Mas Wir,
Saya bermaksud mengirim tulisan berkenaan dengan keselamatan kerja konstruksi, seperti yang pernah saya janjikan di blog, silakan mas Wir edit agar lebih mudah difahami.
Salam
Badar
Tulisan ini dimaksudkan untuk melanjutkan apa yang telah dipaparkan oleh mas Wir berkenaan dengan keselamatan kerja konstruksi, yang mana telah menarik antusias rekan-rekan lain untuk mendiskusikan untuk mengenal lebih jauh tentang keselamatan kerja konstruksi (K3).
Komentar mas Wir “Sekiranya perlu menambahkan item ini dalam mata kuliah manajemen konstruksi, serta perlu tidaknya safety engineer dilibatkan dalam tahap design bekerja bareng structure engineer“, menjadi latar-belakang saya mengapa menulis tema ini, dengan harapan semoga bisa memberi pencerahan dan membuka wawasan baru, atau minimal menjadi pemikiran untuk dapat didiskusikan lagi secara lebih detail. Siapa tahu hasil diskusi kita nanti dapat menjadi referensi untuk dijadikan standard keselamatan kerja konstruksi di Indonesia. Moga-moga. 🙂
Pekerjaan konstruksi adalah pekerjaan yang padat akan aktifitas dengan level resiko yang cukup tinggi, misalnya pekerjaan pengangkatan benda-benda berat, bekerja pada ketinggian, serta pekerjaan pada ruang terbatas. Efek dari pekerjaan – pekerjaan tersebut apabila terjadi suatu kecelakaan, antara lain adalah rusaknya peralatan yang digunakan, rusaknya lingkungan sekitar project, serta hilangnya nyawa pekerja dan efek yang terakhir ini disebut dengan fatality. Secara keseluruhan efek-efek tersebut akan mempengaruhi schedule penyelesaian project (proyek delay), serta pembengkakan biaya konstruksi.
Keselamatan kerja dewasa ini mendapatkan perhatian khusus bagi masyarakat industri menyusul banyaknya kecelakaan yang sering terjadi, serta kerugian yang ditimbulkan yang cukup besar baik dari financial sampai hilangnya nyawa manusia.
Merespon hal ini, beberapa perusahaan di sektor industri mempunyai komitmen untuk melaksanakan semua aktifitas dengan aman serta ramah lingkungan. Komitmen ini tentunya tidak gratis, akan tetapi membutuhkan biaya serta effort lebih. Biaya serta effort lebih ini pula yang membuat beberapa perusahaan lain enggan untuk berkomitmen dengan safety.
safety hanya buat mahal nilai project saja, bayangkan kami harus mengeluarkan uang untuk membelikan peralatan safety bagi setiap pekerja berupa sepatu safety, helmet, kacamata safety dll yan nilainya lebih dari Rp. 500.000, per orang, bayangkan kalau karyawannya 100 orang, tentunya nilai yang fantastis.
Paradigma ini tidak sepenuhnya betul, jika ditelaah lebih jauh sebab biaya yang harus dikeluarkan untuk satu kecelakaan nilainya jauh lebih fantastis dibandingan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan peralatan safety tersebut.
Belum lagi pandangan miring dari masyarakat industri akibat kecelakaan tersebut ” Melindungi keselamatan serta kesehatan semua orang yang terlibat dalam pekerjaan sector industri”.
Keselamatan Kerja Konstruksi Tanggung Jawab Siapa?
Pekerjaan konstruksi adalah pekerjaan yang melibatkan engineering konsultan sebagai perencana (front end of engineering & design serta detil engineering design), kontraktor sebagai pelaksana serta konsultan pengawas, semua elemen tersebut baik perencana, kontraktor maupun pengawas, memiliki kontribusi tersendiri pada keselamatan kerja konstruksi.
Fase Engineering
Riset yang telah dilakukan oleh Behm (2005) menyatakan bahwa seorang engineer atau designer dapat memberikan kontribusi yang significant berkaitan dengan keselamatan kerja konstruksi (K3). Engineer atau designer dalam melakukan perencanaan harus sudah memikirkan tahap pelaksanaan (construction stage) dari apa yang direncanakan, sehingga diharapkan keputusan – keputusan yang di buat dilapangan oleh kontraktor dapat diminimalisasi.
