Mas Wir,
Saya bermaksud mengirim tulisan berkenaan dengan keselamatan kerja konstruksi, seperti yang pernah saya janjikan di blog, silakan mas Wir edit agar lebih mudah difahami.
Salam
Badar
Tulisan ini dimaksudkan untuk melanjutkan apa yang telah dipaparkan oleh mas Wir berkenaan dengan keselamatan kerja konstruksi, yang mana telah menarik antusias rekan-rekan lain untuk mendiskusikan untuk mengenal lebih jauh tentang keselamatan kerja konstruksi (K3).
Komentar mas Wir “Sekiranya perlu menambahkan item ini dalam mata kuliah manajemen konstruksi, serta perlu tidaknya safety engineer dilibatkan dalam tahap design bekerja bareng structure engineer“, menjadi latar-belakang saya mengapa menulis tema ini, dengan harapan semoga bisa memberi pencerahan dan membuka wawasan baru, atau minimal menjadi pemikiran untuk dapat didiskusikan lagi secara lebih detail. Siapa tahu hasil diskusi kita nanti dapat menjadi referensi untuk dijadikan standard keselamatan kerja konstruksi di Indonesia. Moga-moga. 🙂
Pekerjaan konstruksi adalah pekerjaan yang padat akan aktifitas dengan level resiko yang cukup tinggi, misalnya pekerjaan pengangkatan benda-benda berat, bekerja pada ketinggian, serta pekerjaan pada ruang terbatas. Efek dari pekerjaan – pekerjaan tersebut apabila terjadi suatu kecelakaan, antara lain adalah rusaknya peralatan yang digunakan, rusaknya lingkungan sekitar project, serta hilangnya nyawa pekerja dan efek yang terakhir ini disebut dengan fatality. Secara keseluruhan efek-efek tersebut akan mempengaruhi schedule penyelesaian project (proyek delay), serta pembengkakan biaya konstruksi.
Keselamatan kerja dewasa ini mendapatkan perhatian khusus bagi masyarakat industri menyusul banyaknya kecelakaan yang sering terjadi, serta kerugian yang ditimbulkan yang cukup besar baik dari financial sampai hilangnya nyawa manusia.
Merespon hal ini, beberapa perusahaan di sektor industri mempunyai komitmen untuk melaksanakan semua aktifitas dengan aman serta ramah lingkungan. Komitmen ini tentunya tidak gratis, akan tetapi membutuhkan biaya serta effort lebih. Biaya serta effort lebih ini pula yang membuat beberapa perusahaan lain enggan untuk berkomitmen dengan safety.
safety hanya buat mahal nilai project saja, bayangkan kami harus mengeluarkan uang untuk membelikan peralatan safety bagi setiap pekerja berupa sepatu safety, helmet, kacamata safety dll yan nilainya lebih dari Rp. 500.000, per orang, bayangkan kalau karyawannya 100 orang, tentunya nilai yang fantastis.
Paradigma ini tidak sepenuhnya betul, jika ditelaah lebih jauh sebab biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kecelakaan nilainya jauh lebih fantastis dibandingan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan peralatan safety tersebut.
Belum lagi pandangan miring dari masyarakat industri akibat kecelakaan tersebut ” Melindungi keselamatan serta kesehatan semua orang yang terlibat dalam pekerjaan sector industri”.
Keselamatan Kerja Konstruksi Tanggung Jawab Siapa?
Pekerjaan konstruksi adalah pekerjaan yang melibatkan engineering konsultan sebagai perencana (front end of engineering & design serta detil engineering design), kontraktor sebagai pelaksana serta konsultan pengawas, semua elemen tersebut baik perencana, kontraktor maupun pengawas, memiliki kontribusi tersendiri pada keselamatan kerja konstruksi.
Fase Engineering
Riset yang telah dilakukan oleh Behm (2005) menyatakan bahwa seorang engineer atau designer dapat memberikan kontribusi yang significant berkaitan dengan keselamatan kerja konstruksi (K3). Engineer atau designer dalam melakukan perencanaan harus sudah memikirkan tahap pelaksanaan (construction stage) dari apa yang direncanakan, sehingga diharapkan keputusan – keputusan yang di buat dilapangan oleh kontraktor dapat diminimalisasi.
