Berita TV pagi ini bahwa akibat protes rakyat Indonesia yang bertubi-tubi akhirnya pemerintah Malaysia terpengaruh juga, sehingga dinyatakan untuk tidak memakai tarian Barongan lagi sebagai tarian promosi pariwisata di negeri jiran tersebut. Semua brosur atau situs pemerintahan negeri jiran yang masih menyebutkan tarian tersebut akan dihapus.
Bagaimana puas, puas !
He, he, he, bagi yang cinta negeri, mestinya gitu ya ?
Setelah melihat lebih lanjut siaran tersebut, aku sendiri bingung harus bersikap ? Begini sih penyebabnya .
Sisi lain berita TV tersebut, juga memuat wawancara dengan salah satu pimpinan grup tari Barongan yang ternyata ada di kota Johor. Grup yang membuat heboh tersebut, salah satunya dipimpin Pak Juhri (namanya kalau tidak salah lho). Jadi ternyata di sana sudah ada beberapa grup tari Barongan tersebut. Pantes karena sudah banyak, maka pemerintahnya berani mengklaim.
Dalam wawancaranya, beliau terkesan tidak terlalu memikirkan klaim yang heboh tersebut. Bahkan dengan bangganya menceritakan bagaimana grup-nya ‘sukses’ manggung dan telah terima order di sana-sini. Beliau memang menceritakan bahwa grup tarinya bermula dari kesuksesan seseorang (saudaranya ?) yang memang berasal dari Ponorogo Indonesia. Diceritakan juga mengapa disebut “Barongan”, karena pertama kali grup yang sukses bernama grup ‘Singa Barong’. Seperti hal-hal lainnya ketika grup tari tersebut sukses, maka latah bermunculan grup lain. Orang-orangnya juga akhirnya tidak hanya Indonesia semua, sebagian ada yang Malaysia (atau mungkin ada grup yang orangnya Malaysia semua ya ?).
Jadi sebenarnya tarian tersebut memang tarian Indonesia dan orang-orang sana (Malaysia) menyukai sehingga sukses dibawa manggung. Bagi mereka, karena ternyata tarian tersebut diminati oleh orang-orang sana sehingga menjamurlah grup-grup tarian tersebut sebagai ajang mencari ringgit. Wajar khan. Bagi mereka (grup tari tersebut) tidak ada satu sikappun yang meng-klaim “ini tarian asli Malaysia”.
Lha ini masalahnya, mungkin karena bagian pariwisata pemerintahnya yang aktif, dan melihat ternyata tarian tersebut sangat populer di negeri tersebut maka mereka menyatakan “ini tarian populer negeriku“. Apa ada yang salah ya.
Selanjutnya dengan melihat respond kita, langsung pada protes. Menang atau kalah. Apa ya untungnya ?
Paling-paling kita merasa menang gitu khan ! Lainnya emangnya ada ?
Mestinya kalau ditanggapi dingin, misalnya pendekatan dengan pemerintah mereka. Lalu berkata : “Lho koq barongan mirip dengan punya kita ya ? Tapi yang asli lebih bagus lho ? Mau lihat ? Perlu dibandingin lho, kalau orang Malaysia suka, kita khan bisa mengeksport grup tari kita (yang asli) ke sana. Kalau memang lebih bagus khan win-win gitu.
Analoginya seperti olahraga beladiri Karate yang asli Jepang gitu lho. Kelihatannya nggak ada tuh orang Jepang yang protes-protes kalau olahraga tersebut dipakai di sini. Bahkan orang Indo yang ahli karate akan bangga jika bisa berlatih di Jepang langsung. Kenapa nggak bisa serupa ya dengan masalah-masalah yang terjadi di Malaysia tersebut.
Salah satunya mungkin adalah memang pertama-pertama adalah di Indonesia, jadi orang-orang kita memang kreatif. Tetapi karena tanggapan masyarakatnya pasif, cuek, atau nggak terlalu menggembirakan dan ternyata masyarakat (dan pemerintah) luar lebih tanggap (menghargai atau mau mengeluarkan duit untuk menikmati hal-hal tersebut) maka ide tersebut berkembang dengan lebih baik di tempat lain. Profesional dan tidak amatir lagi. Jadi waktu dibandingkan antara ide awal dan ide akhir, maka jelas yang terakhir yang telah berkembang tersebut tentunya lebih hebat. Setelah tahu lebih hebat tersebut maka baru orang kita mencak-mencak. Bilang ke orang lain kalau ‘apa’ gitu.
Dengan demikian, kelihatannya dari diri kita sendiri yang perlu berbuat sesuatu lho.
Untuk itu saya memulai dari tulisan ini. OK !
O ya ini ada artikel yang menarik, ada fotonya di blog-nya Angelina Kusuma

Reog Ponorogo asli Indonesia pentas terbuka di tanah lapang

Barongan Malaysia pentas di gedung pertunjukkan
Ya jelas, artikel tersebut ingin menekankan bahwa kita (Indonesia) : ‘lebih’ gitu lho. Angelina khan dari Ponorogo asli. Namanya aja cinta produk dalam negeri. Gitu khan Angelin. Boleh koq.
Saya jadi inget pengalaman di Stuttgart, bahwa produk-produk yang dijumpai di sana hampir sebagian besar produk mereka sendiri (tidak impor) jadi bisa disimpulkan bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga dengan produk mereka sendiri. Jadi dia menyetir (memimpin) dan bukan disetir (dipimpin). Kita ini termasuk bangsa yang besar nggak sih. Baca artikel Jakob Sumarjo di Pikiran Rakyat mungkin dapat menjadi jawabannya.
Ok, kembali ke foto di atas. Tapi terus terang ketika melihat foto perbandingan antara yang reog dan barongan di atas, aku merasa prihatin.
Coba perhatikan:
Tarian Reog Ponorogo (asli Indonesia) berpentas di alam terbuka, terkesan tarian rakyat kecil, seadanya , murahan. Sedangkan tarian Barongan Johor (klaim Malaysia) berpentas di gedung pertunjukkan, terkesan resmi, mewah gitu lho.
Sekarang anda silahkan berpendapat, siapa sih sebenarnya bangsa yang bisa menghormati luhurnya dan indahnya tarian-tarian (kesenian) seperti itu.
Apakah bangsa kita sudah menempatkannya dengan baik, atau bisanya cuma protes aja.







Tinggalkan Balasan ke wir Batalkan balasan