Pada tahun 1985 The international labor office merekomendasikan agar engineer atau designer memberikan guide berkaitan dengan metode keselamatan kerja konstruksi kepada setiap pekerja berupa standard prosedur kerja untuk setiap jenis pekerjaan (working standard procedure).
Di tahun 1991 The European Foundation for the improvement of living and working condition menyimpulkan bahwa sekitar 60% kejadian fatal pada fase konstruksi disebabkan oleh keputusan-keputusan yang dibuat sebelum pekerjaan dimulai dilapangan.
Pada tahun 1994 studi yang dilakukan oleh industri konstruksi di inggris menemukan hubungan antara keputusan design dan keselamatan kerja konstruksi.

Figure 1 Time/Safety Influence Curve (Behm 2005)
The ability to influence safety diminishes as schedule moves toward start-up.
Dari grafik diatas terlihat bahwa keselamatan kerja konstruksi sangat ditentukan pada fase konsep dan detil design, semakin mendekati penyelesaian proyek konstruksi pengaruh yang dapat diberikan semakin kecil. (Designing for Construction Worker Safety by John W. Mroszczyk, Ph.D., P.E., CSP).
Fase Konstruksi
Fase konstruksi merupakan fase setelah pekerjaan perencanaan, dimana tanggung jawab terbesar pada fase ini ada pada kontraktor pelaksana. Berhasil tidaknya suatu project diukur dari hasil yang dicapai pada tahap konstruksi, karena fase konstrusi merupakan fase “pembuktian” dari apa yang telah direncanakan berupa gambar kerja lengkap dengan segala perhitungannya.
Banyak keputusan dan perencanaan yang dibuat di lapangan saat fase konstruksi yang menyangkut pencapaian progress pekerjaan serta metode kerja kaitannya dengan keselamatan kerja. Kontraktor dalam melaksanakan pekerjaannya pendapatkan pengawasan konsultan pengawas, sehingga konsultan pengawas ikut terlibat dalam memastikan hasil yang dicapai kontraktor memenuhi persyaratan yang ditentukan, sehingga sedikit banyaknya konsultan pengawas ikut terlibat atas setiap keputusan yang dibuat dilapangan.
Kecelakaan yang terjadi pada satu pekerjaan konstruksi kebanyakan disebabkan oleh tenaga kerja yang tidak berpengalaman terhadap apa yang dia kerjakan, peralatan yang sudah tidak layak untuk dipakai, kondisi lingkungan kerja yang tidak aman, menggunakan peralatan tidak sesuai dengan peruntukannya, perilaku karyawan kurang peduli terhadap safety, serta management perusahaan yang belum peduli sepenuhnya terhadap safety serta metode kerja yang tidak aman.
Untuk kecelakan akibat kesalahan metode kerja dapat dihindari dengan membuat keputusan yang tepat saat fase engineering & design, dan ini merupakan tanggung jawab engineer , sementara untuk penyebab kecelakaan yang lainnya merupakan tanggung jawab kontraktor untuk memperhatikan hal tersebut.
Wir’s comments : kecelakaan kerja akibat metode kerja …. merupakan tanggung jawab engineer , saya tidak sependapat (jika engineer yang dimaksud adalah perencanaa, bukan site engineer atau penanggung jawab lapangan).
Pernyataan tersebut seakan-akan menyatakan bahwa engineer (perencana) harus menyediakan spesifikasi teknis untuk metode kerja-nya. Menurut saya, untuk struktur-struktur yang umum (general), yang kekuatan / kekakuannya tidak dipengaruhi oleh metode pelaksanaan maka engineer perencana tidak perlu membikin spesifikasi khusus. Hal itu dibebaskan kepada kontraktor untuk memilih metode pelaksanaan sesuai dengan sdm (teknologi), dan pengalaman yang dipunyainya. Dengan kondisi tersebut maka diharapkan owner akan mendapatkan harga yang terbaik, tetapi spesifikasi (mutu) tetap terjaga.