Pada tahun 1985 The international labor office merekomendasikan agar engineer atau designer memberikan guide berkaitan dengan metode keselamatan kerja konstruksi kepada setiap pekerja berupa standard prosedur kerja untuk setiap jenis pekerjaan (working standard procedure).
Di tahun 1991 The European Foundation for the improvement of living and working condition menyimpulkan bahwa sekitar 60% kejadian fatal pada fase konstruksi disebabkan oleh keputusan-keputusan yang dibuat sebelum pekerjaan dimulai dilapangan.
Pada tahun 1994 studi yang dilakukan oleh industri konstruksi di inggris menemukan hubungan antara keputusan design dan keselamatan kerja konstruksi.
Figure 1 Time/Safety Influence Curve (Behm 2005)
The ability to influence safety diminishes as schedule moves toward start-up.
Dari grafik diatas terlihat bahwa keselamatan kerja konstruksi sangat ditentukan pada fase konsep dan detil design, semakin mendekati penyelesaian proyek konstruksi pengaruh yang dapat diberikan semakin kecil. (Designing for Construction Worker Safety by John W. Mroszczyk, Ph.D., P.E., CSP).
Fase Konstruksi
Fase konstruksi merupakan fase setelah pekerjaan perencanaan, dimana tanggung jawab terbesar pada fase ini ada pada kontraktor pelaksana. Berhasil tidaknya suatu project diukur dari hasil yang dicapai pada tahap konstruksi, karena fase konstrusi merupakan fase “pembuktian” dari apa yang telah direncanakan berupa gambar kerja lengkap dengan segala perhitungannya.
Banyak keputusan dan perencanaan yang dibuat di lapangan saat fase konstruksi yang menyangkut pencapaian progress pekerjaan serta metode kerja kaitannya dengan keselamatan kerja. Kontraktor dalam melaksanakan pekerjaannya pendapatkan pengawasan konsultan pengawas, sehingga konsultan pengawas ikut terlibat dalam memastikan hasil yang dicapai kontraktor memenuhi persyaratan yang ditentukan, sehingga sedikit banyaknya konsultan pengawas ikut terlibat atas setiap keputusan yang dibuat dilapangan.
Kecelakaan yang terjadi pada satu pekerjaan konstruksi kebanyakan disebabkan oleh tenaga kerja yang tidak berpengalaman terhadap apa yang dia kerjakan, peralatan yang sudah tidak layak untuk dipakai, kondisi lingkungan kerja yang tidak aman, menggunakan peralatan tidak sesuai dengan peruntukannya, perilaku karyawan kurang peduli terhadap safety, serta management perusahaan yang belum peduli sepenuhnya terhadap safety serta metode kerja yang tidak aman.
Untuk kecelakan akibat kesalahan metode kerja dapat dihindari dengan membuat keputusan yang tepat saat fase engineering & design, dan ini merupakan tanggung jawab engineer , sementara untuk penyebab kecelakaan yang lainnya merupakan tanggung jawab kontraktor untuk memperhatikan hal tersebut.
Wir’s comments : kecelakaan kerja akibat metode kerja …. merupakan tanggung jawab engineer , saya tidak sependapat (jika engineer yang dimaksud adalah perencanaa, bukan site engineer atau penanggung jawab lapangan).
Pernyataan tersebut seakan-akan menyatakan bahwa engineer (perencana) harus menyediakan spesifikasi teknis untuk metode kerja-nya. Menurut saya, untuk struktur-struktur yang umum (general), yang kekuatan / kekakuannya tidak dipengaruhi oleh metode pelaksanaan maka engineer perencana tidak perlu membikin spesifikasi khusus. Hal itu dibebaskan kepada kontraktor untuk memilih metode pelaksanaan sesuai dengan sdm (teknologi), dan pengalaman yang dipunyainya. Dengan kondisi tersebut maka diharapkan owner akan mendapatkan harga yang terbaik, tetapi spesifikasi (mutu) tetap terjaga.
