LRT Jatuh : Saat Steel Box Diangkat, Tiba-tiba Belalai Crane Patah Hingga Menghantam Rumah Warga – Selasa, 1 Agustus 2017 08:51
- Alat Berat Proyek LRT Jatuh dan Hantam Rumah Warga
Berry Subhan Putra – Kompas.com – 01/08/2017, 11:16 WIB - Kronologi Robohnya Crane LRT di Palembang
Agus Rizal – Selasa, 1 Agustus 2017 – 11:52 WIB - Buntut girder jatuh, pembangunan LRT Palembang terancam mundur
Selasa, 1 Agustus 2017 14:32 - Jatuhnya Crane LRT Palembang Diduga Efek Penurunan Tanah
Arimbi Ramadhiani – Kompas.com – 01/08/2017, 19:00 WIB
Tulisan saya yang mirip dengan threat ini :
- bangunan ambruk, bagaimana itu ? – 5 Juni 2014







Tinggalkan komentar