Jika struktur-struktur tersebut dipengaruhi oleh metode pelaksanaan, misalnya seperti pada kontruksi jembatan, maka engineer (perencana) dengan sendirinya wajib menyediakan aturan khusus pelaksanaan yang harus diikuti oleh kontraktor. Itu juga menjadi pertimbangan dalam tender (menentukan biaya).
Contoh sederhana : saya perlu beton fc 35 MPa, untuk itu tidak perlu ditetapkan, pasirnya dari mana, apa harus dari gunung Merapi, dsb-nya.
Pada beberapa perusahaan dimana safety menjadi prioritas utama, memiliki aturan tersendiri dalam melaksanakan suatu project untuk memastikan pelaksanaan aktifitas dengan aman, tidak membahayakan pekerja serta tidak mencemari lingkungan, aturan tersebut
- Melakukan Project Safety, Health & environmental review pada setiap fase / stage dari suatu proyek konstruksi untuk memastikan agar semua keputusan yang dibuat pada fase engineering maupun konstruksi telah memenuhi standard yang telah ditetapkan
(wir’s comments: bagus !, tapi tentunya review oleh yang ahlinya bukan sekedar orang yang punya sertifikat tapi baru lulus dan belum punya pengalaman. Saya tidak mengecilkan gelar atau sertifikat, tapi pengalaman dari orang yang pernah mengalami langsung tipe pekerjaan yang sejenis maka mentalnya jelas beda dengan yang orang yang masih ijo),
Contoh menggunakan elemen dinding prefab pada konstruksi bangunan gedung bertingkat merupakan keputusan yang sangat tepat untuk menghindari bekerja pada ketinggian sehingga bisa mengurangi resiko jatuh dari ketinggian.
(wir’s comments : saya kira contoh yang diambil bukan seperti itu solusinya, daripada merubah struktur shg menjadi tidak murah, ada baiknya disaring kontraktor yang akan mengerjakannya. Apakah mereka sudah mempunyai pengalaman sebelumnya, juga usulannya tentang strategi safety yang akan mereka terapkan untuk menangani pekerjaan tersebut. Saya kira ini lebih efektif.) - Pada fase konstruksi ada beberapa hal yang dapat diusahakan untuk menghindari atau meminimalisasi resiko kecelakaan pada proyek konstruksi diantaranya :
- Melakukan pengecekan rutin pada setiap equipment yang akan digunakan disesuaikan dengan standard pengecekan yang sudah ada. Contoh pengecekan tower crane, untuk metode serta jarak waktu antara dua pengecekan disesuaikan dengan standard yag berlaku dan diberikan tanda berupa sticker yang menyatakan bahwa tower crane tersebut dapat digunakan.
- Mentraining karyawan berkenaan dengan pekerjaan mereka, sehingga mereka dapat mengidentifikasi kemungkinan resiko bahaya dari pekerjaan tersebut dan mengerti metode kerja yang aman untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan aman.
- management menerapkan system punishment & reward akan prestasi yang berkenaan dengan safety pada setiap karyawan, sehingga culture serta prilaku yang kurang perduli terhadap safety setahap demi setahap dapat dirubah.
(wir’s comments : yang ini saya setuju)
Kesimpulan saya adalah engineer punya kontribusi pada setiap kecelakaan konstruksi dan punya kemampuan untuk mengindari kecelakaan tersebut dengan membuat design yang tepat pada fase perencanaan. Jadi ingat perkataan pak Drajat dalam seminar gempa HAKI, engineer harus punya tanggung jawab moral dari apa yang direncanakannya.
Wir’s comments : usulan mas Badarudin, cocoknya untuk proyek-proyek design-and-built yang banyak diterapkan pada proyek-proyek industri, tetapi untuk proyek gedung yang kontraktor-nya belum ditentukan rasanya bukan solusi yang terbaik jika engineer perencana membuat metode pelaksaknaan khusus, kecuali jika sifatnya optional.







Tinggalkan Balasan ke kangsuko Batalkan balasan