Jika struktur-struktur tersebut dipengaruhi oleh metode pelaksanaan, misalnya seperti pada kontruksi jembatan, maka engineer (perencana) dengan sendirinya wajib menyediakan aturan khusus pelaksanaan yang harus diikuti oleh kontraktor. Itu juga menjadi pertimbangan dalam tender (menentukan biaya).
Contoh sederhana : saya perlu beton fc 35 MPa, untuk itu tidak perlu ditetapkan, pasirnya dari mana, apa harus dari gunung Merapi, dsb-nya.
Pada beberapa perusahaan dimana safety menjadi prioritas utama, memiliki aturan tersendiri dalam melaksanakan suatu project untuk memastikan pelaksanaan aktifitas dengan aman, tidak membahayakan pekerja serta tidak mencemari lingkungan, aturan tersebut
- Melakukan Project Safety, Health & environmental review pada setiap fase / stage dari suatu proyek konstruksi untuk memastikan agar semua keputusan yang dibuat pada fase engineering maupun konstruksi telah memenuhi standard yang telah ditetapkan
(wir’s comments: bagus !, tapi tentunya review oleh yang ahlinya bukan sekedar orang yang punya sertifikat tapi baru lulus dan belum punya pengalaman. Saya tidak mengecilkan gelar atau sertifikat, tapi pengalaman dari orang yang pernah mengalami langsung tipe pekerjaan yang sejenis maka mentalnya jelas beda dengan yang orang yang masih ijo),
Contoh menggunakan elemen dinding prefab pada konstruksi bangunan gedung bertingkat merupakan keputusan yang sangat tepat untuk menghindari bekerja pada ketinggian sehingga bisa mengurangi resiko jatuh dari ketinggian.
(wir’s comments : saya kira contoh yang diambil bukan seperti itu solusinya, daripada merubah struktur shg menjadi tidak murah, ada baiknya disaring kontraktor yang akan mengerjakannya. Apakah mereka sudah mempunyai pengalaman sebelumnya, juga usulannya tentang strategi safety yang akan mereka terapkan untuk menangani pekerjaan tersebut. Saya kira ini lebih efektif.) - Pada fase konstruksi ada beberapa hal yang dapat diusahakan untuk menghindari atau meminimalisasi resiko kecelakaan pada proyek konstruksi diantaranya :
- Melakukan pengecekan rutin pada setiap equipment yang akan digunakan disesuaikan dengan standard pengecekan yang sudah ada. Contoh pengecekan tower crane, untuk metode serta jarak waktu antara dua pengecekan disesuaikan dengan standard yag berlaku dan diberikan tanda berupa sticker yang menyatakan bahwa tower crane tersebut dapat digunakan.
- Mentraining karyawan berkenaan dengan pekerjaan mereka, sehingga mereka dapat mengidentifikasi kemungkinan resiko bahaya dari pekerjaan tersebut dan mengerti metode kerja yang aman untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan aman.
- management menerapkan system punishment & reward akan prestasi yang berkenaan dengan safety pada setiap karyawan, sehingga culture serta prilaku yang kurang perduli terhadap safety setahap demi setahap dapat dirubah.
(wir’s comments : yang ini saya setuju)
Kesimpulan saya adalah engineer punya kontribusi pada setiap kecelakaan konstruksi dan punya kemampuan untuk mengindari kecelakaan tersebut dengan membuat design yang tepat pada fase perencanaan. Jadi ingat perkataan pak Drajat dalam seminar gempa HAKI, engineer harus punya tanggung jawab moral dari apa yang direncanakannya.
Wir’s comments : usulan mas Badarudin, cocoknya untuk proyek-proyek design-and-built yang banyak diterapkan pada proyek-proyek industri, tetapi untuk proyek gedung yang kontraktor-nya belum ditentukan rasanya bukan solusi yang terbaik jika engineer perencana membuat metode pelaksaknaan khusus, kecuali jika sifatnya optional.
jadi balik lg kekitanya jg ya..
SukaSuka
K3 itu tanggung jawab semua, Pak Wir.
Resiko timbul karena konsekuensi dari pilihan desain yang diambil oleh Perencana, dan perencana nggak bisa menghindar dengan beralasan “.. Tugas saya menghitung struktur dan menuangkannya dalam gambar, soal bagaimana mengerjakannya ya tanggung jawab Kontraktor..”.
Kontraktor disini lain nggak boleh manja, tapi harus bisa membuat statement of methods yang selain bisa mengatur prosedur yang efektif dan efesien juga harus aman. Setelah itu, melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Pemilik proyek, juga harus berkomitmen, dan dalam kontrak dia wajib mengharuskan klausul tentang wajib K3 harus dinyatakan explisit dan detail.
Tiap-tiap orang yang berada di lokasi juga harus melaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan membuat K3 menjadi sebuah kultur bukan sekedar mentaati peraturan.
Untuk setiap kegiatan pekerjaan, biar aman pastilah membutuhkan tambahan biaya dan usaha, dan semua pihak harus mau menanggungnya.
SukaSuka
**K3 itu tanggung jawab semua, Pak Wir.**
O ya jelas, secara moril demikian. Tapi apa itu berarti ditindak lanjuti dengan gambar-gambar rencana dan spesifikasi yang terkait langsung dengan K3 itu atau nggak. Wah itu bisa diperdebatkan.
Nggak tahu sekarang, tapi setahu saya dalam kasus perencanaan struktur gedung, fokus pekerjaannya lebih diarahkan pada fungsi / kinerja struktur itu sendiri setelah selesai. Ada sih yang dikaitkan dengan metode pelaksanaan, itu kalau terkait dengan pelaksanaan basement dalam, misal pelaksanaan top-down construction. Lalu untuk struktur jembatan juga demikian.
Saya belum pernah menjumpai (moga-moga sekarang udah ada) bahwa dalam gambar-gambar perencanaan struktur juga ada petunjuk yang berkaitan dengan K3 secara langsung. Sebagai gambaran untuk itu, coba lihat pada SNI untuk perencanaan struktur beton atau struktur baja, kayaknya tidak dibahas tuh K3.
Gimana mas Nur ?
Kita sih boleh komen, “wah itu sih tanggung jawab kita semua” , tapi dalam kenyataannya “ada nggak sih”. Ternyata hanya ngomong doang.
Yang jelas, masalah lapangan, tentang kompetensi pekerja, alat dan metode kerja, umumnya kontraktor akan lebih berpengalaman, contohnya aja deh, waktu dulu di PT. WA bicara tentang pre-stressed maka kadang-kadang memanggil orang kontraktornya secara khusus untuk tanya-tanya metode apa yang akan digunakan (konsultasi gitul lho). Bagaimanapun alat-alat atau teknologi konstruksi, kontraktor lebih jago dibanding si structural engineer. Gitu mas. Terus terang kita ini spesialis, tidak lintas batas gitu. Tapi nggak tahu deh, siapa tahu memang ada orang bisa disemua lini.
SukaSuka
Yth. Pak Wir.
Maksud saya, janganlah kita berpikir parsial dalam soal K3, tetapi kita harus menjadikannya sebagai tanggung jawab semua.
Bukannya semuanya dimulai dari perencanaan? Makanya selain perencanaan terhadap kekuatan (kemampuan layan), dan perencanaan estetika serta fungsi, constructability-nya juga harus dipikirkan Perencana.
Jadi point saya: K3 bukan tanggung jawab Kontraktor saja, sebab bukankah Perencana harus bisa membuat desain yang aman pelaksanaan konstruksinya, aman saat digunakan dan aman dalam maintenance-nya?
SukaSuka
Mas Cahya,
Saya memahami sekali pernyataaan dari mas Cahya, dan saya kira semuanya akan meng-Amin-i. Seperti halnya banyak teman-teman Indonesia bilang bahwa tanah kita adalah zamrut kathulistiwa, banyak kolam susu, kekayaannya melimpah bla-bla-bla. 😀
Takut bilang negara kita adalah salah satu negara miskin, gudang koruptor, dll. Padahal kalau kita mau melihat kenyataannya, meskipun hutan gundul, tambang digali sampai rusak, kesejahteraan masyarakat secara umum masih dibawah atau pas garis kemiskinan. Padahal juga, di jalan-jalan Jakarta, mobil-mobil super mewah dapat dengan mudah dijumpai, bahkan variasinya mengalahkan negara eropa (Stuttgart, di Jerman misalnya).
Demikian juga pendapat anda bahwa
Betul juga sih, tapi itu masih dalam rangka “wacana”. Kenapa ? Karena Peraturan Perencanaan atau SNI sebagai dasar pekerjaan perencanaan tidak secara jelas memasukkan unsur K3 sebagai klausul yang harus diikuti dalam setiap kerjanya. Jadi atas dasar apa pernyataan di atas dapat ditindak lanjuti. Belum jelas. 😦
Contoh lain, HAKI misalnya, selama ini kita melihat seminar-seminar yang diadakan. Sudah adakah yang membahas tentang K3. Koq, saya tidak pernah melihatnya ya (sorry jika saya terlewat). Saya pernah mendengar sih, saudara yang bekerja di kontraktor, dengan team-nya datang ke Jakarta untuk belajar tentang K3. Tapi itu tadi, kontraktor, pelaksana di lapangan.
O ya, saya punya pendapat : structural engineer pada umumnya lebih familiar dengan “metoda pelaksanaan”, “kegagalan konstruksi” dibanding tentang K3 (keselamatan pekerja kontruksi dalam masa pelaksanaan). Tentang dua hal yang pertama, saya punya dan telah membaca literatur-literaturnya, tetapi yang terakhir tersebut terus terang nggak punya buku atau literatur khusus. Kenapa, karena itu tadi “structural engineer” dan bukan “site engineer”. Kalaupun diminta ke lapangan maka umumnya diminta review, metoda pelaksanaan atau mengevaluasi terjadi kegagalan konstruksi. Meskipun ujung-ujungnya kegagalan tsb mengakibatkan pekerjanya tidak selamat. 😦
SukaSuka
salam sejahtera pak wir
sebagai mahasiswa safety engineering (k3) aspek k3 dilapangan yang sering menjadi kendala disamping dari pihak manajemen adalah dari pekerja itu sendiri (safety behavior-nya masih kurang). seperti yang saya alami sekarang ini di tempat kerja praktek, kebanyakan para pekerja merasa sudah ahli dibidangnya sehingga merasa tidak perlu mengenai safety.
contoh kecilnya bekerja di tempat ketinggian pekerja malas menggunakan safety hardness ataupun alat pelindung diri (APD). sehingga kecelakaan kerja sangat sulit diatasi karena kurangnya kesadaran dari pekerja.
menurut saya ada hal yang mungkin bisa diterapkan untuk meningkatkan safety behavior. selain dengan training, atau yang lainnya mungkin dengan menyaksikan (menonton) tayangan mengenai kecelakaan kerja sehingga pekerja dapat mengetahui bahaya ataupun potensi bahaya yang ada di tempat kerja.
SukaSuka
Biasanya ini dikenal dengan istilah safety immersion, dimana accident-accident yang pernah terjadi difilmkan kemudian ditayangkan kepada para pekerja, dari film ini dapat diambil beberapa lesson learn.
Saya sempat ikut safety immersion kejadian di BP i.e. lifting and drilling. umumnya
SukaSuka
Pak, saya mau bertanya
Penggantian atap dari asbes menjadi alumunium yang akan dilakukan di tempat saya sedang praktek kerja lapangan kira-kira hal apa yang perlu diperhatikan ?
Saya hanya mengerti sebagian saja mengenai stuktur alumunium.
SukaSuka
pak wir… mau tanya gimana cara pelaksanaan untuk jembatan dengan pondasi tiang pancang yang miring… ada hitungannya ga…
karena saya liat di pondasi tiang pancang ada yang tegak dan ada sisi yang miring
SukaSuka
bagus kalo semua orang menyadari akan pentingnya K3
SukaSuka
bagi rekan2 rekan sekalian apabila ada lowongan kerja mengenai safety engineering mohon beri tahu saya ya.
Soalnya saya akan segera lulus kalau gak ada kendala september 2008 (amin)
SukaSuka
dear All,
Kebetulan saya bekerja di perusahaan tambang yang memang dipersyaratkan dengan pelaksanaan K3 yang ketat karena resiko kecelakaan yang juga tinggi.
menurut pengalaman saya, K3 memang menjadi tanggung jawab semua pihak, baik owner, maupun dari kontraktor (termasuk tanggung jawab pribadi pekerja).
kontraktor yg bekerja di tempat kami wajib diberi pengarahan (safety induction) oleh safety officer (trained and certified) kami. Pada kesempatan itu diberikan pengarahan, larangan, slide kejadian dll sehingga diharapkan pekerja dan kontraktor mengerti arti keselamatan kerja.
Dalam kontrak (juga TOR) dicantumkan juga klausul keselamatan kerja sehingga kontraktor sudah diwajibkan untuk melengkapi pekerja dg APD yg sesuai (misal sepatu, helm, safety belt, masker dll).
Nah, kalau yg saya lihat dari beberapa kontraktor besar yg pernah bekerja di tempat kami (contoh KHI, Rekin, Hzma, Mrnda), mereka selalu menyertakan safety engineer dan safety officer khusus yang selalu mengawasi pekerjaan. Pada tahap pra pelaksanaan, mereka memberikan perencanaan safety, ikut menyetujui metode kerja yang dilakukan oleh site engineer beserta penyediaan APD yang sesuai.
Pada tahap pelaksanaan, selain mengontrol dan membenahi sistem safetynya, mereka juga berhak menghentikan pekerjaan bila mereka melihat pekerjaan membahayakan keselamatan.
Ada beberapa univ yg mempunyai jurusan tersendiri (kalau yang pernah saya tahu adalah di Unibraw) sehingga bisa dilahirkan safety engineer yang ahli dan mengerti, tinggal pengalaman saja yang perlu diasah.
oya, yg saya lihat dari mereka juga, bahwa setiap pagi sebelum bekerja mereka dikumpulkan berbaris mengadakan sedikit peregangan badan dan pengarahan safety.
Selain itu mereka juga memasang safety board yang menunjukkan pesan safety, info kecelakaan ringan, berat dan fatal yang terjadi.
Bukan malah disembunyikan…………….
Matur nuwun lan Salam
SukaSuka
Dear All.
Selamat pagi semuanya.
Mohon bantuannya,kalau prosedur pekerjaan pemasangan tower yg benar itu bagaimana secara structurenya, terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.
Salam HSE….
Andi Rahmat.
SukaSuka
@Natasya : Atap aluminium yang dimaksud sekiranya adalah atap dengan bahan dasar aluminium sesuai dengan standard ASTM A792, Grade 50B dengan yield strength 34.5 KN/cm2), data ini menjadi tambahan untuk melakukan pengechekan jarak gording seperti yang disebutkan mas wir.
@Andi Rahman : sepengetahuan terdapat cara yang berbeda dalam memasang tower tergantung type towernya :
1. Tower type monopole : dipasang dengan menggunakan crane, atau bisa juga menggunakan tripod.
2. Tower tipe monopole dengan guywire : dilakukan dengan menggunakan alat bantu sebatang bambu atau pipa baja.
3. Tower tipe truss : dipasang menggunakan alat bantu sebatang bambu.
semoga sedikit mencerahkan
salam
badar
SukaSuka
mmm….
punten mo komentar dikit, menurut saya sifat manusiawi kita telah menghilangkan esensi utama dari tujuan safety. chauvinis profesi atau keahlian hanya akan menambah sulit untuk membumikan safety (change behaviour) para pekerja konstruksi.
dalam safety ada istilah inherent safety, artinya secara implisit seorang engineer sudah memikirkan bagaimana suatu gedung itu akan bisa aman baik dalam masa konstruksi, ketika digunakan atau untuk kepentingan maintenance.
pak wir benar….dan yang lain juga tidak salah.
kebetulan sebagai wayang saya di ‘dhapuk’ sebagai pengawal masalah safety untuk high risk building. salah satu tugasnya adalah memfasilitasi penyiapan metode kerja dan tentu ini juga melibatkan engineer. saya banyak mendapat ilmu dari proses tersebut karena secara background pendidikan kebetulan bukan dari teknik sipil atau arsitektur. yang jelas, dalam mengambil decision saya selalu minta pendapat dari engineer tentang calculation-nya. rada rumit juga sich….terkadang hasil hitungannya nurut standard safety mefet banget tapi pekerjaan harus dilaksanakan juga. disinilah terkadang kita harus ‘gambling’ dan ambil resiko. tentu bukan asal ambil resiko, semua melewati proses analisa, perenungan, feeling dan tdk lupa do’a.
komitmen semua pihak…..???? benar. tapi selama ini prasaan lebih banyak yang sekedar komat-kamit dech…
ada banyak jalan menuju Roma…but, membangun kota roma tidak cukup dengan satu hari. demikian juga untuk meng-grass root kan safety menjadi sebuah budaya. bukankah definisi budaya itu suatu hal yang sdh dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu lama dan bla..bla…bla…(ah, saya bukan ahli bahasa. maka lebih tepat tanya ke YS Badudu aja kali ya…)
saya ada banyak tulisan tentang safety, ingin juga sich membuat blog spt ini, tapi belum ada waktu (fiuhhhh….sok sibuk kaleeeeeeeee) tapi beberapa tulisan terkait safety bisa dilihat di awal2 blog saya di http://abachtr.multiply.com
salam kenal untuk semuanya…
salam,
ABR
kaum proletar
SukaSuka
K3 adalah tanggung jawab semua orang tapi bagaimana orang mau bertanggung jawab terhadap yang berkaitan dengan hal tersebut?inilah yang harus kita pikirkan, membudayakan kesadaran k3 agar menjadi budaya,,kalau sudah sadar, apapun itu, berapapun biayanya, pasti tidak akan sulit. Well mari kita sama sama menyadarkan semua pekerja, atau semua orang akan budaya k3,,artinya tidak hanya di project, office atau tempat kerja, tapi di lingkungan sehari hari,,,,tx,
SukaSuka
Dear all,
Mohon bantuannya mengenai prosedur work permit kontraktor. Ada yg punya safety manual book utk kontraktor?
trims atas bantuannya.
Regards,
ayu
SukaSuka
salam kenal,
wah..rame ya ngomongin masalah k3, tapi ngomong-ngomong k3 itu apa sih ?
setahu saya k3 itu keselamatan dan kesehatan kerja. sbtlnya kita dah punya peraturan perundangan masalah keselamatan kerja yaitu undang2 no 1 thn 1970 . disana menyebutkan segala macam yg berkaitan dg masalah k3. dan juga ada juklak dan juknisnya yg tertuang dlm peraturan menteri tenaga kerja. salah satunya ttg k3 bidang konstruksi . jadi k3 tanggung jawab siapa itu sdh ada disana. kalau ada yg bilang k3 tanggung jawab semua orang itu tidak ada salhnya. alias betullllll.
suwun.
salam k3.
SukaSuka
wah… ini betul2 sesuatu yg sedang saya perlukan… bertanggung jawab di sebuah gedung bertingkat banyak….. tentu bertanggung jawab pula terhadap keselamatan seluruh penghuni gedung tersebut…. baik yg tetap maupun yg sementara…..
makasih kepada semuanya..yg sudah bertanya maupun yg menjawab…. kan ini merupakan test case…….
SukaSuka
saya sangat setuju dengan pak wiryanto……..
SukaSuka